15 Oktober 1991
Temanku yang baik,
Sepertinya aku lupa
mengatakan di surat sebelumnya bahwa Patricklah yang memberitahuku tentang
masturbasi. Sepertinya aku juga lupa memberitahumu seberapa sering aku
melakukan itu sekarang ini, yang memang sering sekali. Aku tidak suka
melakukannya sambil melihat gambar. Aku tinggal menutup mataku dan membayangkan
seorang wanita yang tidak kukenal. Dan aku berusaha supaya tidak merasa malu.
Aku tidak pernah membayangkan Sam saat melakukannya. Tidak pernah. Itu sangat
penting buatku soalnya aku senang sekali saat ia menyebut “gaya Charlie” karena
rasanya seakan-akan itu lelucon di antara kami berdua.
Suatu malam, aku merasa
sangat bersalah sampai-sampai aku berjanji pada Tuhan tidak akan pernah
melakukannya lagi. Jadi, aku mulai menggunakan selimut, tapi jadinya
menyusahkan, lalu aku mulai menggunakan bantal, tapi jadinya menyusahkan juga,
jadi aku kembali seperti biasanya saja. Orang tuaku tidak begitu religius dalam
mendidikku, sebab mereka dulu di sekolah Katolik, tapi aku benar-benar percaya
pada Tuhan. Cuma aku tidak pernah memberi-Nya nama, kalau kau mengerti
maksudku. Kuharap Ia tidak kesal padaku.
Kebetulan, ayahku sudah
bicara serius pada orang tua cowok itu. Ibu cowok itu sangat marah sekali dan
meneriaki anaknya. Ayah si cowok diam saja. Dan ayahku tidak begitu mencampuri
mereka. Ia tidak bilang soal “buruknya cara” mereka dalam membesarkan anak atau
apalah.
Setahuku, yang penting cuma
meminta bantuan mereka untuk menjauhkan anak mereka dari kakak perempuanku.
Begitu tujuannya beres, ia meninggalkan mereka supaya mengurus persoalan itu
dan pulang untuk mengurus keluarganya sendiri. Sedikitnya begitulah yang
dikatakan ayahku.
Satu-satunya hal yang jadi
kutanyakan pada ayahku yaitu tentang masalah keluarga cowok itu. Apakah
menurutnya orang tua cowok itu memukuli anaknya. Ia menyuruhku supaya jangan
ikut campur. Soalnya ia tidak tahu dan tidak akan pernah menanyakannya dan
menurutnya itu tidak penting.
“Tidak semua orang punya
cerita sedih, Charlie, dan kalaupun mereka punya, itu tidak bisa jadi alasan.”
Cuma itu yang ia katakan.
Lalu kami menonton televisi.
Kakak perempuanku masih
marah padaku, tapi ayahku bilang aku melakukan hal yang benar. Kuharap memang
begitu, tapi kadang sulit mengetahuinya.
Salam sayang,
Charlie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar