Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20160727

The Perks of Being Wallflower Bagian I, Surat 10 (Stephen Chbosky, 1999)

28 Oktober 1991

Temanku yang baik,

Aku minta maaf karena beberapa minggu ini tidak menulis surat padamu, tapi aku telah mencoba “berpartisipasi” seperti yang Bill katakan. Rasanya aneh, sebab kadang ketika aku membaca buku, aku merasa akulah tokoh di dalamnya  Selain itu, saat menulis surat, dua hari berikutnya kuhabiskan untuk memikirkan isi suratku. Entah ini baik atau buruk. Biarpun begitu, aku sedang berusaha untuk berpartisipasi.

Kebetulan, buku yang diberikan Bill padaku berjudul Peter Pan karya J. M. Barrie. Aku tahu yang kau pikirkan. Kartun Peter Pan dan para anak yang hilang. Buku aslinya jauh lebih bagus daripada kartunnya. Ceritanya masih tentang anak laki-laki yang tidak mau jadi dewasa, dan saat Wendy jadi dewasa, ia merasa sangat dikhianati. Sedikitnya begitulah yang kutangkap. Kurasa Bill memberiku buku ini untuk mengajariku sesuatu.

Kabar baiknya, aku sudah membaca buku itu, dan karena itu cerita fantasi, aku tidak bisa menganggap diriku seolah-olah tokoh di dalamnya. Begitulah caraku berpartisipasi dan supaya terus membaca buku itu.

Mengenai partisipasiku dalam hal lainnya, aku berusaha pergi ke acara-acara gaul yang diadakan di sekolah. Sudah terlambat untuk bergabung dengan klub atau apa pun semacamnya, tapi aku masih berusaha pergi ke acara-acara yang bisa kudatangi. Acara-acara seperti pertandingan rugbi dan dansa alumni, meskipun tidak ada yang bisa kuajak bareng.

Aku tidak bisa membayangkan diriku pulang demi pertandingan alumni saat aku tidak lagi sekolah di sini, tapi rasanya asyik saja mengkhayalkan itu terjadi. Saat itu aku melihat Patrick dan Sam duduk-duduk di tempat biasanya di stadion, dan aku mulai berlagak seolah-olah sudah setahun tidak bertemu mereka meskipun sorenya saat jam istirahat aku melihat mereka mengisap rokok sementara aku makan jeruk.

“Patrick, bukan? Dan Sam … sudah lama sekali. Siapa yang menang? Ya Tuhan, kuliah itu menyebalkan. Aku ditugaskan profesorku membaca 27 buku akhir pekan ini, dan aku diminta cewekku mengecat papan untuk aksi protesnya Selasa nanti. Biar para pegawai tata usaha itu tahu kami serius. Dad sibuk main golf, Mom dengan tenis. Kita mesti begini lagi. Aku mau ikut menonton, tapi aku mesti menjemput kakak perempuanku dari acara lokakarya tentang emosi. Dia sungguh-sungguh mengalami kemajuan. Senang berjumpa kalian lagi.”

Aku pun berlalu. Aku turun ke stan camilan dan membeli tiga kotak nacho serta diet coke buat Sam. Begitu kembali, aku duduk dan memberikan nacho pada Patrick dan Sam, serta diet coke pada Sam. Sam tersenyum. Sam baik karena tidak menganggapku sinting saat berlagak macam-macam. Patrick juga begitu, tapi ia terlalu sibuk menonton pertandingan dan berseru pada Brad, yang jadi gelandang.

Sewaktu pertandingan Sam memberitahuku bahwa mereka sedang berpikir-pikir untuk pergi ke pesta di rumah teman mereka nanti malam. Lalu ia menanyaiku kalau-kalau aku mau ikut, dan aku mengiyakan sebab aku belum pernah ke pesta. Meski begitu, di rumahku pernah ada pesta seperti itu.

Waktu itu kedua orang tuaku ke Ohio untuk menjenguk kerabat jauh yang menikah atau meninggal. Aku lupa yang mana. Dan mereka meminta abangku menjaga rumah. Waktu itu ia berusia enam belas tahun. Abangku memanfaatkan kesempatan itu untuk mengadakan pesta meriah dengan bir dan macam-macamlah. Aku disuruh tetap di kamarku, yang kuturuti saja sebab orang-orang menaruh mantel mereka di sana, dan rasanya seru mengintip isi kantong mereka. Sekitar sepuluh menit sekali, ada cewek atau cowok yang mabuk terhuyung-huyung ke kamarku kalau-kalau mereka bisa bermesraan di kamarku. Lalu mereka melihatku dan pergi. Begitulah, kecuali pasangan yang satu ini.

Pasangan yang satu ini, yang baru nantinya aku tahu mereka sangat populer dan sedang pacaran, terhuyung-huyung ke kamarku dan bertanya kalau-kalau aku keberatan mereka memakai ruangan itu. Aku memberi tahu mereka bahwa abangku dan kakak perempuanku bilang aku tidak boleh ke mana-mana, dan mereka bertanya kalau-kalau mereka boleh memakai kamarku sementara aku tetap di situ. Aku bilang tidak apa-apa, jadi mereka menutup pintu dan mulai berciuman. Ciumannya serampangan sekali. Beberapa menit kemudian, tangan cowok itu naik ke baju ceweknya, dan ceweknya mulai protes.

“Ayolah, Dave.”

“Apa?”

“Ada anak-anak di sini.”

“Enggak apa-apa.”

Cowok itu terus mengangkat baju ceweknya, dan meskipun si cewek menolak, ia tetap saja begitu. Beberapa menit kemudian, si cewek berhenti protes, dan si cowok melepaskan bajunya, dan cewek itu mengenakan beha putih berenda. Sejujurnya saat itu aku tidak tahu mesti berbuat apa. Sebentar kemudian, si cowok mencopot beha si cewek dan mulai menciumi teteknya. Lalu si cowok menurunkan tangannya ke celana cewek itu, dan si cewek mulai mengerang. Kurasa mereka sama-sama mabuk sekali. Cowok itu berusaha mencopot celana ceweknya, tapi cewek itu mulai menangis kencang sekali, sehingga si cowok memegang celananya sendiri. Ia menurunkan celana panjang dan celana dalamnya sampai lutut.

“Kumohon. Dave. Jangan.”

Tapi si cowok terus bicara yang lembut pada ceweknya soal betapa cantiknya cewek itu dan seterusnya, dan cewek itu pun mengambil penis cowoknya dengan tangan lalu mulai menggerak-gerakkannya. Kuharap aku bisa menceritakan ini secara lebih halus tanpa menggunakan kata seperti penis, tapi memang begitulah adanya.

Beberapa menit kemudian, si cowok menekan kepala ceweknya ke bawah, dan cewek itu mulai menciumi penis cowoknya. Ia masih menangis. Akhirnya, ia berhenti menangis karena ia memasukkan penis itu ke mulutnya, dan menurutku orang mana mungkin menangis dalam keadaan seperti itu. Saat itu mau tidak mau aku berhenti menonton karena mulai merasa mual, tapi kejadiannya tetap berlangsung, dan mereka terus melakukan berbagai hal lain, dan si cewek terus saja bilang “jangan.” Bahkan meskipun aku menutup telinga, aku masih bisa mendengar cewek itu mengatakannya.

Akhirnya kakak perempuanku datang untuk membawakanku semangkuk keripik kentang, dan saat ia melihat cowok dan cewek itu, mereka berhenti. Kakakku sangat malu, tapi tidak semalu si cewek. Si cowok kelihatan puas. Ia tidak bicara banyak. Setelah keduanya pergi, kakakku berpaling padaku.

“Mereka tahu kau di sini?”

“Ya. Mereka tanya kalau-kalau mereka boleh pakai kamar ini.”

“Mengapa tidak kau larang?”

“Aku tidak tahu mereka mau apa.”

“Dasar mesum,” itulah kata terakhir yang diucapkan kakakku sebelum ia meninggalkan kamar. Keripik kentangnya ia bawa lagi.

Aku menceritakan ini pada Sam dan Patrick, dan mereka sama-sama terdiam. Sam bilang ia pernah jalan sebentar dengan Dave sebelum ia menyukai musik punk, dan Patrick bilang ia tahu soal pesta itu. Aku tidak heran Patrick tahu soalnya pesta itu jadi semacam legenda. Sedikitnya itulah yang kudengar saat aku memberi tahu beberapa anak tentang abangku.

Saat polisi datang, mereka menemukan abangku tertidur di atap. Tidak ada yang tahu caranya ia sampai ke situ. Kakak perempuanku sedang bermesraan di ruang cuci dengan salah seorang senior. Waktu itu ia murid baru. Lalu banyak orang tua datang ke rumah untuk menjemput anak mereka, serta banyak cewek yang menangis dan muntah. Sementara itu sebagian besar cowok pada kabur. Abangku mendapat masalah besar, dan kakak perempuanku di”ceramah”i orang tuaku soal pengaruh buruk. Dan begitulah.

Cowok yang bernama Dave itu sekarang murid senior. Ia anggota tim rugbi. Ia bermain sebagai penyerang samping. Aku menonton akhir pertandingan saat Dave menangkap lemparan bola dari Brad. Pertandingan pun berakhir dengan kemenangan sekolah kami. Para penonton di tribune menggila karena kami yang menang. Tapi yang bisa kupikirkan cuma pesta itu. Lama aku diam saja memikirkannya, lalu aku menoleh pada Sam.

“Itu perkosaan bukan sih?”

Ia cuma mengangguk. Entahkah ia sedih atau karena tahu lebih banyak daripada aku.

“Bukankah seharusnya kita melaporkannya?”

Kali ini Sam cuma menggeleng. Lalu ia menjelaskan soal segala hal yang mesti dilakukan untuk membuktikannya, terutama di SMA saat si cowok beserta ceweknya anak populer dan masih pacaran.

Keesokan harinya saat acara dansa alumni, aku melihat mereka berdansa. Dave dan ceweknya. Dan aku merasa geram. Aku jadi takut sendiri karena aku geram sekali. Aku terpikir untuk menghampiri Dave dan menghajarnya betulan mungkin seperti seharusnya aku menghajar Sean. Dan kurasa aku akan melakukannya, tapi Sam melihatku dan merangkulku seperti biasa. Ia menenangkanku, dan kurasa aku senang ia melakukannya karena kupikir aku bakal lebih geram lagi kalau aku jadi meninju Dave, lalu ceweknya menghentikanku karena mencintai cowok itu. Kurasa aku bakal lebih geram lagi kalau begitu.

Jadi, aku memutuskan untuk melakukan hal terbaik berikutnya dan mengempiskan ban mobil Dave. Sam tahu mobilnya yang mana.

Jumat malam sehabis acara pertandingan alumni itu ada suatu perasaan yang entah apakah aku akan mampu menggambarkannya dengan kata-kata selain hangat. Sam dan Patrick mengantarku ke pesta malam itu, dan aku duduk di jok tengah truk pikap milik Sam. Sam menyayangi truk pikapnya karena sepertinya kendaraan itu mengingatkan dia pada ayahnya. Perasaan itu muncul ketika Sam menyuruh Patrick mencari saluran di radio. Dan ia terus saja mendapat iklan. Dan iklan. Dan lagu cinta yang jelek sekali yang menyebut-nyebut kata “sayang”. Dan lagi-lagi iklan. Dan akhirnya ia menemukan lagu yang bagus sekali tentang seorang anak laki-laki, dan kami semua jadi terdiam.

Sam menepuk-nepukkan tangannya ke setir. Patrick mengeluarkan tangannya dari mobil dan meniru gelombang udara. Dan aku duduk saja di antara mereka. Setelah lagu itu selesai, kukatakan sesuatu.

“Aku merasa abadi.”

Sam dan Patrick menoleh padaku seakan-akan yang kukatakan itu hal terhebat yang pernah mereka dengar. Soalnya lagu itu sebegitu bagusnya dan kami semua mendengarkannya betul-betul. Lima menit dalam hidup kami benar-benar terkuras, dan kami merasa muda dalam artian yang baik. Karena itu aku membeli piringan hitamnya, dan aku mau memberitahumu lagu apa itu, tapi sejujurnya, rasanya tidak sama dengan sewaktu dalam perjalanan menuju pesta sungguhan pertamamu, dengan kau duduk di jok tengah sebuah pikap bersama dua orang yang menyenangkan sementara hujan mulai turun.

Kami sampai di rumah tempat pesta diadakan, dan Patrick membuat ketokan rahasia. Sulit menjelaskan ketokan ini padamu karena mesti ada suaranya. Pintu terbuka sedikit, dan muncul cowok berambut ikal yang mengamati kami dengan waswas.

“Patrick alias Patty alias Bukan Apa-apa?”

“Bob.”

Pintu dibuka, dan kedua sobat lama itu berpelukan. Lalu, Sam dan Bob yang berpelukan. Lalu, Sam berkata.

“Ini teman kami, Charlie.”

Dan kau tak akan percaya. Bob memelukku! Sewaktu menggantung mantel, Sam memberitahuku bahwa Bob lagi “lemas kayak titit”. Aku benar-benar harus mengutip yang satu itu biarpun ada kata joroknya.

Pestanya diadakan di ruang bawah tanah rumah ini. Ruangannya penuh asap, dan anak-anaknya jauh lebih tua daripada aku. Ada dua cewek sedang saling memperlihatkan tato dan cincin pusar. Kurasa mereka senior.

Orang yang bernama Fritz sesuatu sedang makan kue spons isi krim banyak-banyak. Ceweknya sedang membicarakan tentang hak-hak wanita padanya, dan Fritz terus saja bilang, “Aku tahu, sayang.”

Sam dan Patrick mulai mengisap rokok. Bob naik ke dapur saat mendengar bunyi bel. Saat kembali, ia membawa sekaleng bir Milwaukee’s Best buat semuanya, termasuk dua tamu yang baru datang. Ada Maggie, yang perlu ke kamar mandi. Dan ada Brad, gelandang tim rugbi sekolah. Ini betulan!

Entah mengapa aku jadi bersemangat, tapi rasanya menyenangkan saat melihat seseorang yang biasa ditemui di koridor, di lapangan, atau semacamnya, ternyata orang betulan.

Semuanya sangat ramah padaku dan bertanya banyak tentang diriku. Kurasa karena aku paling muda, dan mereka tidak ingin aku merasa tidak nyaman, apalagi setelah aku menolak minum bir. Aku pernah minum bir dengan abangku saat usiaku dua belas tahun, dan aku tidak suka saja. Sesimpel itu.

Yang ditanyakan padaku di antaranya kelas berapa aku sekarang dan aku ingin jadi apa saat dewasa.

“Aku murid baru, dan aku belum tahu.”

Aku melihat-lihat sekeliling, dan melihat Sam dan Patrick sudah pergi bersama Brad. Saat itulah Bob mulai mengedarkan makanan.

“Kau mau bronis?”

“Ya. Terima kasih.”

Sebetulnya aku memang kelaparan karena biasanya Sam dan Patrick membawaku ke restoran Big Boy setelah menonton pertandingan rugbi, dan kurasa sekarang aku sudah terbiasa. Aku makan bronis itu, dan rasanya agak aneh, tapi toh bentuknya masih bronis, jadi aku tetap menyukainya. Tapi ini bukan bronis biasa. Karena kau lebih tua, kurasa kau mengerti bronis macam apa itu.

Setengah jam kemudian, ruangannya mulai terasa kabur. Aku sedang mengobrol dengan salah seorang cewek yang punya cincin pusar, dan ia terlihat seolah-olah berada dalam sebuah film. Aku mulai mengejap berkali-kali dan celingukan, dan musiknya terdengar mengalun deras seperti air.

Sam turun dan saat melihatku, ia bicara pada Bob.

“Apa sih maumu?”

“Ayolah, Sam. Dia suka kok. Tanya sendiri deh.”

“Apa yang kau rasakan, Charlie?”

“Ringan.”

“Iya kan?” Sebenarnya Bob terlihat agak gugup, yang baru nantinya aku tahu itu paranoia.

Sam duduk di sampingku dan mengenggam tanganku, yang rasanya dingin.

“Kau bisa melihat dengan jelas, Charlie?”

“Terang.”

“Enak rasanya?”

“Eh-heh.”

“Kau haus?”

“Eh-heh.”

“Mau minum apa?”

“Susu kocok.”

Dan semua orang di ruangan itu, kecuali Sam, terbahak-bahak.

“Dia teler.

“Kau lapar, Charlie?”

“Eh-heh.”

“Mau makan apa?”

“Susu kocok.”

Aku tidak mengira mereka bakal tertawa lebih keras sekalipun jika yang kukatakan memang lucu. Lalu, Sam menggamit tanganku dan menarikku supaya tegak di atas lantai yang berputar-putar.

“Ayo. Kita bikin susu kocok.”

Saat kami berlalu, Sam berpaling pada Bob.

“Menurutku kau masih berengsek.”

Bob cuma tertawa. Dan akhirnya Sam tertawa juga. Dan aku senang semua orang tampak sebahagia kelihatannya.

Sam dan aku naik ke dapur, dan ia menyalakan lampu. Waw! Cahayanya terang sekali, saat itu aku tidak sanggup memercayainya. Rasanya seolah menonton film di bioskop sepanjang hari, dan begitu keluar, kau tidak percaya hari masih siang. Sam mengambil es krim, susu, dan blender. Aku menanyakan letak kamar mandi, dan ia menunjuk ke dekat pojok ruangan seakan-akan ini rumahnya sendiri. Kurasa ia dan Patrick sering ke sini saat Bob masih SMA.

Sewaktu keluar dari kamar mandi, aku mendengar suara di ruangan tempat kami menyimpan mantel. Aku membuka pintunya, dan melihat Patrick sedang mencium Brad. Ciuman curi-curi. Mereka mendengarku di pintu dan berpaling. Patrick yang bicara duluan.

“Charlie, bukan?”

“Sam sedang membuatkanku susu kocok.”

“Siapa anak ini?” Brad benar-benar terlihat gugup, tapi bukan gugup yang seperti Bob.

“Dia temanku. Santai saja.”

Patrick lalu menggiringku keluar dari ruangan itu dan menutup pintu. Kedua tangannya memegang bahuku dan menatap mataku lurus-lurus.

“Brad tidak mau ada yang tahu.”

“Kenapa?”

“Soalnya dia takut.”

“Kenapa?”

“Soalnya dia … tunggu … kau teler?”

“Mereka bilang aku turun. Sam sedang membuatkanku susu kocok.”

Patrick berusaha menahan tawa.

“Dengar, Charlie. Brad tidak mau ada yang tahu. Kau harus berjanji tidak akan memberi tahu siapa pun. Ini rahasia kita. Oke?”

“Oke.”

“Terima kasih.”

Dengan begitu, Patrick berbalik dan kembali ke ruangan tadi. Aku mendengar gumaman-gumaman, dan Brad sepertinya cemas, namun kukira itu bukan urusanku, jadi aku kembali ke dapur.

Mesti kukatakan bahwa susu kocok buatan Sam adalah yang terbaik yang pernah kuminum seumur hidupku. Rasanya sangat lezat, sampai-sampai aku merasa agak ngeri.

Sebelum meninggalkan pesta, Sam memperdengarkan lagu kesukaannya padaku. Yang pertama judulnya “Blackbird”. Yang satunya lagi berjudul “MLK”. Keduanya bagus sekali. Aku beri tahu judulnya sebab lagunya tetap enak sewaktu aku mendengarkannya selagi tidak teler.

Ada kejadian menarik lainnya di pesta sebelum kami pergi. Patrick turun ke ruang bawah tanah. Kurasa Brad sudah pergi. Dan Patrick tersenyum. Bob mulai mengolok-olok Patrick sedang jatuh cinta pada si gelandang. Patrick tersenyum semakin lebar. Kurasa belum pernah aku melihat Patrick tersenyum selebar itu. Lalu, Patrick menunjuk padaku, dan mengatakan sesuatu pada Bob.

“Dia itu sesuatu, ya kan?”

Bob mengangguk. Patrick lalu mengatakan sesuatu yang kurasa tidak akan pernah kulupakan.

“Dia itu pemalu.”

Bob benar-benar mengangguk. Seluruh ruangan mengangguk. Aku mulai merasa gugup seperti Bob, tapi Patrick menenangkanku. Ia pun duduk di sampingku.

“Kau melihat berbagai hal. Kau tidak mengatakannya pada siapa pun. Dan kau paham.”

Aku tidak tahu orang lain memikirkan berbagai hal tentang diriku. Aku tidak tahu mereka memerhatikanku. Saat itu aku sedang duduk di lantai sebuah ruangan bawah tanah pada pesta sungguhan pertamaku di antara Sam dan Patrick, dan aku ingat Sam mengenalkanku sebagai temannya pada Bob. Dan aku ingat Patrick berbuat itu juga pada Brad. Dan aku mulai menangis. Dan tidak ada seorang pun di ruangan itu yang menatapku dengan aneh karena menangis. Lalu aku benar-benar mulai menangis.

Bob mengangkat minumannya dan meminta semua orang melakukannya juga.

“Untuk Charlie.”

Dan semua orang pun berkata, “Untuk Charlie.”

Aku tidak mengerti kenapa mereka melakukan itu, tapi rasanya sangat istimewa bagiku. Terutama Sam. Terutama dia.

Aku akan memberitahumu lebih banyak tentang acara dansa alumni, tapi dipikir-pikir bagian terbaiknya yaitu saat aku mengempiskan ban mobil Dave. Aku benar-benar berusaha untuk berdansa seperti yang disarankan Bill, tapi lagu-lagu yang kusukai biasanya bukan lagu yang cocok untuk berdansa, jadi usahaku tidak banyak. Sam terlihat sangat cantik mengenakan gaunnya, tapi aku berusaha untuk tidak memerhatikannya karena aku sedang berusaha untuk tidak memikirkannya seperti itulah.

Aku perhatikan Brad dan Patrick sama sekali tidak mengobrol selama acara dansa sebab Brad berdansa dengan anak pemandu sorak yang bernama Nancy, ceweknya. Dan aku melihat kakak perempuanku berdansa dengan cowok yang semestinya tidak boleh bersamanya meskipun yang menjemputnya di rumah tadi cowok lain.

Setelah acara dansa, kami pergi naik truk pikap Sam. Kali ini Patrick yang menyetir. Sewaktu mendekati Terowongan Fort Pitt, Sam meminta Patrick mengarahkan mobil ke sisi jalan. Entah apa maksudnya. Sam lalu memanjat ke bagian belakang pikap, cuma mengenakan gaun dansanya. Ia menyuruh Patrick terus menyetir, dan senyum Patrick tampak khas. Kurasa mereka sudah pernah melakukan ini.

Bagaimanapun juga, Patrick mulai mengebut kencang sekali, dan tepat sebelum mobil masuk ke terowongan, Sam berdiri, dan angin menggerakkan gaunnya seperti ombak di laut. Saat mobil masuk ke terowongan, semua suara seperti terisap ke ruang hampa udara, dan yang terdengar cuma lagu dari pemutar kaset. Lagu yang indah itu berjudul “Landslide”. Saat kami keluar dari terowongan, Sam menjerit seru sekali, dan begitulah. Keramaian kota. Cahaya gedung dan segalanya yang membikin takjub. Sam duduk dan tertawa. Patrick tertawa. Aku tertawa.

Dan saat itulah, aku bersumpah kami abadi.

Salam sayang,


Charlie

2 komentar:

Mempersona mengatakan...

Permisi kak, aku suja terjemahannya. Apa gaada lanjutannya kak?

diyday mengatakan...

Hai Meong Sholihah, terima kasih, ya, sudah suka sama terjemahannya :")
Lanjutannya belum saya terjemahkan, hehehe.