Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20160118

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 6 (Haruki Murakami, 1994)

6

Tentang Lahirnya Kumiko Okada dan Noboru Wataya
*



Sebagai anak tunggal, aku sulit membayangkan perasaan kakak-beradik yang sudah dewasa dan mandiri saat mereka bertemu. Kalau Kumiko, kapan pun ada pembicaraan tentang Noboru Wataya, tampangnya jadi aneh, seakan tahu-tahu mulutnya merasakan sesuatu yang ganjil, tapi aku tidak tahu persisnya arti tampangnya itu. Aku sendiri tidak ada sedikit pun perasaan positif pada abangnya. Kumiko tahu dan menurutnya itu wajar saja. Dia sendiri sama sekali tidak suka pada orang itu. Sulit membayangkan keduanya pernah mengobrol seandainya tidak ada hubungan darah di antara mereka. Tapi kenyataannya, mereka memang kakak-beradik, sehingga rasanya agak semakin rumit. Setelah aku bertengkar dengan ayahnya dan memutuskan hubungan dengan keluarganya, Kumiko hampir-hampir tidak pernah lagi berjumpa Noboru Wataya. Pertengkaran dengan ayahnya memang sengit. Seumur-umur aku jarang bertengkar—aku bukan orang yang seperti itu—tapi sekalinya itu terjadi, aku maju habis-habisan. Maka perpecahanku dengan ayahnya pun berakhir. Kemudian, setelah aku menyingkirkan apa pun yang perlu disingkirkan dari dadaku, kemarahan itu pun anehnya menghilang. Yang kurasakan hanya kelegaan. Aku tidak harus bertemu dengan ayahnya lagi. Rasanya seakan beban berat yang kupanggul selama ini telah diangkat dari bahuku. Tidak ada amarah ataupun benci yang tersisa. Aku bahkan merasakan sedikit simpati atas kesukaran hidup yang dialami ayahnya, betapapun tolol dan menjijikkannya wujud kehidupan itu di mataku. Kukatakan pada Kumiko aku tidak akan pernah menemui orang tuanya lagi, tapi dia bebas mengujungi mereka tanpa diriku kapan pun dia ingin. Kumiko tidak berusaha menemui mereka. “Tidak apa-apa,” katanya. “Lagi pula aku tidak sebegitu inginnya bertemu mereka.”

Pada waktu itu Noboru Wataya tinggal bersama orang tuanya. Namun saat pertengkaran antara aku dan ayahnya terjadi, ia pergi begitu saja tanpa bilang siapa-siapa. Aku tidak heran sih. Aku tidak ada kepentingan dengan dirinya. Ia sebisa mungkin menghindari hubungan pribadi denganku kecuali benar-benar diperlukan. Maka, saat aku berhenti menjumpai orang tua Kumiko, aku juga tidak ada alasan untuk bertemu Noboru Wataya. Kumiko sendiri tidak merasa ada kepentingan menemui abangnya. Abangnya sibuk, dia sibuk, dan sejak dulu mereka memang tidak dekat.

Meski begitu, sesekali Kumiko menelepon abangnya di kampus tempat lelaki itu bekerja, dan sesekali Noboru Wataya menelepon si adik di kantor perusahaannya (tapi tidak pernah ke rumah kami). Kumiko biasanya menceritakan ini padaku tanpa merinci isi percakapan mereka. Aku tidak pernah menanyakannya, dan dia pun tidak bersukarela menceritakannya kecuali memang perlu.

Aku tidak ingin tahu pembicaraan Kumiko dengan Noboru Wataya. Bukan berarti aku marah karena mereka mengobrol. Aku cuma tidak mengerti. Apa sih yang mungkin dibicarakan oleh dua manusia yang sangat berlainan ini? Mungkinkah itu terjadi karena ada suatu saringan khusus di antara orang-orang yang memiliki hubungan darah?

*

Meski bersaudara, usia Kumiko dan Noboru Wataya berselisih sembilan tahun. Sebab lain di balik kurangnya kedekatan di antara keduanya yaitu Kumiko pernah tinggal bersama keluarga ayahnya selama beberapa tahun.

Bukan cuma Kumiko dan Noboru anak di rumah keluarga Wataya. Di antara keduanya pernah ada seorang saudara perempuan yang usianya lima tahun lebih tua daripada Kumiko. Akan tetapi, pada usia tiga tahun, Kumiko dibawa dari Tokyo ke pedalaman Niigata untuk dibesarkan neneknya sementara waktu. Nantinya orang tua Kumiko bilang bahwa itu dilakukan sebab dia anak yang sakit-sakitan. Mereka pikir udara pedesaan yang bersih akan baik untuknya. Tapi Kumiko tidak pernah sungguh-sungguh memercayai itu. Seingatnya, dia bukanlah anak yang bertubuh lemah. Dia tidak pernah mengidap penyakit berat, dan tidak seorang pun di rumah Niigata yang betul-betul memerhatikan kesehatannya. “Aku yakin itu cuma alasan yang dibuat-buat,” Kumiko pernah mengatakan itu padaku.  

Keraguannya itu diperkuat oleh perkataan yang dia dengar dari seorang kerabat. Rupanya, ibu dan nenek Kumiko telah lama bermusuhan, dan keputusan untuk membawa Kumiko ke Niigata merupakan semacam genjatan senjata yang mereka sepakati. Dengan memberikan Kumiko untuk sementara waktu, orang tua Kumiko memadamkan amarah sang nenek, dan dengan mengambil seorang cucu, sang nenek memperoleh penegasan yang nyata atas ikatan antara dirinya dan putranya (ayah Kumiko). Dengan kata lain, Kumiko telah dijadikan semacam sandera.

“Selain itu,” kata Kumiko padaku, “mereka kan sudah punya dua anak. Hilangnya anak ketiga tidak berarti apa-apa bagi mereka. Bukan berarti mereka memang berencana untuk membuangku. Kurasa mereka pikir anak kecil tidak akan keberatan diusir dari rumah. Mungkin mereka tidak begitu memikirkan itu. Itulah cara penyelesaian yang paling gampang. Kamu percaya tidak? Entah kenapa, kok mereka sama sekali tidak terpikir akibatnya itu bagi seorang anak kecil.”

Nenek di Niigata mengasuhnya dari usia tiga sampai enam tahun. Hidupnya di pedesaan tidaklah menyedihkan ataupun sulit. Neneknya sangat sayang padanya, dan Kumiko lebih senang lagi bermain dengan sepupu-sepupunya, yang secara usia lebih dekat dengan dirinya ketimbang kakak-kakaknya sendiri. Ketika akan memasuki sekolah dasar, dia akhirnya dibawa kembali ke Tokyo. Orang tuanya mulai khawatir memperlama perpisahan dengan putri mereka, sehingga mereka bersikeras membawanya kembali sebelum terlambat. Akan tetapi, sedikit banyak itu memang sudah terlambat. Berminggu-minggu setelah keputusan untuk membawa Kumiko kembali, sang nenek menjadi semakin gelisah. Ia tidak mau makan dan sulit tidur. Sebentar ia memeluk dan mendekap erat Kumiko kecil, kemudian ia memukul lengannya keras-keras dengan penggaris sampai berbilur. Sebentar ia bilang ia tidak ingin Kumiko pergi dan lebih baik ia mati daripada kehilangan cucunya itu, kemudian ia menyuruhnya pergi dan tidak ingin bertemu dengannya lagi. Ia mengatai ibu Kumiko dalam bahasa yang sekotor-kotornya. Ia bahkan mencoba menikam pergelangan tangannya dengan gunting. Kumiko tidak mampu memahami yang sedang terjadi di sekitarnya. Situasinya terlalu sulit untuk dia pahami.

Maka dia pun menutup dirinya dari dunia luar. Dia tutup matanya. Dia tutup telinganya. Dia matikan memorinya. Dia hentikan segala bentuk pikiran dan harapan. Berbulan-bulan kemudian yang ada hanya kekosongan. Dia tidak ingat apa pun yang terjadi pada masa itu. Selepas dari situ, dia mendapati dirinya berada di rumah yang baru. Itulah rumah tempat semestinya dia berada sejak semula. Tempat kedua orang tuanya, kedua kakaknya. Tapi itu bukan rumahnya. Itu sekadar lingkungan yang baru

Dalam lingkungan yang baru itu, Kumiko menjadi anak yang rumit dan pendiam. Dia tidak bisa memercayai siapa pun. Dia tidak bisa sepenuhnya mengandalkan siapa pun. Bahkan ketika dipeluk orang tuanya, dia tidak pernah merasa betul-betul nyaman. Dia tidak akrab dengan aroma mereka. Dia jadi gelisah, bahkan terkadang membencinya. Di keluarga itu, hanya kepada kakak perempuannya dia mulai membuka diri, itu pun dengan bersusah payah. Orang tuanya sudah putus asa mendekatinya. Abangnya hampir tidak sadar akan keberadaannya. Namun kakak perempuannya itu paham akan kebingungan dan kesepian yang Kumiko rasakan di balik suasana hatinya yang sulit dikendalikan. Ia menemani Kumiko melalui semua itu, tidur bersamanya, mengobrol dengannya, membaca untuknya, berjalan bersamanya ke sekolah, membantunya mengerjakan PR. Jika Kumiko meringkuk saja di pojok kamarnya sambil menangis berjam-jam, kakak perempuannya itu akan menemaninya dan merangkulnya. Segalanya ia lakukan semampunya demi mengambil hati Kumiko. Keadaannya mungkin akan jauh berbeda seandainya kakak perempuannya itu tidak meninggal akibat keracunan makanan pada tahun setelah Kumiko kembali dari Niigata.

“Kalau saja kakakku itu masih hidup, keadaan di rumah mungkin akan lebih baik,” ucap Kumiko. “Dia masih kecil, kelas enam SD, tapi dialah jantung di rumah itu. Mungkin kalau dia tidak meninggal, kami semua akan hidup lebih wajar daripada sekarang. Setidaknya aku tidak akan sebegitu putus asa. Kamu mengerti kan maksudku? Setelah dia meninggal, aku merasa sangat bersalah. Kenapa bukan aku yang berada di posisi kakakku? Aku tidak berguna bagi siapa pun. Aku tidak bisa menyenangkan hati siapa pun. Kenapa bukan aku saja yang mati? Orang tuaku dan abangku tahu persis perasaanku, tapi mereka diam saja dan bukannya menghiburku. Sama sekali tidak. Mereka membicarakan kakak perempuanku yang sudah mati itu kapan pun sempat. Betapa cantiknya dia. Betapa pintarnya. Betapa semua orang menyukainya. Betapa perhatiannya dia. Betapa pandainya dia bermain piano. Lalu mereka memaksaku ikut les piano! Setelah dia pergi, harus ada orang yang memainkan piano besar itu. Padahal aku sama sekali tidak berminat memainkannya. Aku tahu aku tidak akan pernah bisa bermain sebagus dia, dan tidak perlu ada cara lainnya untuk menunjukkan betapa rendahnya aku sebagai manusia dibandingkan dengan dirinya. Aku tidak bisa menggantikan posisi siapa pun, apalagi dia, dan aku tidak mau mencobanya. Tapi mereka tidak mau mendengarkanku. Mereka tidak mau mendengar. Jadi sampai hari ini aku benci melihat piano. Aku benci melihat siapa pun memainkan itu.”

Saat Kumiko menceritakan ini padaku, aku merasa dia sangat marah pada keluarganya. Karena perbuatan mereka padanya dulu. Karena mereka mengabaikannya. Saat itu kami belum menikah. Kamu baru saling mengenal sekitar dua bulan lebih sedikit. Saat itu Minggu pagi yang tenang, dan kami sedang di ranjang. Dia bicara panjang lebar tentang masa kecilnya, seakan sedang menguraikan benang kusut, sambil berhenti sebentar untuk mengingat-ingat setiap kejadian seraya mengutarakannya. Saat itu pertama kalinya dia mengungkapkan begitu banyak tentang dirinya padaku. Aku hampir tidak tahu apa pun tentang keluarganya atau masa kecilnya hingga pagi itu. Yang kutahu dia itu pendiam, suka menggambar, memiliki rambut panjang yang indah, serta dua tahi lalat di bilah kanan pundaknya, dan tidur denganku merupakan pengalaman seksualnya yang pertama.

Dia menangis sedikit saat bercerita. Aku bisa mengerti sebabnya dia perlu menangis. Aku merangkulnya dan membelai rambutnya. “Kalau saja dia masih hidup, aku yakin kamu akan mencintainya,” ucap Kumiko. “Semua orang mencintainya. Cinta pada pandangan pertama.”

“Mungkin saja begitu,” kataku. “Tapi kebetulan kamulah yang kucintai. Itu sederhana sekali, mengerti kan. Cuma di antara aku dan kamu. Kakak perempuanmu itu tidak ada hubungannya dengan ini.”

Sesaat Kumiko berbaring saja sembari termenung. Pada Minggu pagi pukul setengah delapan, segalanya terdengar sayup dan bergaung. Kudengarkan burung-burung merpati mondar-mandir di atap apartemenku, di kejauhan ada orang sedang memanggil seekor anjing. Lama Kumiko menatap setitik noda pada langit-langit.

“Katakan,” akhirnya dia berucap, “apa kamu suka kucing?”

“Suka sekali,” jawabku. “Selalu ada satu sewaktu aku masih kecil. Aku terus-terusan bermain dengannya, bahkan tidur pun bersama-sama.”

“Kamu beruntung. Aku ingin sekali punya kucing. Tapi mereka tidak membolehkan aku. Ibuku benci kucing. Seumur-umur belum pernah aku berhasil memperoleh sesuatu yang benar-benar kuinginkan. Belum pernah. Kamu percaya tidak? Kamu pasti tidak mengerti rasanya hidup seperti itu. Saat kamu terbiasa dengan hidup tanpa pernah mendapatkan apa pun yang kamu inginkan, kamu jadi tidak tahu lagi apa yang kamu inginkan.”

Kugenggam tangannya. “Mungkin itulah yang kamu rasakan sampai sekarang. Tapi kamu kan bukan anak kecil lagi. Kamu punya hak untuk memilih sendiri jalan hidupmu. Kamu bisa mengawalinya lagi. Kalau kamu ingin kucing, kamu tinggal memutuskan jalan hidup yang memungkinkan kamu untuk memiliki kucing. Sederhana saja. Itu hakmu … ya, kan?”

Matanya terus terpaku padaku. “Mmm,” ucapnya. “Betul sih.”

Beberapa bulan kemudian, aku dan Kumiko membicarakan pernikahan.

*

Jika Kumiko melalui masa kanak-kanak yang kacau dan sulit di rumah itu, masa kecil Noboru Wataya pun anehnya sedikit-banyak bermasalah. Orang tuanya sangat sayang pada putra mereka satu-satunya itu, tapi mereka tidak hanya menghujaninya dengan kasih sayang. Mereka juga menuntut hal tertentu dari dirinya. Si ayah yakin bahwa satu-satunya cara untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya di lingkungan masyarakat Jepang yaitu dengan meraih martabat yang setinggi mungkin dan menjegal siapa pun yang menghalangi jalan menuju puncak. Ia memercayai ini dengan keyakinan penuh.

Aku mendengar kata-kata tersebut dari orangnya sendiri, tidak lama setelah aku menikah dengan putrinya. Manusia itu tidak diciptakan sama, ucapnya. Itu cuma omong-kosong yang kedengarannya saja bagus yang diajarkan di sekolah-sekolah. Struktur pemerintahan Jepang boleh saja negara demokratis, tapi pada saat bersamaan masyarakatnya yang hierarkis merupakan pemakan daging yang buas dan yang lemah diganyang oleh yang kuat. Tidak ada gunanya hidup di negara ini kecuali kau menjadi bagian dari kaum elite. Kau hanya akan tergilas menjadi debu di bawah gerinda. Kau harus berjuang demi menaiki setiap jenjang. Ambisi semacam ini sangat positif. Jika masyarakat tidak memiliki ambisi ini, Jepang akan binasa. Aku tidak mengutarakan pendapat apa-apa untuk menanggapi pandangan ayah mertuaku itu. Ia toh tidak menginginkan pendapatku. Ia cuma menyemburkan kepercayaannya, pendirian yang tidak akan goyah untuk selama-selamanya.

Ibu Kumiko putri seorang pejabat tinggi. Ia tumbuh di lingkungan terbaik di Tokyo, tidak kekurangan apa-apa, dan tidak punya pendapat ataupun kepribadian yang menandingi suaminya. Sepengamatanku, ia tidak punya pendapat terhadap apa pun yang berada di luar jangkauan pandangnya (dan sebetulnya, ia memang rabun ayam). Ketika ada situasi yang mengharuskannya untuk mengutarakan pendapat mengenai suatu hal dalam jangkauan yang lebih luas, ia meminjam kata-kata suaminya. Jika itu sudah dimilikinya, ia tidak akan menyusahkan siapa pun. Tapi seperti yang sering terjadi pada wanita seperti dirinya, ia mengidap keangkuhan kronis. Karena tidak meresapi nilai-nilai menurut pribadinya sendiri, orang-orang seperti itu bisa sampai pada suatu pendirian hanya dengan mengambil pendapat atau standar milik orang lain. Satu-satunya prinsip yang mengatur benak mereka hanyalah pertanyaan “Bagaimana penampilanku?” Maka Nyonya Wataya pun menjadi wanita picik dan plinplan yang hanya peduli pada posisi suaminya di pemerintahan serta prestasi akademik putranya. Apa pun yang luput dari jangkauan pandangnya yang sempit tidak berarti apa-apa bagi dirinya.

Maka kedua orang tua itu pun menjejalkan pemikiran mereka yang meragukan serta pandangan dunia mereka yang menyesatkan ke dalam kepala Noboru Wataya muda. Mereka menghasutnya, menyediakan tutor terbaik yang mampu mereka beli. Saat ia menjadi juara, mereka menghadiahi putra mereka dengan membelikan apa pun yang diinginkannya. Masa kecilnya dilimpahi kemewahan materi. Namun saat ia memasuki tahapan hidup yang paling rapuh dan rentan, ia tidak punya waktu untuk berpacaran maupun berkeliaran dengan anak-anak lelaki sesamanya. Ia harus mencurahkan semua energinya untuk mempertahankan posisinya sebagai yang nomor satu. Entah apakah Noboru Wataya senang hidup seperti itu atau tidak. Kumiko tidak mengetahuinya. Noboru Wataya bukanlah jenis orang yang suka mengungkapkan perasaannya. Tidak pada adiknya. Tidak pada orang tuanya. Tidak pada siapa-siapa. Toh ia tidak punya pilihan. Kurasa memang ada pola pikir tertentu yang begitu sederhana dan timpang hingga akibatnya mencengangkan. Setidak-tidaknya, Noboru Wataya lulus dari sekolah lanjutan swasta elite, kuliah di jurusan ekonomi Universitas Tokyo, dan lulus dengan angka tertinggi dari institusi yang ternama itu.

Ayahnya mengharapkan dirinya bekerja di pemerintahan atau perusahaan besar setelah lulus dari universitas. Tapi Noboru Wataya memilih untuk tetap berada di dunia akademis dan menjadi akademisi. Ia bukan orang yang bodoh. Ia tahu tempat yang paling cocok baginya. Bukan dunia nyata dengan kerja berkelompok melainkan dunia yang menghendaki penggunaan ilmu pengetahuan secara disiplin dan sistematis serta menjunjung kecakapan individual si intelek. Ia melanjutkan kuliah selama dua tahun di Yale lalu kembali kuliah di Tokyo. Tidak lama setelah itu ia menuruti dorongan orang tuanya untuk menerima perjodohan, namun pernikahan itu cuma bertahan dua tahun. Setelah bercerai, ia kembali tinggal di rumah orang tuanya. Pertama kali aku bertemu dengan dirinya, Noboru Wataya sudah aneh dan betul-betul pribadi yang tidak menyenangkan.

Sekitar dua tahun setelah aku menikah dengan Kumiko, Noboru Wataya menerbitkan sebuah buku yang besar dan tebal. Buku itu merupakan studi atas ilmu-ilmu ekonomi yang sarat dengan istilah teknis, dan aku tidak paham sedikit pun hal yang berusaha disampaikannya di situ. Tidak ada satu pun halaman yang bisa kucerna. Aku sudah berusaha, tapi tidak maju-maju sebab aku merasa tulisannya itu memang tidak dapat dibaca. Aku bahkan tidak mengerti apakah ini karena isinya yang sangat sulit atau penulisannya itu sendiri yang jelek. Padahal menurut orang-orang di bidangnya itu buku yang hebat. Seorang peresensi menganggap bahwa buku itu merupakan “ilmu ekonomi model termutakhir yang ditulis dalam perspektif termutakhir,” namun dari resensi itu sendiri cuma itu yang bisa kutangkap. Media massa lantas mulai mengenalkan dirinya sebagai “pahlawan bagi zaman baru”. Bermunculan buku-buku yang khusus menafsirkan bukunya. Dua ungkapan yang ia ciptakan, “ekonomi seksual” dan “ekonomi ekskresi”, menjadi kata kunci tahun itu. Koran dan majalah mengangkat karangan khusus mengenai dirinya sebagai salah seorang intelektual zaman baru. Aku tidak yakin siapa pun yang menulis artikel-artikel itu memahami isi buku Noboru Wataya. Aku ragu sekalipun mereka pernah membuka bukunya. Tapi itu bukan soal bagi mereka. Noboru Wataya masih muda, lajang, dan cukup cerdas untuk menulis sebuah buku yang tidak dapat dimengerti oleh siapa pun.

Ia jadi terkenal. Semua majalah mendatanginya untuk membuat artikel penting. Ia muncul di televisi untuk mengomentari persoalan ekonomi dan politik. Segera ia menjadi anggota tetap panel dalam salah satu acara debat politik. Siapa saja yang mengenal Noboru Wataya (termasuk aku dan Kumiko) tidak pernah membayangkan ia akan cocok dengan pekerjaan glamor semacam itu. Semua orang menganggap dirinya sebagai tipe akademisi penggugup yang tidak tertarik pada apa pun selain bidang yang menjadi spesialisasinya. Padahal begitu ia mencicipi dunia media massa, orang hampir-hampir dapat melihat ia menjilati sumpitnya.  Ia piawai. Ia tidak menghiraukan kamera terarah padanya. Ia bahkan terlihat lebih santai di depan kamera ketimbang di dunia nyata. Kami takjub menyaksikan perubahannya yang mendadak itu. Noboru Wataya yang kami lihat di televisi mengenakan setelan mahal dengan dasi yang amat serasi, serta kacamata dengan bingkai dari cangkang kura-kura yang sangat bagus. Rambutnya ditata dalam gaya terkini. Jelas-jelas ia ditangani oleh tenaga profesional. Belum pernah aku melihat ia memancarkan kemewahan seperti itu. Sekalipun ada jaringan yang mengurusnya, dengan begitu mudahnya ia mengenakan gaya tersebut, seakan memang seperti itulah penampilannya sejak dulu. Siapa orang ini? Aku bertanya-tanya saat pertama kali melihat dirinya. Ke mana Noboru Wataya yang asli?

Di depan kamera, ia menjalankan peran sebagai Lelaki Irit Kata. Saat pendapatnya diminta, ia akan menyatakan itu dengan simpel, jelas, dan tepat. Ketika debat memanas dan yang lain semuanya berseru, ia tetap tenang. Saat ada yang menantangnya, ia akan menahan diri, membiarkan lawannya selesai bicara, lantas melumpuhkan argumen orang itu dengan ucapan singkat. Ia telah menguasai seni melepaskan serangan mematikan dengan dengkur dan senyuman. Ia tampak jauh lebih cerdas dan menyakinkan di layar televisi ketimbang Noboru Wataya yang sebenarnya. Entahlah caranya menyempurnakan diri. Ia jelas-jelas tidak tampan. Tapi ia jangkung, ramping, dan memiliki aura terpelajar. Noboru Wataya telah menemukan tempatnya yang semestinya dalam medium televisi. Media massa menyambutnya dengan tangan terbuka, dan ia sama-sama antusias menerimanya.

Sementara itu, aku tidak tahan melihat dirinya, baik di media cetak maupun di televisi. Ia jelas orang yang cakap dan berbakat. Aku sangat mengakui itu. Ia tahu caranya menjatuhkan lawan dengan cepat dan efektif menggunakan kata-kata yang seirit mungkin. Nalurinya seperti hewan dalam merasakan arah angin. Tapi jika orang memerhatikan dengan saksama ucapan ataupun tulisannya, kata-katanya itu tidaklah konsisten. Kata-katanya tidak menampilkan pandangan dunia yang berdasarkan pendirian mendalam. Dunia miliknya adalah suatu jagat yang ia bangun dengan mnggabungkan beberapa sistem pemikiran satu dimensi. Ia dapat menyusun kembali penggabungan itu seketika sebagaimana diperlukan hingga menjadi kombinasi dan permutasi yang cerdik bahkan artistik. Tapi bagiku itu tidak lebih dari sekadar permainan. Kalaupun ada konsistensi dalam pandangannya, itu ketidakkonsistenan yang konsisten, dan kalaupun ia punya pandangan dunia, itu pandangan yang menyatakan bahwa ia tidak punya pandangan dunia. Tapi kekurangan-kekurangannya inilah yang justru merupakan modal intelektualnya. Konsistensi dan pandangan dunia yang mantap itu berlebihan dalam peperangan sengit intelektual yang membara pada segmen-segmen media massa dengan waktu terbatas. Ia sangat beruntung terbebas dari hal-hal semacam itu.

Ia tidak membela kepentingan apa pun, sehingga ia dapat mengerahkan seluruh perhatiannya hanya pada pertempuran. Yang diperlukannya cuma menyerang dan menjatuhkan musuhnya. Noboru Wataya itu bunglon intelektual yang mengubah warna kulitnya menurut lawannya, mengemukakan logikanya seefektif mungkin tanpa aba-aba, dan mengerahkan segenap retorikanya sekehendak hati. Entahlah caranya memperoleh teknik-teknik tersebut, tapi yang jelas ia pandai memikat perasaan pemirsa secara langsung. Ia tahu caranya menggunakan semacam logika yang menyentuh kebanyakan orang. Sekalipun bukan berarti itu harus logis. Yang penting kelihatannya saja begitu, asalkan dapat membangkitkan animo massa.

Keahliannya yang lain adalah menggunakan istilah teknis. Tentu saja tidak ada yang tahu maksudnya, tapi ia mampu menampilkannya sedemikian sehinga orang mengira itu salahnya sendiri jika tidak mengerti. Ia selalu mengutip statistika. Itu terpahat di otaknya, dan mengandung daya persuasif yang dahsyat. Tapi jika setelah itu kita memikirkannya sejenak, kita sadar bahwa tak ada yang mempertanyakan sumbernya ataupun keabsahannya.

Taktiknya yang cerdik ini membuatku marah. Tapi aku tidak pernah bisa menjelaskan kepada siapa pun apa tepatnya yang membuatku kesal begitu. Aku tidak pernah bisa membangun alasan untuk menyanggahnya. Rasanya seperti bergelut dengan hantu. Tinjuku cuma berdesing  menembus udara. Tidak ada sasaran hantam yang kokoh. Aku takjub menyaksikan para intelektual yang mumpuni sekalipun menanggapi dirinya. Anehnya itu membuatku jengkel.

Maka Noboru Wataya pun menjadi salah satu sosok paling cendekia saat itu. Tampaknya tidak ada lagi yang memedulikan soal konsistensi. Yang mereka tunggu-tunggu di televisi cuma pertarungan antar gladiator intelektual. Semakin merah darah yang tertumpah, semakin baik. Bukan soal jika seseorang mengatakan suatu hal pada hari Senin lalu mengucapkan yang sebaliknya pada hari Kamis.

*

Aku pertama kali bertemu Noboru Wataya saat aku dan Kumiko memutuskan untuk menikah. Aku ingin bicara padanya sebelum aku bertemu ayahnya. Kukira, sebagai lelaki yang usianya hampir sebaya denganku, ia bisa dibujuk untuk memuluskan jalanku pada ayahnya.

“Menurutku sebaiknya kamu tidak mengharapkan bantuannya,” kata Kumiko padaku, tampak tidak nyaman. “Aku tidak bisa menjelaskan itu persisnya, hanya dia bukan tipe orang yang seperti itu.”

“Yah, cepat atau lambat aku kan bakal berjumpa dengannya,” ujarku.

“Sepertinya begitu.”

“Coba saja dulu,” kataku. “Siapa tahu saja.”

“Sepertinya begitu,” ujar Kumiko. “Mungkin saja.”

Di telepon, Noboru Wataya terdengar kurang bersemangat akan kemungkinan bertemu denganku. Kalau aku memaksa, ucapnya, ia akan meluangkan waktu setengah jam. Kami memutuskan untuk bertemu di sebuah kedai kopi di dekat Stasiun Ochanomizu. Pada waktu itu ia cuma seorang dosen, jauh sebelum ia menulis buku dan berubah penampilan. Kantong blazernya menyembul karena terlalu sering dimasuki kepalan tangan. Rambutnya paling tidak sudah dua minggu tidak dipangkas. Kaos polonya yang berwarna kuning kecokelatan tidak serasi dengan jas wolnya yang berwarna biru dan kelabu. Tatapannya khas asisten profesor muda yang menganggap uang itu suatu benda asing. Matanya menyorotkan kantuk ala orang yang baru saja keluar dari perpustakaan setelah seharian melakukan riset di antara rak-rak buku. Tapi jika dilihat lebih dekat, tampak adanya tatapan dingin yang tajam menusuk.

Setelah memperkenalkan diri, kukatakan bahwa aku berencana untuk menikahi Kumiko dalam waktu dekat. Aku mencoba menerangkan itu dengan sejujur-jujurnya. Aku sedang bekerja di sebuah biro hukum, kataku, tapi aku tahu itu bukan pekerjaan yang pas untukku. Aku masih mencari jati diri. Bagi orang seperti diriku, memberanikan diri untuk menikah barangkali suatu tindakan nekat, tapi aku mencintai adiknya, kataku, dan aku yakin aku bisa membahagiakan dirinya. Kami berdua dapat saling menyokong dan menghibur.

Ucapanku tampaknya tidak sampai pada Noboru Wataya. Ia duduk sambil melipat lengan dan diam mendengarkan. Setelah aku selesai bicara pun, ia tetap bergeming. Kelihatannya ia sedang memikirkan hal lain.

Sejak awal aku sudah merasa canggung dengan kehadirannya dan menyangka ini memang karena situasinya. Siapa pun akan merasa canggung memberi tahu orang yang sama sekali asing, “Aku mau menikah dengan adikmu.” Tapi sementara aku duduk di hadapannya, suatu perasaan tidak enak mulai menjalar di dalam diriku. Rasanya seperti segala macam kotoran asing berbau busuk menumpuk di ulu hatiku. Bukan berarti ada suatu hal pada ucapan atau perbuatannya yang membuatku jengkel. Wajahnya itu lo. Wajah Noboru Wataya itu sendiri. Menurut intuisiku, wajahnya itu seluruhnya diliputi oleh suatu lapisan. Sesuatu yang keliru. Itu bukan wajahnya yang sebenarnya. Aku tidak bisa mengenyahkan perasaan itu.

Aku ingin lekas minggat dari situ. Sebenarnya aku sudah berpikir-pikir untuk bangkit dan pergi, tapi aku mesti menyelesaikan ini dulu. Aku pun tinggal, sambil menyesap kopi yang hangat-hangat kuku dan menanti ia mengatakan sesuatu.

Saat ia bicara, ia seakan sengaja merendahkan volume suaranya untuk menghemat energi. “Sejujurnya,” ucapnya, “aku tidak paham ataupun peduli pada perkataanmu tadi. Yang kupedulikan itu hal yang sama sekali berbeda, hal yang kuduga tidak kamu pahami ataupun pedulikan. Kesimpulanku yang sesingkat-singkatnya, kalau kamu ingin menikah dengan Kumiko dan dia ingin menikah denganmu, aku tidak punya hak ataupun alasan untuk memihakmu. Karena itu, aku tidak akan memihakmu. Aku bahkan tidak akan memikirkannya. Meski begitu, jangan berharap apa-apa lagi dari diriku. Yang lebih penting lagi, jangan berharap aku mau buang-buang waktu lagi untuk urusan ini.”

Ia menatap jam tangannya dan bangkit. Pernyataannya ringkas dan jelas. Tidak kurang dan tidak lebih. Aku mengerti sekali maksud perkataannya maupun pikirannya terhadap diriku.

Maka hari itu kami pun berpisah.

Setelah aku dan Kumiko menikah, ada beberapa momen ketika aku dan Noboru Wataya, selaku saudara ipar, perlu saling bicara—atau terlibat dalam percakapan serius. Seperti yang sudah ia siratkan, kami tidak punya kesamaan, dan betapapun banyaknya kemungkinan kami berbicara di sekitar satu sama lain, itu tidak pernah bisa berkembang menjadi apa pun yang dapat disebut sebagai suatu percakapan. Seakan-akan kami sedang berbicara pada satu sama lain dalam bahasa yang berbeda. Sekiranya Dalai Lama tengah berada di ambang maut dan musisi jaz Eric Dolphy mencoba menjelaskan kepadanya pentingnya memilih oli mesin menurut perubahan suara pada klarinet bas, dialog mereka barangkali sedikit lebih berarti dan efektif ketimbang percakapanku dengan Noboru Wataya.

Aku jarang mengalami tekanan emosi yang berkepanjangan dalam berhubungan dengan orang lain. Seseorang bisa saja membuatku marah atau jengkel, tapi tidak lama-lama. Aku bisa membedakan antara diriku dan diri orang lain sebagai makhluk dari dua dunia yang berlainan. Itu semacam bakat (bukannya aku sombong, itu bukan hal yang mudah, maka kalau kita bisa seperti itu, itu merupakan semacam bakat—kemampuan istimewa). Saat ada orang yang mengusikku, hal pertama yang kuperbuat yaitu mengalihkan sasaran perasaan tidak enakku itu pada ranah lain, yang tidak ada hubungannya dengan diriku. Lalu kukatakan pada diriku: Baiklah, perasaanku sedang buruk, tapi aku sudah memindahkan sumber perasaan burukku itu ke tempat lain, yang jauh dari sini, dan di situ aku bisa memikirkan serta menguraikan itu saat perasaanku sudah membaik. Dengan kata lain, kubekukan dulu emosiku. Nantinya, setelah kucairkan itu untuk kurenungkan kembali, adakalanya emosiku memang masih tertekan, tapi itu jarang. Seiring dengan berjalannya waktu, racun itu biasanya akan keluar dan tidak lagi berbahaya. Aku akan melupakannya, cepat atau lambat.

Selama hidupku hingga sejauh ini, aku mampu menjaga duniaku relatif stabil dengan menghindari persoalan-persoalan remeh melalui cara pengelolaan emosi sebagaimana tadi. Kesuksesanku selama ini dalam mempertahankan cara yang efektif itu merupakan kebanggaan tersendiri bagiku.

Meski begitu, saat berhubungan dengan Noboru Wataya, cara itu tidak berhasil. Aku tidak mampu menyingkirkan Noboru Wataya ke ranah lain yang tidak ada sangkut-pautnya denganku. Kenyataan itu saja sudah membuatku jengkel. Ayah Kumiko memang orang yang arogan dan tidak menyenangkan, tapi pada akhirnya ia sekadar pribadi berjiwa kerdil yang menggantungkan hidupnya pada sekumpulan keyakinan picik yang usang. Aku bisa melupakan orang yang seperti itu. Tapi tidak dengan Noboru Wataya. Ia tahu orang semacam apa dirinya. Ia juga tahu betul apa yang menjentikku. Kalau ia mau, ia bisa saja menghancurkanku sampai habis. Ia tidak berbuat itu hanya karena ia tidak menaruh peduli padaku. Aku tidak sepadan dengan waktu dan energi yang dihabiskan untuk membuatku hancur. Itulah yang kutangkap dari dirinya. Ia itu manusia keji, seorang egois berjiwa kopong. Tapi toh ia individu yang jauh lebih cakap daripadaku.

Setelah pertemuan pertama kami, ada rasa busuk di mulutku yang tidak hilang-hilang. Rasanya seakan ada orang yang telah mencekokiku dengan segumpal kutu busuk. Meludahkannya pun percuma. Mulutku masih merasakannya. Berhari-hari cuma Noboru Wataya yang ada dalam pikiranku. Aku mencoba pergi ke bioskop dan konser. Aku bahkan pergi ke pertandingan bisbol dengan orang-orang kantor. Aku minum-minum, dan membaca buku yang sejak dulu ingin kubaca apabila sempat. Tapi Noboru Wataya tetap ada, dengan lengan terlipat, menatapku lewat matanya yang sangat keji, mengancam akan mengisapku bagai rawa tak berdasar. Aku jadi gelisah dan permukaan yang kupijak serasa goyah.

Kali berikutnya aku bertemu Kumiko, ia menanyakan kesanku terhadap abangnya. Aku tidak bisa mengatakan yang sejujurnya. Aku ingin menanyakan kedok yang dikenakan abangnya dan tentang “sesuatu” yang keliru di balik itu. Aku ingin menceritakan segala yang kupikirkan mengenai abangnya. Tapi aku diam saja. Aku merasa persoalan ini tidak akan pernah bisa kusampaikan padanya. Kalau aku tidak bisa mengungkapkan itu dengan jelas, sebaiknya tidak usah kuungkapkan saja sekalian—tidak sekarang.

“Dia … lain daripada yang lain, pastinya,” ucapku. Aku ingin menambahkan, tapi aku tidak tahu mesti berkata apa. Dia juga tidak mendesakku untuk meneruskannya. Ia cuma mengangguk tanpa suara.

Semenjak itu, perasaanku pada Noboru Wataya tidak pernah berubah. Ia terus saja membuatku gelisah. Seperti terkena demam ringan yang tidak sembuh-sembuh. Di rumahku tidak pernah ada televisi, tapi secara kebetulan yang janggal, kapan pun aku menatap benda itu di mana pun, ia ada di situ, sedang menyatakan sesuatu. Ketika aku membuka-buka majalah di ruang tunggu dokter, pasti ada gambar Noboru Wataya beserta artikel yang ditulisnya. Rasanya seakan Noboru Wataya sedang menungguku di segala penjuru dunia sohor.

Oke, kuakui sajalah. Aku benci orang itu.



Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)

8 komentar:

Unknown mengatakan...

Lanjutin lagi dong kak terjamahin The Wind Up Bird Chronicle nya. Hehehe.. :D

diyday mengatakan...

Terima kasih, ya, Alan Wafer, mudah-mudahan ... :)

iznaen mengatakan...

Weehh, udah dibuka lagi deng kolom komennya ^^, jujur, Mbak, terjemahan Wind-Up Bird ini saya baca berulang-ulang, seru saja, meski blum ada lanjutannya.

Saya suka cara penulis menggambarkan perasaan lewat analogi-analoginya yang benar-benar luas, imajinatif, dan kreatif. Seperti sedang menonton film, saya tinggal membayangkan "A", lalu penulisnyalah yang melanjutkan "Bra-Kadabra"-nya dengan narasinya yang mumpuni. Benar-benar salut sama Om Haruki. Salut juga sama penerjemahnya yang membaca ini, saya kebantu. Nggak ada kalimat atau paragraf yang ngeganjal pembacaan, Mbak. ^^

diyday mengatakan...

Terima kasih, Naen :-*

Zian mengatakan...

mau lanjutannya kak. makasih

diyday mengatakan...

Salam kenal, Zian Armie Wahyufi. Terima kasih ya sudah meninggalkan jejak di sini. Mudah-mudahan ke depan ada kesempatan untuk meneruskan terjemahan novel ini ^^;

Zian mengatakan...

Saya baca terjemahan KPG, tpi jauh lebih bagus terjemahan ini.

diyday mengatakan...

Terima kasih ^^ Insya Allah saya akan terus belajar untuk memperbaiki terjemahan saya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...