Aku tidak pernah menganggap Bonetown
sebagai lebih daripada sekadar solusi sementara. Namun semakin lama aku tinggal
di sana, bayangan berjauhan dari Frank semakin menggelisahkan aku. Bukan karena
ia pernah mengatakan sesuatu, atau berbuat apalah. Lebih karena kenyataan
mendasar soal dia yang menenteramkan hatiku. Entah bagaimana, ia terlihat dapat
menopang berbagai hal, serupa dinding penyangga yang menahan dinding penting.
Hal
itu terasa kian masuk akal kala berada di antara rongsokan, bagian-bagian yang
dibuang dari kehidupan-kehidupan yang kandas. Maka aku membawa piano dari rumah
dengan van milik Frank, dan menjejalkannya ke ruang tamu, dan malam-malam
sepulang kerja—selagi Droyd, yang sedang diajari dasar-dasar Perbaikan Panel
oleh Frank, memalu-malu kandang yang dibuatnya untuk Malam Perpisahan yang
Panjang, sedang Laura menggantung gambar-gambar bunga dalam bingkai kayu dari Habitat, atau menyisir barang-barang hasil penyelamatan hari itu
kalau-kalau ada yang cocok dengan skema warna yang direncanakannya untuk
apartemen itu, sementara di bawah jendela para penjual narkoba menjajakan dagangannya
dan para pencandu gemetar takluk, adapun Frank mengorok lembut, dengan
kebapakan di hadapan tayangan berita televisi yang volumenya dimatikan—aku
mengulik potongan-potongan melodi yang datang kepadaku, atau barangkali pernah
kudengar dari sesuatu tempat: di pemutar pelat milik Bel, mungkin, si Dylan
itu, atau si perempuan yang dengan nada lemah gemulai menyanyikan lagu tentang
mesin pencuci piring atau cerek penyaring kopi. Hingga suatu hari aku berhenti
di depan pintu depan dan, dengan lipstik yang tidak kunjung kukembalikan kepada
Bel, menambahkan huruf C merah terang pada grafiti yang ada di situ.
“Charm the Homeless[1],” baca suara mendengung di belakangku.
Aku berbalik dan melihat seorang bocah compang-camping yang mengenakan sweter.
Sejenak kemudian baru aku mengenali dia tidak seperti biasanya bawa-bawa troli dan antek.
Sebelum aku sempat menanyai dia ke mana yang
lain-lainnya itu, ia sudah bergegas menjauh.
Aku
jadi mengambil pekerjaan di gudang temannya Frank. Aku bekerja di sif terakhir,
dari pukul dua siang sampai setengah sebelas malam, mempersiapkan semuanya yang
akan diangkut besok hari. Gudang tersebut merupakan pusat distribusi untuk
sebuah perusahaan yang memproduksi seragam. Produknya dibuat di Afrika kemudian
dikapalkan kemari untuk dikirim ke berbagai tempat di dalam negeri. Tugasnya
adalah memisahkan produk tersebut menurut pesanan: dengan bendo menarik setiap
barang dari rel yang naik ke langit-langit, mengemas barang-barang itu ke dalam
dus-dus yang telah kurakit sebelumnya, serta memeriksa nama dan alamat pada
formulir pemesanan rangkap tiga. Pekerja lainnya hanya seorang bisu-tuli
bernama Rosco yang biasanya tidak mengusikku. Keadaannya di sana menenteramkan, di antara gang-gang
berisi celana dan jaket yang tak terpakai—aku merasa seperti di museum, museum
yang menjaga masa kini. Biasanya pada sekitar pukul sembilan, segala pekerjaan
sudah beres. Bila aku sudah selesai menyapu serta menyusun beberapa puluh dus
untuk besok, aku bisa beristirahat di kursi dan meja tulis reyot yang aku
selundupkan di ujung gang seragam perawat. Tersembunyi oleh tumpukan tunik dan
rok rumah sakit yang putih lagi masih baru, aku pun mulai menulis.
Pada Malam Natal 1958, sehari sebelum ia
harus kembali ke Hollywood setelah empat tahun absen, Gene Tierney mengalami
gangguan mental setotal-totalnya. Awalnya ia sudah baik-baik saja: ia sudah
pulih bersama ibunya di Connecticut; Life
dan Time telah menulis artikel
tentang dia dengan nuansa “Bintang yang Lahir Kembali” dan “Selamat Datang
Kembali Keindahan yang Terluka”. Namun pada malam sebelum penerbangan, tanpa
pertanda apa-apa, ia kacau sama sekali. Alih-alih California, ia
terjaga—seperti Dorothy yang telah kembali dari Oz—dan mendapati dirinya di
Kansas. Tempat itu adalah Klinik Menninger, institusi ketiga dan terakhir yang
merawatnya. Dokter yang menjalankan klinik tersebut tidak memercayai keampuhan
ECT. Alih-alih, Gene didorong untuk mengerjakan hal yang dia inginkan. Yang dia
inginkan ternyata merajut. Ia merajut permadani dan bantal. Ia merajut alas
sofa, syal, dan gaun utuh. Ia merajut terus berbulan-bulan, dan
berangsur-angsur ia pun pulih kembali.
Ketika
akhirnya ia dapat kembali ke Hollywood pada 1962, jaringan studio yang dulu
menciptakan dia telah lama tiada. Karena riwayatnya, perusahaan asuransi tidak
hendak memberi jaminan kerja padanya. Otto Preminger lah—yang menjadi sutradara
Gene dalam dua dari film-film terbaiknya, Laura
dan Whirlpool—yang memberi jaminan,
dengan mengancam para produsernya bahwa ia akan menghentikan produksi film
apabila Gene tidak diberi bagian, dengan atau tanpa asuransi. Gene pun diberi
peran: kameonya di Advise and
Consent memungkinkan dia untuk menyelesaikan
kontrak dengan Fox. Sesudah itu, ia pensiun di Houston, menikahi seorang
jutawan, dan tidak pernah menginjakkan kaki di rumah sakit jiwa lagi.
Para
dokter berspekulasi bahwa problem Gene tidak akan pernah muncul sekiranya ia
tidak pernah memilih akting. Ia tumbuh di kalangan atas dan pada kalangan atas
ia kembali: baru ketika ia melangkah di depan kamera segalanya menjadi
porak-poranda. Meski begitu, bagiku ini tidak tepat.
Sebut
saja, para mantan kekasihnya. “Untuk seorang gadis cantik dan cerdas,” kata
Dana Andrews padanya dalam Laura,
“sungguh kau ini membuat dirimu dikelilingi sekumpulan orang tolol yang luar
biasa.” Gene lemah terhadap lelaki-lelaki tipe aristokrat—pangeran Rusia tanpa
hak waris, kandidat presiden, miliuner pengembara, dan lain-lainnya—contohnya
saja Howard Hughes, sebelum mengandaskan pesawatnya di jalanan Beverly Hills.
Para lelaki itu menginginkan Gene atas alasan yang sama dengan studio-studio:
kecantikannya yang bak bintang, dan seperti yang diperbuatnya demi
studio-studio, ia mengubah, memutasikan, dan menyusun ulang kecantikan ini
menjadi bentuk yang sesuai dengan kehendak para lelaki itu, hingga tidak ada
lagi yang tersisa.
Akan
tetapi, hubungan-hubungan ini hanyalah variasi pada tema yang telah ditetapkan
jauh sebelumnya dengan ayahnya, Howard Tierney Sr. Gene tumbuh dengan memuja
ayahnya. Tak diragukan lagi, ayahnya merupakan figur yang kuat: seorang moralis
yang keras, yang membawa Gene ke gereja setiap Minggu; jago keuangan yang
membangunkan dua rumah bagi keluarganya, mendaftarkan mereka ke klub janapada
terbaik di Connecticut, memperlengkapi mereka dengan pelayan, kuda, kapal,
mengirim putrinya ke sekolah berasrama di Swiss bersama-sama putri Marlene
Dietrich serta calon istri seorang maharaja.
Gene
memuja ayahnya dan sepanjang era tiga puluhan Gene menyaksikan ayahnya mengerut
jadi lelaki yang saking terlumpuhkan oleh utang dan Depresi sampai mulai
membawa pistol ke mana-mana supaya jika yang terburuk menjadi semakin buruk dan
mereka tidak punya apa-apa lagi, ayahnya bisa bunuh diri sehingga keluarga bisa
memperoleh asuransi. Ketika awal Gene memutuskan untuk berakting—setelah
penemuan ala cerita dongeng di kaveling Warners, saat liburan lintas Amerika
bersama Pat, Howard Jr, dan Ibu—niatnya adalah untuk membantu keluarga,
membantu ayahnya, mengembalikannya ke pria yang semula.
Maka
ayahnya pun menjadi broker kontrak pertamanya, seraya memperingati Gene akan
tipu daya dunia film. Ketika ibunya pindah ke Hollywood untuk mengawal Gene,
ayahnya tinggal di New York dan mendirikan PT Bell-Tier untuk mengelola
penghasilannya. Gene menjalani hidup sesuai dengan parameter yang ditetapkan
ayahnya—ia mengendarai mobil kecil, membuat sendiri pakaiannya—dan segalanya
berlangsung baik, hingga Gene kawin lari dengan Cassini sedangkan ibu Gene
pulang dengan muak ke New York lantas mendapati bahwa suaminya berselingkuh
dengan sahabatnya sendiri, yang telah diamanatinya untuk “menjaga dia”
sementara ia jauh. Sahabat ibunya itu merupakan putri dari taipan kereta api
dan memiliki kekayaan atas namanya sendiri. Pada sahabat ibu Gene tersebut,
Howard Tierney Sr akhirnya melihat jalan keluar untuk keluar dari
utang-utangnya. Malah, hubungan ini telah berlangsung lama. Malah, alasan ayah
Gene mengirim keluarganya untuk berlibur lintas Amerika itu memang supaya ia
dapat menghabiskan musim panas berdua saja di New York dengan selingkuhannya
itu. Sekarang, setelah mencela-cela putrinya kepada pers, ia mengumumkan tengah
menceraikan ibu Gene dan menikahi si sahabat.
Gene
tidak semata kecewa mendapati jejak kotor ayahnya. Ada lagi yang lain: karena
ketika Gene meminta kesepakatan baru dengan studio, supaya gajinya langsung
diterima olehnya alih-alih perusahaan yang didirikan ayahnya, ayahnya itu
menuntut Gene sebesar lima puluh ribu dolar atas pelanggaran kontrak. Ketika
Gene memenangkan tuntutan, dan untuk pertama kali melihat rekening tabungannya
di PT Belle-Tier—semua uang yang telah dihasilkannya dari Hollywood dan dengan
patuhnya dikirimkannya kepada ayahnya, yang telah mengelolanya dengan teramat
sangat ketat—jumlahnya kosong, nol, nihil: tidak ada sepeser pun di rekening
itu.
Cuma
dua kali lagi Gene bertemu ayahnya. Yang pertama, Gene sedang dalam pengaruh
obat penenang dan tidak mengenali ayahnya. Kali lain, ayahnya datang ke rumah
Gene dan berkata, sewaktu hendak pergi, “Yah, Gene, sepertinya kita sama-sama
sudah mendapatkan yang kita inginkan.”
Karena
itulah, pastinya, bergantinya jutawan demi jutawan, pertukaran kecantikannya
demi jaminan kepastian bahwa bagaimanapun mereka akan mengkhianatinya, dia
tidak harus melihat mereka surut begitu saja: ia tidak harus melihat mereka
memecat pembantu, atau menjual kristal sepotong demi sepotong, atau
membawa-bawa pistol kalau-kalau yang terburuk menjadi lebih buruk; apa pun yang
akan terjadi lagi, akan selalu ada jaminan, akan selalu cukup untuk membayar
biaya perawatannya di rumah sakit, serta biaya perawatan putrinya di rumah
sakit.
Orang
bisa saja membantah bahwa pria-pria dalam kehidupannya lah—para kekasih,
ayahnya, para sutradara, para produser, para kritikus—yang menghancurkan dia.
Namun bila dilihat secara garis besar, mereka tampak lebih menyerupai agen
kolektif dari suatu kuasa buruk yang lebih kelam dan lebih besar yang
mengejar-ngejar Gene. Seakan-akan kecantikan epik Gene entah bagaimana
menggusarkan para dewa, sehingga menjatuhkan hukuman ala Prometheus yang sepantasnya; dan si gadis di balik kecantikannya
ini, si gadis baik-baik dari Connecticut yang pada akhirnya akan bertanya-tanya
apakah, jika hidupnya merupakan suatu film, dia akan terpilih untuk memainkan
perannya—mendapati dirinya telah menyasar ke dalam suatu tragedi Yunani.
Duduk
di antara seragam-seragam dalam gudang yang serupa gua besar, aku berusaha
untuk tidak memikirkan soal ini. Aku berusaha untuk berkonsentrasi pada yang
baik-baik saja: nominasi Oscar untuk Leave
Her to Heaven, yang tanpa diduga-duga di dalamnya ia menampilkan
kecemburuan, kegilaan, serta anomi yang cukup mencekam; premier The Razor’s Edge di New York City,
premier besar pertama setelah Perang Dunia Dua, ketika ia berjalan di karpet
merah dalam gaun tule hitam di hadapan ribuan penggemar ….
Tetapi
aku tidak dapat tidak mendengar gaung dari kehidupan yang lain: dalam ibunya
Gene yang bernama Belle, dalam PT Belle-Tier yang disikat habis oleh ayahnya,
dalam A Bell for Adano, Belle Starr,
yang nama tokoh utama perempuannya ia pilih sebagai nama samaran saat ia kawin
lari dengan Cassini ke Las Vegars. Dan, aku bertanya-tanya apakah pernah, di
tengah segala mimpi dan halusinasi itu, membayangkan gadis yang akan hadir lima
puluh tahun kemudian, yang juga akan duduk di bangsal rumah sakit dan bertanya-tanya
siapakah dirinya …. Dan, pada akhirnya aku memutuskan bahwa mungkin lebih baik
untuk lupa: untuk membiarkan dia lenyap ditelan temaramnya siaran larut malam,
kesunyian berdebu di belakang toko loak berdebu yang biasa didatangi pria-pria
kesepian penganggur. Aku menaruh catatanku dalam kotak sepatu dan menyimpanya
di bawah meja tulis dalam kamarku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar