“Aku boleh beli pakaian baru, sayang?” tanya istriku. “Sudah dua tahun aku tak beli pakaian baru.”
“Benar,” sahutku memberengut.
Aku sendiri perlu setelan
baru. Sebagai pria gajian, dari segi praktis, aku yang lebih butuh pakaian
daripada istriku. Tapi kalau aku bilang begitu, bisa-bisa kami berantem
lagi. Sudah pasti kami bakal berantem. Dan, hasilnya istrikulah yang akan
berjaya, seperti biasanya. Ia bersitegas bahwa penghasilanku tak cukup. Bahwa,
sekalipun sudah lima tahun menikah, kami belum mampu punya anak dan masih
tinggal di tempat tinggal sewaan. Aku akan dicelanya tak becus dan dibuatnya
terkelu.
Sementara aku memikirkan bagaimana
mesti menanggapi, pintu apartemen terbuka dan muncul seorang pria paruh baya.
“Halo, halo, halo! Saya
datang, saya datang, saya datang! Tanaka, Tanaka, Tanaka nama saya!”
Pria itu melangkah begitu saja ke apartemen kami, menghampiri meja dapur di mana kami duduk dan terus saja mencerocos sementara kami memandang takjub. “Pakaian baru, ya? Tak perlu itu. Anda jangan beli pakaian baru. Perlukah dia, tuan? Anda tak perlu beli pakaian baru, nyonya. Lihat setelan suami Anda. Sudah mulai usang. Suami Anda yang lebih butuh pakaian baru. Bukan begitu, nyonya? Tapi biar begitu, belum waktunya jahit setelan baru. Yang lama masih layak, tuan. Maka itulah Anda sekalian perlu tabah. Anda betul-betul harus tabah. Kalau tidak, mana bisa menabung? Salahkah saya?”