“Aku boleh beli pakaian baru, sayang?” tanya istriku. “Sudah dua tahun aku tak beli pakaian baru.”
“Benar,” sahutku memberengut.
Aku sendiri perlu setelan
baru. Sebagai pria gajian, dari segi praktis, aku yang lebih butuh pakaian
daripada istriku. Tapi kalau aku bilang begitu, bisa-bisa kami berantem
lagi. Sudah pasti kami bakal berantem. Dan, hasilnya istrikulah yang akan
berjaya, seperti biasanya. Ia bersitegas bahwa penghasilanku tak cukup. Bahwa,
sekalipun sudah lima tahun menikah, kami belum mampu punya anak dan masih
tinggal di tempat tinggal sewaan. Aku akan dicelanya tak becus dan dibuatnya
terkelu.
Sementara aku memikirkan bagaimana
mesti menanggapi, pintu apartemen terbuka dan muncul seorang pria paruh baya.
“Halo, halo, halo! Saya
datang, saya datang, saya datang! Tanaka, Tanaka, Tanaka nama saya!”
Pria itu melangkah begitu saja ke apartemen kami, menghampiri meja dapur di mana kami duduk dan terus saja mencerocos sementara kami memandang takjub. “Pakaian baru, ya? Tak perlu itu. Anda jangan beli pakaian baru. Perlukah dia, tuan? Anda tak perlu beli pakaian baru, nyonya. Lihat setelan suami Anda. Sudah mulai usang. Suami Anda yang lebih butuh pakaian baru. Bukan begitu, nyonya? Tapi biar begitu, belum waktunya jahit setelan baru. Yang lama masih layak, tuan. Maka itulah Anda sekalian perlu tabah. Anda betul-betul harus tabah. Kalau tidak, mana bisa menabung? Salahkah saya?”
Sejenak aku ternganga di
hadapan mukanya yang berkumis jarang sementara ia terus berbicara. Istriku
terbelalak, mata naik turun menyusuri rambutnya yang terpangkas rapi terbelah serta
pakaiannya yang disikat teliti.
Sesaat kemudian, aku menoleh
kepada istriku. “Terbukalah,” kataku. “Perkenalkan. Siapa dia?”
Ia menatapku bingung. “Apa?
Bukannya dia temanmu?”
“Kamu tidak kenal dia?!”
kataku, agak terlonjak saking terkejut.
Istriku juga bangkit, dan
menoleh kepada si pria berkumis. “Anu …. Bisa tolong jelaskan Anda ini, anu,
Anda ini ….”
“Jangan takut, jangan takut,”
sahutnya keras, “Tanaka, Tanaka, Tanaka nama saya!”
Sedang aku tertegak bengong,
ia meraih tanganku, meremasnya kuat-kuat dan mengguncang-guncangkannya penuh
semangat. “Saya maklum. Saya maklum. Anda tak kenal saya. Saya maklum.” Ia
duduk di kursi dan mulai memperkenalkan dirinya.
“Tanaka nama saya, Tanaka,
Konsultan Ekonomi Rumah Tangga, diutus ke blok apartemen Anda oleh enam bank
setempat, Tanaka nama saya!”
“Kamu suruh orang datang?”
aku tanya istri.
“Tidak,” dijawabnya sambil
menggeleng.
“Tanaka, Tanaka, Tanaka nama
saya!!” si pria berkumis bangkit dan berlutut di atas kursi seperti yang
tergesa. “Dengan hormat, nyonya, dengan hormat, Anda pasti telah mencentang
kotak di kuisioner dari bank Anda, yang menanyakan apakah Anda memerlukan
Konsultan Ekonomi Rumah Tangga gratis?”
“Oh … ya,” jawab istriku
samar-samar. “Yah, saya kira, kalau gratis ….”
“Tanaka, Tanaka, Tanaka nama
saya!!” ulang si pria berkumis, seraya mengguncang-guncangkan tangan istriku
penuh kemenangan. “Saya datang. Saya datang!” Mendadak alisnya bertaut.
“Nyonya. Saya tidak dapat menyetujui Anda beli pakaian di tengah kesulitan
finansial sekarang ini. Pakaian Anda masih pada bagus. Tentu, saya paham niat
Anda. Anda sudah lama sekali pakai baju yang itu-itu saja, sudah tidak bagus
lagi, sudah ketinggalan zaman. Tapi tak ada untungnya beli yang baru, nyonya.
Lagi pula, Anda masih muda. Anda cantik. Anda masih pantas mengenakan baju apa
saja. Tuhan membuat orang muda sehat dan rupawan supaya dapat berhemat. Silakan
saja kalau mau beli baju baru. Tapi Anda jadi tidak bisa menabung buat rumah
bulan ini. Atau Anda mau makan sekali sehari saja bulan ini? Anda mau seperti
itu? Mau?”
“Benar. Anda benar, tentu,”
kata istriku, dengan kepala lunglai gulana. “Tidak apa-apa tidak beli baju
baru.”
Aku tertawa resah. Kalau aku
yang bilang begitu, ia bakal menggerutu. Tapi sekarang ketika ada ahli
yang mengatakannya, mau tak mau ia setuju. Kupandang istriku, terheran betapa
kuasa nama dan kedudukan belaka dapat menundukkan wanita.
“Baiklah, kalau begitu.
Bikinkan teh buat tamu ini!” kataku, dengan riang berjabatan tangan dengan si
pria berkumis. “Anda datang di waktu yang tepat! Waktu yang benar-benar tepat!
Hahaha!”
“Baik, aku bikinkan teh.”
Namun seketika istriku akan
bangkit, si pria berkumis menghantamkan bogemnya keras-keras pada meja. “Tak
perlu! Tak ada untungnya menghidangkan saya teh. Teh hanya boleh dihidangkan
pada tamu yang teristimewa. Bahkan teh saja mahal sekarang ini. Kalau haus,
minum air saja. Anda berdua terlalu muda untuk mengerti cita rasa teh. Air saja
sudah cukup buat kalian.”
“Ya, Anda benar sekali,” kata
istriku dengan mata berkaca-kaca.
Kalau begitu, pikirku rada melamun, boros juga ya kalau aku
ajak teman-teman ke rumah.
“Yah, mumpung di sini, barangkali
Anda berkenan memeriksa catatan keuangan rumah tangga kami,” kata istriku.
Si pria berkumis berdiri
terburu-buru. “Tidak. Itu saya tidak bisa, nyonya. Lagi pula, saya mengurus
empat belas keluarga di blok ini. Saya sudah cukup sibuk dengan mendatangi Anda
semua. Di samping itu, untuk catatan keuangan rumah tangga Anda, saya sudah
dapat mereka-rekanya tanpa perlu melihatnya.” Demikianlah, ia beranjak ke ruang
depan dan mengenakan kembali sepatunya. Kemudian, ketika membuka pintu, ia
menoleh kepada kami. “Mau bagaimanapun juga, hindarilah boros. Walaupun
tentunya, kalau sampai Anda berniat boros, saya akan mampir dan memperingati
Anda. Hahahaha!” Dan seketika itu, pergilah dia.
“Kalau memang Konsultan
Ekonomi Rumah Tangga, mestinya kan dia periksa catatan kita!” kata istriku agak
kecewa.
“Kurasa itu menunjukkan
betapa profesionalnya dia,” jawabku. “Cuma sekali lihat saja dia sudah tahu
segalanya tanpa harus memeriksa catatan. Lagi pula, semua rumah di blok ini kan
penghasilan dan jumlah anggota keluarganya kurang lebih sama. Catatannya sudah
pasti sama semua.”
“Yah. Namanya juga ahli,”
istriku mengangguk khidmat mengakui.
Sejak itu, si pria berkumis
mulai hadir di hadapan kami secara teratur. Tidak hanya di apartemen kami, tapi
juga ketika istriku lagi berbelanja di supermarket setempat. Ia bahkan pernah
muncul di restoran dekat tempat kerjaku.
“Halo, halo, halo! Saya
datang, saya datang! Tanaka nama saya!!” Ia memandang satu set makan siang yang
akan kusantap, dan berkata keras-keras, tanpa mempertimbangkan privasi, “Sudah
saya duga. Anda ini seperti yang mampu saja makan di luar! Bahkan Anda pesan
makanan mahal di restoran kelas atas!”
Aku meletakkan pisau dan
garpuku. “Maafkan,” kataku, seraya menundukkan kepala.
“Mulai besok, suruhlah istri membuatkan bekal
makan siang. Kalau mau, saya sendiri yang bilang.”
“Jangan, jangan. Saya saja.”
“Yah, Anda sudah telanjur
pesan, jadi apa boleh buat. Silakan makan,” ujarnya awas sedikit jengkel,
seraya kembali ke tempat duduknya di belakang restoran. Aku menuntaskan makan
siangku tanpa kegembiraan sama sekali. Ketika aku bangkit hendak pergi, aku
mengulurkan leher ke arah meja si pria berkumis. Ia sedang duduk sendirian
makan bistik. Tak ayal lagi—yang dimakannya itu menu bistik premium.
“Tuan Tanaka muncul lagi di
supermarket hari ini,” kata istriku sedikit kesal kala kami makan di rumah
malam itu. “Aku kan mau beli daging, tapi dia bilang mending aku beli perkedel
kentang saja. Dia bilang itu keras-keras di depan semua tetangga kita. Aku kan
malu!”
“Omong-omong,” kataku
ragu-ragu. “Besok malam ada reuni sekolahku. Dua ribu yen per orang. Tahun lalu
aku tidak datang, dan kalau aku tidak datang juga kali ini, mana tahu aku jadi
bahan gunjingan? Mereka bakal bilang aku tak mau unjuk muka karena terpuruk.
Pasti begitu. Orang tak tahan datang ke reuni kelas kalau lagi buntung.”
“Ya, reuni kelasmu,” sahut
istriku tersenyum. “Aku penasaran sama pendapat Tuan Tanaka soal itu!”
“Yah, sekarang sudah pukul
delapan malam. Dia tidak bakal tahu soal itu, kan. Sekalipun dia tahu, aku
sudah kunci pintu, jadi dia tak bakal bisa masuk, kan.”
“Halo, halo, halo! Saya
datang, saya datang, saya datang! Tanaka, Tanaka, Tanaka nama saya!” Si pria
berkumis menggeser-buka pintu berdaun ganda dan masuk dari beranda.
Senyap aku mengerang.
“Anda bilang apa, tuan?
Bilang apa tadi? Reuni kelas?” Ia mendekat dan duduk di samping kami di meja
dapur. “Tak boleh! Akankah hidup Anda berakhir kalau Anda tak datang reuni
kelas, tuan? Pentingkah yang mereka omongkan tentang Anda? Tiap orang juga
pernah jadi bahan gunjingan! Bukankah barusan Anda juga menggunjingkan saya?!”
Ia menggoyang-goyangkan kumisnya.
“Bukan begitu, maksudnya ….”
“Ah, tidak apa-apa, bukan hal
penting. Anda pikir status finansial Anda memungkinkan untuk hadir di reuni
kelas? Tentu tidak. Namun Anda masih mau pergi. Itu murni kepongahan, tuan. Kepongahan
adalah lawan terbesar penghematan. Sebagian orang punya cukup status finansial
untuk menunjang sejumlah kepongahan. Namun Anda bahkan tak memilikinya.”
Kupikir kali ini aku akan
mencoba membela diri di hadapannya. “Tidak apa-apa sedikit memanjakan diri,
bukan?”
Si pria berkumis menggeleng
tegas. “Tidak, tuan. Bukan begitu memanjakan diri. Ya, Anda bisa minum segelas
dua gelas saja. Namun minum-minum di reuni kelas bukanlah pemanjaan diri. Yang
akan Anda peroleh hanyalah keletihan. Ketika Anda saksikan betapa lancarnya
kehidupan teman-teman sekelas Anda, Anda bakal dipenuhi amarah dan benci. Dan
Anda bakal minum lebih banyak untuk menenggelamkan penderitaan Anda. Salahkah
saya, tuan?
Ya, itulah persisnya yang
akan terjadi. Kepalaku melunglai sansai. “Aku paham. Aku tak akan menghadiri
reuni kelas,” kataku. Saking sengsara rasanya, bisa-bisa aku menangis.
Istriku tak kuasa
menyembunyikan kelegaannya.
“Ya ampun, ya ampun, ya
ampun. Lagi-lagi kemewahan yang tak perlu,” ucap si pria berkumis, seraya
memandang bimbang pada meja dapur kami. “Bukan cuma perkedel kentang, tapi
jangan ada lebih dari tiga botol bumbu penyedap rasa juga. Bukannya
berlebih-lebihan. Masalahnya: penyedap rasa itu bukan saja kurang kandungan
nutrisinya, tapi juga meningkatkan nafsu makan. Tahu kan, makan berlebihan itu
buruk bagi kesehatan. Nah itu! Sudah saya duga. Banyak sekali masak nasinya!”
jeritnya kala membuka tutup penanak nasi.
Istriku merona dan kepalanya
lunglai. “Maafkan. Saya cuma ingin membuat masakan kami yang sederhana terlihat
agak lebih mengundang selera,” katanya. Setetes air mata bergulir menuruni
pipinya.
Rasa sengsaraku tak
terperikan lagi. Aku meletakkan sumpitku dan menoleh kepada si pria berkumis.
“Anda membuat kami merasa seperti fakir miskin,” kataku disertai nada sarkasme.
“Saya tak yakin menghendaki itu!”
Namun ia tak menangkap
sarkasme itu. “Apa maksudnya, tuan?” katanya. “Saya membuat Anda merasa seperti
fakir miskin?” Ia bangkit dari tempat duduknya dan berlutut lagi di situ.
“Maksudnya Anda pikir Anda ini bukan fakir miskin? Salah itu. Anda memang
fakir miskin. Sudah jadi fakta yang tak terbantahkan bahwa pekerja upahan
sekarang ini adalah kasta terendah di masyarakat. Orang jualan pisang di pasar
subuh, pedagang dengan keterampilan khusus, mereka menghasilkan lebih banyak
daripada pekerja upahan. Mereka mungkin tak banyak menabung, tapi pengemis
sekalipun masih lebih makmur daripada Anda. Terima sajalah. Pekerja upahan
sering kali gagal dalam hidupnya. Kenapa? Sebab mereka terbebani oleh kompleks
superioritas. Orang sukses adalah yang lekas mengenyahkan rasa superiornya.
Pekerja upahan yang bijaksana adalah yang, walaupun tak mengutarakannya,
menyadari bahwa mereka fakir miskin.”
“Betapa hinanya kita,” ucap
istriku mulai tersedu-sedu.
“Kenapa Anda mengira Anda
hina, nyonya? Jangan begitu,” lanjut si pria berkumis. “Karena begini lo,
menjadi fakir miskin justru membuktikan bahwa Anda bukan orang jahat. Sebagai
pekerja upahan, yang Anda lakukan sekadar menggunakan penghasilan Anda yang
kecil itu untuk menabung demi rumah, membiayai pendidikan anak-anak, serta
menyisihkan pensiun untuk hari tua. Dengan begitu, Anda membantu ekonomi
nasional serta mempertahankan kondisi negara yang sehat. Sama sekali tak perlu
merasa malu, nyonya.”
Kulirik si pria berkumis
sementara ia dengan riangnya melancarkan ceramahnya itu. “Bagaimana mungkin
Anda mengerti betapa sengsaranya perasaan kami?” lawanku. “Lagi pula, Anda kan
mampu makan bistik premium, ya kan.”
Matanya membelalak. “Bisa-bisanya Anda berkata begitu, tuan? Bisa-bisanya Anda?! Oh, begitu piciknya pikiran Anda! Memata-matai orang yang lagi makan, mendengki pada mereka! Sejak kapankah Anda tunduk pada pemikiran keji sedemikian? Itu lebih memalukan daripada kemiskinan. Betapa menyedihkannya. Sungguh-sungguh menyedihkan.” Ia mendongak ke langit-langit sementara air mata berjatuhan dari matanya. “Betapa kemiskinan menumpulkan akal. Orang yang baik makannya, baik juga tumbuh kembangnya, benar perkataan itu. Aduh, aduh. Apakah hidup miskin juga merusak jiwa seorang manusia?”
(Bersambung)
“Hello! Hello! Hello!” dalam kumpulan cerpen Yasutaka Tsutsui Salmonella men on Planet Porno terjemahan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris oleh Andrew Driver, Vintage Books, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar