“Bukan agak lagi!” jawab istri Gorohachi, sambil
berkotek-kotek histeris. “Biasanya, kalian sudah sampai memanjatkan doa!”
“Biasanya kita sudah sampai memanjatkan doa,”
Hatayama mengulanginya kepadaku.
“Tapi aku ini orangnya punya tekad yang kuat,”
lanjut wanita itu. “Tidak seperti Gorohachi. Jadi untung saja aku yang terbang
hari ini.”
“Dia bilang pesawat ini dapat terbang karena tekad
yang kuat,” Hatayama memanggilku dengan suara mau menangis. “Kamu dengar? Tekad
yang kuat!”
“Mereka cuma lagi meledekmu saja karena kamu ini
cengeng kayak bayi,” jawabku.
Sekarang kami dikelilingi oleh awan hitam. Pesawat bekertak dan berguncang lagi. Titik-titik air mulai menetes turun, dari engsel pada kerangka aluminium di langit-langit, ke tikar jerami di lantai. Hatayama memandangku. Tahu dia bakal mulai lagi, aku pura-pura tidak mengacuhkannya. Sehingga dia mendekatkan mulutnya tepat ke telingaku.
“Eh, kamu tahu kan pesawat ini bocor. Hujannya
masuk,” bisiknya.
“Memangnya kenapa.”
“Oh. Bukan apa-apa.”
Tahu-tahu, pesawat itu terjun bebas.
“Oh tidak!” raung Hatayama.
Telapak tanganku yang mengepal erat-erat telah
basah oleh peluh dan keringat dingin mengalir di punggungku.
Di luar, seekor burung camar sedang terbang di
samping pesawat di sebelah jendelaku.
“Jangan-jangan dia Jonathan Livingston[1],”
ujar Hatayama keras-keras. “Dia satu-satunya burung camar yang cukup cepat
untuk dapat menandingi pesawat terbang.”
“Bah. Bukan burung itu yang cepat. Justru kita
yang lambat,” kata istri Gorohachi. “Kita sedang bergerak melawan arah angin,
tahu.”
Hatayama jelas-jelas ketakutan sekarang. “Tapi
kalau kita bergerak sebegini lambatnya, bisa-bisa mesinnya nanti berhenti
dong?”
Wanita itu tertawa. “Ha! Maksudnya kita bakalan
terjun bebas, ya. Belakangan ini sih, tidak ada kejadian begitu sama sekali.”
“Maksudmu sudah pernah ada kejadian begitu sebelumnya?!”
Hatayama melontarkan proyektil dari dalam hidungnya ke lantai.
“Trik yang fantastis!” lagi-lagi si Mata Belekan
terkesan. “Bagaimana cara melakukannya?”
“Semestinya kita sudah hampir sampai sekarang,”
kataku. “Di mana kita sekarang?”
“Ya, di mana-mana.” Istri Gorohachi memiringkan
kepalanya. “Semestinya sudah dari tadi kita sampai. Tapi aku tidak bisa melihat
daratan karena banyak awan. Jangan-jangan kita kesasar.”
“Dia pikir kita mungkin kesasar,” ulang Hatayama
kepadaku dengan mata yang semakin terbelalak saja.
“Ah, tutuplah congormu itu,” teriak istri
Gorohachi seraya mengangkat si bayi yang menangis lebih atas lagi di punggungnya.
Mengira ia yang dimaksud, Hatayama kembali
menundukkan kepala.
“Adakah yang bisa menggantikan? Aku harus menyusui,”
kata istri Gorohachi.
“Baiklah,” sahut si Hidung Merah, dengan acuh tak
acuhnya berdiri.
Hatayama lagi-lagi mengeluarkan ingusnya.
“Biarkan aku keluar.” Ia mulai menangis. “Aku ingin keluar. Di mana
parasutnya?”
“Tidak ada parasut. Tapi ada payung tua yang
sudah rusak di pojok sebelah sana,” jawab si Mata Belekan diiringi tawa sepenuh
hati.
Istri Gorohachi menyerahkan kendali pada si
Hidung Merah kemudian berjongkok di salah satu kursi penumpang. Ia membuka
bagian depan baju terusannya, mengeluarkan payudara seukuran bola sofbol,
lantas menyodokkan puting cokelat ke dalam mulut bayinya.
“Sepertinya kamu bakal marah lagi kalau ada yang
mau aku katakan sekarang,” ucap Hatayama kepadaku dengan bersimbah air mata.
“Benar sekali,” jawabku, seraya menatapnya
lama-lama agar dia tak hendak melanjutkan. “Jadi tidak usah mengatakan
apa-apa.”
“Aku tidak bisa berkata sesukaku, ya?” Ia
menggeliat di tempat duduknya. “Kenapa kamu mesti begitu marah pada apapun yang
kukatakan? Kamu takut diamuk Kepala Editor, kan. Kamu berusaha melupakan
ketakutanmu dengan membayangkan itu. Iya kan.” Ia mengamat-amatiiku dengan matanya
yang merah. “Tapi sebenarnya, kamu juga takut, kan. Walau cuma sedikit.”
“Memangnya kenapa kalau iya?” aku menjerit.
“Memangnya apa gunanya?!”
“Aku lebih takut kehilangan nyawa daripada apapun
kata Kepala Editor nanti. Oke?!” ia balas menjerit. “Karena aku, aku ini cuma
fotografer! Mengerti?! Kalau perlu, aku cari pekerjaan lepas saja. Apa peduliku
kalau Kepala Editor sampai marah dan memecatku?! Tapi tidak dengan kamu. Bukan
karena kamu cinta pekerjaanmu, ya. Kamu cuma takut sama si Kepala Editor. Kamu
takut sama dia karena kamu tidak mau kehilangan pekerjaanmu.”
“Diamlah!” teriakku, seraya berdiri. “Satu patah
kata lagi kutonjok mukamu sampai penyok!”
Menggigil di bawah tatapanku yang menakutkan,
Hatayama menutupi selangkangannya dengan tangan.
“Aku mau buang air,” rengeknya.
“WC-nya ada di belakang,” kata istri Gorohachi,
yang masih menyusui bayinya. “Tapi di situ banyak rongsok. Tempatnya kami pakai
jadi lemari. Jadi kamu tidak bisa pakai itu.”
“Kalau begitu, ke mana dong?!”
Si Mata Belekan mengentakkan kaki pada tikar
jerami di gang. “Di lantai bawah sini ada lubang,” kata dia. “Bagaimana kalau
di situ saja?”
Si Hidung Merah menoleh dari kursi pilot. “Tahan
dulu. Kemungkinan kita bakal melintasi Bukit Rubah. Sebaiknya kamu menunggu.
Bisa sial kalau buang air ke Rubah.”
“Aku tidak bisa tahan lagi!” jerit Hatayama. Ia
menarik tikar jerami itu dan, sembari bertiarap, tergesa-gesa meyodokkan
anggota tubuhnya ke lubang seukuran beberapa inci di lantai. “Sial kau, Rubah,”
erangnya.
Maksudnya kamu yang sial, bukan si Rubah, pikirku.
Suara mesin tahu-tahu meredup. Lantas seluruh
pesawat oleng diiringi bunyi berdesis yang ganjil. Aku melihat ke luar jendela.
Baling-baling sebelah kiri telah berhenti bergerak.
Aku menunjuk ke baling-baling. “Augh. Augh.”
Tidak sepatah kata pun yang keluar.
“Ah, berhenti lagi?” tanya istri Gorohachi. Ia
telah selesai menyusui, dan mengangkat si bayi yang tertidur ke punggungnya lagi.
Kemudian ia menghela tubuhnya naik dari kursi diiringi “Hup” dan kembali ke
alat kendali. “Geser. Aku ambil alih,” kata dia kepada si Hidung Merah.
“Apa yang terjadi?” tanya Hatayama, yang masih
berjongkok di gang.
“Salah satu baling-balingnya mati,” jawabku
seakan itu bukan suatu soal.
Mulailah ia tertawa muram kesetanan. “Heheheh.
Hahahah. Kubilang juga. Bukankah sudah kubilang padamu? Aku sudah bilang.” Maka
mulailah ia menyanyi. “Bintang jatuh hari kiamat ….”
“Bolehkah aku pukul sayapnya dengan gagang sapu
itu lagi?” tanya si Hidung Merah. “Terakhir kali sih manjur.”
“Buang-buang tenaga saja,” ujar istri Gorohachi.
“Kita hampir kehabisan bahan bakar.”
Hatayama menyanyi lebih keras. “Kita akan mati,
tanpa segan-segan ….”
“Oh, lihat,” ucap istri Gorohachi. “Anginnya
sudah meniup awan mendung. Sekarang aku bisa melihat permukaan! Lihatlah betapa
jauhnya kita terbang!”
Korea Selatan kah, aku
bertanya-tanya.
“Sudah sampai surga, kiranya,” gumam Hatayama di
sela-sela isaknya.
“Sepertinya aku telah salah menentukan posisi.
Kita ada di dekat jalan utama di Onuma,” kata istri Gorohachi seraya menekan
tongkat kendali ke arah bawah. “Kita harus mendarat di sana. Lagi pula, di sana
ada pom bensin.
Aku terlonjak. “Mana bisa mendarat di jalan raya
nasional! Nanti mobilnya pada ketabrak!”
“Tidak lah. Tidak akan kenapa-kenapa kok,” kata
si Mata Belekan. “Lagi ada perbaikan jalan di Sejiri, jadi di situ tidak akan
ada banyak kendaraan. Lagi pula karena ada taifun hari ini, tidak bakal ada
orang di jalan.”
“Bagaimana mungkin kamu tahu itu?” raung
Hatayama. “Nyatanya ada pesawat terbang di sini, bukan?”
“Bagaimanapun, kita tidak ada pilihan. Kita harus
mendarat di sana. Kalau di halaman SD, terlalu banyak pohonnya,” sahut istri
Gorohachi, seraya memutar pesawat dengan liarnya.
Pesawat itu pun menimbulkan bunyi berderit keras
dan tampaknya mau patah. Kabin berguncang hebat. Hatayama menangis keras-keras.
Mulutku telah kering.
Lantas aspal kelabu jalan raya tampak tepat di
bawah kami. Persis sebelum pesawat menyentuh ke bawah, sebuah mobil berpacu ke
arah kami dari arah berlawanan. Mobil itu mengebut di bawah sayap kanan
pesawat, cuma berjarak seinci. Pesawat pun membentur permukaan, terpelanting,
dan terpelanting lagi.
Lewat jendela depan aku dapat melihat ada truk
sampah mengarah tepat ke kami.
“Kita bakal tabrakan!” aku berteriak, menguatkan
diri.
“Ah, truk itu bisa kok mengelak,” ucap si Mata
Belekan.
Sopir truk pun panik dan bergerak memasuki ladang
sayuran di samping jalan.
Pesawat terhenti tepat di depan pom bensin. Mungkin
istri Gorohachi memang pilot ahli, pikirku sesaat.
Segera saja begitu kami berhenti, Hatayama
memelesat hendak keluar dan membuka pintu. Mengabaikan tangga, ia melompat
langsung ke aspal, di mana ia sempat jatuh tertelungkup beberapa detik. Persis
ketika aku bertanya-tanya berapa lama dia akan dalam posisi itu, aku menyadari
bahwa sebenarnya dia sedang mencium bumi bagai kegilaan.
Aku menyusul istri Gorohachi menuruni tangga.
Jalan itu mengitari kaki gunung, yang tahu-tahu timbul di belakang pom bensin.
Di seberang jalan itu, tak ada apa pun yang terlihat selain ladang sayuran.
“Kami kehabisan bensin!” teriak istri Gorohachi
seraya tertawa kepada petugas pom bensin yang masih muda itu, yang memandang
kami dengan tatapan heboh. “Diisi yang penuh, ya? Kami harus sampai ke
Shiokawa.”
“Saya belum pernah mengisi pesawat,” kata si
petugas sambil memindahkan bensin ke dalam ceruk bahan bakar pada sayap,
disertai instruksi dari istri Gorohachi.
Si Mata Belekan dan si Hidung Merah turun dari
pesawat setelah kami. “Siap untuk melanjutkan perjalanan?” tanya si Hidung
Merah. Mereka tertawa menghinakan.
Aku melihat ke peta di jadwal perjalananku. Onuma
sekitar dua puluh mil di sebelah timur Shiokawa.
“Aku tidak siap,” jawab Hatayama, seraya
memandang marah kepadaku ketika ia balik keluar dari pesawat membawa tas
kameranya.
“Tapi dekat sini kan tidak ada stasiun kereta,”
kataku berbelit-belit. “Bagaimana lagi caranya kita bisa sampai ke Shiokawa?
Bahkan kalaupun ada orang kasih kita tumpangan, kita tidak akan sempat naik
keretanya.”
Lagi-lagi Hatayama membelalakkan matanya tak
percaya. “Maksudmu kamu mau melanjutkan perjalanan dengan itu?” ia
mengamuk. “Kamu sudah gila, ya! Kamu mementingkan dirimu sendiri saja! Hei,
kalau sebegitunya kamu pengin mati, mati saja sendiri! Jangan ajak-ajak aku!
Aku mau menunggu di sini sampai taufannya reda!” Ia mengangguk-angguk semangat
penuh tekad. “Oke? Aku tetap di sini!”
Aku menyerah berusaha membujuk dia. Sebenarnya,
aku sendiri tidak sebegitunya mau melanjutkan perjalanan dengan pesawat itu.
Namun dengan mempertimbangkan akibatnya kalau aku sampai kehilangan pekerjaan,
aku harus menerima sejumlah risiko. “Sesukamu sajalah. Aku mau naik pesawat itu
lagi. Besok pagi aku sudah akan sampai di kantor.”
“Mungkin saja tidak,” sahut Hatayama diiringi
sebersit senyum.
Nyaris saja aku memukul dia.
“Aku akan sampai di kantor,” kataku. “Aku pasti
akan tiba di sana. Lihat saja.”
“Tidak usah begitu,” istri Gorohachi memberi tahu
petugas pom bensin. Orang itu sudah selesai mengisi tangki bensin dan sekarang
sedang memanjat hidung pesawat untuk mengelap jendela depan. “Sebaiknya kita
berangkat sekarang. Bisa repot kalau ketahuan parkir pesawat di sini.”
“Katanya taifun sedang mendekat dari arah barat
daya,” sahut si petugas penuh perhatian.
Istri Gorohachi menertawakannya. “Tak usah
khawatir. Kami bakal baik-baik saja,” ucapnya ceriwis.
Hujan mulai tercurah dengan derasnya. Aku kembali
naik ke pesawat beserta para petani, meninggalkan Hatayama berdiri sendirian di
luar.
Mulailah pesawat berjalan perlahan-lahan keluar
dari jalan raya. Sementara itu, beberapa mobil membelok masuk ke ladang sayuran
untuk menghindari kami. Segera saja kami kembali mengudara, dan mengarah ke
sebelah barat.
Baru keesokan paginya, selagi kepala staf
menyemprotku sekembaliku ke kantor, aku mendengar kejadiannya. Tepat setelah
kami lepas landas, ada longsor di sisi gunung, sampai mengubur pom bensin itu
dan menewaskan Hatayama berikut si petugas.
“Kenapa kamu tidak ambil filmnya dari dia dulu, sialan?!” teriak kepala staf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar