Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (7) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Ariel Urquiza (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (282) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Samantha Schnee (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (7) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Pengantar (Mark Boyle, 2012)

Daripada cinta, uang, dan ketenaran, berilah saya kebenaran. – Henry David Thoreau Kami sedang berjalan menembus salju yang baru turu...

20250106

Sisa-sisa Pesta di Condesa (Ariel Urquiza, 2018)

Dalam cerita pendek Ariel Urquiza ini, seorang pemuda terpaksa mengantarkan narkoba menggantikan ibunya, tetapi setelah tiba di pesta kliennya, ia merasa tidak hendak merayakannya.

 

“Kau mau apa?” tanya Gabriel ketika membuka pintu.

“Aku Jonathan,” ia berucap. “Anaknya Renata.”

“Wow, aku tidak mengenalimu. Kau sudah besar, ya, hampir setinggi aku. Masuklah. Kau lama juga ya, baru saja aku mau meneleponmu lagi.”

Jonathan mengeluarkan sebuah paket terbungkus kertas cokelat dari ranselnya, menyerahkannya kepada Gabriel. Ruangan depan itu memamerkan sebuah cermin berbingkai emas serta sejumlah pahatan marmer. Melalui sebuah rangka persegi, Jonathan dapat melihat sebagian ruang tengah dan mendengar suara-suara.

“Coba lihat seberapa bagus barang ini.” Gabriel membuka paket itu, mencelupkan sebatang jarinya ke dalam bubuk dan menaruhnya ke dalam mulut sekali, kemudian sekali lagi. “Sulit tidak mencari rumah ini?”

“Tidak, tidak ada kesulitan.”

“Kau lama sekali, sampai aku kira kau dicegat polisi.”

“Ini rumahmu?”

“Kuharap begitu. Rumah di Condesa yang semacam ini? Bukan, ini rumah temanku. Mereka lagi mengadakan pesta dan kehabisan bubuk. Ketika mereka meneleponku, aku tidak punya barang satu gram pun, percaya tidak? Sekarang ini ada banyak permintaan untuk produk ini. Maaf tadi aku membentakmu, aku lagi agak tegang saat kau memanggil. Soalnya aku sudah kasih tahu ibumu dia sebaiknya telepon dahulu begitu tiba dari Peru. Eh, apa dia sudah baikan?”

“Ibuku?” Jonathan terusik.

“Bukankah dia sedang flu?”

“Yah, karena itu dia tetap di hotel.”

Mengenal Renata, sakitnya mesti cukup parah sampai-sampai dia tidak datang sendiri. Sampaikan salamku padanya dan aku bakal segera menelepon dia soal bayaran. Ayo, masuklah. Kecuali kalau kau harus pergi merawat ibumu.”

“Tidak apa-apa, biar dia beristirahat.”

“Kalau begitu masuklah minum-minum dulu. Kau tampak kusut, nak.”

“Hadirin sekalian, pahlawan kita sudah datang membawakan vitaminnya,” ada yang berkata seketika Jonathan memasuki ruangan itu. Ia tidak dapat melihat yang mana orangnya, ia merasa agak kewalahan—oleh rumah itu, orang-orang asing, Rivotril. Ia bahkan memperoleh tepuk tangan.

Namun yang ia saksikan bukanlah pesta sebagaimana dalam bayangannya. Tidak lebih dari enam atau tujuh orang yang ada di ruangan itu yang saking besar beberapa rumah seukuran rumahnya di Arequipa bakal muat di dalamnya. Tiga sofa membentuk huruf U di tengah-tengah ruangan itu, mengitari tumpukan bantal. Tiap sofa berlainan, seakan-akan tiap tamu membawa sofa dari rumah masing-masing. Jonathan duduk di satu-satunya sofa yang tidak ditempati.

“Kau mau minum apa?” tanya Gabriel.

Jonathan duduk menatap Gabriel.

“Bir tidak apa-apa?”

“Yah, tentu, bir, terima kasih.”

Gabriel menyerahkan kepadanya Dos Equis lantas pergi ke dapur atau ke mana untuk menimbang dan membagi-bagi kokain yang akan dijualnya kepada orang-orang itu. Musik elektronik mengalun samar, seakan-akan asalnya entah dari mana. Jonathan merasa dirinya tengah berada di suatu museum walau senyatanya belum pernah ke sana sekali pun, tetapi yang diketahuinya tempat itu sama megah dan menyedihkan.

Bagaimana, Gabriel?” seru seorang bocah pirang. Kenapa lama sekali kudapannya? Apa jangan-jangan kau sedot sendiri semuanya?”

“Bawa kemari, Gabriel! Buat apa lagi kami bayar kau banyak-banyak,” kata pria lainnya. Ia menyerupai badut. Rambut ala Christopher Columbus, celana merah, baju kuning ketat, dengan segelas wiski di tangan gesturnya liar. Terus meracau, sambil sesekali mencumbu seorang gadis cantik yang poninya tak rata, dan sepanjang waktu itu pula si bocah pirang, yang pakaiannya serba putih, menertawakan setiap hal bodoh yang diucapkan badut ini.

Bukannya Jonathan peduli akan apa yang orang-orang ini lakukan atau tidak lakukan. Senyatanya ia tak peduli akan apa pun lagi. Ia datang untuk mengantarkan bubuk sialan itu dan sudah itu saja. Setelah dari sini ke depannya ia tak ada rencana. Ia tak tahu mau ke mana, hendak berbuat apa, bersama siapa. Ia sendiri saja di dunia ini dan dunia ini adalah sebuah mimpi, di atas api. Ia akan membutuhkan banyak bir untuk memadamkan mimpi ini.

Setiap orang tampaknya lupa ia ada di situ. Kegembiraan atas kedatangannya telah berkurang. Maka ia mengamati mereka semua seakan-akan dari sebuah jendela. Orang-orang asing, yang sungguh-sungguh aneh. Misalkan saja, ada pria yang rada-rada tembam. Rambutnya ikal cokelat. Sambil berbaring pada salah satu bantal di lantai bagaikan syekh Arab, menjelaskan reinkarnasi sedemikian mendetailnya kepada seorang gadis pengidap anoreksia. Gadis itu membungkuk dalam-dalam, vertebranya tampak pada blusnya, terpikat oleh kata-kata si pria. Gadis berkepala dicukur yang sedang duduk di karpet samping dinding malah lebih aneh. Melirik ke permadani hiasan pada dinding di sampingnya, berayun maju mundur. Dan pada sofa di sebelah kanan tempat Jonathan duduk, seorang pria bugil total sedang tidur, pantatnya teracung, muka terbenam di bantal.

Satu-satunya orang yang sepertinya menyadari keberadaan Jonathan adalah wanita yang sedang bersandar pada kosen pintu di mana Gabriel menghilang tadi. Wanita itu tampak bergengsi, berusia lima puluh tahun, rambut disanggul ke belakang, berpakaian pesta. Tentu, ini sebuah pesta, sesaat Jonathan lupa, tetapi wanita itu satu-satunya yang berpakaian elegan. Dan wanita itu sedang memandang padanya. Jonathan sadar diri maka ia menghabiskan birnya. Wanita itu bukannya sedang memperhatikan si badut berbaju kuning. Wanita itu tak peduli polisi telah meminggirkan mobil si badut kemudian anjing Rottweiler miliknya melompati si polisi dan dikurung. Anjingnya. Dan si badut harus membayar jaminan. Di Las Vegas, pada hari setelah menikahi seorang gadis yang namanya ia tak ingat dan meninggalkan hotel membawa semua uang tunainya. Senyatanya, tak seorang pun tertarik akan apa pun yang terjadi pada seorang pria yang mengenakan baju kuning ketat, sepatu bot model koboi, dan bercelana panjang merah.

Segera setelah Jonathan menandaskan birnya, kepalanya sudah di alam lain, ia tak dapat mengenyahkan pikiran-pikiran negatifnya, bayangan demi bayangan, saking buruk perutnya bergolak.

Wanita bersanggul itu menghampiri Jonathan dan duduk.

“Kenapa kau menangis?” tanya wanita itu, seraya menyentuh bahu Jonathan.

“Aku tidak menangis, cuma alergi.”

Wanita itu memandangnya bak bibi baik hati.

“Aku sedang memikirkan keluargaku di Peru,” dusta Jonathan. “Sudah lama aku tidak menengok mereka.”

“Kau baru di Meksiko?”

“Tidak, aku sudah beberapa tahun di sini, tapi sesekali aku pulang ke Lima.”

“Kau suka di sini?”

“Yah, tapi belum banyak ke mana-mana.”

“Mari, aku perlihatkan isi rumah ini.”

Wanita itu menggiring Jonathan menaiki tangga ke lantai dua. Mereka melangkah di koridor yang dijajari pintu-pintu di kedua belah sisinya.

“Aku cuma berdua dengan putraku di sini, tapi dahulu mertuaku dan semua anaknya tinggal di sini. Keenam-enamnya, suamiku yang paling muda. Kawan kerabat lainnya selalu berkunjung, masa itu wajar punya rumah sebesar ini.”

Wanita itu berhenti di depan sebuah pintu.

“Trotsky pernah bermalam di sini,” kata wanita itu, lalu melangkah ke sisi supaya Jonathan dapat melihat-lihat. Kertas pelapis dindingnya sudah mengelupas dan karpetnya pun usang, seperti yang sudah bertahun-tahun tak seorang pun masuk ke dalamnya. “Kau tidak kenal Trotsky, ya?”

Jonathan menggeleng.

“Aku sudah kasih tahu Margarita supaya membuka ventilasi semua ruangan,” wanita itu bicara sendiri, sambil memasuki ruangan itu ke seberangnya. “Masuklah. Ini ruang kerja suamiku. Ia meninggal lima tahun lalu, tetapi ruangan ini kujaga supaya seperti sewaktu ia hidup.”

Dinding-dindingnya dijajari oleh lemari penuh buku.

“Apa pekerjaan suamimu?”

“Ia dokter. Dan sejarawan, amatir. Ia ingin putra kami menjadi dokter, atau insinyur seperti pamannya. Namun panggilan jiwa Ignacio adalah seni. Ia seorang seniman grafiti yang mengagumkan, karyanya ada di seluruh penjuru kota.”

“Putramu ada di bawah?”

“Ya, yang berambut pirang berbaju putih. Suamiku tidak bakal suka melihat Ignacio menghamburkan waktunya untuk bersenang-senang, tanpa menghiraukan masa depan. Namun kupikir, buat apa juga suamiku menghabiskan begitu banyak waktunya untuk belajar? Ia tidak pernah gembira, selalu khawatir. Maka aku biarkan Ignacio mengadakan pesta sesukanya. Aku lebih suka ia bersenang-senang di rumah daripada keluar entah ke mana.” Ia terhenti untuk menyeka seunting rambut dari matanya. Nyonya tua itu genit juga. “Kau terlihat sedih. Apa kau rindu keluarga? Atau kenapakah?”

Jonathan tak menyahut. Ia di ambang tangis lagi.

“Kau mengingatkanku pada pacarku semasa kuliah. Ia dua atau tiga tahun lebih tua daripada kau ketika ia tertabrak bus. Aku salah satu penumpang bus itu. Atau bus patas. Aku tak tahu apa sebutannya di Peru. Kekasihku itu tengah menantiku di pemberhentian bus. Yah, mari turun. Aku ambilkan kau bir lagi.”

Di tangga Jonathan mendengar musik reggaeton dan mulai merasa sedikit lebih baik.

“Apa orang-orangnya sudah pada pulang? Gabrel bilang ada banyak orang di sini.”

“Ya, sebagian besar tamu sudah pada pulang. Pesta yang sebenarnya sudah dua malam lalu. Lebih dari lima puluh orang. Banyak dari mereka yang masih di sini semalam.”

Di lantai bawah suasananya telah terangkat. Mereka telah mengisi lubang hidung mereka dengan bubuk yang dia antarkan. Semua orang telah mabuk sepenuhnya. Semua orang kecuali si pria telanjang, yang masih terkapar di sofa. Bahkan si gadis yang tadi sedang mengayun-ayunkan tubuhnya di pojok sekarang mengobrol dengan asyiknya.

Gabriel telah mencari-cari Jonathan. Ia menarik Jonathan ke sisi dan menyerahkan kepadanya segepok uang. Gabriel akan menyerahkan sisanya beberapa hari lagi, ia akan menelepon ibu Jonathan Rabu.

“Aku mau pergi. Kau juga, kan?” tanya Gabriel, tetapi Jonathan mengatakan tidak, jika Gabriel tidak berkeberatan, Jonathan masih mau berada di sana. Menurut Gabriel, sebaiknya jangan.

“Jangan dengarkan dia,” kata nyonya rumah. Sedari tadi ia menguping. “Kau boleh terus di sini selama yang kau suka.” Maka Gabriel melambaikan selamat tinggal kepada semua orang dan wanita itu mengantarkannya ke pintu depan. Jonathan duduk di sofa yang tadi. Ia tidak hendak repot-repot mengambil bir lagi sendiri.

Ia berusaha memusatkan perhatian pada apa yang sedang berlangsung di ruangan itu untuk mencegah dirinya memikirkan apa pun selain itu. Apa pun yang selain itu adalah ibunya, hotel itu, serta hari terburuk dalam kehidupannya. Lebih buruk daripada semua kejadian ayah tirinya memukuli dia sewaktu kecil, bahkan lebih buruk daripada ketika ia mendapati bajingan itu menendangi ibunya di lantai, dan, terbutakan oleh benci, membenamkan pisau ke perut lelaki itu. Ia bertanya-tanya apakah segala yang baru saja terjadi di hotel adalah suatu keadilan yang setimpal; ia tak dapat menyingkirkan bayang ibunya dari benaknya, kulit kelabu wanita itu yang menempel pada seprai putih hotel, dan ia berusaha sekuat tenaga untuk mengenyahkan pikiran-pikiran itu dari kepalanya, bahkan dengan mendengarkan ketololan-ketololan yang disemburkan oleh si badut tanpa gelas wiski di tangan, kini pria itu sedang memegang sebuah piring besar penuh bubuk putih. Orang itu makin imbesil saja daripada sebelumnya, kokain telah menguasai kepalanya.

“Pada akhirnya, ini cuma sampah,” kata si pandir. “Sampah bernilai, aku tak akan menyangkalnya, tapi efeknya cuma bikin kita lupa daratan, seolah-olah kita dapat mengubah dunia, padahal kenyataannya kita tak dapat mengubah apa-apa.”

Si badut meletakkan piring berisi kokain itu di atas kepalanya, seperti pelayan membawa baki, dan memandangnya saja membuat jantung Jonathan berdegup kencang.

“Sekarang kita mengisap opium saja,” kata si badut. “Kalau terus yang ini, bisa-bisa sampai sebulan kita tidak tidur. Lagi pula, kokain itu sudah basi. Opium membuat kita bijaksana, membuka mata ketiga kita.”

Stop omong kosongnya, batin Jonathan, tak ada yang dapat membuatmu bijaksana dan aku yang bakal membukakan mata ketigamu jika kau tidak menurunkan piring itu ke meja.

“Bagaimana menurut kalian jika mengakhiri saja Masa Putih ini, simbol dekadensi Barat?”

Mereka semua tertawan mendengarkannya seakan-akan ia semacam genius. Ketika itulah si badut melontarkan piring itu ke atas, menumpahkan seluruh kokain ke lantai, dan mulai tertawa-tawa.

Sekali lagi Jonathan merasa ingin menangis, kali ini karena marah. Ia mengedarkan pandang ke seputar ruangan itu mencari nyonya rumah, entah kenapa, barangkali karena wanita itu satu-satunya orang waras di tempat itu, tetapi Jonathan tak melihatnya. Maka ia berdiri, menyambar botol bir dari lantai dan menghantamkannya ke sisi meja. Ia merenggut si badut dari belakang, menjambak kepalanya dengan satu tangan dan menodongkan pecahan botol kaca itu ke leher dengan tangan lainnya.

“Jangan hamburkan barang itu, sialan,” katanya. “Kau tak tahu apa yang mesti dilalui ibuku demi membawakan kokain kepadamu. Diam dan dengarkan! Ibuku membawa kokain ini ke Meksiko di dalam ususnya, kau paham? Seratus tiga puluh kapsul. Dan karena ada satu kapsul bangsat yang meletup, ibuku mati, dan dia bisa menyaksikan semua ini dari surga dan pastinya tak akan suka melihat ini, banci. Jadi kau sedot itu semua. Sedot itu semua sekalian sama jembut cewek-cewek ini, begitu kau harus menyedotnya. Karena ibuku mati gara-gara sampah ini dan aku bahkan tidak mampu membayar pemakamannya sehingga ia tak mendapatkan penguburan yang layak. Tidak! Diamlah sialan!” Si pria bugil telah bangun dan bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Namun tak seorang pun menjawab. Bahkan tak seorang pun mengejap. “Aku harus minum sampai mabuk dan membelek ibuku dengan pisau, paham maksudku? Aku membelek dia untuk mengeluarkan semua bubuk yang kau campakkan ke mana-mana kayak tepung. Lalu aku harus meninggalkan mayat ibuku di ruangan hotel karena aku tahu kalau aku tidak mengantarkan sampah sialan ini mereka bakal menemukanku dan menghabisiku.”

Sekarang si badut berlutut, memohon maaf, tepian botol menempel di arteri karotisnya, berpura-pura menangis minta belas kasihan, sementara si gadis cantik berponi serta si pengidap anoreksia muntah di karpet.

“Semuanya supaya kau dan kawan-kawan bodohmu bisa berpesta. Kau dengar, bersihkan bubuk ini dari lantai dan sedot sekarang juga. Dan kalian semua sedot seluruhnya yang tercecer di meja. Ayo! Aku ingin lihat kalian semua menyedotnya!”

Nyonya rumah muncul dan memintanya untuk melepaskan si badut. Jonathan melakukannya, tetapi pertama-tama ia letakkan kaki di bahu si badut dan mendesakkan kepala orang itu ke karpet. Lantas ia menyambar ranselnya dan melangkah keluar, seraya membanting pintu.

Malam telah turun dan saat itu dingin ketika ia berkelana memasuki kegelapan.[]

 

“Resabios de una fiesta en la Condesa” © Ariel Urquiza. Terjemahan dari bahasa Spanyol ke bahasa Inggris oleh Samantha Schnee © 2018 dalam Words Without Borders edisi November 2018, "Remains of a Party in Condesa".

 

Ariel Urquiza lahir di Argentina pada 1972. Ia pernah belajar jurnalisme dan kini bekerja sebagai penerjemah bahasa Inggris-Spanyol. Pada 2013, novelnya Ya pueden encender las luces dinominasikan untuk Eugenio Cambaceres Prize dari Perpustakaan Nasional (Argentina). Pada 2016, buku cerita pendeknya No hay risas en el cielo (ditampilkan dengan judul Ni una sola voz en el cielo) memenangkan Casa de las Américas Prize. Ia telah menerbitkan banyak cerita pendek dalam antologi dan majalah.

 

Samantha Schnee adalah editor pendiri di Words Without Borders. Terjemahannya atas The Goddesses of Water, kumpulan karya penyair Meksiko Jeannette Clariond, diterbitkan oleh Shearsman Books di Inggris (Agustus 2021) dan World Poetry Books di Amerika Serikat. Terjemahannya atas novel kedua terakhir dari Carmen Boullosa, The Book of Anna, diterbitkan oleh Coffee House Press tahun lalu, dan terjemahannya atas karya Boullosa Texas:The Great Theft dinominasikan untuk PEN America Translation Prize. Ia adalah pengawas pada English PEN, di mana ia mengetuai komite Writers in Translation dari 2014-17, dan pada saat ini bertindak sebagai sekretaris American Literary Translators Association. Lahir di Glasgow, Skotlandia, ia tinggal di Houston, Texas.

Tidak ada komentar: