1982. Bertahun-tahun sudah sejak kepergiannya. Gumamkan,
“Apa?” “Hah?” “Diamlah”, di dekat kulkas yang tengah dimatikan. Benda itu
berkeriat-keriut seakan tengah kesakitan, mengerang, sampai bongkahan es
terakhir runtuh dari langit-langit freezer,
seakan takluk.
Bermimpilah, dan di dalam mimpimu itu
bermunculan bayi-bayi yang tingkahnya seperti anjing dachshund, segembul balon udara pada perayaan Thanksgiving,
melayang-layang di dekat puncak pohon.
Operasi penanaman jantung buatan permanen
dari poliuretan dilakukan untuk pertama kalinya.
Penghuni lantai atas tengah memainkan
rekaman lagu “You’ll Never Walk Alone”. Sekarang “Oklahoma!” yang diputar.
Mestilah mereka memiliki albumnya Rodgers dan Hammerstein[1].
1981. Di kendaraan umum, para ibu dengan malaikat kecil
mereka yang lembut dan gembil menatapmu. Wajah mereka menyorotkan rasa iba yang
bertubi-tubi. Malaikat-malaikat kecil berbaju korduroi itu tampak mungil dan
anteng. Ada juga yang tak henti-hentinya merepetkan warna bangku bis:
“Biru-biru-biru, merah-merah-merah, kuning-kuning-kuning.” Para ibu melihatmu
mengamati anak mereka. Mereka tersenyum simpatik. Mereka yakin kau iri pada
mereka. Mereka yakin kau tidak memiliki anak. Mereka yakin mereka tahu
sebabnya. Berpalinglah lekas, pada pemandangan di balik noda yang melapisi
jendela bis.
1980. Benda-benda yang berkeletak, berbenturan, dan
berdesis di dapur menjadi sebagian dari suara-suara yang mengendalikan hidupmu.
Denting peralatan makan di dalam rak, bertindihan bagai tulang-belulang di
kuburan massal. Kau mulai mengarang perumpamaan yang muram, dan payah.
Reagan terpilih menjadi presiden, padahal
kau membagi-bagikan donat dan brosur pada orang-orang agar mereka memilih
Carter.
Kencani orang Italia. Ia mengelus
perutmu dan berucap, “Ini tanda peregangan kulit, bukan? Stretchmark?” sementara dalam benakmu yang keruh kau terpikir: Marks of Harpo, Gagasan-gagasan Marx, Ides of March, Awas. Ia membenamkan
kecupan di lereng lehermu. Kau tertidur menghadapnya. Celana dalammu tanggal
dan bergantung di sebelah pahamu seperti kait stoking.
1979. Sesekali lakukanlah perjalanan malam melewati rumah
tua tak laku tempatmu dulu bertumbuh. Rumah itu menebarkan suasana menyeramkan
di persimpangan jalan pedesaan dua jam dari tempat tinggalmu sekarang. Rasanya
seperti Halloween: penggaru, padang rumput yang diterangi cahaya bulan, mamut,
pepohonan yang mekar, dahan dan rantingnya terangkat ke langit yang tak
berbintang bagaikan lidah api, retakan, peta aliran sungai. Bayang-bayangnya
yang kelam memantul ke sisi serambi sebelah timur. Lainnya menjelma
bayang-bayang lamunan. Berputarlah di pojokan jalan perlahan-lahan sembari
terus mengamati dari balik jendela mobil. Rumah itu terpendam jauh di dalam
dirimu. Kau menyadari adanya satu hal yang tak berubah dari tempat ini, begitu
menurutmu, entahkah itu suara di atas gemintang sana, bayangan di serambi, atau
selembar kain yang entah bagaimana tersangkut di ranting. Dalam embusan angin
yang rasanya terlalu hangat pada malam
musim gugur, ada satu hal yang tak beres pada jendela di menara kecil yang
tampak olehmu dari kejauhan. Terlihat dari sebelah luar, namun tak bisa
dijangkau dari sebelah dalam. (Ada cerita seram dari masa kanak-kanakmu: “Ada
sebuah ruangan yang misterius. Jendelanya kelihatan dari depan, tapi kau tidak
bisa memasukinya. Tidak ada pintu. Seorang dokter tinggal di sana
bertahun-tahun lalu dan melakukan operasi diam-diam. Sekarang jendelanya
ditutup.”) Jendela itu bergeming pada menara bagai mata yang buta.
Kau melihat bayangan di semak-semak. Penampakannya
bagai patung yang bergerak.
1978. Makamkan ibumu di sisi selatan halaman rumah
bernuansa Halloween itu. Abangmu dan anak-anaknya hadir di sana. Peluklah
mereka. Pendeta yang mengenakan mantel olahraga dari wol, lahan-lahan yang tak
berpenghuni, persimpangan jalan, semuanya tampak seperti Kansas yang
sebenarnya. Doa dilantunkan, lalu seseorang menyekop tanah. Orang-orang
berjalan menuju mobil, dan berpelukan lagi. Masuklah ke dalam mobil dengan
keponakanmu. Tunggu sejenak. Tataplah kaca depan. Di langit November sekawanan
burung melintas ke arah selatan. Baris yang paling pinggir dan yang paling ujung
dalam formasi secara misterius berubah posisi, bergantian, mengalir seperti
air, menyilang bagai kaki peselancar. “Insting akan menuntun mereka untuk
mendarat di pohon di suatu tempat,” katamu, “tapi nanti setelah bermil-mil
jauhnya.” Kau mengamati dengan kagum, sampai, selamban ameba, mereka berupa
titik-titik hitam yang tersemat jauh di horizon. Kau belum juga menjalankan
mobil. Keponakan yang sedari tadi bergeming di sampingmu akhirnya bersuara:
“Bibi Ginnie, akankah kita menyusul yang lainnya ke restoran?” Tataplah ia.
Sadarilah kehadirannya: gadis berusia sembilan tahun dalam balutan mantel
bertudung. Tersenyumlah dan nyalakan mobilnya.
1977. Ibumu menua, terayun-ayun dalam kursi goyang
kepunyaanmu, sehening angin. Helai-helai bagian depan rambutnya yang putih
menjuntai kekuningan di depan matanya akibat sering terpapar oleh asap rokok.
Sekarang ia merokok terus-terusan. Suaranya parau akibat dahak. Kadang pada
waktu makan malam di dapurmu yang mungil, ia akan sepenuhnya menatapmu dengan
matanya yang redup, lalu batuknya meledak hingga tubuhnya yang ringkih
terguncang-guncang bagai didera badai.
Kau berhenti memakan kentang panggangmu.
Tanyakan apakah ia baik-baik saja.
Ia akan menggeram: “Kau ingat, Ginnie,
ayahmu sering bilang kalau suatu hari, gara-gara merokok, aku akan ‘bermasalah
dengan dahak’?” Ia tertawa kecil, kehabisan napas, terengah-engah lagi.
Bantulah ia berdiri.
Sandarkan ia padamu.
Tepuk tonjolan di punggungnya
perlahan-lahan.
Mohonlah padanya demi tuhan agar
berhenti merokok.
Ia akan tersenyum dan berucap: “Demi
tuhan? Begitukah caranya bicara pada ibumu?”
Ketika sudah malam kau masuk ke kamarnya
untuk mengecek. Ia berbaring di kasur dan masih terjaga. Bibirnya bercelah,
terbuka dan kering. Kau membawakan jus untuknya. Ia bergumam, “Terima kasih,
sayang.” Tercium aroma mulutnya yang menganga bagai lahad.
1976. Perayaan dua ratus tahun kemerdekaan Amerika
Serikat. Di binatu, kau menunggu sampai waktunya koinmu habis. Melalui jendela
di mesin pengering, kau mengamati handuk dan lap kepunyaanmu melompat-lompat
dan jatuh. Dari corong di langit-langit radio melantunkan lagu yang lamban dan
pilu; mengungkungmu dalam pengharapan yang sirna akan adanya pemuda yang mau
mengajakmu berdansa di pesta, dan kaupun menangis. Sekembalimu ke apartemen,
campakkan barang-barang ke tempat tidur. Ibumu sedang merajut secara
serampangan: merah, putih, dan biru. Kecup ibumu dengan sapaan. Katakan: “Di
binatu tadi udaranya hangat kok.” Ia sepertinya tidak akan mendengarmu.
1975. Hadiri acara pembacaan puisi di perpustakaan lokal,
sendirian. Sadari bahwa kau tidak benar-benar mendengarkan. Pandangi pahamu
yang bersilang. Pikirkan ibumu. Kadang kau membingungkannya dengan lelaki yang
pernah kau cintai untuk pertama kalinya, yang pernah mencintaimu, yang mengubur
kepalanya di balik swetermu dan mengucapkan perkataan yang mengagumkan seperti
“Oh tuhan, oh tuhan,” yang mengasihimu tanpa syarat, dengan amat sangat, bagai
seorang ibu.
Sesaat sang penyair tampak kehilangan
rasa percaya diri, merah merona di sepanjang leher dan telinganya, namun ia
dapat mengendalikan dirinya kembali. Ketika ia selesai, orang-orang bertepuk
tangan. Anggur dan keju disuguhkan.
Tinggalkan tempat itu sendirian, pulang
sendirian. Jalanan kota bagai koridor yang merengkuhmu, mendekapmu. Lewati
gereja, lewati balai pertemuan. Berderaplah lurus-lurus seperti Barbara
Stanwyck dalam film Stella Dallas.
Lalui deretan kotak pos dan telepon serta lampu jalanan yang memancarkan nuansa
melodramatik, mengarah ke rumah kaca di seberang Borealis Avenue, menuju bagian
belakang apartemen.
Menurut horoskopmu: Bersikap ramahlah
pada orang lain, tegaslah.
Kau hamil lagi. Putuskan apa yang mesti
kau lakukan.
1974. Ibumu berjibaku dalam keringkihannya yang menggila.
Ia meneleponmu ketika kau sedang bekerja. “Tak ada makanan di rumah! Tolonglah!
Ibu kelaparan!” padahal kemarin kau baru saja membelanjakan empat puluh dolar
untuk bahan makanan. “Bu, di rumah kan sudah ada banyak makanan!”
Begitu kau pulang, kulkas nyaris kosong.
“Bu, ke mana susu, keju, dan lain-lainnya?” Ibumu menatapmu dari tempatnya
duduk di depan TV. Air matanya tahu-tahu bercucuran. “Makanannya habis,
Ginnie.”
Terdengar suara berdesir dan menggaruk
dari mesin cuci piring. Kau membukanya. Sepasang mata mungil seekor hewan
pengerat berkilau balik ke arahmu. Hewan itu memanjat ke luar, menghilang di
balik kulkas. Ibumu, sepertinya, telah menaruh semua makanan di dalam mesin
cuci piring. Susunya tumpah, membentuk kolam putih di atas permukaan yang biru.
Keju, sosis, dan apelnya telah digerogoti.
1973. Di suatu pesta, ketika ada seorang wanita yang
memberitahumu di mana ia membeli sepatu yang bagus, katakan bahwa berbelanja
pakaian itu seperti bermasturbasi—semua orang melakukannya, tapi itu tidak
sebegitunya menarik dan oleh karena itu mestinya dilakukan sendirian, dengan
rasa malu, dan tidak sepatutnya dijadikan bahan pembicaraan di pesta. Wanita
itu akan mengerutkan bibir dan alisnya, lalu berujar, “Oh, kalau begitu
mestinya kau punya topik yang lebih menarik untuk dibicarakan.” Mulai merasa
canggung dan gelisah. Katakan, “Tidak,” lalu minggatlah untuk mencari bir jahe.
Beri tahu orang di sebelahmu kalau bagian dalam tubuhmu terasa berat dan keras
seperti toilet karya perupa Claes Oldenburg. Mereka akan berucap, “Oh?” dan memberitahumu
bahwa corak pada gaunmu berupa paisley yang berisi paisley lagi. Tuangkan lebih
banyak bir jahe untuk dirimu.
1972. Nixon menang dengan kelebihan suara yang amat
banyak.
Kadang ibumu menyebutmu dengan nama
saudara perempuannya. Katakan, “Bukan, Bu, aku ini Virginia.” Belajarlah untuk
mengulang-ulang perkataan. Belajarlah bahwa entah bagaimana secara kebetulan
kalian menemukan cara untuk mengenal satu sama lain, dan setelah berbagai cara
yang ada kalian menyadari bahwa kalian sama sekali tidak mengenal satu sama
lain.
Kau membuat keripik apel untuk pertama
kalinya.
1971. Berjalan-jalanlah yang lama untuk menghindari ibumu.
Berjalanlah memasuki kawasan hutan; di sana ada kehidupan yang telah kau
lupakan. Bebauan dan bebunyian menyergapmu, persis sebagaimana dulu. Derak
dedaunan, jejak pada lumpur. Pepohonan bagaikan punggung yang bungkuk.
Tonggak-tonggak yang dulunya pagar telah menyerpih, kini pasrah dan rawan dalam
cengkeraman dahan pepohonan. Bunga-bunga aster yang putih dan ramping, layu dan
terabaikan bagai Miss Havisham[2] akibat cuaca
dingin. Pungut sebuah batu berwarna kemerahan yang cantik dan bawalah pulang
untuk diberikan pada ibumu. Kecup ibumu. Katakan: “Ini untuk Ibu.” Ia
mengambilnya dan tersenyum. “Dari dulu kau ini anak yang perasa,” ucapnya.
Katakan: “Ya, begitulah.”
1970. Kau hamil lagi. Cobalah memutuskan apa yang mesti
kau lakukan. Potong rambutmu hingga pendek seperti anak laki-laki.
1969. Manusia melakukan lompatan di bulan.
Popok sekali pakai untuk pertama kalinya
dijual di supermarket.
Jalin hubungan asmara yang singkat
dengan lelaki-lelaki konyol lagi tolol yang menyuruhmu untuk memanjangkan
rambut sampai ke pinggang, dan menggelitik rusukmu untuk membuatmu ceria kala
kau sedih. Cahaya bulan menerobos celah-celah kerai, membentuk setrip-setrip
pada tubuhmu bagaikan pola pada zebra. Kau tertawa. Kau tidak pernah menikah.
1968.
Jangan membenci ibumu. Pikirkan
situasinya, semisal, ketika kau mengangkat kantong sampah dari wadahnya: kau
mesti membuang wadah tersebut dengan memasukkannya ke dalam kantong sampah yang
itu juga. Apa yang sebelumnya diisi, kini menjadi isi. Wadah itu, jadinya, yang
mengisi, yang dibungkus, yang menempati. Sadari lagi dan lagi bahwa kau suka
sekali memikirkan hal-hal seperti ini secara berlebihan.
1967. Ibumu sakit dan tinggal bersamamu. Tidak ada tempat
lainnya yang bisa dituju oleh ibumu. Kau merasakan berlipat-lipat kehampaan
yang lain daripada biasa.
Transplantasi jantung sukses dilakukan
untuk pertama kalinya di Afrika Selatan.
1966. Kau membuat bingung para kekasihmu, mengacaukan
siapa yang punya bekas luka apa, mobil yang mana, ibu yang bagaimana.
1965. Isap mariyuana. Cobalah memecahkan apa yang telah
menyesatkan hidupmu. Rasanya seperti berusaha mencari tahu apa yang menyebabkan
kulkas berbau busuk. Apapun bisa menjadi penyebabnya. Mayones yang hilang
tutupnya, anggur madu kepunyaan Paman Ron yang sudah empat tahun lamanya
tersimpan di pojok sebelah kiri. Brokoli yang menguning, berbunga dengan
cepatnya. Semua itu hanyalah metafora. Semua itulah yang menjadi masalahnya.
Menurut horoskopmu: Bicaralah dengan lembut pada orang yang kau kasihi.
1964. Ibumu menelepon melalui sambungan jarak jauh dan
menanyakan apakah kau akan pulang pada waktu Thanksgiving, abangmu dan anaknya
akan datang. Buatlah alasan.
“Kalau ibumu sudah menua,” ucap ibumu,
“liburan semacam ini menjadi makin terasa pentingnya.”
Katakan: “Maafkan aku, Bu.”
1963. Terjaga pada suatu pagi di samping seorang lelaki.
Kau merasa akan menghabiskan hidupmu dengannya, lalu nyalimu goyah. Kau
menyadari bahwa kau bahkan tidak menyukai lelaki itu. Kau menghabiskan
sepanjang petang dalam tangis di kamar mandi lelaki itu, tidak menanggapi
ketukannya di pintu. Kau tidak bisa mempercayai perasaanmu lagi. Bisa jadi
orang dan tempat yang kau sukai sekaligus merupakan orang dan tempat yang kau
benci.
Kennedy ditembak.
Jantung buatan temporer telah
diciptakan, untuk digunakan selama operasi dilakukan.
1962. Cobalah makanan Cina untuk pertama kalinya, dengan
seorang pengacara dari Kalifornia. Ia akan memberitahumu bagaimana caranya
memegang sumpit. Ia akan menyenggol betismu. Singgung profesinya. Tanyakan
padanya apakah ia merasa hukum banyak berbual untuk kepentingan yang sifatnya
jangka pendek saja.
1961. Nenek Moses meninggal.
Kau menyimpan banyak kegelisahan. Kau
menuangkan brendi ke dalam kopimu pagi-pagi dan terlalu gampang jatuh cinta.
Kau melakukan aborsi.
1960. Kau memperoleh uang dari warisan dan asuransi
mendiang ayahmu. Kau membeli mobil dan gaun beledu hijau yang tidak kau
butuhkan. Kau berkendara selama dua jam untuk makan siang bersama ibumu pada
hari Sabtu. Ibumu menyarankan beberapa hal untuk kau tulis, hal-hal yang
didengarnya di radio: wanita yang bisa melakukan telepati dengan kembarannya,
wanita yang tidak punya kaki.
1959. Di pemakaman ayahmu, ibumu berkata: “Dia memang tidak
sempurna, tapi dia orang yang murah hati,” padahal setahumu dalam pengeluaran
ayahmu seketat simpul pramuka, dan tidak suka mendengarkan orang lain.
Satu-satunya ingatan bahwa kau pernah mencintainya adalah ketika ia menangkap
maksud leluconmu lebih cepat daripada ibumu. Di balik jurnal ilmiahnya, ia
terbahak-bahak dengan kencangnya bagaikan tawa raksasa. Kalian berdua, untuk
sesaat itu, akrab laksana sepasang malaikat yang berbagi pikiran cemerlang
dalam kehangatan di tengah ruangan.
Katakan: “Dia memang baik.”
“Jangan dingin begitu dong,” semprot
ibumu. “Ayahmu yang membiayai kuliahmu dan abangmu.” Ia mengancingkan
mantelnya. “Ayahmu juga yang pertama kali memisahkan isotop partikel helium,
Ibu lupa namanya, tapi ayahmu seharusnya mendapatkan Penghargaan Nobel.” Ia
mengusap hidungnya.
Katakan: “Ya, Bu.”
1958. Pada hari pernikahan abangmu, ayahmu dibawa pergi
dengan menggunakan ambulans. Sepupu kecilmu berbisik keras-keras pada ibunya,
“Paman Will kena serangan jantung?” Selama tujuh hari berturut-turut ucapkan
pada ibumu perkataan-perkataan seperti: “Aku yakin Ayah akan baik-baik saja,”
dan “Aku saja yang menunggu di sini, Ibu pulang saja dan tidur.”
1957. Tarikan kalipso dengan pemuda-pemuda dari kampus
lain. Jungkir-balik akibat burgundi di New York, kehilangan keperawanan, dan
belilah salah satu keluaran pertama mesin ketik listrik portabel.
1956. Beri tahu ibumu semua buku yang kau baca di kampus.
Ibumu akan senang.
1955. Bubuhkan warna pada lukisan Elvis Presley
berdasarkan nomor yang tertera pada kanvas[3]. Beri tahu
ibumu kau jatuh cinta pada lelaki itu. Ia akan menggeleng-gelengkan kepalanya.
1954. Curi sweter kasmir dari toko.
1953. Isap rokok bersama Hillary Swedelson. Berbagi
rahasia mengenai pujaan hati satu sama lain. Menjadi saudara sedarah.
1952. Ketika ibumu bertanya adakah anak lelaki baik-baik
di sekolahmu, balik bertanya dengan protes bagaimana mungkin kau bisa tahu
kalau kau sudah harus pulang ke rumah pada jam sembilan! setiap malam. Alisnya
akan terangkat bak tirai di panggung teater. “Kasihan sekali kau,” ia akan
berucap.
Katakan, “Enggak tahu ya,” dan banting
pintu.
1951. Ibumu menyampaikan tentang menstruasi padamu. Tepat
pada hari berikutnya kau mendapat menstruasi. Tubuhmu rupanya menanti lampu
hijau, sinyal. Kau bangun pada pagi hari dengan perasaan malu.
1949. Kau belajar bagaimana menggembungkan permen karet
dan mengurangi angka.
1947. Ditemukan gulungan perkamen di Laut Mati.
Kau menonton terlalu banyak pertunjukan
musikal Hollywood. Kau menyaksikan begitu banyak orang bernyanyi di
tempat-tempat umum dan kau menyangka kau bisa melakukannya juga. Berlatihlah.
Gurumu mengajukan pertanyaan padamu. Kau menjawabnya dengan nyanyian: “Jawaban
untuk nomor dua adalah dua belas.” Sebagian besar isi kelas menertawakanmu.
Sebagian lagi menatap saja dengan mata berkilauan bak permata, terpesona. Di
rumah ibumu menyuruhmu untuk membersihkan lemarimu. Jawab dengan nyanyian
bervibrato—hanya truk yang tahan melalui getarannya: “Kenapa aku harus
melakukannya sekarang?” dan entakkan kakimu melintasi ruang makan. Ibumu
memintamu agar diam dan tidur siang. Berserulah: “Ibu tidak peduli padaku! Ibu
tidak peduli padaku sama sekali!”
1946. Abangmu memutar lagu “Shoofly Pie” dengan gramofon
sepanjang hari.
Tanyakan pada ibumu apa kau boleh makan
malam di rumah Ellen. Ia akan berkata, “Tanyakan pada ayahmu,” dan kau, seraya
menarik-narik jemarimu, menuju ruang keluarga dan merengek di dekat kursi yang
diduduki ayahmu. Ia sedang membaca. Tepuk lengannya. “Yah? Ayah? Yah?” Ia
melanjutkan membaca jurnal ilmiahnya. Tarik-tarik jemarimu dengan lebh keras lagi
dan berlarilah kembali ke dapur untuk memberi tahu ibumu, yang lalu menyembur
masuk ke dalam ruang keluarga, berujar, “Kenapa kau tidak pernah mendengarkan
anak-anakmu sewaktu mereka mencoba bicara padamu?” Kau mendengar mereka
bertengkar. Benamkan wajahmu pada lap dapur, merasa malu. Deru mesin kulkas dan
tetesan air di bak cuci membuatmu merasa takut.
1945. Ayahmu pulang dari tugasnya di medan perang. Ia
menggendongmu di punggungnya, bermain kuda-kudaan mengitari halaman luas yang
ditumbuhi alang-alang kuning. Jendela suram pada menara kecil, sekelam luka,
mengawasimu. Tanpa berkata-kata, ayahmu mengayunkanmu dengan kencang.
Abangmu punya teman-teman baru, bersikap
sok dewasa dan menjauh, bahkan sewaktu kalian sedang menunggu bis sekolah
bersama-sama.
Kau menghabiskan begitu banyak waktu
sendirian. Kau memberi tahu ibumu bahwa ketika kau sudah dewasa kau akan
membawa anak-anakmu ke Australia supaya mereka bisa melihat kanggru.
Empat puluh ribu orang tewas di
Nagasaki.
1944. Pakaikan baju dan timanglah boneka bayi kecil yang
kau namakan “si Sue”. Bawalah boneka itu ke mana-mana. Kau tersesat di pasar
buah Wilson Creek, dan memanggil-manggil ibumu dengan suara pelan, “Ibu, Ibu di
mana?” Amati anak-anak lainnya mengambili anggur, namun kau tidak berani
ikut-ikutan. Matamu meredup. Tenggorokanmu sesak. Tanganmu menggenggam si Sue.
1943. Tanyakan pada ibumu tentang bayi. Mintalah padanya
untuk membacakanmu cerita tentang bayi saja. Tanyakan padanya apa ia akan
memiliki bayi. Tanyakan padanya tentang bayi yang mati. Menangislah dalam
pelukannya.
1940. Genggam rambutnya dalam kepalan tanganmu. Gosokkan
pada pipimu.
1939. Tangisanmu melintasi cuping, menyusup ke dalam
lubang telinga. Kau bukan lagi kilasan mimpi, melainkan kehidupan yang baru.
Kaki yang terentang. Tubuh yang
terpisah. Berdua kalian berjuang meraih napas. Baginya antara asa dan nestapa
ketika kau belajar untuk berbicara padanya, walaupun pada waktu itu kau sendiri
tidak memahaminya.
Jerman menyerbu Polandia.
Lagu yang sedang populer pada tahun itu
adalah “Three Little Fishies” dan seseorang, di suatu tempat, sedang
memainkannya.[]
[1] Tim pembuat musik teater
Broadway di Amerika Serikat. Rodgers adalah komposer sedangkan Hammerstein
penulis lirik. “Oklahoma!” adalah karya awal mereka (1943).
[2] Tokoh wanita dalam novel
Charles Dickens, Great Expectations,
yang sejak ditinggalkan mempelai prianya di altar tidak pernah melepaskan baju
pengantinnya, dan menghabiskan hidupnya dengan menyepi.
[3] Istilahnya “paint-by-numbers”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar