Sesekali kau mesti keluar dari kota-kota
di Illinois yang bernama lucu itu: Paris, Oblong, Normal. Pernah, sementara Dow
Jones[1] menurunkan dua
ratus berita pokok, sebuah
koran lokal memajang judul besar-besar: “Pria Normal Menikahi Wanita Oblong”.
Mereka juga tahu apa yang pokok.
Sungguh! Tapi sesekali kau mesti keluar sebentar saja, sekalipun hanya
melintasi perbatasan Terre Haute untuk menonton film.
Di luar Paris, di tengah sebidang lahan
yang luas, terpencar beberapa bangunan yang merupakan sebuah kampus ilmu-budaya kecil bernama
Hilldale-Versailles. Di sana sudah tiga tahun ini Zoë Hendricks mengajar
Sejarah Amerika. Dia mengajar “Revolusi dan Perkembangannya” kepada mahasiswa
tahun pertama dan tahun kedua, dan setiap tiga semester ada seminar jurusan
bagi mahasiswa tingkat akhir. Kendati hasil penilaian mahasiswa terhadap
dirinya keliru selama satu setengah tahun terakhir ini—Profesor Hendricks sering telat memasuki kelas dan biasanya datang dengan membawa secangkir kopi yang ditawarkannya seicip-icip—para pria di
jurusannya secara umum senang dengan keberadaannya. Mereka merasa dirinya menambah
sentuhan feminin yang dibutuhkan di sepanjang koridor—jejak samar parfum
Obsession dan keringat, ketukan hak sepatu yang ringan dan cepat. Selain itu,
setelan yang dikenakan oleh kedua jenis kelamin pun berbeda, yang menurut dekan
menunjukkan perjalanan masa.
Mereka mengerti bahwa situasi ini
tidaklah mudah bagi dirinya. Pernah, pada awal semester kemarin, dia memasuki
ruang kuliah sembari menyanyikan “Getting to Know You”—sampai tuntas. Atas
permintaan dekan, ketua jurusan memanggilnya ke kantor, tapi tidak benar-benar
memintanya untuk memberi penjelasan. Pria tersebut menanyakan keadaannya lalu
tersenyum bak seorang paman. Dia menjawab, “Baik,” dan pria itu mencermati
bagaimana kata itu diucapkan dengan gigi depan menginjak bagian dalam bibir bawah.
Dia bisa dibilang cantik, namun wajahnya menampakkan ketegangan dan ambisi
untuk berakrab-akrab yang tidak terlalu. Garis yang membingkai matanya digurat
secara berlebihan. Antingnya agak menakutkan, mencuat dari sisi kepalanya bagai
antena—tak diragukan bahwa dia mengenakannya untuk mengatasi roman yang kurang
ekspresif.
“Aku mau gila,” kata Zoë pada adik
perempuannya, Evan, di Manhattan. Profesor
Hendricks sepertinya hafal semua soundtrack film The King and I.
Beginikah sejarah? Zoë meneleponnya setiap Selasa.
“Kau selalu bilang begitu,” ujar Evan,
“tapi lalu kau pergi jalan-jalan dan liburan dan mengurus kembali pekerjaanmu
lalu tenang sebentar dan kau bilang kau baik-baik saja, kau sibuk, dan sebentar
kemudian kau bilang kau mau gila lagi, dan kau mulai lagi semuanya.” Evan
bekerja sebagai desainer makanan paruh waktu untuk pembuatan foto. Ia memasak
sayuran dalam cat hijau, menyangga beef
stew dengan alas dari kelereng, serta
berbelanja jenis-jenis baru semprotan silikon dan kotak es. Ia merasa
kehidupannya beres-beres saja. Sudah bertahun-tahun ini ia tinggal bersama
pacarnya, yang secara mandiri kaya serta memiliki pekerjaan kecil yang
menarik di penerbitan buku. Sudah lima tahun mereka keluar dari kampus. Mereka
tinggal di ketinggian di pusat kota dengan sebuah balkon dan akses ke kolam
renang. “Tidak seperti kalau kita punya kolam sendiri,” Evan selalu mengeluh,
seakan ingin Zoë tahu bahwa, sebagaimana kakaknya itu, masih ada hal-hal yang
tidak dimilikinya.
“Illinois. Tinggal di sini membuatku
jadi sarkastis,” kata Zoë di telepon. Seorang mahasiswa pernah bertanya kepadanya, “Anda pakai parfum apa?” “Penyegar ruangan,” jawabnya.
Dia tersenyum, sementara mahasiswa itu menatapnya dengan ngeri. Dia biasanya bersikukuh bahwa itu ironi,
sesuatu yang secara halus menyelubungi namun memikat, sesuatu yang ganjil di Midwest ini, tapi para mahasiswa
terus menyebutnya sarkasme, sesuatu yang bagi mereka lebih mudah untuk diterima,
dan sekarang dia mau-tak-mau menuruti. Itu bukan ironi.
Para mahasiswanya secara umum adalah
penduduk Midwestern yang baik, terisi
oleh estrogen yang didapat dari daging dan telur dalam jumlah besar. Mereka
mewarisi nilai-nilai daerah pinggiran dari orangtua mereka; orangtua mereka
memberikan mereka banyak barang, barang, dan barang. Mereka puas dengan diri
mereka sendiri. Mereka telah disuap. Mereka dipersenjatai dengan kekaburan yang
sehat akan segala hal yang historis maupun geografis. Mereka sebenarnya tahu sangat sedikit tentang segala
sesuatu, tapi tidak menyombongkannya. “Semua negara bagian di Timur itu
bentuknya kecil dan berigi-rigi, letaknya bergerombol,” keluh seorang mahasiswa
pada minggu dia memberi kuliah tentang “Titik Balik Kemerdekaan: Pertempuran di
Saratoga”. “Profesor Hendricks, Anda aslinya dari Delaware, kan?” mahasiswa itu
bertanya kepadanya.
“Maryland,” Zoë membetulkan.
“Aw,” ucap mahasiswa itu, mengibaskan
tangannya dengan cuek, “New England.”
Artikelnya—yang menjadi bab dalam buku
berjudul Penggunaan Humor dalam
Kepresidenan Amerika—mendapat sambutan baik kendati tak seketika. Dia
senang tulisannya berada di dalam buku dan dapat dinikmati pada waktu
kapanpun—dia tidak mempercayai hal-hal yang hanya tertulis di koran pagi—jadi
dia membaca ulang dan menulis ulang dengan saksama. Tak dibiarkannya cuaca dan
keadaan apapun pada hari itu mengusiknya. Kadang dia berkutat dengan satu
tulisan selama setahun, memperbaikinya sepanjang waktu, hingga tiada hari yang
tak dilewatkannya untuk itu.
Sebelum di Hilldale-Versailles, dia
bekerja di sebuah kampus kecil di New Geneva, Minnesota, Tanahnya Pusat Perbelanjaan yang Sekarat. Setiap orang
di sana berambut pirang sehingga yang berambut cokelat seringkali dianggap
berasal dari luar negeri. Hanya karena
Profesor Hendricks berasal dari Spanyol bukan berarti dia boleh bersikap
negatif pada negara kita. Kebahagiaan merupakan hal yang umum. Di New
Geneva kau tidak sepatutnya mengkritik ataupun mengeluh. Kau tidak sepatutnya
menyinggung bahwa kota itu terlalu berlebihan dan malnya acak-acakan lagi
murahan. Kau tidak bisa mengatakan bahwa kau tidak “baik-baik saja, terima
kasih—bagaimana denganmu?” Kau harus menjadi Heidi[2]. Kau harus
membawa susu kambing menaiki bukit tanpa banyak pikir. Heidi tidak mengeluh.
Heidi tidak berbuat macam-macam seperti berdiri di depan mesin fotokopi IBM
baru sembari menggerutu, “Kalau mesin Xerox sialan ini rusak lagi, bakalan
kugorok pergelangan tanganku.”
Namun kini dalam pekerjaannya yang
kedua, pada tahun keempat mengajar di Midwest, Zoë mendapat sesuatu yang tak
pernah disangkanya: tebing terjal, rapuh, lagi curam. Pernah ada masa dia
memanjakan mahasiswa, bernyanyi untuk mereka, pun membiarkan mereka menelepon
ke rumah, mengajukan pertanyaan-pertanyaan pribadi, namun kini dia kehilangan
simpati. Sikap mereka mulai berubah. Mereka menjadi manja dan banyak pinta.
Kata seorang mahasiswa seminar tingkat
akhir dalam suatu pertemuan reguler, “Anda bersikap seakan pendapat Anda lebih
berharga ketimbang siapapun di ruangan ini.”
Mata Zoë melebar. “Lo, saya kan pengajarnya,” ujarnya. “Saya dibayar untuk bersikap begitu.” Dia
memicingkan tatapannya pada mahasiswi tersebut, yang mengenakan pita kulit
besar di rambutnya bagai gadis penggembala dalam acara tentang peternakan di
TV. “Maksud saya, kecuali kalau setiap
orang di ruangan ini juga punya kantor dan jam kerja.” Kadang Profesor Hendricks mencatut waktu kuliah hanya untuk
menceritakan film yang ditontonnya. Dia menatap mahasiswi itu lagi lalu
menambahkan, “Sepertinya Anda bakalan begitu.”
“Mungkin saya kedengarannya seperti
merengek,” kata gadis itu, “tapi yang saya inginkan hanya supaya kuliah sejarah
ini ada artinya buat saya.”
“Itu masalah Anda,” sahut Zoë. Dengan
senyuman, dia mengarahkan gadis itu ke pintu. “Saya suka pitamu,” imbuhnya.
Zoë hidup demi surat, demi petugas
pos—burung biru yang tampan itu—dan begitu dia mendapatkan surat betulan dengan
perangko betulan dari suatu tempat lainnya, dia membawanya ke kasur dan
membacanya lagi dan lagi. Dia juga menonton televisi sampai lama dan tenggelam
di kamar tidur—pertanda buruk. Profesor
Hendricks mengkritik Fawn Hall[3], agama
Katolik, dan seluruh negara bagian Illinois. Tidak bisa dipercaya.
Pada momen Natal, dia memberikan tip dua puluh dolar pada pengantar surat dan
Jerry, satu-satunya pengemudi taksi di kota itu. Dia mengenal pria itu berkat
seluruh perjalanannya ke dan dari bandara Terre Haute. Pria itu menyadari bahwa
perjalanan semacam itu merupakan pemborosan, sehingga sering memberikan potongan
tarif kepadanya.
“Aku akan terbang mengunjungimu akhir
pekan ini,” Zoë mengabarkan.
“Aku harap kau sungguh datang,” kata
Evan. “Charlie dan aku akan mengadakan pesta Halloween. Bakalan seru.”
“Aku sudah punya kostumnya. Kepala
tulang. Bentuknya seperti tulang besar yang menembus kepala.”
“Bagus,” kata Evan.
“Memang.”
“Aku hanya punya topeng dari tahun lalu
dan tahun sebelumnya lagi. Kemungkinan sewaktu menikah aku akan memakainya juga.”
“Kau dan Charlie mau menikah?” Zoë
merasa agak tersengat.
“Hmmmmmmenggak, enggak buru-buru sih.”
“Jangan menikah.”
“Kenapa?”
“Pokoknya jangan dulu. Kau terlalu muda
untuk menikah.”
“Kau bilang begitu hanya karena kau
lebih tua lima tahun daripadaku dan kau belum
menikah.”
“Aku
belum menikah? Oh, ya Tuhan,” ujar Zoë. “Aku lupa kalau belum menikah.”
Zoë telah berkencan dengan tiga pria
sejak dia bekerja di Hilldale-Versailles. Salah seorang dari mereka bekerja di
pemerintahan kota. Pria itu mengurus tiket parkir yang dibawanya untuk protes,
lalu mengajaknya mengopi bareng. Awalnya, dia pikir pria itu
mengagumkan—akhirnya, ada seseorang yang tidak menginginkan Heidi! Tapi segera
dia menyadari bahwa semua pria, jauh di lubuk hati, menginginkan Heidi. Heidi
dengan potongan leher baju yang rendah. Heidi dengan selera dalam berpakaian.
Birokrat tiket parkir itu lantas menjadi bosan dan angin-anginan. Pada satu
hari di musim gugur yang dingin, di dalam mobil convertible yang keren namun tak berguna milik pria itu, ketika Zoë menanyakan apa yang salah, pria itu menjawab, “Kau tidak bakalan kenapa-kenapa
kalau pakai baju baru, mengerti kan.” Zoë sering sekali mengenakan korduroi
hijau-kelabu. Menurutnya, pakaian itu menguatkan kesan yang dipancarkan oleh
matanya, sepasang bintang yang malu-malu. Dia menyentil semut yang ada di
bahunya.
“Haruskah kau menyingkirkannya di dalam
mobil?” ujar pria itu sambil menyetir. Tatapannya turun ke arah dadanya
sendiri, pertama-tama ke sebelah kiri, lalu ke sebelah kanan, pemeriksaan
singkat. Pria itu mengenakan kaos ketat.
“Maksudnya?”
Pria itu melambankan laju dalam cahaya
kekuningan dan mengernyit. “Tidak bisakah kau memungutnya dan membuangnya
keluar?”
“Semutnya? Dia bisa saja menggigitku.
Maksudku, memang apa sih bedanya?”
“Dia bisa saja menggigitmu! Ha! Dasar
konyol! Sekarang semut itu bakalan bertelur di mobilku!”
Pria yang kedua lebih manis, kendati
lebih tolol dan tidak sensitif terhadap lukisan dan lagu tertentu. Namun
seringkali pria itu mengejutkannya dengan hal-hal yang ia lakukan atau katakan.
Pernah, di suatu restoran, pria itu diam-diam mengambil hiasan pada piring
makanannya dan menanti reaksinya. Karena Zoë tidak kunjung menyadari, pria itu
akhirnya menyodorkan kepalan tangannya melintasi meja dan berkata, “Lihat.”
Ketika tangannya membuka, terdapat gumpalan kisut tangkai peterseli dan irisan
jeruk. Pada lain waktu, pria itu menceritakan perjalanannya belum lama itu ke
Louvre. “Aku sedang berada di depan lukisan Delacroix, The Barque of Dante. Yang lainnya menjauh entah ke mana. Jadi aku
bisa menikmati karya itu sendirian. Bayangan yang amat memilukan merenggang
keluar dari lukisan itu ke segala arah. Muncul gerakan di pojok lukisan,
terbang berputar-putar sampai membentuk kain merah yang menjadi tudungnya
Dante, melingkar-lingkar ke kejauhan, tampak semburat jingga—“ Pria itu kehabisan
napas selagi bercerita. Menurut Zoë ini menyentuh, dia tersenyum memberikan dorongan.
“Lukisan semacam itu,” pria itu melanjutkan, menggeleng-gelengkan kepalanya,
“hanya membuatmu merasa tidak ada artinya.”
“Ada yang perlu kutanyakan,” sahut Evan.
“Aku mengerti setiap wanita mengeluh karena tidak menemukan pria, tapi
nyatanya, dalam pemotretan-pemotretan yang kulakukan aku bertemu dengan banyak
pria. Dan tidak semuanya gay,
lagian.” Ia berhenti sejenak. “Tidak
lagi.”
“Jadi apa yang kau tanyakan?”
Pria yang ketiga adalah profesor ilmu
politik bernama Murray Peterson. Ia gemar mengadakan kencan ganda dengan kolega
yang istrinya sedang ia dekati. Biasanya, para istri juga ingin bermain-main
dengannya. Di bawah meja kadang terjadi senggol-menyenggol kaki, dan pernah
juga senggol-menyenggol lutut. Zoë dan si suami dibiarkan dengan makanan
mereka, menatap gelas minuman dan mengunyah seperti kambing. “Oh, Murray,” ucap
si istri, yang tidak menyelesaikan masternya dalam bidang terapi fisik dan
berpenampilan menawan. “Tahukah kau, aku tahu segalanya tentang dirimu: hari
ulang tahunmu, nomor plat mobilmu. Aku mengingat semuanya. Tapi memang
begitulah otakku. Pernah, di satu pesta makan malam, aku mengejutkan tuan rumah
sewaktu bangkit dan menyalami setiap orang yang ada di sana sambil menyebutkan
nama mereka, nama depan dan belakang.”
“Aku tahu ada anjing yang bisa begitu,”
kata Zoë dengan mulut penuh. Murray dan si istri menatapnya dengan ekspresi
jengkel dan sengit, tapi mendadak si suami tampak mengedip dan geli. Zoë
menelan makanannya. “Itu semacam percobaan di Lab. Setelah sekitar sepuluh
menit mendengarkan percakapan makan malam, anjing ini hafal nama semua orang.
Kalau kita bilang, ‘Bawakan pisau ini ke Murray Peterson,’ anjing ini akan
melakukannya.”
“Begitu ya,” cetus si istri,
memberengut, dan Murray Peterson tidak pernah menghubungi lagi.
“Apa ada orang yang sedang menjadi
perhatianmu?” ucap Evan. “Aku menanyakannya karena ada maksud tertentu. Bukan sekadar
ikut-ikutan Ibu.”
“Aku sedang punya perhatian pada
rumahku. Aku merawatnya ketika dia
basah, menangis, dan muntah.” Zoë baru membeli rumah peternakan berwarna hijau
permen di dekat kampus, meski sekarang dia berpikir bahwa mungkin dia tidak
semestinya memiliki rumah itu. Sulit rasanya meninggali sebuah rumah. Dia terus
berkeluyuran keluar masuk ruangan, memikirkan di mana dia menaruh
barang-barangnya. Dia menuruni tangga menuju ruang bawah tanah tanpa alasan
apapun selain karena senang rasanya memiliki ruang bawah tanah sendiri. Dia
juga senang karena memiliki pohon sendiri.
Kedua orangtuanya, di Maryland, sangat
senang salah satu anak mereka akhirnya mampu memiliki properti sendiri. Ketika
dia hampir mendapatkan rumah itu, mereka mengirimkan bunga beserta kartu ucapan
selamat kepadanya. Ibunya bahkan memaketkan sekotak majalah dekorasi lawas yang
selama ini disimpannya—foto berbagai ruangan cantik yang ibunya biasa pandangi
bolak-balik, karena tak pernah ada cukup uang untuk mendekorasi ulang. Isi
kotak itu terasa seperti koleksi pornografi milik ibunya, ikut melelehkan
liurnya dengan fantasi, harapan dan godaan tak berujung yang telah menjadi
hidupnya. Namun bagi ibunya itu menjadi semacam ritual yang menyenangkan.
“Barangkali kau bisa memperoleh ide dari majalah-majalah itu,” tulis ibunya.
Dan begitu Zoë memandangi foto-foto itu, ruangan-ruangan yang indah dan megah,
dirinya dipenuhi oleh hasrat. Gagasan akan hasrat.
Sekarang ini rumah Zoë sedikit lengang.
Pemilik sebelumnya melapisi dinding dengan perabotan, menyisakan kekosongan dan
siluet yang ganjil di dinding, dan Zoë belum menanganinya. Dia telah membeli
perabotan, lalu mengembalikannya, menambahkan perabotan dan menguranginya,
mempersiapkan dan menggelontornya, seperti
rahim. Dia telah membeli beberapa peti polos dari kayu tusam untuk digunakan
sebagai bangku untuk berdua-duaan atau kotak sepatu bot, tapi peti itu semakin lama
semakin terlihat seperti peti mati untuk anak-anak, sehingga dia
mengembalikannya. Dan belum lama ini dia membeli permadani Oriental untuk ruang
tengah, berhiaskan simbol China yang artinya dia tidak mengerti. Pramuniaganya
terus meyakinkan bahwa simbol itu berarti “Kedamaian” dan “Kehidupan yang
Abadi”, namun ketika permadani itu sampai di rumah Zoë merasa khawatir.
Bagaimana kalau arti sebenarnya dari simbol itu bukanlah “Kedamaian” dan
“Kehidupan yang Abadi”? Bagaimana kalau ternyata simbol itu berarti,
katakanlah, “Bruce Springsteen”? Semakin dia memikirkannya, semakin dia yakin
bahwa permadaninya bertuliskan “Bruce Springsteen”, dan jadilah barang itu dia
kembalikan juga.
Dia juga membeli cermin barok kecil
untuk lorong masuk di depan rumah, yang menurut Murray Peterson dapat mengusir
roh jahat. Cermin itu, bagaimanapun juga, cenderung membuatnya merasa ngeri.
Dia ketakutan dengan adanya bayangan seorang wanita yang selama ini
diabaikannya. Kadang wanita itu tampak lebih tembam dan lebih pucat daripada
yang diingatnya. Kadang licik dan suram. Seringnya dia tampak buram. “Kau
terlihat seperti orang yang kukenal,” tahun lalu sudah dua kali ada orang asing
yang mengatakan demikian kepadanya di restoran di Terre Haute. Nyatanya, kadang
dia agaknya tidak mengamati penampilannya sendri, atau mengamati apapunlah.
Mulai terasa menarik baginya bahwa para mahasiswa dan koleganyalah yang dapat
mengenali bagaimana dirinya. Bagaimana mereka bisa tahu? Ketika dia memasuki
ruangan, bagaimana penampilannya sehingga mereka tahu bahwa itu dirinya?
Seperti inikah? Apakah dia terlihat seperti ini? Dan cermin itu pun dia
kembalikan.
“Aku menanyakannya karena aku kenal
seorang pria yang menurutku sebaiknya kau jumpai,” kata Evan. “Dia asyik. Dia
lurus. Dia lajang. Itu saja yang bisa kusampaikan.”
“Kukira aku sudah kelewat tua untuk
bersenang-senang,” balas Zoë. Ada sehelai rambut tegak di dagunya, dan sekarang
terasa oleh jarinya. Agaknya ketika kau sudah terlalu lama tidak berhubungan
dengan lawan jenis, kau mulai menyerupai mereka. Dalam upaya pencarian yang
tanpa harapan, jenggotmu mulai tumbuh dengan sendirinya. “Aku sekadar ingin
datang, mengenakan kepala tulangku, berkunjung bersama ikan-ikan tropisnya
Charlie, menanyaimu soal pemotretan makanan.”
Dia teringat akan semua makalah untuk
kuliah “Pengaruh Konstitusi dalam Kehidupan Masyarakat” yang dia harus koreksi.
Dia teringat bahwa dia harus menjalani tes ultrasound
pada hari Jumat, sebab menurut dokternya dan asisten dokternya, ada sesuatu
yang misterius tumbuh membesar di perutnya. Kantong empedu, kata mereka. Atau
indung telur atau usus besar. “Kalian ini betul orang kedokteran?” tanya Zoë,
keras-keras, setelah mereka meninggalkan ruangan. Pernah, semasa muda, dia
membawa anjingnya ke dokter hewan, yang memberitahunya, “Entah anjingmu
cacingan atau punya kanker atau yang lainnya, yang jelas dia ditabrak mobil.”
Dia menantikan kepergiannya ke New York.
“Apalah. Pokoknya bakal keren. Aku tak
sabar berjumpa denganmu, say. Jangan lupa kepala tulangmu,” kata Evan.
“Kepala tulang yang tidak akan kau
lupakan,” sambut Zoë.
“Pastinya,” ujar Evan.
Zoë merahasiakan ultrasound, bahkan dari Evan. “Aku merasa seperti sedang sekarat.”
Sekali itu saja Zoë mengisyaratkannya lewat telepon.
“Kau bukannya sekarat,” ucap Evan,” kau
cuma dongkol.”
“Ultrasound,”
ucap Zoë dengan nada kelakar pada teknisi yang mengoleskan gel dingin ke
perutnya yang telanjang. “Bukankah itu terdengar seperti sistem stereo yang
canggih banget atau apa?”
Belum ada lagi orang yang membuatnya
secerewet itu menyangkut perutnya yang telanjang sejak pacarnya semasa kuliah,
yang menemaninya kapanpun dia merasa sakit, mengangkat lengan, menekankan
tangan di atas pusarnya, dan berseru dengan memanjang-manjangkan kata bak
seorang evangelis, “Sembuh! Sembuhlah demi engkau Bayi Yesus!” Zoë akan tertawa
dan mereka akan bercinta. Keduanya diam-diam berharap dia akan hamil. Lalu
mereka akan sama-sama cemas, dan pacarnya akan membenamkan pipi ke perutnya dan
bertanya apakah dia telat, apa dia telat, apa dia yakin, barangkali dia telat,
dan setelah dua tahun dia tidak kunjung hamil mereka mulai cekcok dan berpisah.
“Ya,” kata teknisi itu sambil melamun.
Monitornya menyala. Bagian dalam tubuh Zoë
muncul di layar, menampakkan rongga kelabu dan bergurat-gurat. Serupa marmar
dengan gradasi halus antara hitam dan putih, bagai bebatuan di gereja tua atau
gambar permukaan bulan. Ocehnya pada si teknisi, “Menurutmu apakah meningkatnya
kemandulan pada banyak pasangan di negeri ini disebabkan sepenuhnya oleh adanya
spesies lain yang sedang berusaha untuk bereproduksi?” Teknisi itu menggerakkan
pemindai berputar-putar dan menayangkan lebih banyak gambar. Ada satu
penampakan, di sisi kanan Zoë, yang menjadi perhatian teknisi tersebut. Mesin
yang dioperasikannya berbunyi.
Zoë menatap layar. “Sepertinya yang
tumbuh di bagian situ,” tunjuk Zoë.
“Saya tidak tahu persis,” kata teknisi
itu dengan kaku. “Dokter Anda akan mendapatkan laporannya dari ahli radiologi
sore ini dan menelepon Anda.”
“Saya mau keluar kota,” ujar Zoë.
“Sayang sekali,” sahut si teknisi.
Menyetir pulang, Zoë menatap kaca spion
dan menyadari bahwa dirinya terlihat—bagaimana ya menggambarkannya? Agak pucat. Dia teringat akan lelucon tentang seorang pria yang
mengunjungi dokternya. Dokter itu berkata, “Maaf, hidupmu tinggal enam minggu lagi.”
“Aku ingin pendapat lainnya,” kata pria itu. Anda
bersikap seakan pendapat Anda lebih berharga ketimbang siapapun di ruangan ini.
“Kau ingin pendapat lainnya? Baiklah,” kata dokter itu. “Kau juga jelek.” Dia
menyukai lelucon itu. Menurutnya itu sangat amat lucu.
Dia memesan taksi untuk perjalanan ke
bandara. Jerry si pengemudi taksi girang berjumpa dengannya.
“Selamat bersenang-senang di New York,” ujar
pria itu, seraya mengeluarkan tasnya dari bagasi. Pria itu menyukainya, atau
setidaknya bersikap seolah-olah menyukainya. Dia memanggil pria itu Jare.
“Terima kasih, Jare.”
“Kau tahu, aku punya rahasia: Aku belum
pernah pergi ke New York. Aku punya rahasia lainnya: Aku belum pernah menaiki
pesawat.” Pria itu melambai padanya dengan sedih sementara dia melontar langkah
memasuki pintu terminal. “Dan eskalator!” seru pria itu.
Trik untuk terbang dengan aman, menurut Zoë,
adalah jangan pernah membeli tiket pesawat diskon dan camkankan pada dirimu
bahwa kau tidak punya tujuan hidup bagaimana juga, sehingga kalau-kalau
pesawatnya celaka itu bukanlah perkara besar. Dan apabila pesawatnya tidak
celaka, sementara kau telah berhasil bertahan di ketinggian dengan kenihilanmu,
yang kau perlu lakukan tinggal berjalan sempoyongan, mencari kopermu, dan,
begitu taksinya tiba, temukan alasan yang meyakinkan untuk melanjutkan hidup.
“Kau sudah sampai!” pekikan Evan menyaingi dering bel. Ia bahkan belum
membuka pintu. Ia lalu membukanya lebar-lebar. Zoë meletakkan bawaannya di
lantai dan memeluk Evan erat-erat. Sewaktu kecil, Evan selalu dikasihi dan
disayangi. Zoë selalu menjaganya—menasihati, menenangkan—sampai belakangan ini,
sepertinya Evan yang mulai menasihati dan menenangkannya. Zoë merasa jeri. Dia
curiga kesendiriannya membuat orang lain jadi kurang nyaman.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Aku muntah di pesawat. Selain itu, aku baik-baik saja.”
“Mau kuambilkan sesuatu? Sini, kubawakan kopermu. Mabuk di pesawat. Iiiyuh.”
“Aku memuntahkannya ke dalam kantong,” kata Zoë, sekiranya Evan menyangka
dia telah mengotori gang di antara tempat duduk pesawat. “Aku tenang banget
waktu itu.”
Apartemen tersebut amat lapang dan terang, dengan pemandangan ke arah
pusat kota di sepanjang East Side. Ada balkon, dengan pintu sorong dari kaca.
“Aku sering lupa kalau apartemen ini bagus banget. Dua puluh satu lantai,
penjaga pintu…” Zoë bisa saja bekerja sepanjang hidupnya dan tetap tidak mampu
memiliki apartemen seperti ini. Begitupun Evan. Apartemen itu milik Charlie. Ia
dan Evan tinggal di sana bagai dua bocah di asrama, dengan kaleng bir dan
pakaian bertebaran di mana-mana. Evan meletakkan tas Zoë jauh-jauh dari
kekacauan itu, di samping akuarium. “Aku senang banget kau di sini,” ujarnya.
“Nah, kau mau kuambilkan apa?”
Evan memasak makan siang untuk mereka—sup dari kaleng dan keasinan.
“Aku tidak mengerti Charlie,” katanya setelah mereka selesai. “Aku merasa
kami sudah menjadi pasangan paruh baya dan kehilangan gairah.”
“Hmmm,” gumam Zoë. Dia kembali bersandar pada sofa Evan dan memandang
keluar jendela, pada kegelapan yang menyelimuti puncak bebangunan. Rasanya agak
kurang wajar tinggal di atas langit seperti ini, seperti burung yang karena
agak keras kepala bernyali untuk bersarang terlalu tinggi. Dia mengangguk ke
arah akuarium yang menyala, dan mengikik. “Aku merasa seperti burung,” ucapnya,
“dengan persediaan ikan sendiri.”
Evan mendesah. “Dia pulang dan langsung tiduran saja di sofa, menonton
pertandingan sepak bola yang tidak jelas. Sambil mengenakan krim dingin ala madam-madam
dan pengeriting rambut, kalau kau mengerti maksudku.”
Zoë duduk tegak, mengatur posisi bantal sofa. “Pertandingan sepak bola
yang tidak jelas itu maksudnya bagaimana?”
“Kami belum pasang kabel. Jadi semuanya kelihatan tidak jelas. Charlie
menontonnya begitu saja.”
“Hmm, ya, memang agak menyedihkan,” kata Zoë. Dia memandang tangannya.
“Terutama bagian tidak punya kabel itu.”
“Begini dia sewaktu naik ke kasur.” Evan berdiri untuk mendemonstrasikan.
“Dia melepaskan semua pakaiannya, dan sewaktu giliran celana dalamnya, dia
menjatuhkannya sampai mata kaki. Lalu dia menendangkan kakinya dan melontar
celana dalamnya itu ke udara dan menangkapnya. Aku, pastinya, mengamati dari
kasur. Tidak yang lain-lainnya. Begitu saja.”
“Mungkin sebaiknya kau akhiri saja dengan menikah.”
“Sungguh?”
“Ya, maksudku, kalian mungkin berpikir kalau tinggal bareng begini adalah
yang terbaik bagi kalian berdua, tapi—“ Zoë berusaha untuk terdengar seperti
seorang kakak; seorang kakak yang diharapkan dapat menjadi orangtua yang kau
tak pernah miliki, ibu yang keren, dan gaul. “Tapi menurutku begitu kalian
pikir kalau itu adalah keadaan yang terbaik bagi kalian berdua”—sekarang dia
memikirkan dirinya sendiri, sendirian di rumahnya, dengan serangga-serangga
bermuka kodok yang terbang ke sana kemari seperti liliput pada malam hari dan
mendarat di jendelanya, mengawasi; dengan sepatu ukuran empat belas yang
ditaruhnya di depan pintu, untuk menakut-nakuti maling; dengan boneka pompa
konyol yang disandarkannya pada meja makan atas saran seseorang—“keadaannya
bisa saja berbalik dan justru menjadi yang terburuk bagi kalian berdua.”
“Sungguh?” Evan berseri-seri. “Oh, Zoë. Ada yang ingin kusampaikan
kepadamu. Charlie dan aku memang akan
menikah.”
“Sungguh.” Zoë merasa bingung.
“Aku tidak tahu bagaimana menyampaikannya padamu.”
“Ya, kukira bagian tentang pertandingan sepak bola yang tidak jelas itu
agak menyesatkanku.”
“Aku berharap kau mau menjadi pendampingku di pernikahan,” ucap Evan,
menanti. “Tidakkah kau senang?”
“Ya,” ujar Zoë, dan dia mulai menceritakan kepada Evan tentang seorang
pemain biola pemenang penghargaan di Hilldale-Versailles—bagaimana pemain biola
tersebut pulang dari kompetisi di Eropa dan berpacaran dengan pria setempat
yang membuatnya menghadiri setiap pertandingan softball pria itu pada musim panas, menyoraki pria itu dari bangku
penonton, bersama para istri, sampai nantinya dia bunuh diri. Tapi ketika Zoë
sampai di separuh jalan, di bagian menyoraki pertandingan softball, dia berhenti.
“Hah?” ujar Evan. “Bagaimana kelanjutannya?”
“Sebenarnya, tidak terjadi apa-apa.” kata Zoë dengan enteng. “Dia menjadi
sangat antusias dengan softball. Kau
harus bertemu dengannya.”
Zoë memutuskan untuk menonton film menjelang malam, meninggalkan Evan
dengan tugas-tugas yang mesti beres sebelum pesta—“Aku harus mengerjakannya
sendiri, sungguh,” ujarnya, agak tegang setelah diceritakan tentang si pemain
biola. Zoë terpikir untuk mengunjungi museum seni, tapi wanita yang pergi
sendirian ke museum seni harus terlihat oke. Mereka selalu terlihat oke.
Bergaya dan serius, bergerak dengan gemulai, dengan tas tangan yang bagus.
Sebagai gantinya, dia berjalan-jalan menyusuri Kips Bay, melewati butik giwang
bernama Stick It in Your Ear, lalu salon rambut Dorian Gray. Itulah lucunya
“kecantikan”, pikir Zoë. Buka halaman kuning di buku telepon dan temukan
ratusan entri, jauh dari jenaka, dipercantik dengan peringatan. Tapi lihat
“kebenaran”nya—Ha! Tidak ada artinya sama sekali.
Zoë memikirkan Evan yang akan menikah. Akankah Evan menjadi seperti istri
Peter Pumpkin Eater[4]?
Nyonya Eater? Di pernikahan, akankah Zoë dibuatnya mengenakan semacam gaun
lavender berkelepak-kelepai, persis para pengiring lainnya? Zoë membenci
seragam. Sewaktu di kelas satu, dia menolak untuk menjadi bagian dari
Gadis-gadis Peri karena tidak mau mengenakan gaun yang sama dengan yang lain.
Sekarang dia mau-tak-mau harus mengenakannya. Tapi barangkali dia dapat
membedakan gaunnya dari yang lain. Mengangkat sebelah gaunnya dengan jepitan.
Menjahit bagian pinggangnya dengan benang bedah. Menyematkan pin bertulisan
“Shit Happens” besar-besar di korsetnya.
Di bioskop—judul filmnya Death by
Number—dia membeli beberapa batang gulali untuk digigiti dan dikunyah. Dia
mengambil tempat duduk agak ke tepi. Aneh rasanya menyadari kalau dia duduk
hanya sendirian. Dia berharap ruangan itu segera digelapkan. Ketika ruangan
sudah gelap, dan pertunjukannya dimulai, dia merogoh-rogoh bagian dalam
dompetnya untuk mencari kacamata. Benda itu ada di dalam plastik. Tisunya juga
ada di dalam plastik. Begitupun penanya, aspirinnya, dan permennya. Semuanya
dimasukkan ke dalam plastik. Beginilah dia adanya: seorang wanita sendirian di bioskop dan semua barangnya ada di dalam plastik.
Ada sekitar selusin orang yang datang ke pesta Halloween. Ada yang
mengenakan topeng monyet dengan lengan besar berambut lebat. Ada yang
berpakaian seperti leprechaun, juga
makanan beku. Ada yang membawa dua anak perempuan yang masih kecil: yang satu
menjadi balerina sedang saudarinya, juga berdandan seperti balerina. Ada
sekawanan penyihir seksi—para wanita yang sepenuhnya berpakaian hitam, dirias
dan dihias dengan cantiknya. “Aku benci para penyihir seksi itu. Tidak
mencerminkan semangat Halloween,” keluh Evan. Evan telah menyingkirkan topengnya
dan mendandani dirinya sebagai nyonya rumah, dengan pengeriting rambut dan
celemek, keputusan yang kini disesalinya. Charlie, karena menyukai ikan,
memiliki ikan, dan mengoleksi ikan, memutuskan untuk menjadi ikan. Ia
mengenakan sirip, dan mata-mataan di kedua sisi kepalanya. “Zoë! Apa kabar!
Maaf aku sedang tidak ada sewaktu kau baru datang!” Ia lalu menghabiskan
waktunya dengan mengobrol bersama para penyihir seksi.
“Ada yang bisa kubantu?” tanya Zoë pada adiknya. “Kau kelihatan capek.”
Dia menggosok-gosok lengan adiknya dengan lembut, seakan berharap kalau hanya
ada mereka berdua di situ.
“Oh, Tuhan, tidak sama sekali,” ujar Evan, yang sedang menata jamur
panggang di piring. Timer-nya
berbunyi. Ia menarik satu lagi nampan keluar dari oven. “Sebenarnya, kau tahu
apa yang kau bisa lakukan?”
“Apa?” Zoë mengenakan kepala tulangnya.
“Temuilah Earl. Dia pria yang ingin kukenalkan kepadamu. Kalau dia sudah
sampai di sini, mengobrollah sedikit dengannya. Dia baik. Dia asyik. Dia sedang
dalam proses perceraian.”
“Aku akan mencobanya,” Zoë mengerang. “Oke? Aku akan mencobanya.” Dia
menengok jam tangannya.
Ketika Earl muncul, kostumnya menyerupai wanita telanjang. Sabut baja
dilekatkan secara strategis pada stocking
yang membungkus tubuhnya. Payudara karet besar yang dikenakannya menyembul
seperti daging.
“Zoë, ini Earl,” sambut Evan.
“Senang berjumpa denganmu,” kata Earl. Lengannya melingkari Evan sementara
menjabat tangan Zoë. Ia menatap puncak kepala Zoë. “Tulangnya besar ya.”
Zoë menunduk, “Pentilmu juga,” ujarnya. Pandangannya menembus pria itu,
keluar jendela menuju kota yang memercikkan cahaya ke langit. Orang biasa
mengatakannya tampak bagai perhiasan, gelang atau kalung yang diburaikan.
Terlihat jam pada bangunan Con Ed, Empire State yang dibaluri oleh warna jingga
dan emas, Chrysler meluncur bagai kapal yang terbenam dalam kemuraman. Jauh
lagi ke barat tampak sepintas Astor Plaza, dengan atap putihnya yang melayang
bagai jubah biarawati. “Ada bir di balkon, Earl. Mau kuambilkan?” tanya Zoë.
“Tentu, eh, aku akan menyusul. Hai, Charlie, apa kabar?”
Charlie menyengir dan bersiul. Orang-orang menoleh. “Hei, Earl,” panggil
seseorang dari sisi lain ruangan. “Ada yang kece nih.”
Mereka menyelusup dengan susah payah di antara tamu-tamu lain, melewati
para monyet dan penyihir seksi. Tarikan pintu sorong mengeluarkan dengung. Zoë
dan Earl melangkah ke balkon, si kepala tulang dan wanita telanjang. Udara
malam menderu dan beruap dingin. Ada pasangan lain di sana, berbisik-bisik
berduaan. Mereka tidak mengenakan kostum. Mereka tersenyum pada Zoë dan Earl.
“Hai,” sapa Zoë. Dia menemukan wadah pendinginnya, menggali, dan mendapatkan
dua botol bir.
“Terima kasih,” sambut Earl. Payudara karetnya terlipat ke dalam, melekuk
dan penyok selagi ia berusaha membuka botol.
“Jadi,” desah Zoë dengan gugup. Dia harus belajar untuk mengendalikan
ketakutannya pada lelaki sebagaimana anak-anak belajar untuk tidak takut pada
cacing tanah atau kumbang. Seringkali pikirannya menjadi kacau saat bicara
dengan lelaki di pesta. Selagi lelaki itu mengoceh dengan sopannya, dia akan jatuh
cinta, menikah, lalu mendapati dirinya berada dalam pertarungan yang pahit
dengan lelaki itu untuk mempertahankan anak-anak dan menghiba perdamaian,
hingga dia tidak lagi memandang rendah pada lelaki yang telah banyak berkhianat
itu, dan, dalam beberapa menit pikirannya akan kembali ke tempat, mungkin
sembari mengingat-ingat apa nama belakang lelaki itu serta pekerjaannya,
sementara telah tercipta sejarah yang panjang di antara mereka. Dia akan
menunduk, mukanya memerah, dan berpaling.
“Evan bilang kau profesor sejarah. Kau mengajar di mana?”
“Cuma di seberang perbatasan Indiana yang menuju Illinois.”
Lelaki itu tampak agak terkejut. “Sepertinya Evan tidak menceritakan soal
itu padaku.”
“Tidak?”
“Tidak.”
“Yah, begitulah Evan, sewaktu masih anak-anak, kami sama-sama punya
kesulitan bicara.”
“Berat ya,” ucap Earl. Sebelah payudaranya terselip di balik lengannya
yang memegang minuman, namun yang satunya tampak merah muda dalam cahaya redup,
sebulat bulan purnama.
“Ya, tidak sepenuhnya merugikan sih. Kami biasa datang ke, kami
menyebutnya, perapi pipara. Selama sekitar sepuluh tahun itu, aku harus
memetakan setiap kalimat di dalam pikiranku, membayangkannya di depan kepala,
sebelum mengatakannya. Itu satu-satunya cara supaya aku bisa mengungkapkan
kalimat yang tertata.”
Earl menyesap birnya. “Bagaimana kau melakukannya? Maksudku, bagaimana kau
melaluinya?”
“Aku suka menceritakan lelucon. Lelucon yang sudah kuhapal. Aku tinggal
menceritakannya kembali. Aku suka lelucon. Lelucon dan lagu.”
Earl tersenyum. Ia memakai lipstik, warnanya merah menyala, tapi telah
luntur oleh bir. “Apa lelucon favoritmu?”
“Ah, lelucon favoritku mungkin—oke, begini. Ada orang masuk ke ruangan
dokter, lalu—“
“Sepertinya aku tahu yang satu ini,” sela Earl dengan bersemangat. Ia
ingin menceritakannya sendiri. “Ada orang yang masuk ke ruangan dokter. Dokter
itu bilang kalau ada kabar baik dan kabar buruk, yang itu, kan?”
“Mungkin,” ucap Zoë. “Mungkin ada versi yang lain.”
“Lalu orang itu bilang, ‘Beri tahukan kabar buruknya dulu,’ dan dokternya
bilang, ‘Baiklah. Hidupmu tinggal tiga minggu lagi. Orang itu berseru, ‘Tiga
minggu lagi! Dokter, lalu kabar baiknya apa?’ Dokter itu bilang, ‘Kau lihat
sekretaris di depan itu? Akhirnya aku berhasil ngentotin dia.”
Zoë mengernyit.
“Bukan itu yang kau mau ceritakan?”
“Bukan.” Ada tudingan dalam suaranya. “Punyaku beda.”
“Oh,”ucap Earl. Ia memalingkan muka lalu kembali. “Sejarah apa yang kau
ajarkan?”
“Kebanyakan sejarah Amerika—abad kedelapan belas dan kesembilan belas.”
Sewaktu kuliah, seringkali ada pertanyaan, “Jadi kau abad keberapa?”
“Kadang, aku mengajar topik khusus,” imbuhnya. “Misalnya, ‘Humor dan
Kepribadian di Gedung Putih’. Itu yang kutulis dalam bukuku.” Dia teringat akan
sesuatu yang seseorang pernah ceritakan kepadanya tentang burung punjung,
bagaimana mereka membangun sarang yang rumit sebelum kawin.
“Kau menulis buku tentang humor?”
“Yah, dan, sewaktu aku mengajar topik khusus seperti itu, itu mencakup
semua abad.” Jadi kau abad keberapa?
“Tiga-tiganya.”
“Apa?” Angin sepoi menerpa matanya. Lalu lintas berpusar di bawah mereka.
Dia merasa tinggi dan rendah sekaligus, seakan ada yang mengangkatnya ke surga
namun karena suatu kesalahan dia lalu ditolak.
“Tiga. Hanya ada tiga abad.”
“Aku fotografer,” sahut Earl. Wajahnya mulai berseri. Pipinya yang
dibubuhi pemerah itu melekat pada lengkungan di bawah matanya.
“Kau menyukainya?”
“Sebenarnya, aku mulai menyadari kalau pekerjaan itu agak membahayakan.”
“Sungguh?”
“Menghabiskan sepanjang waktu di kamar gelap dengan sinar merah dan
berbagai bahan kimia. Ada kaitannya dengan Parkinson, tahu kan?”
“Tidak, aku tidak tahu.”
“Kukira aku seharusnya pakai sarung tangan karet, tapi aku tidak
menyukainya. Kecuali kalau aku menyentuhnya secara langsung, aku pikir
sebenarnya tidak begitu.”
“Hmm,” tanggap Zoë. Alarm berdengung pelan di dalam kepalanya.
“Kadang, sewaktu aku sedang ada luka atau semacamnya, aku merasakan
sengatan dan kupikir, Sial. Aku
membasuhnya terus-menerus dan berharap saja. Aku tidak suka kulitku dilapisi
karet seperti itu.”
“Begitu ya.”
“Maksudku, kontak fisik. Itulah yang kuinginkan, atau kenapa sih
susah-susah?”
“Sepertinya,” ucap Zoë. Dia berharap dia mampu memikirkan suatu lelucon,
dia akan menyampaikannya pelan-pelan, tenang, dan akhirannya membikin napas
tertahan. Dia terpikir gorila, apabila mereka terlalu lama dibiarkan berdua
saja di kandang mereka akan memukul kepala satu sama lain alih-alih kawin.
“Apa kau—sedang menjalin suatu hubungan?” Earl tahu-tahu menyeletuk.
“Saat ini? Selagi kita mengobrol?”
“Maksudku, aku yakin kau punya hubungan tertentu di tempat kerjamu.” Senyuman, tipis saja, bersarang di mulutnya bagai
telur. Zoë teringat akan bagaimana penduduk kota-kota yang digempur selama
perang dunia memakan hewan-hewan di kebun binatang. “Tapi yang kumaksud adalah
dengan seorang pria.”
“Tidak, aku tidak punya hubungan dengan pria manapun.” Tangannya menggosok dagu dan merasakan adanya
sehelai rambut tegak. “Tapi terakhir aku berhubungan dengan pria yang sangat
menawan,” katanya. Mengarang. “Dari Swiss. Dia seorang ahli tumbuhan—tepatnya
rumput-rumputan. Namanya Jerry. Aku memanggilnya Jare. Dia lucu sekali.
Pergilah menonton film bersamanya dan yang diperhatikannya cuma tumbuhan. Dia
tidak mengindahkan plotnya sama sekali. Pernah, sewaktu menonton film yang ada
hutannya, dia mulai merepetkan nama Latin semua tumbuhan yang ada, keras-keras.
Mengasyikkan sekali buatnya.” Dia berhenti sejenak, mengambil napas. “Pada
akhirnya, dia kembali ke Eropa, untuk, euh, mempelajari edelweiss.” Dia menatap
Earl. “Kau sendiri apa sedang menjalin hubungan? Dengan seorang wanita?”
Earl berganti tumpuan beban. Lipatan pada stocking yang membalut tubuhnya pun berubah, menekuk ke luar
sehingga tampak pecah-pecah. Rambut kemaluannya tertarik ke sebelah pinggang,
seperti korsase yang biasa dikenakan oleh gadis-gadis di kedai minum. “Tidak," ucapnya, sembari berdeham. Sabut baja di ketiaknya surut hingga ke bisep.
“Aku baru saja bebas dari pernikahan yang penuh dengan percakapan buruk
seperti, ‘Kau ingin lebih banyak ruang?
Aku beri kau lebih banyak ruang!’”
Zoë memandangnya dengan simpati. “Sepertinya sulit untuk memulihkan cinta
sehabis itu.”
Mata pria itu bersinar. Ia memang ingin membicarakan soal cinta. “Tapi aku
tetap menganggap bahwa cinta itu semestinya seperti pohon. Kau lihat pohon itu
ada benjolan dan luka akibat tumor, gangguan hama, dan lain-lainnya, tapi
mereka masih bisa tumbuh. Walaupun ada benjolan dan bagian yang rusak,
mereka—baik-baik saja.”
“Ya, begitulah,” kata Zoë, “di tempatku berasal semua pria telah menikah
atau gay. Sudahkah kau menonton film Death by Number?”
Earl menatapnya, agak bingung. Zoë sedang berkelit darinya. “Belum,”
jawabnya.
Sebelah payudaranya merosot ke bawah lengannya, berkerut bagai roti
Prancis. Zoë terus memikirkan pepohonan, kebun binatang, orang-orang pada masa
perang yang memakan zebra. Dia merasakan sakit yang menusuk di area perutnya.
“Mau sedikit kudapan?” Evan muncul seraya menggeser pintu sorong. Dia
tersenyum walaupun pengeriting rambutnya telah melorot, menggantung lunglai di
ujung rambutnya bagai dekorasi Natal, bagai tabung makanan untuk burung. Ia
menyodorkan piring berisi jamur panggang.
“Kau minta donasi atau memberikannya cuma-cuma?” ujar Earl dengan jenaka.
Ia menyukai Evan, dan melingkarkan lengan ke bahunya.
“Omong-omong, aku akan kembali,” kata Zoë.
“Oh,” ucap Evan, penuh perhatian.
“Akan kembali. Aku janji.”
Di dalam, Zoë bersigegas melintasi ruang tengah memasuki kamar tidur,
menuju bak mandi. Di sana kosong; kebanyakan tamu menggunakan wastafel di dekat
dapur. Dia menyalakan lampu dan menutup pintu. Rasa sakitnya telah berhenti,
jadi dia tidak benar-benar harus ke kamar mandi. Bagaimanapun juga dia tetap di
sana, beristirahat. Cermin di atas wastafel menampakkan sosoknya yang tirus di
bawah kepala tulang. Warna kelabu keunguan merona di balik kulitnya bagai
burung burik yang bulunya habis dicabuti. Dia condong lebih dekat, mengangkat
sedikit dagunya hingga terlihat si rambut tegak. Di sana, di tepi rahang, tajam
dan hitam bagai kawat. Dia membuka lemari obat, merogoh-rogoh sampai menemukan
semacam pinset. Dia mendongakkan kepalanya lagi dan menyodok wajahnya dengan
ujung logam. Renggut, capit, dan luput. Di balik pintu, dia mendengar dua orang
mengobrol pelan. Mereka memasuki kamar tidur dan mendiskusikan sesuatu. Mereka
duduk di tempat tidur. Salah seorang terkikik sumbang. Zoë menikam dagunya
lagi, yang mulai berdarah sedikit. Dia menarik kulitnya kencang-kencang di
seputar tulang rahang, mencengkeram pinset keras-keras di bagian yang diharapnya
terdapat rambut, dan menyentak. Lapisan tipis kulit tercabut, tapi rambut itu
bergeming, darah menggenang di akarnya. Zoë menggertakkan gigi. “Ayolah,”
bisiknya. Pasangan di kamar tidur itu kini sedang bertukar cerita dengan pelan,
dan tertawa-tawa. Terdengar suara melambung dan berdecit pada kasur, dan kursi
digeret menjauh. Zoë mengarahkan pinsetnya dengan hati-hati, mencapit, lalu
menarik dengan lembut, dan kali ini rambutnya terbawa juga dengan denyut kecil
yang menyakitkan, dan luapan kelegaan yang besar. “Yeah!” desah Zoë. Dia meraih
tisu dan mengusapkannya ke dagu. Darah menodai tisu itu. Dia meraup lebih
banyak tisu dan menekankannya kuat-kuat sampai pendarahannya berhenti. Lalu dia
mematikan lampu, membuka pintu, dan siap untuk kembali ke pesta. “Permisi,”
ucapnya pada pasangan di kamar tidur. Mereka adalah pasangan yang tadi berada
di balkon, menatapnya dengan agak terkejut. Mereka sedang berangkulan sembari
mengulum permen batangan.
Earl masih berada di balkon, sendirian. Zoë bergabung kembali dengannya.
“Hei,” sapanya.
Ia berbalik dan tersenyum. Ia telah meluruskan kostumnya sedikit, meskipun
segala karakteristik jenis kelamin sekundernya agak hancur, ditakdirkan untuk
kusut, terlipat, dan melengket di mana-mana setiap saat. “Kau baik-baik saja?”
tanyanya. Ia telah membuka botol bir baru. Bunyinya terdengar seperti
letusan-letusan kecil.
“Oh, ya. Aku baru dari kamar mandi.” Dia berhenti sejenak. “Sebenarnya,
belakangan ini aku sering pergi ke dokter.”
“Ada masalah apa?” tanya Earl.
“Oh, sepertinya sih tidak ada masalah apa-apa. Tapi mereka membuatku
menjalani banyak tes.” Dia mendesah. “Ada sonogram, mammogram. Minggu depan aku
akan menjalani gulagulagram.” Pria itu menatapnya dengan penuh perhatian.
“Terlalu banyak gram,” sambungnya.
“Nih, aku simpankan untukmu.” Ia mengulurkan serbet berisi dua bongkah
jamur panggang. Sudah dingin dan meninggalkan jejak berminyak di serbet.
“Terima kasih,” sambut Zoë, dan menjejalkan keduanya ke dalam mulut.
“Sekadar pemeriksaan,” lanjutnya dengan mulut penuh. “Kalau aku beruntung,
paling-paling operasi kantong empedu.”
Earl menyeringai. “Jadi adikmu akan menikah,” katanya, mengubah topik.
“Serius nih, bagaimana pendapatmu soal cinta?”
“Cinta?” Bukannya mereka sudah selesai
membicarakannya tadi? “Entahlah.” Dia mengunyah sembari berpikir dan menelan.
“Baiklah. Begini pendapatku soal cinta. Aku punya cerita. Seorang temanku—“
“Ada sesuatu di dagumu,” sela Earl, tangannya menjangkau hendak menyentuh.
“Apa?” ucap Zoë, melangkah mundur. Dia memalingkan wajah dan menutup
dagunya. Serpihan tisu menempel di sana, seperti selotip. “Bukan apa-apa,”
ujarnya. “Ini cuma—bukan apa-apa.”
Earl menatapnya.
“Bagaimanapun juga,” sambungnya, “temanku ini pemain biola pemenang
penghargaan. Dia berkelana ke seluruh Eropa dan memenangkan banyak kompetisi;
dia membuat rekaman, mengadakan konser, dan menjadi terkenal. Tapi dia tidak
punya kehidupan sosial. Jadi suatu hari, dia berusaha sekuat tenaga untuk
merebut hati konduktor yang membuatnya tergila-gila. Pria itu menampiknya,
mencacinya secara halus, dan memulangkannya ke kamar hotel. Setelah itu, dia
pulang dari Eropa. Dia pulang ke kampung halamannya, berhenti memainkan biola,
dan menjalin hubungan dengan pemuda setempat. Kejadiannya di Illinois. Setiap
malam lelaki itu membawanya ke bar untuk minum-minum dengan kawan-kawannya dari
tim Big Ten[7].
Lelaki itu suka mengatakan hal-hal seperti ‘Katrina suka main biola lo,’ dan
lalu mencubiti pipinya. Suatu ketika dia mengajaknya pulang, lelaki itu bilang,
‘Hei, kau pikir dirimu terlalu beken untuk tempat seperti ini? Kuberi tahu kau
satu hal. Kau boleh saja menganggap dirimu beken, tapi kau tidak sebegitunya beken. Tak ada seorang pun
di sini yang pernah mendengar tentangmu.’ Lalu lelaki itu bangkit dan membeli
serenteng minuman untuk setiap orang kecuali dia. Dia mengambil mantelnya,
pulang, dan menembakkan peluru ke kepalanya.”
Earl membisu.
“Begitulah akhir dari cerita cintaku,” ungkap Zoë.
“Kau sama sekali tidak seperti adikmu,” kata Earl.
“Oh, begitu ya,” ucap Zoë. Udara semakin dingin, angin bersenandung parau
dalam nada minor bagai nyanyian pemakaman.
“Tidak.” Pria itu tidak ingin membicarakan soal cinta lagi. “Kau tahu, kau
sebaiknya memakai lebih banyak warna biru—biru dan putih—di sekitar wajahmu.
Itu akan mengeluarkan auramu.” Ia menjulurkan sebelah lengannya untuk
menunjukkan bagaimana gelang biru yang ia kenakan akan tampak menguatkan warna
kulit Zoë, tapi Zoë menepisnya.
“Katakan, Earl, apakah kata ‘aneh’ penting artinya bagimu?”
Pria itu melangkah mundur, menjauh darinya. Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya dengan sangsi. “Kau tahu, aku tidak seharusnya mencoba berkencan
dengan wanita karier. Kalian semua sakit. Orang bisa tahu kehidupan macam apa
yang kalian jalani. Aku lebih baik dengan wanita yang bekerja paruh-waktu
saja.”
“Oh, ya?” tukas Zoë. Dia pernah membaca artikel berjudul “Wanita
Profesional dan Demografis Kesedihan”. Atau, bukan, itu puisi. Apabila danau, sinar bulan akan
mengarunginya dalam surup. Dia mengingat baris itu. Tapi mungkin judulnya
adalah: “Ruang Hampa: Estetika dalam Kekosongan”. Atau mungkin: “Gipsi Luar
Angkasa: Cewek-cewek Kuliahan”. Dia lupa.
Earl berpaling dan bersandar pada pagar balkon. Malam melarut. Di dalam,
para tamu mulai meninggalkan pesta. Para penyihir seksi telah pergi. “Jalani
dan pahami,” gumam Earl.
“Jalani dan jadilah bebal,” balas Zoë. Di bawah mereka, Lexington tampak
sepi dari mobil, hanya kilatan emas dari taksi yang melintas sesekali. Pria itu
bertumpu pada sikunya, termenung.
“Lihat orang-orang di bawah sana,” ucapnya. “Mereka tampak seperti
kumbang. Kau tahu kalau kumbang-kumbang dikendalikan oleh hormon kumbang
betina? Kumbang jantan dibikin kacau karena hormon ini sehingga mereka merusak
apapun yang ada di depan mereka—pohon, batu, apapun selain kumbang betina.
Pengendalian populasi. Itulah yang terjadi di negara ini,” ujarnya sembari
mabuk. “Hormon tersebar ke mana-mana, dan sekarang para lelaki pada menyerbu
batu-batu. Batu!”
Di bagian belakang tubuh pria itu tergambar bokong yang lebar, berupa
garis hitam sederhana di atas permukaan merah muda, ditoreh menggunakan Magic
Marker seperti dalam komik-komik humor. Zoë mendekat, lambat-lambat, dari
belakang, dan menyenggolnya. Lengan pria itu tergelincir ke depan, melampaui
pagar, ke arah jalan. Bir tumpah dari botolnya, menghujani jalan sejauh dua
puluh lantai di bawah sana.
“Hei, apa yang kau lakukan!” semburnya seraya berjengit. Ia berdiri tegak
dan waspada, menjauh dari pagar, menghindari Zoë. “Kau ini kenapa sih?”
“Cuma bercanda,” sahut Zoë. “Aku cuma main-main.” Tapi pria itu menatapnya
dengan terkejut sekaligus takut. Bokongnya yang terbuat dari Magic Marker
sekarang mengarah ke perkotaan. Wanita jadi-jadian telanjang dengan perhiasan
berwarna biru di pergelangan tangannya, terjebak di balkon bersama—bersama apa? “Sungguh, aku cuma bercanda!” seru Zoë.
Angin menerbangkan rambutnya menuju angkasa, melalui tulang di atas kepalanya. Apabila
danau, cahaya bulan akan mengarunginya dalam surup. Dia tersenyum pada pria itu
dan ingin tahu bagaimana dirinya terlihat.[]
[1] Perusahaan Amerika yang
bergerak di bidang penerbitan dan informasi keuangan
[2] Tokoh dalam cerita
anak-anak populer dari Swiss yang berkarakter cerdas dan ceria. Heidi
seringkali digambarkan berambut pirang,
padahal dalam cerita aslinya berambut gelap dan ikal.
[3] Seorang sekretaris yang
terlibat skandal politik di Amerika Serikat pada masa pemerintahan Ronald
Reagan
[4] Lagu anak-anak di
Amerika Serikat abad ke-19 tentang orang yang menaruh istrinya di dalam labu
[5] Koloni Inggris pertama di Amerika Serikat, didirikan pada tahun 1607
[6] The Pilgrims, sebutan
untuk para pemukim pertama di Plymouth, Massachusetts, Amerika Serikat. Koloni
Inggris kedua yang berhasil setelah Jamestown, didirikan pada tahun 1620.
[7] Kumpulan perguruan
tinggi di wilayah Midwestern, Amerika Serikat, yang terkenal antara lain karena
prestasi olahraganya
Alih bahasa dari cerpen Lorrie Moore, "You're Ugly, Too" (1990)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar