Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20140827

Kau Juga Jelek (Lorrie Moore, 1990)

Sesekali kau mesti keluar dari kota-kota di Illinois yang bernama lucu itu: Paris, Oblong, Normal. Pernah, sementara Dow Jones[1] menurunkan dua ratus berita pokok, sebuah koran lokal memajang judul besar-besar: “Pria Normal Menikahi Wanita Oblong”. Mereka juga tahu apa yang pokok. Sungguh! Tapi sesekali kau mesti keluar sebentar saja, sekalipun hanya melintasi perbatasan Terre Haute untuk menonton film.

Di luar Paris, di tengah sebidang lahan yang luas, terpencar beberapa bangunan yang merupakan sebuah kampus ilmu-budaya kecil bernama Hilldale-Versailles. Di sana sudah tiga tahun ini Zoë Hendricks mengajar Sejarah Amerika. Dia mengajar “Revolusi dan Perkembangannya” kepada mahasiswa tahun pertama dan tahun kedua, dan setiap tiga semester ada seminar jurusan bagi mahasiswa tingkat akhir. Kendati hasil penilaian mahasiswa terhadap dirinya keliru selama satu setengah tahun terakhir ini—Profesor Hendricks sering telat memasuki kelas dan biasanya datang dengan membawa secangkir kopi yang ditawarkannya seicip-icip—para pria di jurusannya secara umum senang dengan keberadaannya. Mereka merasa dirinya menambah sentuhan feminin yang dibutuhkan di sepanjang koridor—jejak samar parfum Obsession dan keringat, ketukan hak sepatu yang ringan dan cepat. Selain itu, setelan yang dikenakan oleh kedua jenis kelamin pun berbeda, yang menurut dekan menunjukkan perjalanan masa.

Mereka mengerti bahwa situasi ini tidaklah mudah bagi dirinya. Pernah, pada awal semester kemarin, dia memasuki ruang kuliah sembari menyanyikan “Getting to Know You”—sampai tuntas. Atas permintaan dekan, ketua jurusan memanggilnya ke kantor, tapi tidak benar-benar memintanya untuk memberi penjelasan. Pria tersebut menanyakan keadaannya lalu tersenyum bak seorang paman. Dia menjawab, “Baik,” dan pria itu mencermati bagaimana kata itu diucapkan dengan gigi depan menginjak bagian dalam bibir bawah. Dia bisa dibilang cantik, namun wajahnya menampakkan ketegangan dan ambisi untuk berakrab-akrab yang tidak terlalu. Garis yang membingkai matanya digurat secara berlebihan. Antingnya agak menakutkan, mencuat dari sisi kepalanya bagai antena—tak diragukan bahwa dia mengenakannya untuk mengatasi roman yang kurang ekspresif.

“Aku mau gila,” kata Zoë pada adik perempuannya, Evan, di Manhattan. Profesor Hendricks sepertinya hafal semua soundtrack film The King and I. Beginikah sejarah? Zoë meneleponnya setiap Selasa.

“Kau selalu bilang begitu,” ujar Evan, “tapi lalu kau pergi jalan-jalan dan liburan dan mengurus kembali pekerjaanmu lalu tenang sebentar dan kau bilang kau baik-baik saja, kau sibuk, dan sebentar kemudian kau bilang kau mau gila lagi, dan kau mulai lagi semuanya.” Evan bekerja sebagai desainer makanan paruh waktu untuk pembuatan foto. Ia memasak sayuran dalam cat hijau, menyangga beef stew dengan alas dari kelereng, serta berbelanja jenis-jenis baru semprotan silikon dan kotak es. Ia merasa kehidupannya beres-beres saja. Sudah bertahun-tahun ini ia tinggal bersama pacarnya, yang secara mandiri kaya serta memiliki pekerjaan kecil yang menarik di penerbitan buku. Sudah lima tahun mereka keluar dari kampus. Mereka tinggal di ketinggian di pusat kota dengan sebuah balkon dan akses ke kolam renang. “Tidak seperti kalau kita punya kolam sendiri,” Evan selalu mengeluh, seakan ingin Zoë tahu bahwa, sebagaimana kakaknya itu, masih ada hal-hal yang tidak dimilikinya.

“Illinois. Tinggal di sini membuatku jadi sarkastis,” kata Zoë di telepon. Seorang mahasiswa pernah bertanya kepadanya, “Anda pakai parfum apa?” “Penyegar ruangan,” jawabnya. Dia tersenyum, sementara mahasiswa itu menatapnya dengan ngeri. Dia biasanya bersikukuh bahwa itu ironi, sesuatu yang secara halus menyelubungi namun memikat, sesuatu yang ganjil di Midwest ini, tapi para mahasiswa terus menyebutnya sarkasme, sesuatu yang bagi mereka lebih mudah untuk diterima, dan sekarang dia mau-tak-mau menuruti. Itu bukan ironi.

Para mahasiswanya secara umum adalah penduduk Midwestern yang baik, terisi oleh estrogen yang didapat dari daging dan telur dalam jumlah besar. Mereka mewarisi nilai-nilai daerah pinggiran dari orangtua mereka; orangtua mereka memberikan mereka banyak barang, barang, dan barang. Mereka puas dengan diri mereka sendiri. Mereka telah disuap. Mereka dipersenjatai dengan kekaburan yang sehat akan segala hal yang historis maupun geografis. Mereka sebenarnya tahu sangat sedikit tentang segala sesuatu, tapi tidak menyombongkannya. “Semua negara bagian di Timur itu bentuknya kecil dan berigi-rigi, letaknya bergerombol,” keluh seorang mahasiswa pada minggu dia memberi kuliah tentang “Titik Balik Kemerdekaan: Pertempuran di Saratoga”. “Profesor Hendricks, Anda aslinya dari Delaware, kan?” mahasiswa itu bertanya kepadanya.

“Maryland,” Zoë membetulkan.

“Aw,” ucap mahasiswa itu, mengibaskan tangannya dengan cuek, “New England.”

Artikelnya—yang menjadi bab dalam buku berjudul Penggunaan Humor dalam Kepresidenan Amerika—mendapat sambutan baik kendati tak seketika. Dia senang tulisannya berada di dalam buku dan dapat dinikmati pada waktu kapanpun—dia tidak mempercayai hal-hal yang hanya tertulis di koran pagi—jadi dia membaca ulang dan menulis ulang dengan saksama. Tak dibiarkannya cuaca dan keadaan apapun pada hari itu mengusiknya. Kadang dia berkutat dengan satu tulisan selama setahun, memperbaikinya sepanjang waktu, hingga tiada hari yang tak dilewatkannya untuk itu.

Sebelum di Hilldale-Versailles, dia bekerja di sebuah kampus kecil di New Geneva, Minnesota, Tanahnya Pusat Perbelanjaan yang Sekarat. Setiap orang di sana berambut pirang sehingga yang berambut cokelat seringkali dianggap berasal dari luar negeri. Hanya karena Profesor Hendricks berasal dari Spanyol bukan berarti dia boleh bersikap negatif pada negara kita. Kebahagiaan merupakan hal yang umum. Di New Geneva kau tidak sepatutnya mengkritik ataupun mengeluh. Kau tidak sepatutnya menyinggung bahwa kota itu terlalu berlebihan dan malnya acak-acakan lagi murahan. Kau tidak bisa mengatakan bahwa kau tidak “baik-baik saja, terima kasih—bagaimana denganmu?” Kau harus menjadi Heidi[2]. Kau harus membawa susu kambing menaiki bukit tanpa banyak pikir. Heidi tidak mengeluh. Heidi tidak berbuat macam-macam seperti berdiri di depan mesin fotokopi IBM baru sembari menggerutu, “Kalau mesin Xerox sialan ini rusak lagi, bakalan kugorok pergelangan tanganku.”

Namun kini dalam pekerjaannya yang kedua, pada tahun keempat mengajar di Midwest, Zoë mendapat sesuatu yang tak pernah disangkanya: tebing terjal, rapuh, lagi curam. Pernah ada masa dia memanjakan mahasiswa, bernyanyi untuk mereka, pun membiarkan mereka menelepon ke rumah, mengajukan pertanyaan-pertanyaan pribadi, namun kini dia kehilangan simpati. Sikap mereka mulai berubah. Mereka menjadi manja dan banyak pinta.

Kata seorang mahasiswa seminar tingkat akhir dalam suatu pertemuan reguler, “Anda bersikap seakan pendapat Anda lebih berharga ketimbang siapapun di ruangan ini.”

Mata Zoë melebar. “Lo, saya kan pengajarnya,” ujarnya. “Saya dibayar untuk bersikap begitu.” Dia memicingkan tatapannya pada mahasiswi tersebut, yang mengenakan pita kulit besar di rambutnya bagai gadis penggembala dalam acara tentang peternakan di TV. “Maksud saya, kecuali kalau setiap orang di ruangan ini juga punya kantor dan jam kerja.” Kadang Profesor Hendricks mencatut waktu kuliah hanya untuk menceritakan film yang ditontonnya. Dia menatap mahasiswi itu lagi lalu menambahkan, “Sepertinya Anda bakalan begitu.”

“Mungkin saya kedengarannya seperti merengek,” kata gadis itu, “tapi yang saya inginkan hanya supaya kuliah sejarah ini ada artinya buat saya.”

“Itu masalah Anda,” sahut Zoë. Dengan senyuman, dia mengarahkan gadis itu ke pintu. “Saya suka pitamu,” imbuhnya.

Zoë hidup demi surat, demi petugas pos—burung biru yang tampan itu—dan begitu dia mendapatkan surat betulan dengan perangko betulan dari suatu tempat lainnya, dia membawanya ke kasur dan membacanya lagi dan lagi. Dia juga menonton televisi sampai lama dan tenggelam di kamar tidur—pertanda buruk. Profesor Hendricks mengkritik Fawn Hall[3], agama Katolik, dan seluruh negara bagian Illinois. Tidak bisa dipercaya. Pada momen Natal, dia memberikan tip dua puluh dolar pada pengantar surat dan Jerry, satu-satunya pengemudi taksi di kota itu. Dia mengenal pria itu berkat seluruh perjalanannya ke dan dari bandara Terre Haute. Pria itu menyadari bahwa perjalanan semacam itu merupakan pemborosan, sehingga sering memberikan potongan tarif kepadanya.

“Aku akan terbang mengunjungimu akhir pekan ini,” Zoë mengabarkan.

“Aku harap kau sungguh datang,” kata Evan. “Charlie dan aku akan mengadakan pesta Halloween. Bakalan seru.”

“Aku sudah punya kostumnya. Kepala tulang. Bentuknya seperti tulang besar yang menembus kepala.”

“Bagus,” kata Evan.

“Memang.”

“Aku hanya punya topeng dari tahun lalu dan tahun sebelumnya lagi. Kemungkinan sewaktu menikah aku akan memakainya juga.”

“Kau dan Charlie mau menikah?” Zoë merasa agak tersengat.

“Hmmmmmmenggak, enggak buru-buru sih.”

“Jangan menikah.”

“Kenapa?”

“Pokoknya jangan dulu. Kau terlalu muda untuk menikah.”

“Kau bilang begitu hanya karena kau lebih tua lima tahun daripadaku dan kau belum menikah.”

Aku belum menikah? Oh, ya Tuhan,” ujar Zoë. “Aku lupa kalau belum menikah.”

Zoë telah berkencan dengan tiga pria sejak dia bekerja di Hilldale-Versailles. Salah seorang dari mereka bekerja di pemerintahan kota. Pria itu mengurus tiket parkir yang dibawanya untuk protes, lalu mengajaknya mengopi bareng. Awalnya, dia pikir pria itu mengagumkan—akhirnya, ada seseorang yang tidak menginginkan Heidi! Tapi segera dia menyadari bahwa semua pria, jauh di lubuk hati, menginginkan Heidi. Heidi dengan potongan leher baju yang rendah. Heidi dengan selera dalam berpakaian. Birokrat tiket parkir itu lantas menjadi bosan dan angin-anginan. Pada satu hari di musim gugur yang dingin, di dalam mobil convertible yang keren namun tak berguna milik pria itu, ketika Zoë menanyakan apa yang salah, pria itu menjawab, “Kau tidak bakalan kenapa-kenapa kalau pakai baju baru, mengerti kan.” Zoë sering sekali mengenakan korduroi hijau-kelabu. Menurutnya, pakaian itu menguatkan kesan yang dipancarkan oleh matanya, sepasang bintang yang malu-malu. Dia menyentil semut yang ada di bahunya.

“Haruskah kau menyingkirkannya di dalam mobil?” ujar pria itu sambil menyetir. Tatapannya turun ke arah dadanya sendiri, pertama-tama ke sebelah kiri, lalu ke sebelah kanan, pemeriksaan singkat. Pria itu mengenakan kaos ketat.

“Maksudnya?”

Pria itu melambankan laju dalam cahaya kekuningan dan mengernyit. “Tidak bisakah kau memungutnya dan membuangnya keluar?”

“Semutnya? Dia bisa saja menggigitku. Maksudku, memang apa sih bedanya?”

“Dia bisa saja menggigitmu! Ha! Dasar konyol! Sekarang semut itu bakalan bertelur di mobilku!”

Pria yang kedua lebih manis, kendati lebih tolol dan tidak sensitif terhadap lukisan dan lagu tertentu. Namun seringkali pria itu mengejutkannya dengan hal-hal yang ia lakukan atau katakan. Pernah, di suatu restoran, pria itu diam-diam mengambil hiasan pada piring makanannya dan menanti reaksinya. Karena Zoë tidak kunjung menyadari, pria itu akhirnya menyodorkan kepalan tangannya melintasi meja dan berkata, “Lihat.” Ketika tangannya membuka, terdapat gumpalan kisut tangkai peterseli dan irisan jeruk. Pada lain waktu, pria itu menceritakan perjalanannya belum lama itu ke Louvre. “Aku sedang berada di depan lukisan Delacroix, The Barque of Dante. Yang lainnya menjauh entah ke mana. Jadi aku bisa menikmati karya itu sendirian. Bayangan yang amat memilukan merenggang keluar dari lukisan itu ke segala arah. Muncul gerakan di pojok lukisan, terbang berputar-putar sampai membentuk kain merah yang menjadi tudungnya Dante, melingkar-lingkar ke kejauhan, tampak semburat jingga—“ Pria itu kehabisan napas selagi bercerita. Menurut Zoë ini menyentuh, dia tersenyum memberikan dorongan. “Lukisan semacam itu,” pria itu melanjutkan, menggeleng-gelengkan kepalanya, “hanya membuatmu merasa tidak ada artinya.”

“Ada yang perlu kutanyakan,” sahut Evan. “Aku mengerti setiap wanita mengeluh karena tidak menemukan pria, tapi nyatanya, dalam pemotretan-pemotretan yang kulakukan aku bertemu dengan banyak pria. Dan tidak semuanya gay, lagian.” Ia berhenti sejenak. “Tidak lagi.”

“Jadi apa yang kau tanyakan?”

Pria yang ketiga adalah profesor ilmu politik bernama Murray Peterson. Ia gemar mengadakan kencan ganda dengan kolega yang istrinya sedang ia dekati. Biasanya, para istri juga ingin bermain-main dengannya. Di bawah meja kadang terjadi senggol-menyenggol kaki, dan pernah juga senggol-menyenggol lutut. Zoë dan si suami dibiarkan dengan makanan mereka, menatap gelas minuman dan mengunyah seperti kambing. “Oh, Murray,” ucap si istri, yang tidak menyelesaikan masternya dalam bidang terapi fisik dan berpenampilan menawan. “Tahukah kau, aku tahu segalanya tentang dirimu: hari ulang tahunmu, nomor plat mobilmu. Aku mengingat semuanya. Tapi memang begitulah otakku. Pernah, di satu pesta makan malam, aku mengejutkan tuan rumah sewaktu bangkit dan menyalami setiap orang yang ada di sana sambil menyebutkan nama mereka, nama depan dan belakang.”

“Aku tahu ada anjing yang bisa begitu,” kata Zoë dengan mulut penuh. Murray dan si istri menatapnya dengan ekspresi jengkel dan sengit, tapi mendadak si suami tampak mengedip dan geli. Zoë menelan makanannya. “Itu semacam percobaan di Lab. Setelah sekitar sepuluh menit mendengarkan percakapan makan malam, anjing ini hafal nama semua orang. Kalau kita bilang, ‘Bawakan pisau ini ke Murray Peterson,’ anjing ini akan melakukannya.”

Begitu ya,” cetus si istri, memberengut, dan Murray Peterson tidak pernah menghubungi lagi.

“Apa ada orang yang sedang menjadi perhatianmu?” ucap Evan. “Aku menanyakannya karena ada maksud tertentu. Bukan sekadar ikut-ikutan Ibu.”

“Aku sedang punya perhatian pada rumahku. Aku merawatnya ketika dia basah, menangis, dan muntah.” Zoë baru membeli rumah peternakan berwarna hijau permen di dekat kampus, meski sekarang dia berpikir bahwa mungkin dia tidak semestinya memiliki rumah itu. Sulit rasanya meninggali sebuah rumah. Dia terus berkeluyuran keluar masuk ruangan, memikirkan di mana dia menaruh barang-barangnya. Dia menuruni tangga menuju ruang bawah tanah tanpa alasan apapun selain karena senang rasanya memiliki ruang bawah tanah sendiri. Dia juga senang karena memiliki pohon sendiri.

Kedua orangtuanya, di Maryland, sangat senang salah satu anak mereka akhirnya mampu memiliki properti sendiri. Ketika dia hampir mendapatkan rumah itu, mereka mengirimkan bunga beserta kartu ucapan selamat kepadanya. Ibunya bahkan memaketkan sekotak majalah dekorasi lawas yang selama ini disimpannya—foto berbagai ruangan cantik yang ibunya biasa pandangi bolak-balik, karena tak pernah ada cukup uang untuk mendekorasi ulang. Isi kotak itu terasa seperti koleksi pornografi milik ibunya, ikut melelehkan liurnya dengan fantasi, harapan dan godaan tak berujung yang telah menjadi hidupnya. Namun bagi ibunya itu menjadi semacam ritual yang menyenangkan. “Barangkali kau bisa memperoleh ide dari majalah-majalah itu,” tulis ibunya. Dan begitu Zoë memandangi foto-foto itu, ruangan-ruangan yang indah dan megah, dirinya dipenuhi oleh hasrat. Gagasan akan hasrat.

Sekarang ini rumah Zoë sedikit lengang. Pemilik sebelumnya melapisi dinding dengan perabotan, menyisakan kekosongan dan siluet yang ganjil di dinding, dan Zoë belum menanganinya. Dia telah membeli perabotan, lalu mengembalikannya, menambahkan perabotan dan menguranginya, mempersiapkan dan menggelontornya, seperti rahim. Dia telah membeli beberapa peti polos dari kayu tusam untuk digunakan sebagai bangku untuk berdua-duaan atau kotak sepatu bot, tapi peti itu semakin lama semakin terlihat seperti peti mati untuk anak-anak, sehingga dia mengembalikannya. Dan belum lama ini dia membeli permadani Oriental untuk ruang tengah, berhiaskan simbol China yang artinya dia tidak mengerti. Pramuniaganya terus meyakinkan bahwa simbol itu berarti “Kedamaian” dan “Kehidupan yang Abadi”, namun ketika permadani itu sampai di rumah Zoë merasa khawatir. Bagaimana kalau arti sebenarnya dari simbol itu bukanlah “Kedamaian” dan “Kehidupan yang Abadi”? Bagaimana kalau ternyata simbol itu berarti, katakanlah, “Bruce Springsteen”? Semakin dia memikirkannya, semakin dia yakin bahwa permadaninya bertuliskan “Bruce Springsteen”, dan jadilah barang itu dia kembalikan juga.

Dia juga membeli cermin barok kecil untuk lorong masuk di depan rumah, yang menurut Murray Peterson dapat mengusir roh jahat. Cermin itu, bagaimanapun juga, cenderung membuatnya merasa ngeri. Dia ketakutan dengan adanya bayangan seorang wanita yang selama ini diabaikannya. Kadang wanita itu tampak lebih tembam dan lebih pucat daripada yang diingatnya. Kadang licik dan suram. Seringnya dia tampak buram. “Kau terlihat seperti orang yang kukenal,” tahun lalu sudah dua kali ada orang asing yang mengatakan demikian kepadanya di restoran di Terre Haute. Nyatanya, kadang dia agaknya tidak mengamati penampilannya sendri, atau mengamati apapunlah. Mulai terasa menarik baginya bahwa para mahasiswa dan koleganyalah yang dapat mengenali bagaimana dirinya. Bagaimana mereka bisa tahu? Ketika dia memasuki ruangan, bagaimana penampilannya sehingga mereka tahu bahwa itu dirinya? Seperti inikah? Apakah dia terlihat seperti ini? Dan cermin itu pun dia kembalikan.

“Aku menanyakannya karena aku kenal seorang pria yang menurutku sebaiknya kau jumpai,” kata Evan. “Dia asyik. Dia lurus. Dia lajang. Itu saja yang bisa kusampaikan.”

“Kukira aku sudah kelewat tua untuk bersenang-senang,” balas Zoë. Ada sehelai rambut tegak di dagunya, dan sekarang terasa oleh jarinya. Agaknya ketika kau sudah terlalu lama tidak berhubungan dengan lawan jenis, kau mulai menyerupai mereka. Dalam upaya pencarian yang tanpa harapan, jenggotmu mulai tumbuh dengan sendirinya. “Aku sekadar ingin datang, mengenakan kepala tulangku, berkunjung bersama ikan-ikan tropisnya Charlie, menanyaimu soal pemotretan makanan.”

Dia teringat akan semua makalah untuk kuliah “Pengaruh Konstitusi dalam Kehidupan Masyarakat” yang dia harus koreksi. Dia teringat bahwa dia harus menjalani tes ultrasound pada hari Jumat, sebab menurut dokternya dan asisten dokternya, ada sesuatu yang misterius tumbuh membesar di perutnya. Kantong empedu, kata mereka. Atau indung telur atau usus besar. “Kalian ini betul orang kedokteran?” tanya Zoë, keras-keras, setelah mereka meninggalkan ruangan. Pernah, semasa muda, dia membawa anjingnya ke dokter hewan, yang memberitahunya, “Entah anjingmu cacingan atau punya kanker atau yang lainnya, yang jelas dia ditabrak mobil.”

Dia menantikan kepergiannya ke New York.

“Apalah. Pokoknya bakal keren. Aku tak sabar berjumpa denganmu, say. Jangan lupa kepala tulangmu,” kata Evan.

“Kepala tulang yang tidak akan kau lupakan,” sambut Zoë.

“Pastinya,” ujar Evan.

Zoë merahasiakan ultrasound, bahkan dari Evan. “Aku merasa seperti sedang sekarat.” Sekali itu saja Zoë mengisyaratkannya lewat telepon.

“Kau bukannya sekarat,” ucap Evan,” kau cuma dongkol.”



Ultrasound,” ucap Zoë dengan nada kelakar pada teknisi yang mengoleskan gel dingin ke perutnya yang telanjang. “Bukankah itu terdengar seperti sistem stereo yang canggih banget atau apa?”

Belum ada lagi orang yang membuatnya secerewet itu menyangkut perutnya yang telanjang sejak pacarnya semasa kuliah, yang menemaninya kapanpun dia merasa sakit, mengangkat lengan, menekankan tangan di atas pusarnya, dan berseru dengan memanjang-manjangkan kata bak seorang evangelis, “Sembuh! Sembuhlah demi engkau Bayi Yesus!” Zoë akan tertawa dan mereka akan bercinta. Keduanya diam-diam berharap dia akan hamil. Lalu mereka akan sama-sama cemas, dan pacarnya akan membenamkan pipi ke perutnya dan bertanya apakah dia telat, apa dia telat, apa dia yakin, barangkali dia telat, dan setelah dua tahun dia tidak kunjung hamil mereka mulai cekcok dan berpisah.

“Ya,” kata teknisi itu sambil melamun.

Monitornya menyala. Bagian dalam tubuh Zoë muncul di layar, menampakkan rongga kelabu dan bergurat-gurat. Serupa marmar dengan gradasi halus antara hitam dan putih, bagai bebatuan di gereja tua atau gambar permukaan bulan. Ocehnya pada si teknisi, “Menurutmu apakah meningkatnya kemandulan pada banyak pasangan di negeri ini disebabkan sepenuhnya oleh adanya spesies lain yang sedang berusaha untuk bereproduksi?” Teknisi itu menggerakkan pemindai berputar-putar dan menayangkan lebih banyak gambar. Ada satu penampakan, di sisi kanan Zoë, yang menjadi perhatian teknisi tersebut. Mesin yang dioperasikannya berbunyi.

Zoë menatap layar. “Sepertinya yang tumbuh di bagian situ,” tunjuk Zoë.

“Saya tidak tahu persis,” kata teknisi itu dengan kaku. “Dokter Anda akan mendapatkan laporannya dari ahli radiologi sore ini dan menelepon Anda.”

“Saya mau keluar kota,” ujar Zoë.

“Sayang sekali,” sahut si teknisi.

Menyetir pulang, Zoë menatap kaca spion dan menyadari bahwa dirinya terlihat—bagaimana ya menggambarkannya? Agak pucat. Dia teringat akan lelucon tentang seorang pria yang mengunjungi dokternya. Dokter itu berkata, “Maaf, hidupmu tinggal enam minggu lagi.”

“Aku ingin pendapat lainnya,” kata pria itu. Anda bersikap seakan pendapat Anda lebih berharga ketimbang siapapun di ruangan ini.

“Kau ingin pendapat lainnya? Baiklah,” kata dokter itu. “Kau juga jelek.” Dia menyukai lelucon itu. Menurutnya itu sangat amat lucu.

Dia memesan taksi untuk perjalanan ke bandara. Jerry si pengemudi taksi girang berjumpa dengannya.

“Selamat bersenang-senang di New York,” ujar pria itu, seraya mengeluarkan tasnya dari bagasi. Pria itu menyukainya, atau setidaknya bersikap seolah-olah menyukainya. Dia memanggil pria itu Jare.

“Terima kasih, Jare.”

“Kau tahu, aku punya rahasia: Aku belum pernah pergi ke New York. Aku punya rahasia lainnya: Aku belum pernah menaiki pesawat.” Pria itu melambai padanya dengan sedih sementara dia melontar langkah memasuki pintu terminal. “Dan eskalator!” seru pria itu.

Trik untuk terbang dengan aman, menurut Zoë, adalah jangan pernah membeli tiket pesawat diskon dan camkankan pada dirimu bahwa kau tidak punya tujuan hidup bagaimana juga, sehingga kalau-kalau pesawatnya celaka itu bukanlah perkara besar. Dan apabila pesawatnya tidak celaka, sementara kau telah berhasil bertahan di ketinggian dengan kenihilanmu, yang kau perlu lakukan tinggal berjalan sempoyongan, mencari kopermu, dan, begitu taksinya tiba, temukan alasan yang meyakinkan untuk melanjutkan hidup.



“Kau sudah sampai!” pekikan Evan menyaingi dering bel. Ia bahkan belum membuka pintu. Ia lalu membukanya lebar-lebar. Zoë meletakkan bawaannya di lantai dan memeluk Evan erat-erat. Sewaktu kecil, Evan selalu dikasihi dan disayangi. Zoë selalu menjaganya—menasihati, menenangkan—sampai belakangan ini, sepertinya Evan yang mulai menasihati dan menenangkannya. Zoë merasa jeri. Dia curiga kesendiriannya membuat orang lain jadi kurang nyaman.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Aku muntah di pesawat. Selain itu, aku baik-baik saja.”

“Mau kuambilkan sesuatu? Sini, kubawakan kopermu. Mabuk di pesawat. Iiiyuh.”

“Aku memuntahkannya ke dalam kantong,” kata Zoë, sekiranya Evan menyangka dia telah mengotori gang di antara tempat duduk pesawat. “Aku tenang banget waktu itu.”

Apartemen tersebut amat lapang dan terang, dengan pemandangan ke arah pusat kota di sepanjang East Side. Ada balkon, dengan pintu sorong dari kaca. “Aku sering lupa kalau apartemen ini bagus banget. Dua puluh satu lantai, penjaga pintu…” Zoë bisa saja bekerja sepanjang hidupnya dan tetap tidak mampu memiliki apartemen seperti ini. Begitupun Evan. Apartemen itu milik Charlie. Ia dan Evan tinggal di sana bagai dua bocah di asrama, dengan kaleng bir dan pakaian bertebaran di mana-mana. Evan meletakkan tas Zoë jauh-jauh dari kekacauan itu, di samping akuarium. “Aku senang banget kau di sini,” ujarnya. “Nah, kau mau kuambilkan apa?”

Evan memasak makan siang untuk mereka—sup dari kaleng dan keasinan.

“Aku tidak mengerti Charlie,” katanya setelah mereka selesai. “Aku merasa kami sudah menjadi pasangan paruh baya dan kehilangan gairah.”

“Hmmm,” gumam Zoë. Dia kembali bersandar pada sofa Evan dan memandang keluar jendela, pada kegelapan yang menyelimuti puncak bebangunan. Rasanya agak kurang wajar tinggal di atas langit seperti ini, seperti burung yang karena agak keras kepala bernyali untuk bersarang terlalu tinggi. Dia mengangguk ke arah akuarium yang menyala, dan mengikik. “Aku merasa seperti burung,” ucapnya, “dengan persediaan ikan sendiri.”

Evan mendesah. “Dia pulang dan langsung tiduran saja di sofa, menonton pertandingan sepak bola yang tidak jelas. Sambil mengenakan krim dingin ala madam-madam dan pengeriting rambut, kalau kau mengerti maksudku.”

Zoë duduk tegak, mengatur posisi bantal sofa. “Pertandingan sepak bola yang tidak jelas itu maksudnya bagaimana?”

“Kami belum pasang kabel. Jadi semuanya kelihatan tidak jelas. Charlie menontonnya begitu saja.”

“Hmm, ya, memang agak menyedihkan,” kata Zoë. Dia memandang tangannya. “Terutama bagian tidak punya kabel itu.”

“Begini dia sewaktu naik ke kasur.” Evan berdiri untuk mendemonstrasikan. “Dia melepaskan semua pakaiannya, dan sewaktu giliran celana dalamnya, dia menjatuhkannya sampai mata kaki. Lalu dia menendangkan kakinya dan melontar celana dalamnya itu ke udara dan menangkapnya. Aku, pastinya, mengamati dari kasur. Tidak yang lain-lainnya. Begitu saja.”

“Mungkin sebaiknya kau akhiri saja dengan menikah.”

“Sungguh?”

“Ya, maksudku, kalian mungkin berpikir kalau tinggal bareng begini adalah yang terbaik bagi kalian berdua, tapi—“ Zoë berusaha untuk terdengar seperti seorang kakak; seorang kakak yang diharapkan dapat menjadi orangtua yang kau tak pernah miliki, ibu yang keren, dan gaul. “Tapi menurutku begitu kalian pikir kalau itu adalah keadaan yang terbaik bagi kalian berdua”—sekarang dia memikirkan dirinya sendiri, sendirian di rumahnya, dengan serangga-serangga bermuka kodok yang terbang ke sana kemari seperti liliput pada malam hari dan mendarat di jendelanya, mengawasi; dengan sepatu ukuran empat belas yang ditaruhnya di depan pintu, untuk menakut-nakuti maling; dengan boneka pompa konyol yang disandarkannya pada meja makan atas saran seseorang—“keadaannya bisa saja berbalik dan justru menjadi yang terburuk bagi kalian berdua.”

“Sungguh?” Evan berseri-seri. “Oh, Zoë. Ada yang ingin kusampaikan kepadamu. Charlie dan aku memang akan menikah.”

“Sungguh.” Zoë merasa bingung.

“Aku tidak tahu bagaimana menyampaikannya padamu.”

“Ya, kukira bagian tentang pertandingan sepak bola yang tidak jelas itu agak menyesatkanku.”

“Aku berharap kau mau menjadi pendampingku di pernikahan,” ucap Evan, menanti. “Tidakkah kau senang?”

“Ya,” ujar Zoë, dan dia mulai menceritakan kepada Evan tentang seorang pemain biola pemenang penghargaan di Hilldale-Versailles—bagaimana pemain biola tersebut pulang dari kompetisi di Eropa dan berpacaran dengan pria setempat yang membuatnya menghadiri setiap pertandingan softball pria itu pada musim panas, menyoraki pria itu dari bangku penonton, bersama para istri, sampai nantinya dia bunuh diri. Tapi ketika Zoë sampai di separuh jalan, di bagian menyoraki pertandingan softball, dia berhenti.

“Hah?” ujar Evan. “Bagaimana kelanjutannya?”

“Sebenarnya, tidak terjadi apa-apa.” kata Zoë dengan enteng. “Dia menjadi sangat antusias dengan softball. Kau harus bertemu dengannya.”

Zoë memutuskan untuk menonton film menjelang malam, meninggalkan Evan dengan tugas-tugas yang mesti beres sebelum pesta—“Aku harus mengerjakannya sendiri, sungguh,” ujarnya, agak tegang setelah diceritakan tentang si pemain biola. Zoë terpikir untuk mengunjungi museum seni, tapi wanita yang pergi sendirian ke museum seni harus terlihat oke. Mereka selalu terlihat oke. Bergaya dan serius, bergerak dengan gemulai, dengan tas tangan yang bagus. Sebagai gantinya, dia berjalan-jalan menyusuri Kips Bay, melewati butik giwang bernama Stick It in Your Ear, lalu salon rambut Dorian Gray. Itulah lucunya “kecantikan”, pikir Zoë. Buka halaman kuning di buku telepon dan temukan ratusan entri, jauh dari jenaka, dipercantik dengan peringatan. Tapi lihat “kebenaran”nya—Ha! Tidak ada artinya sama sekali.

Zoë memikirkan Evan yang akan menikah. Akankah Evan menjadi seperti istri Peter Pumpkin Eater[4]? Nyonya Eater? Di pernikahan, akankah Zoë dibuatnya mengenakan semacam gaun lavender berkelepak-kelepai, persis para pengiring lainnya? Zoë membenci seragam. Sewaktu di kelas satu, dia menolak untuk menjadi bagian dari Gadis-gadis Peri karena tidak mau mengenakan gaun yang sama dengan yang lain. Sekarang dia mau-tak-mau harus mengenakannya. Tapi barangkali dia dapat membedakan gaunnya dari yang lain. Mengangkat sebelah gaunnya dengan jepitan. Menjahit bagian pinggangnya dengan benang bedah. Menyematkan pin bertulisan “Shit Happens” besar-besar di korsetnya.

Di bioskop—judul filmnya Death by Number—dia membeli beberapa batang gulali untuk digigiti dan dikunyah. Dia mengambil tempat duduk agak ke tepi. Aneh rasanya menyadari kalau dia duduk hanya sendirian. Dia berharap ruangan itu segera digelapkan. Ketika ruangan sudah gelap, dan pertunjukannya dimulai, dia merogoh-rogoh bagian dalam dompetnya untuk mencari kacamata. Benda itu ada di dalam plastik. Tisunya juga ada di dalam plastik. Begitupun penanya, aspirinnya, dan permennya. Semuanya dimasukkan ke dalam plastik. Beginilah dia adanya: seorang wanita sendirian di bioskop dan semua barangnya ada di dalam plastik.



Ada sekitar selusin orang yang datang ke pesta Halloween. Ada yang mengenakan topeng monyet dengan lengan besar berambut lebat. Ada yang berpakaian seperti leprechaun, juga makanan beku. Ada yang membawa dua anak perempuan yang masih kecil: yang satu menjadi balerina sedang saudarinya, juga berdandan seperti balerina. Ada sekawanan penyihir seksi—para wanita yang sepenuhnya berpakaian hitam, dirias dan dihias dengan cantiknya. “Aku benci para penyihir seksi itu. Tidak mencerminkan semangat Halloween,” keluh Evan. Evan telah menyingkirkan topengnya dan mendandani dirinya sebagai nyonya rumah, dengan pengeriting rambut dan celemek, keputusan yang kini disesalinya. Charlie, karena menyukai ikan, memiliki ikan, dan mengoleksi ikan, memutuskan untuk menjadi ikan. Ia mengenakan sirip, dan mata-mataan di kedua sisi kepalanya. “Zoë! Apa kabar! Maaf aku sedang tidak ada sewaktu kau baru datang!” Ia lalu menghabiskan waktunya dengan mengobrol bersama para penyihir seksi.

“Ada yang bisa kubantu?” tanya Zoë pada adiknya. “Kau kelihatan capek.” Dia menggosok-gosok lengan adiknya dengan lembut, seakan berharap kalau hanya ada mereka berdua di situ.

“Oh, Tuhan, tidak sama sekali,” ujar Evan, yang sedang menata jamur panggang di piring. Timer-nya berbunyi. Ia menarik satu lagi nampan keluar dari oven. “Sebenarnya, kau tahu apa yang kau bisa lakukan?”

“Apa?” Zoë mengenakan kepala tulangnya.

“Temuilah Earl. Dia pria yang ingin kukenalkan kepadamu. Kalau dia sudah sampai di sini, mengobrollah sedikit dengannya. Dia baik. Dia asyik. Dia sedang dalam proses perceraian.”

“Aku akan mencobanya,” Zoë mengerang. “Oke? Aku akan mencobanya.” Dia menengok jam tangannya.

Ketika Earl muncul, kostumnya menyerupai wanita telanjang. Sabut baja dilekatkan secara strategis pada stocking yang membungkus tubuhnya. Payudara karet besar yang dikenakannya menyembul seperti daging.

“Zoë, ini Earl,” sambut Evan.

“Senang berjumpa denganmu,” kata Earl. Lengannya melingkari Evan sementara menjabat tangan Zoë. Ia menatap puncak kepala Zoë. “Tulangnya besar ya.”

Zoë menunduk, “Pentilmu juga,” ujarnya. Pandangannya menembus pria itu, keluar jendela menuju kota yang memercikkan cahaya ke langit. Orang biasa mengatakannya tampak bagai perhiasan, gelang atau kalung yang diburaikan. Terlihat jam pada bangunan Con Ed, Empire State yang dibaluri oleh warna jingga dan emas, Chrysler meluncur bagai kapal yang terbenam dalam kemuraman. Jauh lagi ke barat tampak sepintas Astor Plaza, dengan atap putihnya yang melayang bagai jubah biarawati. “Ada bir di balkon, Earl. Mau kuambilkan?” tanya Zoë.

“Tentu, eh, aku akan menyusul. Hai, Charlie, apa kabar?”

Charlie menyengir dan bersiul. Orang-orang menoleh. “Hei, Earl,” panggil seseorang dari sisi lain ruangan. “Ada yang kece nih.”

Mereka menyelusup dengan susah payah di antara tamu-tamu lain, melewati para monyet dan penyihir seksi. Tarikan pintu sorong mengeluarkan dengung. Zoë dan Earl melangkah ke balkon, si kepala tulang dan wanita telanjang. Udara malam menderu dan beruap dingin. Ada pasangan lain di sana, berbisik-bisik berduaan. Mereka tidak mengenakan kostum. Mereka tersenyum pada Zoë dan Earl. “Hai,” sapa Zoë. Dia menemukan wadah pendinginnya, menggali, dan mendapatkan dua botol bir.

“Terima kasih,” sambut Earl. Payudara karetnya terlipat ke dalam, melekuk dan penyok selagi ia berusaha membuka botol.

“Jadi,” desah Zoë dengan gugup. Dia harus belajar untuk mengendalikan ketakutannya pada lelaki sebagaimana anak-anak belajar untuk tidak takut pada cacing tanah atau kumbang. Seringkali pikirannya menjadi kacau saat bicara dengan lelaki di pesta. Selagi lelaki itu mengoceh dengan sopannya, dia akan jatuh cinta, menikah, lalu mendapati dirinya berada dalam pertarungan yang pahit dengan lelaki itu untuk mempertahankan anak-anak dan menghiba perdamaian, hingga dia tidak lagi memandang rendah pada lelaki yang telah banyak berkhianat itu, dan, dalam beberapa menit pikirannya akan kembali ke tempat, mungkin sembari mengingat-ingat apa nama belakang lelaki itu serta pekerjaannya, sementara telah tercipta sejarah yang panjang di antara mereka. Dia akan menunduk, mukanya memerah, dan berpaling.

“Evan bilang kau profesor sejarah. Kau mengajar di mana?”

“Cuma di seberang perbatasan Indiana yang menuju Illinois.”

Lelaki itu tampak agak terkejut. “Sepertinya Evan tidak menceritakan soal itu padaku.”

“Tidak?”

“Tidak.”

“Yah, begitulah Evan, sewaktu masih anak-anak, kami sama-sama punya kesulitan bicara.”

“Berat ya,” ucap Earl. Sebelah payudaranya terselip di balik lengannya yang memegang minuman, namun yang satunya tampak merah muda dalam cahaya redup, sebulat bulan purnama.

“Ya, tidak sepenuhnya merugikan sih. Kami biasa datang ke, kami menyebutnya, perapi pipara. Selama sekitar sepuluh tahun itu, aku harus memetakan setiap kalimat di dalam pikiranku, membayangkannya di depan kepala, sebelum mengatakannya. Itu satu-satunya cara supaya aku bisa mengungkapkan kalimat yang tertata.”

Earl menyesap birnya. “Bagaimana kau melakukannya? Maksudku, bagaimana kau melaluinya?”

“Aku suka menceritakan lelucon. Lelucon yang sudah kuhapal. Aku tinggal menceritakannya kembali. Aku suka lelucon. Lelucon dan lagu.”

Earl tersenyum. Ia memakai lipstik, warnanya merah menyala, tapi telah luntur oleh bir. “Apa lelucon favoritmu?”

“Ah, lelucon favoritku mungkin—oke, begini. Ada orang masuk ke ruangan dokter, lalu—“

“Sepertinya aku tahu yang satu ini,” sela Earl dengan bersemangat. Ia ingin menceritakannya sendiri. “Ada orang yang masuk ke ruangan dokter. Dokter itu bilang kalau ada kabar baik dan kabar buruk, yang itu, kan?”

“Mungkin,” ucap Zoë. “Mungkin ada versi yang lain.”

“Lalu orang itu bilang, ‘Beri tahukan kabar buruknya dulu,’ dan dokternya bilang, ‘Baiklah. Hidupmu tinggal tiga minggu lagi. Orang itu berseru, ‘Tiga minggu lagi! Dokter, lalu kabar baiknya apa?’ Dokter itu bilang, ‘Kau lihat sekretaris di depan itu? Akhirnya aku berhasil ngentotin dia.”

Zoë mengernyit.

“Bukan itu yang kau mau ceritakan?”

“Bukan.” Ada tudingan dalam suaranya. “Punyaku beda.”

“Oh,”ucap Earl. Ia memalingkan muka lalu kembali. “Sejarah apa yang kau ajarkan?”

“Kebanyakan sejarah Amerika—abad kedelapan belas dan kesembilan belas.” Sewaktu kuliah, seringkali ada pertanyaan, “Jadi kau abad keberapa?”

“Kadang, aku mengajar topik khusus,” imbuhnya. “Misalnya, ‘Humor dan Kepribadian di Gedung Putih’. Itu yang kutulis dalam bukuku.” Dia teringat akan sesuatu yang seseorang pernah ceritakan kepadanya tentang burung punjung, bagaimana mereka membangun sarang yang rumit sebelum kawin.

“Kau menulis buku tentang humor?”

“Yah, dan, sewaktu aku mengajar topik khusus seperti itu, itu mencakup semua abad.” Jadi kau abad keberapa?

“Tiga-tiganya.”

“Apa?” Angin sepoi menerpa matanya. Lalu lintas berpusar di bawah mereka. Dia merasa tinggi dan rendah sekaligus, seakan ada yang mengangkatnya ke surga namun karena suatu kesalahan dia lalu ditolak.

“Tiga. Hanya ada tiga abad.”

“Sebenarnya sih empat.” Dia teringat Jamestown[5], dan Para Peziarah[6] yang datang ke Amerika dengan gesper dan topi penyihir untuk memanjatkan doa.

“Aku fotografer,” sahut Earl. Wajahnya mulai berseri. Pipinya yang dibubuhi pemerah itu melekat pada lengkungan di bawah matanya.

“Kau menyukainya?”

“Sebenarnya, aku mulai menyadari kalau pekerjaan itu agak membahayakan.”

“Sungguh?”

“Menghabiskan sepanjang waktu di kamar gelap dengan sinar merah dan berbagai bahan kimia. Ada kaitannya dengan Parkinson, tahu kan?”

“Tidak, aku tidak tahu.”

“Kukira aku seharusnya pakai sarung tangan karet, tapi aku tidak menyukainya. Kecuali kalau aku menyentuhnya secara langsung, aku pikir sebenarnya tidak begitu.”

“Hmm,” tanggap Zoë. Alarm berdengung pelan di dalam kepalanya.

“Kadang, sewaktu aku sedang ada luka atau semacamnya, aku merasakan sengatan dan kupikir, Sial. Aku membasuhnya terus-menerus dan berharap saja. Aku tidak suka kulitku dilapisi karet seperti itu.”

“Begitu ya.”

“Maksudku, kontak fisik. Itulah yang kuinginkan, atau kenapa sih susah-susah?”

“Sepertinya,” ucap Zoë. Dia berharap dia mampu memikirkan suatu lelucon, dia akan menyampaikannya pelan-pelan, tenang, dan akhirannya membikin napas tertahan. Dia terpikir gorila, apabila mereka terlalu lama dibiarkan berdua saja di kandang mereka akan memukul kepala satu sama lain alih-alih kawin.

“Apa kau—sedang menjalin suatu hubungan?” Earl tahu-tahu menyeletuk.

“Saat ini? Selagi kita mengobrol?”

“Maksudku, aku yakin kau punya hubungan tertentu di tempat kerjamu.” Senyuman, tipis saja, bersarang di mulutnya bagai telur. Zoë teringat akan bagaimana penduduk kota-kota yang digempur selama perang dunia memakan hewan-hewan di kebun binatang. “Tapi yang kumaksud adalah dengan seorang pria.”

“Tidak, aku tidak punya hubungan dengan pria manapun.” Tangannya menggosok dagu dan merasakan adanya sehelai rambut tegak. “Tapi terakhir aku berhubungan dengan pria yang sangat menawan,” katanya. Mengarang. “Dari Swiss. Dia seorang ahli tumbuhan—tepatnya rumput-rumputan. Namanya Jerry. Aku memanggilnya Jare. Dia lucu sekali. Pergilah menonton film bersamanya dan yang diperhatikannya cuma tumbuhan. Dia tidak mengindahkan plotnya sama sekali. Pernah, sewaktu menonton film yang ada hutannya, dia mulai merepetkan nama Latin semua tumbuhan yang ada, keras-keras. Mengasyikkan sekali buatnya.” Dia berhenti sejenak, mengambil napas. “Pada akhirnya, dia kembali ke Eropa, untuk, euh, mempelajari edelweiss.” Dia menatap Earl. “Kau sendiri apa sedang menjalin hubungan? Dengan seorang wanita?”

Earl berganti tumpuan beban. Lipatan pada stocking yang membalut tubuhnya pun berubah, menekuk ke luar sehingga tampak pecah-pecah. Rambut kemaluannya tertarik ke sebelah pinggang, seperti korsase yang biasa dikenakan oleh gadis-gadis di kedai minum. “Tidak," ucapnya, sembari berdeham. Sabut baja di ketiaknya surut hingga ke bisep.

“Aku baru saja bebas dari pernikahan yang penuh dengan percakapan buruk seperti, ‘Kau ingin lebih banyak ruang? Aku beri kau lebih banyak ruang!’”

Zoë memandangnya dengan simpati. “Sepertinya sulit untuk memulihkan cinta sehabis itu.”

Mata pria itu bersinar. Ia memang ingin membicarakan soal cinta. “Tapi aku tetap menganggap bahwa cinta itu semestinya seperti pohon. Kau lihat pohon itu ada benjolan dan luka akibat tumor, gangguan hama, dan lain-lainnya, tapi mereka masih bisa tumbuh. Walaupun ada benjolan dan bagian yang rusak, mereka—baik-baik saja.”

“Ya, begitulah,” kata Zoë, “di tempatku berasal semua pria telah menikah atau gay. Sudahkah kau menonton film Death by Number?”

Earl menatapnya, agak bingung. Zoë sedang berkelit darinya. “Belum,” jawabnya.

Sebelah payudaranya merosot ke bawah lengannya, berkerut bagai roti Prancis. Zoë terus memikirkan pepohonan, kebun binatang, orang-orang pada masa perang yang memakan zebra. Dia merasakan sakit yang menusuk di area perutnya.

“Mau sedikit kudapan?” Evan muncul seraya menggeser pintu sorong. Dia tersenyum walaupun pengeriting rambutnya telah melorot, menggantung lunglai di ujung rambutnya bagai dekorasi Natal, bagai tabung makanan untuk burung. Ia menyodorkan piring berisi jamur panggang.

“Kau minta donasi atau memberikannya cuma-cuma?” ujar Earl dengan jenaka. Ia menyukai Evan, dan melingkarkan lengan ke bahunya.

“Omong-omong, aku akan kembali,” kata Zoë.

“Oh,” ucap Evan, penuh perhatian.

“Akan kembali. Aku janji.”

Di dalam, Zoë bersigegas melintasi ruang tengah memasuki kamar tidur, menuju bak mandi. Di sana kosong; kebanyakan tamu menggunakan wastafel di dekat dapur. Dia menyalakan lampu dan menutup pintu. Rasa sakitnya telah berhenti, jadi dia tidak benar-benar harus ke kamar mandi. Bagaimanapun juga dia tetap di sana, beristirahat. Cermin di atas wastafel menampakkan sosoknya yang tirus di bawah kepala tulang. Warna kelabu keunguan merona di balik kulitnya bagai burung burik yang bulunya habis dicabuti. Dia condong lebih dekat, mengangkat sedikit dagunya hingga terlihat si rambut tegak. Di sana, di tepi rahang, tajam dan hitam bagai kawat. Dia membuka lemari obat, merogoh-rogoh sampai menemukan semacam pinset. Dia mendongakkan kepalanya lagi dan menyodok wajahnya dengan ujung logam. Renggut, capit, dan luput. Di balik pintu, dia mendengar dua orang mengobrol pelan. Mereka memasuki kamar tidur dan mendiskusikan sesuatu. Mereka duduk di tempat tidur. Salah seorang terkikik sumbang. Zoë menikam dagunya lagi, yang mulai berdarah sedikit. Dia menarik kulitnya kencang-kencang di seputar tulang rahang, mencengkeram pinset keras-keras di bagian yang diharapnya terdapat rambut, dan menyentak. Lapisan tipis kulit tercabut, tapi rambut itu bergeming, darah menggenang di akarnya. Zoë menggertakkan gigi. “Ayolah,” bisiknya. Pasangan di kamar tidur itu kini sedang bertukar cerita dengan pelan, dan tertawa-tawa. Terdengar suara melambung dan berdecit pada kasur, dan kursi digeret menjauh. Zoë mengarahkan pinsetnya dengan hati-hati, mencapit, lalu menarik dengan lembut, dan kali ini rambutnya terbawa juga dengan denyut kecil yang menyakitkan, dan luapan kelegaan yang besar. “Yeah!” desah Zoë. Dia meraih tisu dan mengusapkannya ke dagu. Darah menodai tisu itu. Dia meraup lebih banyak tisu dan menekankannya kuat-kuat sampai pendarahannya berhenti. Lalu dia mematikan lampu, membuka pintu, dan siap untuk kembali ke pesta. “Permisi,” ucapnya pada pasangan di kamar tidur. Mereka adalah pasangan yang tadi berada di balkon, menatapnya dengan agak terkejut. Mereka sedang berangkulan sembari mengulum permen batangan.



Earl masih berada di balkon, sendirian. Zoë bergabung kembali dengannya. “Hei,” sapanya.

Ia berbalik dan tersenyum. Ia telah meluruskan kostumnya sedikit, meskipun segala karakteristik jenis kelamin sekundernya agak hancur, ditakdirkan untuk kusut, terlipat, dan melengket di mana-mana setiap saat. “Kau baik-baik saja?” tanyanya. Ia telah membuka botol bir baru. Bunyinya terdengar seperti letusan-letusan kecil.

“Oh, ya. Aku baru dari kamar mandi.” Dia berhenti sejenak. “Sebenarnya, belakangan ini aku sering pergi ke dokter.”

“Ada masalah apa?” tanya Earl.

“Oh, sepertinya sih tidak ada masalah apa-apa. Tapi mereka membuatku menjalani banyak tes.” Dia mendesah. “Ada sonogram, mammogram. Minggu depan aku akan menjalani gulagulagram.” Pria itu menatapnya dengan penuh perhatian. “Terlalu banyak gram,” sambungnya.

“Nih, aku simpankan untukmu.” Ia mengulurkan serbet berisi dua bongkah jamur panggang. Sudah dingin dan meninggalkan jejak berminyak di serbet.

“Terima kasih,” sambut Zoë, dan menjejalkan keduanya ke dalam mulut. “Sekadar pemeriksaan,” lanjutnya dengan mulut penuh. “Kalau aku beruntung, paling-paling operasi kantong empedu.”

Earl menyeringai. “Jadi adikmu akan menikah,” katanya, mengubah topik. “Serius nih, bagaimana pendapatmu soal cinta?”

Cinta?” Bukannya mereka sudah selesai membicarakannya tadi? “Entahlah.” Dia mengunyah sembari berpikir dan menelan. “Baiklah. Begini pendapatku soal cinta. Aku punya cerita. Seorang temanku—“

“Ada sesuatu di dagumu,” sela Earl, tangannya menjangkau hendak menyentuh.

“Apa?” ucap Zoë, melangkah mundur. Dia memalingkan wajah dan menutup dagunya. Serpihan tisu menempel di sana, seperti selotip. “Bukan apa-apa,” ujarnya. “Ini cuma—bukan apa-apa.”

Earl menatapnya.

“Bagaimanapun juga,” sambungnya, “temanku ini pemain biola pemenang penghargaan. Dia berkelana ke seluruh Eropa dan memenangkan banyak kompetisi; dia membuat rekaman, mengadakan konser, dan menjadi terkenal. Tapi dia tidak punya kehidupan sosial. Jadi suatu hari, dia berusaha sekuat tenaga untuk merebut hati konduktor yang membuatnya tergila-gila. Pria itu menampiknya, mencacinya secara halus, dan memulangkannya ke kamar hotel. Setelah itu, dia pulang dari Eropa. Dia pulang ke kampung halamannya, berhenti memainkan biola, dan menjalin hubungan dengan pemuda setempat. Kejadiannya di Illinois. Setiap malam lelaki itu membawanya ke bar untuk minum-minum dengan kawan-kawannya dari tim Big Ten[7]. Lelaki itu suka mengatakan hal-hal seperti ‘Katrina suka main biola lo,’ dan lalu mencubiti pipinya. Suatu ketika dia mengajaknya pulang, lelaki itu bilang, ‘Hei, kau pikir dirimu terlalu beken untuk tempat seperti ini? Kuberi tahu kau satu hal. Kau boleh saja menganggap dirimu beken, tapi kau tidak sebegitunya beken. Tak ada seorang pun di sini yang pernah mendengar tentangmu.’ Lalu lelaki itu bangkit dan membeli serenteng minuman untuk setiap orang kecuali dia. Dia mengambil mantelnya, pulang, dan menembakkan peluru ke kepalanya.”

Earl membisu.

“Begitulah akhir dari cerita cintaku,” ungkap Zoë.

“Kau sama sekali tidak seperti adikmu,” kata Earl.

“Oh, begitu ya,” ucap Zoë. Udara semakin dingin, angin bersenandung parau dalam nada minor bagai nyanyian pemakaman.

“Tidak.” Pria itu tidak ingin membicarakan soal cinta lagi. “Kau tahu, kau sebaiknya memakai lebih banyak warna biru—biru dan putih—di sekitar wajahmu. Itu akan mengeluarkan auramu.” Ia menjulurkan sebelah lengannya untuk menunjukkan bagaimana gelang biru yang ia kenakan akan tampak menguatkan warna kulit Zoë, tapi Zoë menepisnya.

“Katakan, Earl, apakah kata ‘aneh’ penting artinya bagimu?”

Pria itu melangkah mundur, menjauh darinya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sangsi. “Kau tahu, aku tidak seharusnya mencoba berkencan dengan wanita karier. Kalian semua sakit. Orang bisa tahu kehidupan macam apa yang kalian jalani. Aku lebih baik dengan wanita yang bekerja paruh-waktu saja.”

“Oh, ya?” tukas Zoë. Dia pernah membaca artikel berjudul “Wanita Profesional dan Demografis Kesedihan”. Atau, bukan, itu puisi. Apabila danau, sinar bulan akan mengarunginya dalam surup. Dia mengingat baris itu. Tapi mungkin judulnya adalah: “Ruang Hampa: Estetika dalam Kekosongan”. Atau mungkin: “Gipsi Luar Angkasa: Cewek-cewek Kuliahan”. Dia lupa.

Earl berpaling dan bersandar pada pagar balkon. Malam melarut. Di dalam, para tamu mulai meninggalkan pesta. Para penyihir seksi telah pergi. “Jalani dan pahami,” gumam Earl.

“Jalani dan jadilah bebal,” balas Zoë. Di bawah mereka, Lexington tampak sepi dari mobil, hanya kilatan emas dari taksi yang melintas sesekali. Pria itu bertumpu pada sikunya, termenung.

“Lihat orang-orang di bawah sana,” ucapnya. “Mereka tampak seperti kumbang. Kau tahu kalau kumbang-kumbang dikendalikan oleh hormon kumbang betina? Kumbang jantan dibikin kacau karena hormon ini sehingga mereka merusak apapun yang ada di depan mereka—pohon, batu, apapun selain kumbang betina. Pengendalian populasi. Itulah yang terjadi di negara ini,” ujarnya sembari mabuk. “Hormon tersebar ke mana-mana, dan sekarang para lelaki pada menyerbu batu-batu. Batu!”

Di bagian belakang tubuh pria itu tergambar bokong yang lebar, berupa garis hitam sederhana di atas permukaan merah muda, ditoreh menggunakan Magic Marker seperti dalam komik-komik humor. Zoë mendekat, lambat-lambat, dari belakang, dan menyenggolnya. Lengan pria itu tergelincir ke depan, melampaui pagar, ke arah jalan. Bir tumpah dari botolnya, menghujani jalan sejauh dua puluh lantai di bawah sana.

“Hei, apa yang kau lakukan!” semburnya seraya berjengit. Ia berdiri tegak dan waspada, menjauh dari pagar, menghindari Zoë. “Kau ini kenapa sih?”

“Cuma bercanda,” sahut Zoë. “Aku cuma main-main.” Tapi pria itu menatapnya dengan terkejut sekaligus takut. Bokongnya yang terbuat dari Magic Marker sekarang mengarah ke perkotaan. Wanita jadi-jadian telanjang dengan perhiasan berwarna biru di pergelangan tangannya, terjebak di balkon bersama—bersama apa? “Sungguh, aku cuma bercanda!” seru Zoë. Angin menerbangkan rambutnya menuju angkasa, melalui tulang di atas kepalanya. Apabila danau, cahaya bulan akan mengarunginya dalam surup. Dia tersenyum pada pria itu dan ingin tahu bagaimana dirinya terlihat.[]




[1] Perusahaan Amerika yang bergerak di bidang penerbitan dan informasi keuangan
[2] Tokoh dalam cerita anak-anak populer dari Swiss yang berkarakter cerdas dan ceria. Heidi seringkali digambarkan berambut pirang, padahal dalam cerita aslinya berambut gelap dan ikal.
[3] Seorang sekretaris yang terlibat skandal politik di Amerika Serikat pada masa pemerintahan Ronald Reagan
[4] Lagu anak-anak di Amerika Serikat abad ke-19 tentang orang yang menaruh istrinya di dalam labu
[5] Koloni Inggris pertama di Amerika Serikat, didirikan pada tahun 1607
[6] The Pilgrims, sebutan untuk para pemukim pertama di Plymouth, Massachusetts, Amerika Serikat. Koloni Inggris kedua yang berhasil setelah Jamestown, didirikan pada tahun 1620.
[7] Kumpulan perguruan tinggi di wilayah Midwestern, Amerika Serikat, yang terkenal antara lain karena prestasi olahraganya



Tidak ada komentar: