Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20140813

Petunjuk Menjadi Penulis (Lorrie Moore, 1985)

Pertama-tama, cobalah untuk menjadi sesuatu, apapun itu, yang lainnya. Bintang film/astronot. Bintang film/misioner. Bintang film/guru TK. Penguasa dunia. Gagallah segagal-gagalnya. Lebih bagus lagi kalau kau gagal pada usia sedini mungkin—katakanlah, empat belas tahun. Sedini mungkin, dibutuhkan kekecewaan yang hebat supaya pada usia lima belas tahun kau dapat menulis rangkaian panjang haiku mengenai hasrat yang kandas. Ibarat kolam, pohon sakura yang mekar, embusan angin menerpa sayap pipit yang meninggalkan gunung. Hitung ada berapa suku kata.

Tunjukkan pada ibumu. Dia tegar dan andal. Putranya di Vietnam dan suaminya kemungkinan punya hubungan gelap. Dia percaya warna cokelat dapat menyembunyikan noda. Dia akan melihat tulisanmu sepintas, lalu kembali padamu dengan tatapan sekosong lubang donat. Dia akan berkata: “Bagaimana kalau kau mengosongkan bak cuci piring?” Palingkan muka. Masukkan garpu ke rak. Tak sengaja memecahkan gelas hadiah dari pom bensin. Inilah luka dan derita yang dibutuhkan, sekadar untuk permulaan.

Di sekolah sewaktu kelas bahasa Inggris pusatkan perhatian hanya pada wajah Pak Killian. Putuskan bahwa wajah itu penting. Tulis vilanel tentang bopeng. Berusahalah. Tulis soneta. Hitung jumlah suku katanya: sembilan, sepuluh, sebelas, tiga belas. Putuskan untuk bereksperimen dengan fiksi. Jadinya kau tidak usah menghitung suku kata. Tulis cerita pendek tentang sepasang pria dan wanita tua yang pada satu malam menembak kepala satu sama lain secara tak sengaja di ruang tamu, akibat kegagalan pemakaian senapan berburu yang tak dapat dijelaskan dan tampaknya misterius. Berikan cerpen itu pada Pak Killian untuk tugas akhir. Begitu kau memperolehnya lagi, tertera komentarnya: “Pelukisanmu cukup baik, tapi kau tidak mengerti apa itu plot.” Begitu pulang, dalam kebebasan di kamarmu sendiri, dengan pensil tipis kau corat-coret bagian bawah komentar bertinta hitam itu: “Plot itu buat orang yang sudah mati, dasar muka bopeng.”



Ambil semua pekerjaan mengasuh anak yang kau bisa dapatkan. Kau pandai menangani anak-anak. Mereka menyukaimu. Kau ceritakan kepada mereka tentang seorang tua yang mati konyol. Kau nyanyikan lagu-lagu kesukaan mereka macam “Blue Bells of Scotland”. Setelah mereka sudah mengenakan piyama, akhirnya berhenti mencubiti satu sama lain, dan tertidur lekas, kau baca setiap panduan seks di rumah itu, dan heran bagaimana bisa orang melakukan hal-hal semacam itu dengan orang lainnya yang mereka sungguh cintai. Tertidur di kursi selagi membaca Playboy milik Pak McMurphy. Ketika suami-istri McMurphy pulang, mereka menepuk pundakmu, mendapati majalah di pangkuanmu, dan menyengir. Rasanya kau ingin mati saja. Mereka bertanya apakah Tracey sudah meminum obatnya. Terangkan, ya, dia sudah minum, kau menjanjikannya cerita apabila dia mau minum seperti anak yang sudah besar dan kau berhasil. “Oh, bagus sekali,” seru mereka.

Cobalah untuk tersenyum bangga.

Mendaftarlah ke perguruan tinggi jurusan psikologi anak.



Sebagai mahasiswa jurusan psikologi anak, kau bisa mengambil beberapa mata kuliah pilihan. Kau selalu suka dengan burung. Daftarkan diri untuk mengikuti sesuatu semacam “Darmawisata Ornitologis”. Pertemuannya tiap Selasa dan Kamis pukul dua. Ketika kau sampai di Ruang 134 pada hari pertama kelas dimulai, orang-orang duduk mengitari meja sidang membahas metafora. Kau pernah mendengar tentang itu. Sebentar kemudian, yang rasanya bukan main, angkat tanganmu dan katakan dengan malu-malu, “Maaf, ini bukannya kelas Pengamatan Burung Satu-nol-Satu?” Orang-orang berhenti berdiskusi dan ganti menatapmu. Wajah mereka semua tampak serupa—besar dan hampa bagai jam rusak. Orang yang berjenggot memecah keheningan. “Bukan, ini Penulisan Kreatif.” Katakan: “Oh—benar kalau begitu,” seolah-olah kau hanya memastikan. Lihat kembali jadwalmu. Heran bagaimana bisa kau terdampar di sini. Komputernya, sepertinya, yang eror. Kau bangkit hendak pergi tapi tidak jadi. Minggu ini antrian di bagian Akademik sedang panjang-panjangnya. Mungkin kau terima saja kesalahan ini. Mungkin kreativitasmu dalam menulis tidak buruk amat. Mungkin ini takdir. Mungkin inilah yang dimaksud ayahmu saat dulu berkata: “Sekarang ini eranya komputer, Francie, era komputer.”



Putuskan bahwa kau menyukai kehidupan kampus. Di asrama kau bertemu dengan banyak orang yang menyenangkan. Sebagian dari mereka lebih pintar daripadamu. Dan sebagiannya lagi, kau perhatikan, lebih dungu. Kau akan terus, sayangnya, memandang dunia dengan anggapan ini sepanjang sisa hidupmu.



Tugas untuk penulisan kreatif minggu ini adalah membuat cerita yang mengandung adegan kekerasan. Serahkan cerita tentang berkendara bersama Paman Gordon dan satu lagi tentang pasangan tua yang secara tak sengaja kesetrum sewaktu mereka hendak menyalakan lampu meja berkabel yang jelek. Gurumu akan menyerahkan kembali keduanya kepadamu dengan komentar: “Pada umumnya tulisanmu mengalir dan penuh semangat. Idemu, bagaimanapun juga, yang kau jadikan plot itu terasa menggelitik.” Tulis cerita lainnya tentang seorang pria dan seorang wanita yang, di paragraf paling awal, bagian bawah tubuhnya secara tak sengaja meledak akibat dinamit. Di paragraf kedua, dengan uang asuransi, bersama-sama mereka membeli kedai yogurt beku. Masih ada enam paragraf lagi. Kau baca seluruhnya keras-keras di kelas. Tak ada satupun orang yang menyukainya. Mereka bilang kau tidak mampu memahami apa itu plot dan menerapkannya secara kasar. Seusai kelas seseorang bertanya apa kau gila.



Putuskan bahwa kau harusnya menggeluti komedi. Mulailah mengencani seseorang yang lucu, yang memiliki sesuatu yang semasa SMA kau menyebutnya “selera humor yang sangat baik”, sedang sekarang kelas penulisan kreatifmu menyebutnya “mengolok-olok diri sendiri untuk membangkitkan kelucuan”. Tuliskan semua leluconnya, tapi jangan beritahu dia kau sedang melakukannya. Buat anagram berdasarkan nama seluruh mantan pacarnya dan gunakan nama mereka untuk semua karaktermu yang terbelakang dalam pergaulan. Beritahu dia kau memasukkan mantan pacarnya ke dalam semua ceritamu lalu saksikan bisa selucu apa dia, lihat sebesar apa selera humor yang dimilikinya.



Pembimbingmu dalam psikologi anak menegurmu karena mengabaikan kuliah utama. Kau harusnya menghabiskan sebagian besar waktu untuk jurusanmu. Katakan ya, kau mengerti.



Dalam sidang penulisan kreatif selama dua tahun berikutnya, setiap orang terus mengisap rokok dan menanyakan hal yang sama: “Bisa ya begitu ceritanya?” “Kenapa sih kita mesti peduli sama karakter ini?” “Kau tidak tahu ya kalau ini sudah klise?” Sepertinya semua itu pertanyaan yang penting.

Pada hari ketika giliranmu tiba, kau pandangi seisi kelas dengan penuh harap selagi mereka memeriksa hasil utak-atikmu terhadap sebuah plot. Mereka kembali menatapmu, mengisap rokok dalam-dalam, dan tersenyum manis atau semacam itu.



Kau habiskan terlalu banyak waktu membungkuk di atas kursi dan kehilangan semangat. Pacarmu menyarankan untuk bersepeda. Teman sekamarmu menyarankan untuk ganti pacar. Kau harusnya membelah diri dan menurunkan berat badan, tapi kau lanjut menulis. Kebahagiaan yang kau miliki hanyalah menulis sesuatu yang baru, pada tengah malam, ketiak membasah, jantung berdebar kencang, sesuatu yang belum pernah dibaca siapapun. Yang kau miliki hanyalah kegembiraan singkat, rentan, dan belum teruji saat kau menyadari: kau genius. Mengerti apa yang kau harus lakukan. Ganti jurusan. Anak-anak di proyek taman bermainmu akan merasa kehilangan, tapi kau memiliki suatu panggilan, desakan, angan-angan, kebiasaan yang tidak menguntungkan. Ibumu akan bilang kau terjerumus dalam kesesatan.



Mengapa menulis? Dari mana awalnya menulis? Pertanyaan-pertanyaan ini kau ajukan pada dirimu sendiri. Tak ubahnya dengan pertanyaan macam: Dari mana asalnya debu? Atau: Mengapa ada perang? Atau: Kalau Tuhan itu ada, kenapa sekarang abangku jadi pincang?

Pertanyaan-pertanyaan ini kau simpan dalam dompetmu, seperti kartu telepon. Pertanyaan-pertanyaan ini, kata guru penulisan kreatifmu, bagus untuk diangkat dalam jurnal tapi tidak lazim dalam fiksi.

Musim gugur ini profesor di kelas menulis menekankan Kekuatan Imajinasi. Artinya dia tidak ingin kisah paparan panjang tentang perjalananmu berkemah pada Juli lalu. Dia ingin kau memulai dari situasi yang realistis tapi lalu kau mengubahnya. Seperti DNA rekombinan. Dia ingin kau membiarkan imajinasimu berlayar, membiarkannya menggembungkan perut dengan angin. Ini kutipan dari Shakespeare.



Ceritakan kepada teman sekamar tentang ide hebatmu, hasil kerja kerasmu melatih kekuatan imajinatif: transformasi karya Melville dalam kehidupan zaman sekarang. Mengenai monomania dan dunia asuransi jiwa yang kanibalistik di Rochester, New York. Kalimat pertamanya akan berbunyi, “Sebut saja aku makanan ikan,” dan menonjolkan sosok suami paruh baya di pinggiran kota yang bernama Richard yang, karena murung sepanjang waktu, dipanggil “Mopey Dick—Dick yang bermuram-durja” oleh Elaine istrinya yang jenaka. Katakan pada teman sekamarmu: “Mopey Dick, ngerti kan?” Teman sekamarmu menatapmu. Wajahnya sedatar Kleenex ukuran besar. Dia menghampirimu, berlagak sok akrab, melingkarkan sebelah lengannya di pundakmu yang berat. “Dengar, Francie,” katanya, lambat-lambat laksana terapis wicara. “Kita keluar dan ngebir.”



Sidang juga tidak menyukai yang satu ini. Kau curiga mereka mulai merasa kasihan padamu. Mereka bilang: “Kau harus memikirkan kejadiannya tentang apa. Ini ceritanya yang bagian mana sih?”



Semester berikutnya profesor di kelas menulis terobsesi dengan menulis berdasarkan pengalaman pribadi. Kau harus menulis berdasarkan apa yang kau tahu, berdasarkan apa yang telah terjadi padamu. Dia menginginkan kematian, dia menginginkan perjalanan berkemah. Pikirkan tentang apa yang telah terjadi padamu. Dalam tiga tahun ini terjadi tiga peristiwa: kau kehilangan keperawananmu; orangtuamu bercerai; dan abangmu pulang dari hutan yang sepuluh mil jaraknya dari perbatasan Kamboja dengan paha tinggal separuh, seringai permanen bersarang di satu sudut mulutnya.

Tentang yang pertama kau menulis: “Pengalaman itu menciptakan suatu ruang, yang kesakitan dan menangis dalam suara yang bukan milikku, ‘Aku bukan lagi yang dulu, tapi aku akan baik-baik saja.’”

Tentang yang kedua kau menulis sebuah cerita panjang-lebar tentang sepasang suami-istri yang menemukan ladang ranjau di dapur mereka dan secara tak sengaja meledakkan diri mereka sendiri. Kau menjudulinya: “Dalam Suka dan Duka”.

Tentang yang terakhir kau tidak menulis apa-apa. Tak ada kata-kata untuk yang satu ini. Mesin ketikmu menderu. Tak satupun kata yang kau bisa dapatkan.



* * *
Di pesta koktail mahasiswa, orang-orang berkata, “Oh, kau menulis? Kau menulis tentang apa?” Teman sekamarmu, yang telah menelan terlalu banyak anggur, terlalu sedikit keju, dan tak satupun biskuit, menyeletuk: “Oh, ya tuhan, dia selalu menulis tentang pacarnya yang tolol.”

Kelak kau akan belajar bahwa para penulis hanyalah teks yang terbuka dan tak berdaya, tanpa benar-benar memahami apa yang mereka telah tulis dan karenanya mesti setengah-percaya pada apapun dan segalanya yang dikatakan tentang mereka. Kau, bagaimanapun juga, belum mencapai tahapan itu dalam kritisisme sastra. Kau mematung dan berkata, “Tidak kok,” sebagaimana kau mengatakannya sewaktu di kelas empat ada yang menuduhmu benar-benar menyukai pelajaran obo sementara orangtuamu benar-benar tidak mengikutkanmu dalam pelajaran tersebut.

Bersikukuh kau tidak sebegitunya tertarik pada persoalan apapun sama sekali. Yang menarik bagimu adalah musik dalam bahasa. Kau tertarik dengan—dengan—suku kata, karena merupakan atom dalam puisi, sel dalam pikiran, napasnya jiwa. Mulai merasa pusing. Tatap gelas anggurmu.

“Suku kata?” kau akan mendengar seseorang bertanya, suara menjauh, seiring berlalunya mereka yang lambat-lambat menuju jalan terang yang menenteramkan hati.



Mulai bertanya-tanya apa sebenarnya yang kau tulis. Atau hal apa gerangan, apapun itu, yang kau sampaikan. Atau kalau saja ada suatu hal yang kau sampaikan. Batasi pikiran ini tidak lebih dari sepuluh menit sehari; seperti sit-up, bisa-bisa kau jadi kurus.

Kau baca entah di mana bahwa segala tulisan harus ada kaitannya dengan perkelaminan. Jangan memikirkannya lama-lama. Bisa-bisa kau jadi gelisah.



Ibumu akan datang mengunjungimu. Dia akan mendapati lingkaran di bawah matamu, dan memberimu sebuah buku berwarna cokelat yang sampulnya bergambar tas kerja berwarna cokelat. Judulnya: Petunjuk Menjadi Eksekutif Bisnis. Dia juga membawakanmu ensiklopedia Nama-nama untuk Bayi yang kau minta; salah satu karaktermu, guru-sekolahan/pelawak yang menua, perlu nama baru. Ibumu akan menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata: “Francie, ingat sewaktu kau ingin masuk jurusan psikologi anak?”

Katakan: “Bu, aku suka menulis.”

Dia akan berkata: “Tentu kau suka menulis. Tentu saja. Tentu kau suka menulis.”



Tulis cerita tentang siswa sekolah musik yang kacau dan juduli dengan: “Schubert yang Pakai Kacamata, kan?” Bukan sukses besar, walau teman sekamarmu menyukai bagian di mana dua orang pemain biola secara tak sengaja meledakkan diri mereka di ruang pertunjukan. “Aku pernah jalan bareng pemain biola,” ujarnya. Permen karetnya meletus.



Untungnya kau mengambil mata kuliah lain. Kau menemukan kedamaian dalam ceruk-ceruk ontologis dan ritual kawin invertebrata. Moluska tertentu yang bentuknya menyerupai bola melakukan “Seks dengan Lengan”. Gurita jantan, misalnya, kehilangan ujung salah satu lengan saat memasukkannya ke dalam tubuh betina selagi persetubuhan. Ahli biologi laut menyebutnya “Surga Ketujuh”. Bersyukurlah kau mengetahui hal-hal seperti ini. Bersyukurlah kau bukan sekadar penulis. Mendaftar ke sekolah hukum.



* * *
Mulai dari sini, banyak hal yang bisa terjadi. Tapi inilah yang terutama: kau memutuskan untuk tidak jadi memasuki sekolah hukum pada akhirnya, dan, sebagai gantinya, kau habiskan sebongkah besar kehidupan dewasamu dengan bercerita kepada orang-orang tentang bagaimana kau memutuskan untuk tidak jadi memasuki sekolah hukum pada akhirnya. Entah mengapa kau berhenti menulis lagi. Mungkin kau menamatkan kuliah. Mungkin kau bekerja serabutan dan mengikuti kelas menulis pada malam hari. Mungkin kau menulis novel dan mencantumkan segala perkataan cerdas serta pengakuan pribadi yang intim yang kau dengar sepanjang hari. Mungkin kau kehilangan teman-temanmu, kenalan-kenalanmu, keseimbanganmu.

Kau telah putus dengan pacarmu. Sekarang kau jalan dengan laki-laki yang, alih-alih membisikkan “Aku cinta kamu,” malahan menyerukan, “Lakukan untukku, sayang.” Ini bagus untuk tulisanmu.

Cepat atau lambat kau punya naskah yang kurang lebihnya sudah tuntas. Orang-orang tampak kepayahan membacanya dan berkata, “Kau selalu bermimpi menjadi penulis, ya kan?” Bibirmu gatal ingin menambahkan. Katakan bahwa mimpi seperti apapun mungkin saja terwujud di dunia ini, kau bahkan tidak bisa membayangkan menjadi penulis akan membawa kesuksesan. Beritahu mereka kau akan menjadi seorang psikolog anak. Mereka pun mendesah, “Kau memang pandai menangani anak-anak.” Memberengut galak. Beritahu mereka kau ini pedang berjalan.



Berhenti kuliah. Berhenti bekerja. Simpan uang tunai. Sekarang kau miliki waktu bagai kutil di tanganmu. Salin lambat-lambat seluruh alamat teman ke buku alamat baru.

Sedot debu. Kunyah permen batuk. Simpan map yang penuh berisi corat-coretan.

            Kelopak mata menggelap ke samping
            Dunia bak konspirasi
            Plot yang tepat? Seorang wanita memasuki bis
Kiranya kau campakkan persoalan cintamu dan tak seorangpun menghampiri?

Di rumah minum kopi yang banyak. Di Howard Johnson’s pesan selada kol. Anggap bentuknya menyerupai konfeti lembek dari sobekan peta: dari mana dirimu, hendak ke mana—“Kau di Sini,” kata bintang merah di bagian belakang menu.

Kadang seorang teman kencan yang wajahnya sekosong kertas bertanya apa para penulis seringkali berkecil hati. Katakan bahwa kadang mereka begitu dan kadang mereka begitu. Katakan bahwa rasanya sangat seperti mengidap polio.

“Menarik,” teman kencanmu tersenyum, lalu menunduk dan mulai meratakan rambut lengannya, seluruhnya, selalu, ke arah yang sama.[]



Tidak ada komentar: