Suatu
ketika ada seorang anak yatim yang berbakat menemukan barang hilang. Kedua orang tuanya tewas saat ia berusia delapan tahun—mereka sedang
berenang di laut yang kemudian menjadi ombak ganas, dan keduanya berusaha
menyelamatkan satu sama lain supaya tidak tenggelam. Anak itu lalu terjaga dari
tidur siangnya, di pasir, sendirian. Setelah tragedi yang menewaskan kedua
orang tuanya, ia diadopsi dan dibesarkan oleh masyarakat, dan beberapa tahun
kemudian ia mulai dapat merasakan keberadaan benda-benda meskipun tidak dapat
melihatnya. Kemampuan itu terus meningkat selama masa remajanya dan pada usia
dua puluhan tahun, ia benar-benar mampu mengendus keberadaan kacamata hitam,
kunci, lensa kontak, maupun sweter yang hilang.
Para tetangga mengetahui bakatnya itu secara tidak
sengaja—suatu malam ia berada di rumah Jenny Sugar, hendak menjemput gadis itu
untuk berkencan, sementara ibu Jenny salah menaruh sisirnya, dan berjalan
mondar-mandir sambil mengomel. Hidung pemuda itu menggerenyit dan ia menoleh ke
dapur serta menunjuk laci tempat menyimpan sendok dan pisau. Tawa gadisnya
meledak. “Tolol sekali menaruh sisir di situ,” ujar si gadis, “di tempat
peralatan makan!” lalu ia membuka laci itu untuk menunjukkan maksudnya, ia
hendak melambaikan pisau atau menyisir rambutnya dengan garpu, namun saat laci
itu terbuka, bum, sisirnya ada di sana, dilapisi ikal rambut nan kusut,
melintang di tumpukan garpu.
Ibu Jenny mencium pipi pemuda itu namun Jenny sendiri
mencurigainya sepanjang malam.
“Kau sudah merencanakannya, kan,” ucap gadis itu,
seusai makan malam. “Kau ingin mengesankan ibuku. Tapi aku sendiri tidak
terkesan olehmu.”
Pemuda itu berusaha menjelaskan namun gadisnya tidak
mau mendengar. Saat mobil si pemuda hampir mencapai rumah, gadis itu langsung lari
sebelum ia sempat menyelesaikan ucapannya bahwa ia menikmati malam itu, yang
sebetulnya bohong. Ia pulang ke rumahnya yang mungil dan memikirkan kata
“kesepian”, betapa kata itu terdengar dan terasa begitu kesepian, dengan
mengandung dua huruf “e”, yang masing-masingnya meringkuk sendirian.
Seiring kabar tentang kemampuan pemuda itu menyebar ke
lingkungan perumahan, tanggapan orang-orang terbagi menjadi dua: ada yang
sangat menyanjung, ada pula yang menyangsikan. Mereka yang menyanjung suka
memanggil si pemuda. Ia pun mampir dalam perjalanan ke sekolah, menemukan kunci
mereka, dan mereka memberinya kue mufin buatan sendiri. Mereka yang menyangsikan
juga memanggilnya, dan mengawasinya bak elang. Pemuda itu juga menemukan
barang-barang mereka yang hilang namun mereka bersikeras itu tipuan yang rumit
dan ia melakukannya semata demi mendapat perhatian. “Mungkin saja,” seru
seorang wanita, seraya mengacungkan telunjuknya, “Mungkin saja, dia mencuri
barang supaya kita mengira itu hilang, memindahkannya, lalu mampir untuk
mengamankannya! Bagaimana kita tahu barang itu memang hilang sedari awal?
Bagaimana bisa?”
Pemuda itu sendiri tidak mengerti. Ia sekadar
merasakan sentakan, pelan namun terus-terusan, seolah ada anak kecil yang
menariki lengan bajunya, dan sentakan itu memalingkannya ke arah yang benar dan
menunjukkan ke mana mesti mencari. Pemuda itu dapat merasakan serta membaui
keberadaan suatu barang—ia tidak perlu melihat benda itu untuk merasakan
posisinya. Bisa ditebak, barang-barang yang rupanya berada sekian kilometer
jauhnya memerlukan konsentrasi lebih ketimbang yang jaraknya cuma setengah
meter di sebelah kiri.
Paling sulit saat suatu sore anak Nyonya Allen belum
juga pulang. Leonard Allen berusia delapan tahun dan biasanya tiba di rumah
dari sekolahnya pukul tiga lewat lima menit. Anak itu mengidap alergi dan perlu
minum obat sebelum kembali keluar untuk bermain. Hari itu sudah pukul empat
kurang seperempat dan Nyonya Allen kalang kabut sendirian. Jarang-jarang
putranya menghilang—cuma sekali sewaktu di supermarket namun anak itu lekas
ditemukan, tengah menangis di bawah depot sayuran; sementara itu jalan pulang
dari sekolah berupa jalur lurus dan Leonard bukanlah anak yang suka keluyuran.
Nyonya Allen seperti tetangga kebanyakan, jika saja ia
tidak mewarisi sebongkah zamrud raksasa yang disebutnya Bintang Hijau. Batu itu
mendekam dalam wadah kaca di dapurnya, sehingga semua orang bisa melihat benda
itu sebab ia ingin terus memamerkannya. Malah terkadang, untuk trik pesta, ia
memotong bistik dengan bagian pinggir batu itu.
Hari itu, Nyonya Allen mengeluarkan Bintang Hijau dari
wadahnya dan melekatkan kedua belah telapak tangannya pada benda itu. “Di mana
anakku?” tangisnya. Bintang Hijau itu sama sekali tak menanggapinya. Ia berlari
sambil menangis ke rumah tetangganya, yang dengan tenang mengantarnya kembali
ke rumah. Bersama-sama mereka mencari dengan teliti ke seantero rumah itu, lalu
tetangganya, yang percaya pada kemampuan si pemuda, menyarankan untuk memanggil
lelaki itu. Walau Nyonya Allen meragukan si pemuda, ia pikir gagasan apa pun
bolehlah dicoba, dan saat sambungannya diangkat, ia berucap, dengan suara
gemetar:
“Temukanlah anak saya.”
Pemuda itu baru saja hendak bermain basket dengan
teman-temannya. Ia menaruh bola basketnya di bak mandi.
“Anak Ibu hilang?” ujar pemuda itu.
Nyonya Allen pun mulai menjelaskan dan kemudian
teleponnya berbunyi ceklek.
“Tunggu sebentar,” ucapnya, dan si pemuda pun
menunggu.
Suara wanita itu kembali terdengar, dan bergetar
karena amarah.
“Dia diculik!” serunya. “Mereka menginginkan Bintang
Hijau itu!”
Pemuda itu menyadari bahwa ia sedang bicara dengan
Nyonya Allen, dan mengangguk. “Oh,” sahutnya, “saya mengerti.” Seluruh kota
sudah tahu soal Bintang Hijau Nyonya Allen. “Saya segera ke sana,” ucapnya.
Suara wanita itu dikaburkan tangisnya.
Dengan mengenakan kaus dan celana pendek basketnya,
pemuda itu berlari-lari ke rumah Nyonya Allen. Ia takjub akan hijaunya rona
zamrud itu yang merata di sekujur permukaan. Ia jadi ingin menjilati benda itu.
Seketika itu, Nyonya Allen sudah histeris.
“Mereka tidak memberitahuku mesti melakukan apa,”
isaknya. “Ke mana aku mesti membawa zamrudku? Bagaimana caranya supaya anakku
kembali?”
Si pemuda berusaha membaui aroma anak itu. Ia meminta
foto anak itu dan memandanginya—anak berambut cokelat itu tengah berada di
wisuda TK—namun pemuda itu biasanya hanya menemukan barang, dan barang-barang
yang hilang pula. Ia belum pernah menemukan apa pun, atau siapa pun, yang
diculik. Ia bukan polisi.
Nyonya Allen menelepon polisi dan seorang petugas pun
muncul di muka rumah.
“Oh, ini si penemu barang itu, ya,” ucap petugas
polisi. Si pemuda menundukkan kepalanya dengan sopan. Ia berpaling ke kanan, ke
kiri, utara, dan selatan. Samar-samar ia merasa perlu menghadap ke utara dan
keluar lewat pintu belakang, melintasi halaman. Malam menjelang dan dalam
kegelapan langit tampak semakin luas dan tinggi.
“Siapa tadi namanya?” ia bertanya lagi pada Nyonya
Allen.
“Leonard,” sahut Nyonya Allen. Pemuda itu mendengar si
polisi mengeluarkan bloknot dan mulai mengajukan beberapa pertanyaan pokok.
Ia benar-benar tidak dapat merasakan keberadaan anak
itu. Ia merasakan udara serta sentakan di dalam dirinya dari si Bintang Hijau,
benda yang dibawa dari tempat asalnya di Asia. Ia merasakan sentakan dari pohon
di halaman depan yang dicerabut dari Virginia untuk ditanam kembali di tempat
ini, dan ia merasakan sentakan dari arlojinya sendiri yang merupakan pemberian
pamannya, yang kala itu berusaha bersikap kebapakan, dan mendesaknya supaya
menerima barang itu namun keduanya sadar bahwa itu sikap yang dibuat-buat.
Mungkin sekarang ini bocah itu sudah berada di tempat
yang jauh sekali.
Ia mendengar si polisi bertanya: “Baju apa yang
dikenakan anak itu?”
Nyonya Allen menerangkan baju biru yang dikenakan
anaknya, dan si pemuda pun memusatkan perhatian pada pakaian itu. Ia padamkan
segala pengalih perhatian dan baju biru itu pun, bagaikan saluran radio yang
tersambung, menyahut dari arah barat laut. Pemuda itu pun berjalan dan terus
berjalan dan setelah sekitar empat belas rumah dilewatinya ia merasakan baju
biru itu memekik padanya. Ia pun masuk ke halaman, melewati pintu belakang, dan
memang benar, ada empat orang tengah menonton TV termasuk si bocah dengan bekas
air mata dan hidung beringus sedang mengudap sebatang permen. Pemuda itu
membopong si bocah sementara yang lainnya hanya menatap, saking terkejutnya tak
berbuat apa-apa, dan yang satu bahkan menggumam: “Maaf, bung.”
Kembali melewati empat belas rumah, si pemuda membawa
Leonard dengan kedua belah lengannya bagaikan membopong pengantin wanita.
Leonard berhenti bersin-bersin dan memandang gemintang sementara si pemuda
menghidu rambut anak itu, sarat oleh kenangan akan selai kacang. Ia berharap
Leonard akan menanyakan sesuatu padanya, pertanyaan apa saja, namun Leonard
membisu. Pemuda itu menyahut dalam kepalanya: “Nak,” ucapnya, dan kata itu pun
bergulir, bagai kelereng pada lantai pualam. “Nak,” ingin ia mengucapkannya.
Sesampainya di pintu rumah Nyonya Allen, yang terbuka
lebar, ia pun masuk dan seketika tangis Leonard yang pendiam serta Nyonya Allen
meledak sementara si polisi menyelinap keluar.
Ribuan kali Nyonya Allen berterima kasih pada si
pemuda, bahkan menawarkan Bintang Hijau padanya, dan pemuda itu menolak.
Leonard menyalakan TV dan meringkuk di sofa. Si pemuda menghampiri anak itu dan
menanyakan acara yang sedang ditontonnya, namun Leonard memasukkan jempol ke
mulutnya dan diam saja.
“Baik-baik, ya,” si pemuda berucap lirih. Sambil
mengepit bola basket, pemuda itu pun pulang. Bahunya lunglai.
Di kamarnya yang sempit, ia melepas pakaian dan
berbaring di kasur. Seandainya anak yang dicarinya tak mengenakan apa-apa,
entahkah sepatu, kalung, pita rambut, atau jam tangan, ia tak akan berhasil
menemukannya. Malam itu ia berbaring di kasur sementara di berbagai tempat
lainnya pepohonan bekersik dan ia dapat merasakan kebingungan mereka. Di sini tidak ada salju. Hujannya jarang
turun. Di mana aku berada? Kenapa tanahnya begini?
Dengan menyilangkan tangan di dadanya sendiri, ia
memegangi bahunya. Berkonsentrasilah yang keras, pikirnya. Di mana kau berada? Segalanya terasa hampa dan sunyi. Ia tak
merasakan sentakan sedikit pun. Ia berusaha terus memejamkan mata dan
membiarkan pertanyaan itu meruap: Ke mana
dirimu? Temukanlah aku. Aku di sebelah sini. Temukanlah aku.
Ia merasa, jika dirinya mendengarkan baik-baik, akan
terdengar sambaran ombak.[]
Cerpen ini diterjemahkan dari "The Loser" karangan Aimee Bender dari kumpulan cerpen The Girl in the Flammable Skirt (1998)
4 komentar:
Hmmmm, agak kewalahan mencari tahu konflik batin karakter utamanya di bagian akhir setelah menyelamatkan leonard. tapi selebihnya ini enak ><
Setelah membaca lagi cerpen terjemahan sendiri ini, hm, iya, ya, membingungkan, hahaha, sepertinya perlu membaca lagi karya aslinya sekaligus googling siapa tahu ada penjelasan tentang cerpen ini. Sewaktu menerjemahkannya pun, saya enggak sampai memikirkannya sejauh itu sih, hehehe.
Terima kasih, ya, naen, sudah membaca dan berkomentar ^^
Aku heran, kenapa judulnya bukan "Si Pecundang"?
Saya enggak begitu ingat pertimbangan dalam memilih judul. Mungkin karena "Si Pecundang" terkesan terlalu frontal. Lagi pula sebetulnya saya enggak begitu merasakan hawa perlawanannya, sehingga "Yang Menyerah" terkesan rada lemas dan dengan begitu sesuai. Mungkin. Maaf kalau ini sebenarnya tidak begitu tepat.
Terima kasih sudah meninggalkan jejak di sini, ya, Shin Elqi :)
Posting Komentar