Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20210228

Kuda-kudaan Pembawa Keberuntungan (2/2) (David Herbert Lawrence, 1926)

“Oh, yah, kadang, aku yakin sepenuhnya, sewaktu dengan Daffodil,” kata anak itu; “dan kadang-kadang aku dapat ilham; dan kadang-kadang aku sama sekali enggak ada ilham, ya kan, Bassett? Kalau begitu kami berhati-hati, karena biasanya kami kalah.”

“Dan ketika kamu yakin, sewaktu dengan Daffodil, apa sebabnya kamu yakin, Paul?”

“Oh, yah, entahlah,” kata si anak dengan suara gelisah. “Aku yakin saja, begitulah, Paman; itu saja.”

“Seolah-olah ilhamnya datang dari surga, tuan,” ulang Bassett.

“Kelihatannya seperti itu,” sahut si paman.

Namun ia bergabung juga dengan mereka. Dan ketika tiba saatnya balapan lagi, balapan Leger, Paul “yakin” dengan Percik Semangat, yang bukanlah kuda penting. Anak itu menetapkan untuk bertaruh seribu paun pada kuda tersebut, Bassett lima ratus, sedangkan Oscar Creswell dua ratus. Percik Semangat masuk pertama, dan hasil taruhannya pun telah menjadi sepuluh banding satu untuk mereka. Paul memperoleh sepuluh ribu paun.

“Lihat kan,” ujar si anak, “aku yakin sepenuhnya sama kuda itu.”

Bahkan Oscar Creswell saja mendapatkan dua ribu.

“Begini,” kata si paman, “hal seperti ini membuat Paman jadi tidak enak.”

“Tidak perlu merasa tidak enak, Paman. Bisa saja nanti lama aku tidak merasa yakin lagi.”

“Tapi uang itu mau kamu apakan?” tanya si paman.

“Pastinya,” ujar si anak, “aku memulai ini karena Ibu. Ibu bilang Ibu tidak beruntung karena Ayah tidak beruntung, jadi kupikir kalau aku yang beruntung, bisikan itu bakal berhenti.”

“Bisikan apa yang berhenti?”

“Rumah kami. Aku benci rumah kami karena bisikan itu.”

“Apa yang dia bisikkan?”

“Eh”—anak itu ragu-ragu—“entahlah. Tapi selalu saja tidak ada cukup uang, begitulah, Paman.”

“Paman mengerti.”

“Paman tahu, kan, orang mengirimi Ibu tagihan dan perintah untuk membayar?”

“Ya,” sahut Paman Oscar.

“Lalu rumahnya berbisik, seperti ada orang yang diam-diam menertawakan kami. Rasanya mengerikan! Jadi kalau saja aku beruntung—“

“Kamu bisa saja berhenti,” imbuh si paman.

Anak itu memandangi si paman dengan mata birunya yang besar, yang mengandung api redup nan ganjil, namun ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Baiklah, kalau begitu,” sahut si paman, “apa yang akan kita lakukan?”

“Aku tidak mau Ibu sampai tahu aku beruntung,” ucap si anak.

“Kenapa tidak, Paul?”

“Nanti Ibu menyuruhku berhenti.”

“Paman rasa tidak begitu.”

“Ah!”—dan gerakan anak itu pun tampak ganjil—“Aku tidak mau Ibu sampai tahu, Paman.”

“Baiklah! Kita usahakan jangan sampai ibumu tahu.”

Melakukannya sangatlah mudah. Paul disarankan untuk memberikan lima ribu dolar kepada pamannya, yang memberikan itu kepada pengacara keluarga, yang kemudian memberitahukan ibu Paul bahwa ada relasi yang telah menyerahkan lima ribu paun kepadanya. Jumlah ini akan dikeluarkan pada ulang tahun si ibu, seribu paun sekali waktu, selama lima tahun ke depan.

“Jadi ibumu akan mendapat hadiah ulang tahun seribu paun selama lima tahun,” kata Paman Oscar. “Mudah-mudahan ia tidak kesulitan lagi nanti.”

Ibu Paul berulang tahun pada November. Belakangan rumah itu berbisik semakin keras, dan walaupun sudah beruntung, Paul tidak dapat menahankannya. Ia cemas menantikan kesan yang ditimbulkan surat pada ulang tahun itu nanti, yang akan menyampaikan kepada ibunya mengenai ribuan paun itu.

Ketika sedang tidak ada tamu, sekarang Paul makan bersama-sama orang tuanya, karena dia sudah tidak lagi dapat dikendalikan perawatnya. Ibunya pergi ke kota hampir setiap hari. Wanita itu mendapati bahwa ia mampu menggambar kain baju serta pakaian dari bulu binatang, maka diam-diam dia bekerja bersama temannya yang kepala seniman di suatu toko terkemuka. Ia menggambar figur wanita-wanita berpakaian bulu binatang serta wanita-wanita berpakaian sutra untuk surat kabar. Si seniman wanita muda itu menghasilkan beberapa ribu paun setahun, sedangkan ibu Paul hanya memperoleh beberapa ratus, sehingga ia tidak puas. Ia ingin menjadi yang terdepan dalam suatu hal, namun ia tidak berhasil, sekalipun dalam membuat gambar untuk surat kabar.

Pada pagi hari ulang tahunnya, ibu Paul tengah berada di lantai bawah untuk sarapan. Paul mengamati wajah ibunya sementara wanita itu membaca surat-surat. Paul tahu mana surat yang berasal dari pengacara keluarga. Selagi si ibu membacanya, wajah wanita itu menegang dan semakin terpaku. Kemudian tampaklah raut yang dingin dan tegas pada mulutnya. Ia menyembunyikan surat itu di bawah tumpukan surat-surat yang lain, dan tidak berucap apa-apa.

“Ada kabar yang menggembirakan, Bu?” tanya Paul.

“Sangat menggembirakan,” sahut ibunya, namun suaranya dingin.

Wanita itu pun pergi ke kota tanpa berkata apa-apa lagi.

Namun saat sore Paman Oscar muncul. Ia mengatakan bahwa ibu Paul menghabiskan waktu lama bersama si pengacara, menanyakan apakah keseluruhan lima ribu itu dapat dikeluarkan sekaligus, karena wanita itu memiliki utang.

“Bagaimana menurut Paman?” tanya si anak.

“Kamu yang harus memutuskan.”

“Oh, kalau begitu tidak apa-apa. Kita masih bisa menghasilkan uang lagi,” kata si anak.

“Jangan terlalu yakin,” ujar Paman Oscar. “Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan. Lebih baik menjaga yang ada daripada mengharapkan yang belum pasti.”

“Tapi aku yakin tahu pemenangnya untuk acara pacuan yang lainnya: untuk yang Lomba Nasional, atau yang Lincolnshire, atau Derby. Aku yakin bisa tahu pemenang salah satunya,” ujar Paul.

Maka Paman Oscar pun menandatangani persetujuan, sehingga ibu Paul menerima keseluruhan lima ribu itu. Kemudian terjadilah suatu hal yang teramat janggal. Suara-suara di rumah itu tahu-tahu menggila: sampai beribu-ribu. Ada perabot baru, dan Paul pun mendapat guru. Ia benar-benar dapat bersekolah ke Eton, sekolah ayahnya dulu, pada musim gugur nanti. Ada bunga-bunga pada musim dingin. Namun suara-suara di rumah itu, di balik bunga-bunga serta dari bawah bantal berwarna-warni, menjerit-jerit: “Harus ada uang tambahan! Ah, harus ada uang tambahan. Ah, sekarang juga, lebih daripada sebelumnya, harus ada uang tambahan!”

Paul menjadi ngeri. Ia mempelajari bahasa Latin dan bahasa Yunani, namun waktunya yang terutama dihabiskan bersama Bassett. Lomba Nasional telah berlalu: ia tidak mendapat “ilham”, dan kehilangan seratus paun. Musim panas mendekat. Ia sangat cemas dengan balapan Lincoln. Namun untuk Lincoln sekalipun ia tidak mendapat “ilham”, dan kehilangan lima puluh paun. Tatapannya jadi nanar dan perilakunya aneh, seolah-olah ada yang hendak meledak dalam dirinya.

“Sudah biarkan saja,” kata Paman Oscar. “Jangan risaukan itu!” Namun tampaknya si anak tidak benar-benar dapat mendengar perkataan pamannya itu.

“Aku harus tahu yang akan menang di Derby! Aku harus tahu yang Derby!” kata anak itu berulang-ulang, mata yang biru besar itu menyorotkan suatu kegilaan.

Ibunya menyadari betapa kalutnya anak itu.

“Kamu sebaiknya jalan-jalan ke pantai. Mau pergi sekarang saja, daripada nanti-nanti? Supaya kamu membaik,” kata ibunya seraya cemas memandang si anak, hatinya entah kenapa terasa berat karenanya.

Namun si anak mengangkat matanya yang biru janggal itu.

“Aku tidak mungkin bisa pergi sebelum balapan Derby, Bu!” sahutnya. “Aku tidak mungkin bisa!”

“Kenapa tidak?” suara ibunya jadi sedih ketika si anak tidak menyetujui. “Kenapa tidak? Kamu masih bisa pergi ke balapan Derby dari pantai bersama-sama Paman Oscar, kalau mau. Buat apa menunggu di sini.  Lagi pula, Ibu rasa kamu terlalu memikirkan soal balapan. Ini pertanda buruk. Keluarga Ibu itu keluarga pejudi, dan baru setelah besar kamu menyadari perbuatan itu sangat merugikan. Tapi sudah telanjur. Ibu harus menyuruh Bassett pergi, dan meminta Paman Oscar tidak membicarakan tentang balapan lagi dengan kamu, kecuali kamu berjanji untuk bersikap bijaksana. Pergilah ke pantai dan lupakan balapan itu. Kamu terlalu tegang!”

“Aku akan melakukan apa pun yang Ibu minta, asal jangan suruh aku pergi sampai setelah balapan Derby,” ujar si anak.

“Menyuruh kamu pergi dari mana? Dari rumah ini?”

“Ya,” sahut anak itu, seraya menatap ibunya.

“Ah, kamu ini ada-ada saja, kenapa tahu-tahu kamu sangat memedulikan rumah ini? Baru tahu kalau kamu sangat menyukai rumah ini.”

Anak itu tidak berkata apa-apa. Ia memendam rahasia di balik rahasia, yang belum ia sampaikan, sekalipun kepada Bassett ataupun Paman Oscar.

Namun ibunya, setelah menimbang-nimbang untuk beberapa saat, berkata:

“Baiklah, kalau begitu! Tidak usah pergi ke pantai sampai setelah balapan Derby, kalau maumu begitu. Tapi, janji, ya, jangan sampai keteganganmu itu bikin kamu jadi tidak keruan. Janji, ya, jangan terlalu memikirkan soal acara-acara balapan kuda itu, seperti katamu itu!”

“Ah, tidak,” kata si anak asal saja. “Aku tidak akan terlalu memikirkannya, Bu. Ibu tidak perlu cemas. Aku tidak akan cemas, Bu, seandainya aku jadi Ibu.”

“Seandainya kamu jadi Ibu, dan Ibu jadi kamu,” kata si ibu, “kira-kira apa yang sebaiknya kita lakukan!”

 “Tapi Ibu tidak akan cemas, kan?” ulang si anak.

“Ibu akan lega sekiranya tidak perlu cemas,” sahut ibunya dengan suara letih.

“Ah, memang seharusnya Ibu tidak perlu cemas,” kata si anak.

“Seharusnya? Nanti Ibu pikirkan,” ucap si ibu.

Rahasia di balik rahasia Paul adalah kuda kayunya, yang tidak bernama itu. Sejak perawatnya pergi, kuda-kudaan itu dipindahkan ke kamarnya di lantai atas rumah.

“Jelas-jelas kamu sudah terlalu besar main kuda-kudaan!” ibunya pernah bilang.

“Yah, Bu, sampai aku bisa punya kuda sungguhan, aku ingin punya barang peliharaan,” begitulah jawabannya yang ganjil.

“Kamu merasa senang dengan kuda-kudaan itu?” ibunya tertawa.

“Ah, iya! Kuda-kudaan ini bagus sekali, dan aku selalu senang bersama dia.”

Balapan Derby kian mendekat, dan anak itu pun bertambah-tambah gelisah. Ia hampir-hampir tidak mendengar yang orang katakan padanya, ia menjadi lekas tersinggung, dan tatapannya pun sungguh-sungguh ganjil. Ibunya resah karena anak itu. Kadang-kadang, sampai setengah jam, si ibu tahu-tahu saja merasakan kecemasan yang nyaris menyakitkan akan anaknya itu. Ia ingin bergegas menghampiri anak itu seketika itu juga untuk mengetahui apakah keadaannya baik-baik saja.

Dua malam sebelum balapan Derby, si ibu menghadiri pesta besar di kota, ketika perasaan cemasnya akan anak itu, putra sulungnya, memenuhi hatinya sampai-sampai ia hampir tidak sanggup berbicara. Ia melawan perasaan itu dengan segenap kekuatan. Namun rasanya terlalu kuat. Ia perlu meninggalkan acara dansa itu dan turun untuk menelepon ke daerah tempat tinggalnya. Nona Wilmot, yang menjaga anak-anak, amat terkejut ditelepon malam-malam.

“Apa anak-anak baik-baik saja, Nona Wilmot?”

“Oh, ya, mereka baik-baik saja.”

“Tuan Paul? Bagaimana dengan dia?”

“Dia baik-baik saja saat pergi tidur. Perlukah saya naik dan mengecek dia?”

“Tidak usah,” sahut ibu Paul segan. “Tidak! Tidak usah repot-repot. Tidak apa-apa. Tidak perlu menunggu sampai larut. Kami akan pulang sebentar lagi.”

“Baiklah,” ucap Nona Wilmot.

Saat itu sekitar pukul satu pagi saat ayah dan ibu Paul berkendara pulang. Segalanya hening. Ibu Paul masuk ke kamarnya dan melepas mantel bulu putihnya. Ia mendengar suaminya di lantai bawah sedang menyiapkan minuman.

Lantas, karena kecemasan janggal yang mengisi hatinya itu, ia pun perlahan-lahan naik ke kamar putranya. Pelan-pelan ia menyusuri lorong di lantai atas itu. Ada suara sayup-sayup? Apakah itu?

Wanita itu berdiri di sebelah luar pintu dan mendengarkan. Ada bunyi yang berat, janggal, namun tidak keras. Jantungnya berdetak sunyi. Bunyi itu tanpa suara, namun bergegas dan bertenaga. Tampaknya sangat besar dan gerakannya pun bengis. Apakah itu? Ia harus mengetahuinya. Ia merasa mengenali bunyi itu. Ia tahu benda apa itu.

Namun ia tidak merasa yakin. Ia tidak dapat menerangkannya. Dan benda itu terus saja bergerak, seperti keedanan.

Dengan lembut, sekaligus beku oleh cemas dan takut, wanita itu memutar pegangan pintu.

Ruangan itu gelap. Namun dari ruang dekat jendela, ia mendengar dan melihat ada yang bergoyang maju mundur. Ia menatapnya dengan takut sekaligus takjub.

Lantas tiba-tiba ia menyalakan lampu dan mendapati putranya keedanan berayun di atas kuda kayu itu. Sengitnya cahaya sekonyong-konyong menerangi anak itu dan menerangi wanita itu pula sementara ia berdiri dalam gaun hijau pucat di ambang pintu.

“Paul!” jeritnya. “Apa-apaan kamu ini?”

“Malabar!” teriak putranya, dengan suara menggelegar namun janggal. “Pemenangnya Malabar!”

Matanya menyala ke arah si ibu untuk sesaat yang hampa sementara ia menghentikan kudanya. Lantas berdebumlah ia ke lantai dan ibunya yang dibanjiri perasaan nestapa pun cepat-cepat menopang si anak.

Namun anak itu tak sadarkan diri, dan tetap demikian, sembari meradang. Kata-kata dan gerakannya tidak keruan, sementara si ibu duduk membatu di sisinya.

“Malabar! Pemenangnya Malabar! Bassett, Bassett, aku sudah tahu! Pemenangnya Malabar!”

Anak itu pun menjerit-jerit, berusaha bangkit, dan menuju pada kuda-kudaan yang telah memberi dia ilham.

“Apa maksudnya Malabar?” tanya ibu yang hatinya ketakutan itu.

“Tidak tahu,” sahut si ayah dingin.

“Apa maksudnya Malabar?” si ibu menanyai kakaknya, Oscar.

“Itu salah satu kuda yang berbalap di Derby,” begitu jawabannya.

Dan Oscar Creswell pun bicara pada Bassett, sedang dirinya sendiri bertaruh seribu paun untuk Malabar: empat belas untuk satu.

Pada hari ketiga, penyakit anak itu sangatlah berat. Mereka menanti adanya perubahan. Anak yang berambut ikal agak panjang itu gelisah sepanjang waktu di tempat tidurnya. Ia tidak tidur, tidak juga sadar, matanya serupa batu berwarna biru. Si ibu merasa hatinya telah lolos, benar-benar berubah menjadi batu.

Malamnya Oscar Creswell tidak datang, namun Bassett mengirimkan pesan yang mengatakan bahwa ia akan datang mampir sebentar, cuma sebentar? Ibu Paul sangat gusar, namun ia menyetujui. Anak itu masih belum ada perubahan. Barangkali Bassett akan memulihkan kesadarannya.

Si tukang kebun, lelaki pendek bermata cokelat kecil yang tajam itu, pelan-pelan memasuki kamar dan menghampiri sisi tempat tidur. Dilihatnya si anak yang resah lagi sekarat itu.

“Tuan Paul!” ia berbisik. “Tuan Paul! Malabar benar masuk pertama, menang besar. Sudah saya lakukan sesuai dengan kata tuan. Tuan mendapat tujuh puluh ribu paun lebih; tuan punya delapan puluh ribu paun lebih. Malabar benar masuk pertama, Tuan Paul.”

“Malabar! Malabar! Tadi aku bilang Malabar, kan, Bu? Tadi aku bilang Malabar? Apa menurut Ibu aku beruntung? Aku tahu pemenangnya Malabar, ya kan? Delapan puluh ribu paun lebih! Itu namanya beruntung, kan, Bu? Delapan puluh ribu paun lebih! Aku tahu itu! Malabar benar masuk. Kalau aku menaiki kudaku sampai aku merasa yakin, aku akan memberitahumu, Bassett, kamu bisa bertaruh sebanyak-banyaknya. Kamu bertaruh banyak, Bassett?”

“Saya bertaruh seribu, Tuan Paul.”

“Aku tidak pernah memberitahumu, Bu, bahwa kalau aku menaiki kudaku, dan sampai ke sana, dan lalu aku merasa yakin sepenuhnya—oh, sepenuhnya; Bu, apa aku pernah cerita padamu? Aku memang beruntung!

“Tidak, kamu tidak pernah cerita,” kata si ibu.

Namun si anak mati malam itu.

Dan sementara si anak terbaring tanpa nyawa, si ibu mendengar suara kakaknya berkata padanya: “Hester, kamu mendapat delapan puluh ribu, tapi putramu mati. Tapi, kasihan, sungguh kasihan, sudah yang terbaik bagi dia agar beristirahat dari kehidupan menaiki kuda kayunya untuk menemukan pemenang.”[]

 

DAVID HERBERT LAWRENCE (1885-1930) menulis beberapa novel pelik, beberapa buku puisi, serta cerita pendek. Esainya, “Fantasia of the Unconscious” (1922) merupakan contoh jenis karyanya yang lain. “The Rocking-Horse Winner” adalah cerita pendek tentang anak laki-laki yang dapat mengetahui pemenang pacuan kuda yang akan datang dengan menunggangi kuda-kudaannya. Anak ini memperoleh banyak uang, tapi kemudian dia mati.


Cerpen ini diterjemahkan dari “The Rocking-Horse Winner" dalam versi yang telah disederhanakan oleh G. C. Thornley, M. A., Ph. D. dalam Longman’s Simplified English Series: British and American Short Stories (1969). Cerpen terjemahan ini dapat dibaca juga di Wattpad (tautan tersemat).

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...