Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (4) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (4) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (230) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Welcome to the N. H. K. Bab 01 Lahirnya Seorang Prajurit Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Ah, betapa indahnya, betapa menyenangkan! Dalam apartemen satu kamar seukuran enam tatami yang mungil lagi kumuh ini, dengan bak cuci pe...

20210214

Welcome to the N. H. K. Bab 04 Jalan Menuju Kreator Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Kembali ke gedung apartemenku, aku menginterogasi tetanggaku. “Yamazaki, bagaimana caranya jadi kreator?”
“Eh? Kenapa ini, kok tiba-tiba?”
“Aku harus segera jadi kreator. Kamu mahasiswa Institut Animasi Yoyogi, kan? Kamu tahu banyak kan soal yang begituan?”
“Enggak. Yah, kurasa iya. Serius nih?”
“Aku serius. Aku sungguh-sungguh serius. Apa saja boleh deh. Pokoknya beri tahu saja bagaimana supaya aku bisa segera jadi kreator! Tolong, ya?”
“Teleponnya kututup, ya. Datanglah ke kamar.”
Kejutan dari situasi ini cukuplah hingga memaksaku untuk menelepon tetangga sebelahku. Panggilan telepon ini yang pertama kalinya sejak berbulan-bulan.

***

“Kalau kita bertemu lagi, aku akan kasih lihat kamu pekerjaanku.” Baru beberapa menit lalu, aku benar-benar mengatakan ini. Aku telah membusungkan dadaku dengan kebanggaan dan dengan konyolnya mengucapkan ini keras-keras. Kalau kita bertemu lagi ….
Kiranya pertemuan itu bakal terjadi tidak lama lagi. Sepertinya Misaki tinggal dekat sini. Bahkan bisa saja aku berpapasan dengan dia di kota secara kebetulan. Pada waktu itu, aku mesti mengubah kebohongan besarku yang luar biasa tolol menjadi kenyataan. Aku harus menjadi kreator betulan. Tapi, kreator itu apaan sih? Apaan tuh?
Yamazaki, sembari duduk di depan komputernya seperti biasa, meringkaskan keadaanku. “Pendeknya, Satou, kamu ini berbohong parah karena kamu ingin terlihat baik di hadapan cewek cantik. Dan sekarang kamu kebingungan dan berusaha untuk menutupi kenyataan bahwa kamu sudah bohong? Apakah itu sudah cukup merangkum?”
Dengan pipi memanas, aku mengangguk. Aku tidak peduli kalau kamu mencemoohku, Yazamaki. Kamu sudah tahu identitasku yang sesungguhnya sebagai hikikomori penganggur putus kuliah! Tidak ada lagi rahasia yang lebih memalukan daripada ini. Tolong aku, Yamazaki!
“Ah, enggak usah khawatir. Aku enggak bakal mengolokmu atau semacam itu. Hm ….”
Yamazaki melipat kedua lengannya dan mengerang, hanyut dalam pemikiran. Aku duduk di lantai dan dengan sabar menunggu dia berbicara. Akan tetapi, kalimat dia berikutnya tidak masuk akal bagaimanapun juga. “Pertama-tama, terlepas dari bagaimanapun seorang gadis sungguhan merendahkanmu, apakah itu benar-benar soal penting?”
“Eh?”
“Dengarkan aku, Satou. Wanita itu … mereka bukan orang. Bukan, mereka bukan manusia normal. Malah, mungkin enggak berlebihan kalau dibilang mereka itu bukan main hampir-hampir monster tak berperi kemanusiaan. Karena itu, enggak usahlah kamu menyusahkan diri begini. Apa masalahnya kalau kamu dihinakan perempuan?”
Ekspresi dia tenang seperti biasanya.
Serta-merta aku jadi sangat risi.
Ia melanjutkan, “Mereka itu enggak punya hati manusia yang sebenarnya. Kelihatannya mereka manusia, tapi mereka mahkluk yang berbeda. Satou, sebaiknya kamu pahami dulu kenyataan ini.”
“Ya—Yamazaki ….”
“Ha ha ha! Yah, lagian, itu bukan urusan yang sebegitu besarnya. Apa pun alasan di balik keputusanmu untuk jadi kreator, ide itu sendiri bisa jadi lumayan. Enggak apa-apa. Mari kita pikirkan bersama.”
Bangkitlah ia dari meja komputer, lalu duduk di hadapanku. Gerakannya terpompa oleh kepercayaan diri yang ajaib. Agaknya, rentang empat tahun dapat secara drastis mengubah kepribadian seseorang. Sekarang Yamazaki terlihat bergulir ke arah emosi yang berbahaya. Akan tetapi, pada titik ini, itu tidaklah penting sama sekali. Kalau itu dapat membantu memecahkan masalahku, aku mau saja membungkuk pada setan.
“Enggak, enggak. Enggak usah sampai membungkuk begitulah. Mari kita mulai. Singkatnya, ada beraneka macam kreator, Satou—mana yang kamu suka?”
“Hah? Seperti kataku tadi, aku ingin jadi kreator ….”
“Enggak ada pekerjaan namanya ‘kreator’!” suara Yamazaki jadi gahar. “Itu cuma istilah umum untuk pekerjaan seperti menulis atau menggambar komik. Pada dasarnya, seorang ‘kreator’ itu orang yang membuat sesuatu. Jadi, kamu mau membuat apa, Satou? Itu pertanyaanku.”
“Apa saja, asalkan aku bisa disebut kreator.”
“Argh.” Yamazaki mengencangkan tangan kanannya hingga terkepal. Lantas, seolah-olah ia telah menguasai dirinya kembali, ia mendesah dalam-dalam. “Yah, marilah mulai dari situ. Kalau begitu, Satou, kamu punya kecakapan apa?”
“’Kecakapan’ bagaimana maksudnya?”
“Kayak, bisa enggak kamu menggambar, menulis lagu, atau menulis program komputer yang bagus? Ada ragam kemungkinan.”
“Aku enggak bisa melakukan apa-apa. Kalau harus ada jawabannya, sepertinya aku berbakat menyendiri. Aku sanggup hidup setahun penuh tanpa bertemu siapa-siapa—“
“Itu sih enggak ada gunanya!” Yamazaki menggebrak lantai dengan kedua tangannya.
“Aku kan sudah bilang, aku tuh enggak berharga!” seruku balik.
Yamazaki berdiri dan mencecarku dengan kekuatan yang lebih besar. “Enggak mungkin orang yang enggak punya kecakapan bisa menjadi kreator dengan mudah, kan?! Enggak benar juga kalau mau gampangnya doang terus-terusan. Dengar, ya, kamu ketawa sewaktu aku kasih tahu kamu bahwa aku kuliah di Institut Animasi Yoyogi, kan, Satou? Oh, enggak apa-apa, enggak usah ditutup-tutupi …. Biar begitu, sudah jelas bahwa menyangkut urusan kreatif, aku lebih cakap daripada kamu. Tolong dimengerti, ya.”
Karena dia cukup meyakinkan selama pidato kecamannya yang panjang, dengan sendirinya aku mengangguk berkali-kali.
Tahu-tahu, tubuh Yamazaki jadi lunglai. “Enggak, gara-gara ingat para idiot di kelasku, aku jadi terlalu bersemangat. Orang-orang seperti itu yang paling bikin aku gila—orang-orang yang cuma bicara, berkumpul sendiri-sendiri, padahal mereka sendiri tidak bisa apa-apa.”
Agaknya entah bagaimana aku telah mengusik masalah dia dengan kehidupan kampusnya. Aku memutuskan untuk membuatkan dia kopi supaya dia tenang. Dengan memulung gelas kertas yang belum dipakai dari sampah yang terserak di lantai, aku menuangkan air dari cerek panas yang terletak di atas kabinet. Lantas, setelah memancing lebih jauh ke bawah tempat tidur, aku menemukan satu kue beras kemasan ekonomis.
Sembari makan kue, kami minum kopi.
Setelah tenang, Yamazaki kembali pada pokok pembicaraan. “Kalau begitu, mari memikirkannya secara lebih konkret kali ini. Musik perlu keahlian yang tinggi dan selera yang tajam, jadi itu di luar jangkauanmu, Satou. Kalau pemrograman, kamu enggak pandai matematika, kan, ya? Jadi, itu juga enggak mungkin. Seni rupa juga mustahil, ya? Aku pernah lihat gambarmu. Jadi, bikin ilustrasi manga enggak bakal berhasil. Lalu ….”
Tahu-tahu Yamazaki menampar lututnya. “Satou, kamu dulu anggota klub sastra, kan, ya?!”
“Terus …?”
“Novel! Bikin novel!”
Kupuntir muka jadi rengut. “Enggak, aku enggak mau itu! Aku enggak pernah menulis karangan panjang lagi sejak terpaksa sewaktu SMP. Lagi pula, novel terlalu membosankan. Enggak bakal berhasil—“
Yamazaki membersut padaku lagi. Sembari berdengus kasar lewat hidungnya, ia bergumam pelan, “Lupakan saja, kalau begitu?”
Aku merasa disentuh ketakutan lantas memutuskan untuk mengganti topik.
“O—omong-omong, Yamazaki, kamu belajar apa di kampus? Anime, kan ya? Apa kamu melukis sel dan semacamnya?”
Yamazaki menggeleng. “Walaupun sebutannya Institut Animasi Yoyogi, jurusannya ada bermacam-macam. Aku di jurusan Pembuatan Gim.”
Pembuatan Gim? Mendengar frasa itu lagi, aku jadi bergairah. “Kreator gim.” Terasa bergema. Titel itu berkesan begitu kekinian. Industri yang glamor di abad modern ini. Pekerjaan nomor satu yang diinginkan anak-anak SD. Aku membayangkan tokoh besar dalam industri ini berjalan-jalan dengan Lamborghini, mendapat hiburan di klub kelas atas Ginza. Bundel-bundel uang kertas beterbangan di sekelilingnya saat para perekrut tenaga kerja membujuk rayu dia, menongkrong di tengah banyak antrean panjang yang menanti gim super populer terbaru ciptaannya. Kemudian, ada murid SMA menakutkan yang mencuri salah satu gim paling dinantikan ini dari seorang anak SD, lantas cerita ini diangkat dalam siaran berita pukul enam. Si kreator gim bakal kaya gila-gilaan.
Itu pekerjaan yang bergaji besar, dengan bayaran per tahun seratus juta yen! Sangat keren! Sempurna!
Setelah menandaskan kopiku dalam sekali teguk, kurenggut tangan Yamazaki. “Ayo kita berusaha jadi kreator gim!”

***

Saat itu sudah lewat pukul sebelas malam. Yamazaki menyesap cangkir kopi instannya yang kesepuluh, dan aku saking laparnya hingga menyeduh ramen instan.
Yamazaki jadi marah. “Jangan sembarangan ambil persediaan makan orang dong!”
Aku menundukkan kepala meminta maaf kemudian menaburkan sejumlah lada ke atas mi. Selagi aku menyeruput ramen, Yamazaki menggagap, “Eng—enggak mungkin pemula bisa bikin gim.”
“Makanya kamu harus membantuku.”
“Gim modern itu seni yang menyangkut banyak hal. Gim yang layak itu bisa dibuat hanya dengan memadukan berbagai kecakapan khusus. Orang kayak kamu enggak akan bisa, Satou.”
“Setelah sekian lama kita enggak ketemu, omonganmu mulai benar-benar kurang ajar, ya?” aku merasa ingin mengatakannya biar dia kesal. Tapi, setelah memikirkannya, aku menyadari bahwa dari dulu juga dia sudah kurang ajar. Yeah, itu benar. Walaupun dia lemah, dia itu tipe orang yang berkata seenaknya tanpa pandang bulu. Ia terang-terangan menyebut teman sekelasnya idiot atau mengusir mereka. Itu sebabnya dia ditindas. Sepenuhnya gara-gara salah dia sendiri.
Kepadaku ia bicara sopan, tapi begitu mendapati bahwa aku telah menjadi penganggur, hikikomori putus kuliah, tinggal tunggu waktunya sampai dia mulai memperolokku, mengataiku “tak berharga” di depan mukaku. Tapi, itu bukan soal yang penting. Sekarang ini, aku mesti melakukan apa saja agar menjadi seorang kreator gim. Aku mesti menjadi bagian dari dunia industri. Tolonglah, Yamazaki ….
“Aku bisa mengerti sulit bagimu untuk minta bantuanku. Tapi, ada hal-hal yang tidak mungkin, mau meminta-minta bagaimanapun juga, Satou.”
“Tolonglah, lakukan sesuatu untuk menolongku!”
“Satu hal saja, tidak mungkin suatu hal yang kamu mulai untuk memperoleh rasa hormat seorang cewek dapat bertahan lama. Sudah jelas kamu akan segera kehilangan motivasi.”
“Itu enggak benar! Aku serius! Aku bersemangat!”
“Aku harus kuliah besok. Aku sudah capek.”
“Bukan hanya rasa hormat Misaki. Kalau bisa jadi kreator gim, aku juga enggak bakal jadi hikikomori lagi, kan?!”
“Mana mungkin.”
“Mungkin!” paksaku.
“Enggak bakal berhasil.”
“Bakal.”
Sejam lagi kulalui dengan memohon pada dia. Aku berusaha memenangkan hatinya, membujuk dia, meneriaki dia—dan akhirnya, aku berusaha memancing keluar sisi baiknya. “Selagi kamu kuliah, aku bisa merekamkan anime di TV. Iklannya juga nanti aku potongkan deh.”
Akhirnya, Yamazaki menyerah. “Hah, Satou, kamu ini sepertinya bertekad sekali.” Suaranya sungguh-sungguh.
“Ya. Aku memang serius. Aku bertekad penuh."
“Kalau begitu, ada satu cara yang bahkan kamu pun, Satou, bisa menjadi kreator gim. Tapi ….”
“Tapi?”
“Ini mungkin jalur paling berdarah-darah, cara yang menyakitkan lagi beratnya tiada akhir yang akan membuat siapa saja meninggalkannya, apalagi orang kayak kamu, Satou.”
Wajah Yamazaki menyeramkan, dan aku pun serta-merta meneguk ludah. Tapi, tekadku sudah mulai kukuh. Aku akan melakukannya, bagaimanapun juga. “Aku akan melakukan apa pun,” kataku.
“Benar nih?”
“Aku mengangguk.”
“Benar? Jangan bilang, ‘Aku menyerah,’ di tengah-tengah, oke?”
Aku kembali mempertunjukkan anggukan dalam-dalam.
Yamazaki menyeduh cangkir kopinya yang kesebelas, dan aku mulai menyeruput mangkuk ramen yang kedua. “Aku mengerti, Satou. Mari bicara. Akan kuberitahukan rencanaku.” Sembari mencondongkan badannya, Yamazaki berkata-kata penuh rahasia. “Gim dewasa ini dibuat dalam skala besar-besaran. Dibutuhkan sejumlah besar data dan pemrograman yang presisi, sehingga orang-orang baru seperti kita tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan membuat gim yang kelasnya sudah ketinggalan zaman seperti Super Nintendo saja sudah merupakan ujian, paling banter. Sekalipun kamu berhasil membuat yang semacam itu, kamu masih belum bisa menyebut dirimu seorang kreator gim.”
“Jadi—“
Yamazaki cepat-cepat memotong. “Dengarkan dulu, ya? Kita tuh enggak punya anggaran, enggak punya kenalan orang dalam, dan sumber daya kita sangat-sangat terbatas. Walaupun kita seadanya, masih ada jalan. Malah enggak harus bisa menulis program yang layak atau menyiapkan musik bagus, asalkan kita punya sekitar lima puluh CG—computer graphic—ilustrasi, dan sebundel skenario, ada satu genre gim yang bisa kita kerjakan!”
Suara Yamazaki sekarang tidak ayal lagi terbalut oleh nafsu.
“J—jadi genre apa?” suaraku sendiri terdengar kopong.
“Selama pemrogramannya jalan, asalkan kita pakai perangkat lunak gratis, kita akan lancar-lancar saja. Untuk soundtrack kita ambil dari CD musik yang bebas hak cipta. Aku yang menggambar CG, Satou, dan kamu yang menulis skenario.”
Skenario? Ah, semestinya itu gampang asalkan aku tinggal menulis yang wajar-wajar saja. Misalnya saja, “si hero harus menyelamatkan seorang putri yang diculik para penjahat”.
“Oke,” kataku. “Aku akan menulis skenario gim sebanyak apa pun yang kamu inginkan. Apa genrenya?”
“Kamu mau melakukannya, Satou?!” Yamazaki menepuk kedua belah pundakku.
“Yeah, ayo kita lakukan, Yazamaki. Mari kita bikin gim! Jadi, seperti yang kutanyakan tadi, genrenya apa?”
“Asalkan CG dan skenarionya bagus, kita bisa jadi terkenal. Malah mungkin enggak bakal sulit kalau kelak jadi profesional. Kalau proyek keluaran sendiri ini menghasilkan uang, kita bahkan bisa mendirikan perusahaan!”
“Perusahaan! Hebat, Yazamaki. Kamu jadi direkturnya, dan aku yang jadi wakilnya! Genrenya apa?”
“Kamu mau melakukannya, kan, Satou?”
“Yeah, aku mau.”
“Kalau sudah sejauh ini, tidak ada jalan kembali.”
“Berapa kali sih aku mesti tanya?”
“Kalau begitu, kita sepakat, ya. Bersama-sama, kita bisa berlari menuju hari esok!” Yamazaki mengambil tanganku dan menjabatnya erat-erat. “Jiwa kita telah terjalin.”
“Seperti yang sudah kutanyakan tadi, genre gimnya apa?”
“Kita sahabat!”
“Genrenya apa?”
“Kita kreator!”
“Seperti yang terus-terusan kutanyakan, apa sih genre gimnya?!”
Yazamaki akhirnya dengan bangga menjawab pertanyaan yang telah kuajukan berulang-ulang itu. “Gim erotis.”
Tolonglah, ada yang selamatkan aku.

***

Gemetar aku berusaha kembali ke kamarku sendiri, tapi Yamazaki menarikku balik. “Ini bahan-bahannya. Silakan dilihat-lihat begitu sempat. Kalau kamu suka main gim begini, kamu bisa tahu tren industri.” Sembari mengatakannya, ia menyerahkan sekitar tiga puluh kotak gim. Kemasan-kemasan ini dilapisi kata-kata seperti “penyiksaan”, “basah”, “pelecehan”, “cabul”, “dasi”, “sekolahan”, “kurungan”, “perkosaan”, “biadab”, “cinta sejati”, “pelatihan”, dan “petualangan”.
Aku mau menangis. Tapi Yamazaki menyeringai.
“Gim ini enggak dijual buat anak di bawah umur karena gim erotis. Yah, ini memang gim yang sungguh, sungguh erotis—tapi ini satu-satunya jalur yang terbuka bagi kita, jadi mari kita menjadi kreator gim erotis. Mari kita balas orang-orang di kelasku dengan gim erotis kita! Mari jadi miliarder dengan gim erotis kita! Mari jadi terkenal di seluruh dunia karena gim erotis kita! Kita akan ke Hollywood dengan gim erotis kita! Mari kita terima Tanda Jasa Kebudayaan[1] dengan gim erotis kita! Mari kita dapatkan Hadiah Nobel untuk gim erotis ….”
Senyumnya terus bersinar, menguapkan habis perasaanku untuk melepaskan diri dan lari.




[1] Tanda Jasa di Jepang (bintang kehormatan) yang diadakan sejak 1937. Tanda jasa ini hanya terdiri dari satu kelas dan dianugerahkan atas kontribusi terhadap kesenian, kesusasteraan, atau kebudayaan Jepang. Penerimanya juga mendapatkan tunjangan seumur hidup.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...