Kami menebeng pada musim dingin melewati Denmark. Pada suatu tempat di
pinggiran Kopenhagen, kami sama sekali mandek. Tidak ada tumpangan dalam gelap.
Udara dingin yang menggigit mulai mengusik.
Untuk menambah ragam pengalaman, dan sejenak berada dalam ruangan, kami
mengunjungi pompa bensin terdekat. Seperti biasanya, kami memeriksa tempat
sampah. 15 kilogram permen! Ini harta karun penyuka manisan terbesar yang
pernah kutemukan. Karena tidak mungkin kami memakan semuanya, dan tidak ada
lagi yang dapat kami lakukan, kami mendekati orang-orang yang mengunjungi pompa
bensin itu dan menawarkan manisan ini kepada mereka. Yang pertama adalah
seorang wanita hamil yang senang hati menerima pemberian ini. Yang lainnya
mengikuti. Meski begitu, berapa pun kotak yang kami donasikan, jumlah suguhan
manis yang tersisa gila-gilaan.
Pada akhirnya kami capek. Kami harus menemukan tempat untuk tidur. Tapi di
mana? Tidak mungkin tinggal di luar pada cuaca begini. Kami berjalan kembali ke
area peristirahatan di mana ada dua toilet. Kami memilih toilet wanita sebab
baunya mending dan kemungkinan besar toilet pria akan sering dikunjungi para
sopir truk. Walaupun aku sudah mengenakan semua pakaian yang kupunya, malam
yang membekukan menjengkelkanku. Malam yang tidak enak. Bahkan permen gagal
menghangatkan kami.
Pada cuaca
yang baik, tidur di bawah langit dapat memberikan pengalaman paling mengesankan
yang akan Anda peroleh. Anda merasa lebih bebas ketika dapat mengembara tanpa
rencana dan tidak harus mempersiapkan segalanya terlebih dahulu. Tidak ada
kekhawatiran memesan hostel sebelumnya. Terlebih lagi, tidak ada yang sebanding
dengan memandangi luasnya langit bercahaya bintang dan dininabobokan angin
hangat. Tapi lain ceritanya pada musim dingin. Situasinya sedikit lebih
menantang.
Sebelumnya
saya telah menyebutkan bahwa di Finlandia ada yang disebut dengan Hak Setiap Orang
(Everyman’s Right). Ini mencakup hak
untuk berkemah sementara di alam, tanpa izin pemilik lahan. Pemerintah
memelihara jaringan hunian sederhana di hutan yang dapat dipergunakan siapa
saja[1]—dan dapat
diakses sepanjang tahun. Bahkan kayu bakar serta peralatan masak biasanya
disediakan secara cuma-cuma.
Di banyak
negara tidak terdengar pemanjaan seperti ini. Meski begitu, tidur sementara di
luar kurang lebih dimungkinkan di mana saja. Hanya ada dua persyaratan: 1)
Jangan mengganggu orang lain, 2) Hindari diganggu orang lain.
Tidur
tanpa gangguan sangat disyukuri pengembara tanpa uang. Di kota-kota besar,
sebaiknya jauhi taman-taman pusat kota sebab kemungkinan ada lalu lintas yang
berisik di dekatnya atau orang-orang yang membangunkan Anda dari tidur. Di sebagian
kota besar ada penjaga malam atau polisi berpatroli. Tampaknya mereka dibayar
untuk memastikan supaya Anda tidak tidur. Siapa yang tahu kejahatan macam apa
yang dapat Anda lakukan selagi Anda terlelap.
Karena
alasan-alasan inilah, saya lebih suka bangunan telantar, dermaga terpencil,
serta rumah yang sedang dibuat. Atau permukaan apa pun yang rata dan lumayan
bersih. Pastikan saja Anda sudah bangun sebelum ada yang datang, sehingga Anda
tidak perlu mengakibatkan masalah bagi orang lain. Ingat juga untuk tidak
meninggalkan sampah.
Anda juga
bisa menanyai petugas damkar, gereja, dan tempat-tempat umum lainnya apabila
Anda dapat bermalam. Mereka mungkin menganjurkan Anda untuk menanyakan ke
kantor polisi, tapi itu cara yang sulit. Setidaknya saya tidak pernah berhasil
mendapatkan akomodasi penjara secara sukarela. Kalau Anda tidak bisa menemukan
tempat lain, jangan sungkan bergabung dengan para gelandangan setempat. Mereka
tidak menganggap aneh apabila Anda tidur di luar dan biasanya memilih tempat
yang tidak sering dikunjungi serigala lapar, polisi menyebalkan, ataupun mafia
pencuri organ.
Tidur di
luar lebih mudah di pedesaan. Saya telah menghabiskan banyak malam di sisi
jalan. Ketika cuaca memungkinkan, saya tidur di tempat terbuka, di bawah
bintang-bintang, dalam kantong tidur atau tanpa menggunakannya. Bila hujan,
selalu ada rumah-rumah kosong atau gubuk darurat sebagai naungan. Kalau tidak
ada tempat lain yang tersedia, cobalah tanyai tempat perkemahan kalau-kalau
Anda dapat beristirahat di halaman mereka. Biasanya mereka membolehkan, apalagi
bila Anda tiba larut malam dan berjanji untuk pergi pagi-pagi sekali.
Ketika
bepergian sendiri, saya hanya membawa kantong tidur. Sering kali itu cukup.
Tentunya alas tidur yang dapat dilipat atau digembungkan adakalanya berguna.
Alternatifnya yang gratis untuk sementara waktu adalah kardus bekas. Kardus
cukup baik untuk menyekat panas dan kelembapan. Saya bahkan pernah membawa
tempat tidur gantung ukuran besar dengan pelindung hujan buatan sendiri dan
tali-temali. Perlengkapan ini terbukti sangat nyaman. Tapi, perlengkapan ekstra
apa pun lumayan menambah bobot apabila Anda lebih suka mengembara dengan ringan
seperti saya. Saya cenderung menikmati kini dan membawa sesedikit mungkin.
Misalnya saja, saya tidak pernah membawa alat masak atau tenda. Sebenarnya Anda
tidak begitu sering memerlukannya, jadi buat apa membawa beban ekstra? Kalau
saya tidak punya, saya tidak benar-benar membutuhkannya.
Meski
begitu, bila Anda jauh dari peradaban Anda mesti menghargai Bunda Alam yang
tidak dapat diprediksikan. Siapkanlah.
Kami sedang berada di Bulgaria yang cerah bersama pacarku. Kami menyusuri
trek di gunung semalaman. Sebagian besar barang telah kami tinggalkan di tempat
tuan rumah Couchsurfing yang kami inapi malam sebelumnya. Kami hanya membawa
ransel kecil berisi kaus lengan panjang, celana panjang, kantong tidur, air,
dan makanan ringan.
Kami telah berjanji untuk bertemu dengan dua teman penebeng setempat.
Mereka tinggal di kota tapi mengenal cakupan gunung ini seperti punggung
tangan mereka. Oleh karena itulah, kami mengandalkan mereka dan tidak merasa butuh
persiapan lebih. Paginya hujan, tapi sekitar tengah hari awan memberi jalan
bagi sinar matahari yang ceria.
Teman-teman kami telat dua jam. Menebeng saat hujan bukannya tanpa kesulitan.
Bagaimanapun juga, ketika kami bertemu, mereka bersemangat untuk memulai
perjalanan. Rencananya adalah mencapai pondok alam liar di suatu tempat entah
di mana. Karena kami telat mulai, aku ragu apabila kami dapat tiba sebelum
malam. Tapi pembawaan teman-teman kami yang riang menular. Maka kami pun jalan
saja.
Kami mulai mendaki bukit dan mengisi botol air kami di hotel terakhir
sebelum peradaban buatan manusia membuka jalan pada alam yang belum terjamah. Di atas
pegunungan, kami berenang di kolam mata air yang membekukan lagi menyegarkan.
Rutenya cukup ditandai dengan titik-titik merah yang dicat pada batu di
sana-sini. Pemandangannya memesonakan. Menurut warga setempat, setiap batu dan
semak di Bulgaria berada pada tempat yang tepat. Segalanya sempurna apa adanya.
Akhirnya aku memahami perkataan mereka itu. Pegunungan ini memancarkan energi
magis. Ini sungguh mendekati kesempurnaan.
Pada pukul sembilan malam, kami beristirahat dan menonton matahari
terbenam yang menawan hati dengan keagungannya. Meski begitu, aku tidak bisa
sepenuhnya menikmati momen tersebut. Kami masih jauh dari tujuan, pondok, dan
kami bahkan tidak membawa senter untuk berjalan malam. Aku pun menyampaikan
kekhawatiranku. Setelah berunding, kami memutuskan untuk bekemah di situ.
Kenapa terburu-buru jika cuacanya bagus? Lagi pula, kami semua penebeng
berpengalaman yang tidur di luar bukanlah soal besar.
Kami mendirikan kemah—yang sesungguhnya pernyataan berlebihan, sebab kami
tidak punya tenda atau perlengkapan berkemah lainnya—dan mulai mengumpulkan
ranting serta konus untuk api unggun. Kemudian, terjadilah: aku merasakan
tetes-tetes air di kulitku. Aku mendongak. Awan gelap. Bercanda ah!
Mulailah hujan. Kami meminjam jas hutan serta kantong plastik dari
tetangga kami satu-satunya itu, dengan perlengkapan lebih baik dan saling
merapatkan diri di dalam tenda. Dengan menggunakan yang ada, kami
mengimprovisasikan naungan sementara di bawah semak belukar. Aku berusaha
menjaga ranting yang terkumpul agar tetap kering. Tanpa api untuk menghangatkan,
kami tak akan berdaya.
Aku gagal. Kayunya basah.
Ketika malam turun dan yang lainnya masuk ke kantong tidur, aku masih
berjuang membuat api. Sekalipun aku berhasil menyalakannya, sepuluh menit
kemudian apinya padam. Aku meminjam jaket musim dingin dari orang
Bulgaria temanku tapi sebentar kemudian basah juga. Akhirnya aku menyerah, membiarkan
apinya basah dan menyusup ke dalam kantong tidur.
Hanya setengah badan kami yang terlindungi dari hujan, yang semakin deras
dari waktu ke waktu. Aku berusaha untuk terpejam sebentar saja tapi sesaat
kemudian aku bangun menggigil. Kakiku basah dan dingin. Aku kembali menyalakan
api unggun, tanpa berharap sukses tapi sekadar untuk bergerak.
Subuh menandai selesainya hujan. Aku lelah dan kesal. Aku merutuki diri
karena tidak mempersiapkan dengan baik. Sekali lagi alam telah memberikan
peringatan besar akan kekuatannya dan menghukumku karena tidak menghargainya.
Orang Bulgaria temanku menggosok mata dan mengeluh betapa gerahnya ia dalam
kantong tidur yang kedap dingin. Ia yang persiapannya baik dan telah tidur
nyenyak tujuh jam, sekarang bersemangat untuk melanjutkan perjalanan. Aku
memberi tahu dia tentang malamku yang tanpa tidur dan mengakui bahwa mau tidak
mau mesti kembali pada peradaban. Sayang.
Bagaimana jika Anda ingin tempat
luaruang yang lebih permanen? Mungkinkah itu? Tentu saja. Ada kemauan, ada
jalan.
Di
Skotlandia, dekat Edinburg, ada tempat yang disebut Bliston. Sejumlah aktivis
menempati hutan tersebut. Mereka tinggal di rumah pohon. Ketika aku melihat
tempatnya, rasanya seperti impian bocah kecil yang terwujud. Di sisi lain, Mark
Boyle pernah beberapa tahun tinggal di karavan. Daniel Suelo hidup tanpa uang
selama bertahun-tahun, sebagian besar di Moab, Utah. Pada bulan-bulan terdingin
musim dingin, ia tinggal bersama teman atau menunggui rumah, tapi seringnya ia
tinggal dalam gua-gua. Ya, guanya ada banyak. Kalau ada penjaga hutan yang
mengusir dia dari satu tempat, Suelo membawa barangnya yang sedikit dan pindah
ke gua lain. Ia menjelaskan:
“Dengan gaya hidup
ini, saya merasa mendapatkan yang terbaik dari semua cara hidup, tinggal di
rumah-rumah bagus pada umumnya, menumpang di bangunan telantar, tidur di taman,
tidur di pinggir jalan serta alam liar, bernaung di bawah terpal, di tenda, di
kereta, di garasi, di atap, di rumah pohon, hingga mendiami pohon[2]. Tapi
hunian utama saya sejak melepaskan uang yaitu di gua-gua di kanyon gurun.
“Yang saya sukai dari gua ialah karena tempat itu merupakan rumah siap
pakai, terlindung dengan baik, dan terinsulasi dengan baik pula. Gua juga
tempat yang tenang, yang dengan sendirinya baik untuk bermeditasi secara alami,
lebih bagus daripada biara atau pusat pengasingan diri. Saya juga dapat melihat
margasatwa nokturnal, seperti lemur ekor cincin, dan kesempatan ini tidak akan saya
dapatkan dengan cara lain. Sebagian dari margasatwa itu merupakan makhluk
pengganggu seperti celurut, tikus, laba-laba, agas, serta kutu. Tapi hama
merupakan rempah kehidupan.”
Saya
sengaja tidak menyertakan gaya hidup swadaya (off-the-grid) sebagai pilihan. Walaupun banyak orang mengimpikan
hidup ekologis—dengan pondok kecil di pedesaan, sebidang lahan pertanian
organik, kincir angin dan panel solar, sistem akuaponik dan toilet kering,
permakultur dan laku spiritual, perpaduan bagus antara kesendirian dan
masyarakat yang satu pemikiran—kenyataannya: dewasa ini hidup bergantung dari
lahan itu jarang ada yang gratis.
Jangan
salah paham, semua gagasan ini patut didukung. Tapi, seseorang yang hidup
sepenuhnya tanpa uang boleh jadi tidak dapat menjangkau gaya hidup semacam ini
di masyarakat modern kita yang berpusat pada uang. Banyak yang memilih jalur
ini terkejut oleh investasi awal yang diperlukan untuk dapat menjadi swadaya.
Terlebih
lagi, hidup di pedesaan boleh jadi malah tidak memberikan kesenangan tanpa
beban yang dicari orang kota berwawasan-alternatif. Di samping waktu yang habis
untuk membangun dan memelihara pelaksanaan desa berwawasan lingkungan hidup
itu, banyak orang terpaksa untuk terus bekerja harian demi membayar semua biaya
yang diperlukan. Kalau Anda masih berharap untuk mengeksplorasi opsi ini, dan
terutama bila Anda ingin memulai suatu komunitas dari nol, bersiaplah pada
kenyataan bahwa boleh jadi akan butuh sepuluh tahun sebelum dapat berjalan.
Saat itu sudah gelap ketika akhirnya kami tiba di ujung jalan berlumpur
ini. Jalan itu membawa kami menembus hutan memasuki komunitas ekologis Inanitah[3]. Tempat
ini telah berjalan selama lima tahun di pulau surga vulkanis Ometepe di
Nikaragua. Berkat keragaman hayati serta tanah yang kaya nutrien, pulau ini
merupakan platform ideal bagi komunitas tani organik.
Inanitah didirikan oleh seorang wanita Amerika bernama Gaia dan seorang
pria Jerman bernama Paul. Kami sudah berkenalan dengan Gaia tujuh bulan lalu
selagi kami masih berada di Kroasia, di sisi seberang Samudra Atlantik. Ia
kagum pada cara berkelana pilihan kami. “Kalau entah bagaimana kalian bisa
sampai ke Nikaragua, berkunjunglah. Nanti kita pikirkan cara agar kita dapat
bekerja sama,” kata Gaia.
Bagi Paul, kedatangan kami sama sekali kejutan. Gaia masih di Thailand dan
lupa bilang bahwa kemungkinan ada beberapa pengembara tanpa uang sedang menuju
Inanitah. Kebanyakan relawan membayar 300 dolar sebulan untuk penginapan serta
makanan vegan yang lezat. Kami tidak punya uang. Paul jadi berpikir.
“Kalian boleh bergabung saat makan malam. Kalian bisa mandi dan tidur di
sebelah sana,” ia menerangkan dengan suaranya yang kalem serta menunjuk pada
bangunan yang diperlengkapi dengan beberapa tempat tidur gantung nan nyaman.
“Kita lihat besok apa yang bisa kita kerjakan,” imbuhnya. Kami merasa disambut
baik.
Paginya kami bersepakat untuk melanjutnya secara harian dan melihat ke
mana arahnya. Dari waktu sarapan hingga makan siang kami bekerja: membersihkan
kolam, menyiangi rumput, mempersiapkan bedeng tanaman, menggemburkan tanah,
menyebarkan benih, serta memanen yang sudah siap. Di samping itu, kami berperan
aktif dalam tugas-tugas biasa seperti memasak dan bersih-bersih. Pada sisa
waktu kami berenang, membaca, serta bermalas-malasan di tempat tidur gantung.
Kami menghadiri yoga dan meditasi. Kami mengobrol dengan relawan lain dan
bersenang-senang. Sesekali yang lainnya mencari piza dan bir di restoran
terdekat. Untuk minuman keras, kami hanya menggunakan biji kakao. Kami tidak
pernah melepaskan dasar pemikiran dan kami hanya makan tanaman yang berasal
langsung dari alam. Inilah surga.
Kami bekerja selama tiga minggu, empat jam per hari. Pekerjaan kebun itu
menampakkan kemajuan namun kemungkinan tidak berdampak jangka panjang. Gaia dan
Paul, bersama para relawan lain, telah mencurahkan sejumlah dedikasi, waktu,
dan uang yang gila-gilaan di tempat ini. Selama lima tahun keberadaan tempat
ini, ada tujuh karyawan setempat yang setiap hari kerja memperbaiki tempat itu.
Mereka dibayar dua kali upah rata-rata warga setempat, beberapa dolar per jam.
Dasar pemikirannya dirancang secara profesional dengan sangat memerhatikan
detail. Misalnya saja, toilet kering dibangun oleh tukang kayu orang Jerman
yang misi hidupnya adalah menjadi perancang toilet kering nomor satu di dunia.
Dan hasilnya tampak. Toilet cantik yang sebagian besar terbuat dari bambu ini
menyediakan tempat baik bagi yang ingin jongkok maupun yang lebih suka duduk.
Ventilasinya ditata dengan baik. Tidak ada lalat. Urine langsung menuju tanaman
pisang yang tumbuh subur di samping toilet. Lantai yang bisa diangkat
memudahkan pemeliharaan. Sangat bagus!
Faktor keberhasilan Inanitah yang terpenting boleh jadi adalah proses
komunikasi interpersonal yang menjamin tempat tinggal yang menyenangkan maupun
kolaborasi di antara orang-orang. Tersedia waktu untuk diskusi, perkembangan
pribadi, latihan spiritual, perencanaan, koordinasi, dan timbal balik. Mudah
saja untuk tersangkut di sini lebih lama lagi.
“Begini Paul, mungkin sebaiknya kami segera pergi,” usulku. Walaupun
awalnya ragu, ia telah terbiasa dengan kami di sini. Kami berterima kasih
padanya atas dedikasinya untuk menjadikan dunia ini agak sedikit lebih baik.
Inanitah merupakan kewirausahaan sosial yang berjalan baik, menyalurkan uang
orang barat kaya untuk pembangunan masyarakat Nikaragua. Inilah jenis
kapitalisme global yang saya senang menjadi bagian dari padanya.
Bagaimana dengan pindah ke komunitas
ekologis yang sudah mapan? Tentu saja, itu dapat menjadi pilihan jika Anda siap
membayar tempat tinggal atau membangun rumah Anda sendiri. Banyak desa
berwawasan lingkungan menyambut pengunjung dan relawan selama beberapa minggu
atau berbulan-bulan dalam sekali waktu. Meski begitu, camkanlah bahwa
orang-orang yang membuatnya telah mencurahkan berember-ember keringat dan air
mata demi mewujudkan mimpi mereka. Inilah sebabnya wisatawan jangka panjang
tidak begitu disukai. Simo Annala dari Desa Komunitas Livonsaari mengomentari:
“Orang dapat berpartisipasi dengan banyak cara, tidak hanya secara
finansial. Menurut saya, orang-orang di luar sistem uang dipersilakan datang ke
komunitas ini asalkan mereka turut serta membangun dan mengembangkannya. Suatu
komunitas dapat menjadi dasar yang bagus untuk bank-waktu (time-bank)[4] atau
bentuk pertukaran lainnya. Meski begitu, kemungkinan sulit memasuki Desa
Komunitas Livonsaari tanpa uang sama sekali sebab anggota diharapkan untuk
membeli saham perusahaan.”
Heidi
Tolvanen dan suaminya datang ke Desa Komunitas Livonsaari tanpa membawa banyak
uang. Mereka membangun pondok sendiri. Mereka memelihara hewan dan merawat
anak-anak mereka dengan pemasukan minimal. Alih-alih mobil, mereka memiliki
keledai. Heidi menjelaskan:
“Kita bisa hidup di
pedesaan dengan sangat sedikit uang. Ada berbagai hal yang tidak ada di kota
yang memungkinkan itu. Tentunya ada juga berbagai hal gratis yang bisa
ditemukan di kota yang tidak ada di pelosok.
“Hampir tidak ada kehidupan yang lambat di pedesaan—kehidupannya bahkan
lebih sibuk dan menarik lagi. Kita mungkin saja bisa menemukan tempat-tempat
yang murah untuk hidup di pedesaan. Itu bergantung pada kontak serta nasib
baik.”
Opsi
lainnya ialah menempati lahan tanpa membelinya, walaupun ini bukan alternatif
yang legal. Misalnya saja komunitas Beneficio, dekat Granada, Spanyol, memulai
dengan dan masih sampai sekarang, setelah dua dekade, menempati sebidang lahan.
Ribuan orang telah berkumpul di sana untuk mewujudkan mimpi mereka, sering kali
secara cuma-cuma.
Di banyak
tempat, ada desa dan kota kecil tanpa penghuni, akibat siklus ledakan dan
kegagalan (boom and bust) finansial.
Tempat-tempat itu dibangun dengan harapan tinggi tapi, ketika situasi ekonomi
mendadak berubah, tidak ada orang yang pindah ke sana. Seandainya punya rencana
yang baik, kemampuan komunikasi yang hebat, tim yang cakap, serta keuletan yang
tinggi, mungkin saja mendapatkan izin untuk menempati kota-kota hantu ini
secara legal. Bahkan pendanaan atau beberapa sumber daya gratis lainnya dapat
tersedia bagi kebanyakan aktivis wirausahawan. Tapi, sering kali penyerobotan
lahan (squatting) merupakan cara
paling cepat, paling sedikit birokratis, dan paling langsung.
[2] Tree-sitting, aksi yang dilakukan aktivis untuk mencegah penebangan
dengan berdiam di atas pohon (—penerj.).
[4] Time-bank (atau
bisa juga disebut dengan “urun waktu”), menggunakan waktu sebagai mata uang
untuk mendorong orang melakukan pekerjaan secara sukarela, serta memungkinkan
orang berpenghasilan rendah mengakses fasilitas yang biasanya tidak terjangkau.
Gagasan ini dicetuskan Edgar Cahn, profesor hukum Amerika Serikat, dalam
bukunya No More Throw-Away People
(—penerj.)
Teks asli dalam bahasa
Inggris dapat diunduh di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar