Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20210516

Rich Without Money - Siesta yang Layak: Tidur di Luar (Tomi Astikainen, 2016)

Kami menebeng pada musim dingin melewati Denmark. Pada suatu tempat di pinggiran Kopenhagen, kami sama sekali mandek. Tidak ada tumpangan dalam gelap. Udara dingin yang menggigit mulai mengusik.
Untuk menambah ragam pengalaman, dan sejenak berada dalam ruangan, kami mengunjungi pompa bensin terdekat. Seperti biasanya, kami memeriksa tempat sampah. 15 kilogram permen! Ini harta karun penyuka manisan terbesar yang pernah kutemukan. Karena tidak mungkin kami memakan semuanya, dan tidak ada lagi yang dapat kami lakukan, kami mendekati orang-orang yang mengunjungi pompa bensin itu dan menawarkan manisan ini kepada mereka. Yang pertama adalah seorang wanita hamil yang senang hati menerima pemberian ini. Yang lainnya mengikuti. Meski begitu, berapa pun kotak yang kami donasikan, jumlah suguhan manis yang tersisa gila-gilaan.
Pada akhirnya kami capek. Kami harus menemukan tempat untuk tidur. Tapi di mana? Tidak mungkin tinggal di luar pada cuaca begini. Kami berjalan kembali ke area peristirahatan di mana ada dua toilet. Kami memilih toilet wanita sebab baunya mending dan kemungkinan besar toilet pria akan sering dikunjungi para sopir truk. Walaupun aku sudah mengenakan semua pakaian yang kupunya, malam yang membekukan menjengkelkanku. Malam yang tidak enak. Bahkan permen gagal menghangatkan kami.

Pada cuaca yang baik, tidur di bawah langit dapat memberikan pengalaman paling mengesankan yang akan Anda peroleh. Anda merasa lebih bebas ketika dapat mengembara tanpa rencana dan tidak harus mempersiapkan segalanya terlebih dahulu. Tidak ada kekhawatiran memesan hostel sebelumnya. Terlebih lagi, tidak ada yang sebanding dengan memandangi luasnya langit bercahaya bintang dan dininabobokan angin hangat. Tapi lain ceritanya pada musim dingin. Situasinya sedikit lebih menantang.
Sebelumnya saya telah menyebutkan bahwa di Finlandia ada yang disebut dengan Hak Setiap Orang (Everyman’s Right). Ini mencakup hak untuk berkemah sementara di alam, tanpa izin pemilik lahan. Pemerintah memelihara jaringan hunian sederhana di hutan yang dapat dipergunakan siapa saja[1]—dan dapat diakses sepanjang tahun. Bahkan kayu bakar serta peralatan masak biasanya disediakan secara cuma-cuma.
Di banyak negara tidak terdengar pemanjaan seperti ini. Meski begitu, tidur sementara di luar kurang lebih dimungkinkan di mana saja. Hanya ada dua persyaratan: 1) Jangan mengganggu orang lain, 2) Hindari diganggu orang lain.
Tidur tanpa gangguan sangat disyukuri pengembara tanpa uang. Di kota-kota besar, sebaiknya jauhi taman-taman pusat kota sebab kemungkinan ada lalu lintas yang berisik di dekatnya atau orang-orang yang membangunkan Anda dari tidur. Di sebagian kota besar ada penjaga malam atau polisi berpatroli. Tampaknya mereka dibayar untuk memastikan supaya Anda tidak tidur. Siapa yang tahu kejahatan macam apa yang dapat Anda lakukan selagi Anda terlelap.
Karena alasan-alasan inilah, saya lebih suka bangunan telantar, dermaga terpencil, serta rumah yang sedang dibuat. Atau permukaan apa pun yang rata dan lumayan bersih. Pastikan saja Anda sudah bangun sebelum ada yang datang, sehingga Anda tidak perlu mengakibatkan masalah bagi orang lain. Ingat juga untuk tidak meninggalkan sampah.
Anda juga bisa menanyai petugas damkar, gereja, dan tempat-tempat umum lainnya apabila Anda dapat bermalam. Mereka mungkin menganjurkan Anda untuk menanyakan ke kantor polisi, tapi itu cara yang sulit. Setidaknya saya tidak pernah berhasil mendapatkan akomodasi penjara secara sukarela. Kalau Anda tidak bisa menemukan tempat lain, jangan sungkan bergabung dengan para gelandangan setempat. Mereka tidak menganggap aneh apabila Anda tidur di luar dan biasanya memilih tempat yang tidak sering dikunjungi serigala lapar, polisi menyebalkan, ataupun mafia pencuri organ.
Tidur di luar lebih mudah di pedesaan. Saya telah menghabiskan banyak malam di sisi jalan. Ketika cuaca memungkinkan, saya tidur di tempat terbuka, di bawah bintang-bintang, dalam kantong tidur atau tanpa menggunakannya. Bila hujan, selalu ada rumah-rumah kosong atau gubuk darurat sebagai naungan. Kalau tidak ada tempat lain yang tersedia, cobalah tanyai tempat perkemahan kalau-kalau Anda dapat beristirahat di halaman mereka. Biasanya mereka membolehkan, apalagi bila Anda tiba larut malam dan berjanji untuk pergi pagi-pagi sekali.
Ketika bepergian sendiri, saya hanya membawa kantong tidur. Sering kali itu cukup. Tentunya alas tidur yang dapat dilipat atau digembungkan adakalanya berguna. Alternatifnya yang gratis untuk sementara waktu adalah kardus bekas. Kardus cukup baik untuk menyekat panas dan kelembapan. Saya bahkan pernah membawa tempat tidur gantung ukuran besar dengan pelindung hujan buatan sendiri dan tali-temali. Perlengkapan ini terbukti sangat nyaman. Tapi, perlengkapan ekstra apa pun lumayan menambah bobot apabila Anda lebih suka mengembara dengan ringan seperti saya. Saya cenderung menikmati kini dan membawa sesedikit mungkin. Misalnya saja, saya tidak pernah membawa alat masak atau tenda. Sebenarnya Anda tidak begitu sering memerlukannya, jadi buat apa membawa beban ekstra? Kalau saya tidak punya, saya tidak benar-benar membutuhkannya.
Meski begitu, bila Anda jauh dari peradaban Anda mesti menghargai Bunda Alam yang tidak dapat diprediksikan. Siapkanlah.

Kami sedang berada di Bulgaria yang cerah bersama pacarku. Kami menyusuri trek di gunung semalaman. Sebagian besar barang telah kami tinggalkan di tempat tuan rumah Couchsurfing yang kami inapi malam sebelumnya. Kami hanya membawa ransel kecil berisi kaus lengan panjang, celana panjang, kantong tidur, air, dan makanan ringan.
Kami telah berjanji untuk bertemu dengan dua teman penebeng setempat. Mereka tinggal di kota tapi mengenal cakupan gunung ini seperti punggung tangan mereka. Oleh karena itulah, kami mengandalkan mereka dan tidak merasa butuh persiapan lebih. Paginya hujan, tapi sekitar tengah hari awan memberi jalan bagi sinar matahari yang ceria.
Teman-teman kami telat dua jam. Menebeng saat hujan bukannya tanpa kesulitan. Bagaimanapun juga, ketika kami bertemu, mereka bersemangat untuk memulai perjalanan. Rencananya adalah mencapai pondok alam liar di suatu tempat entah di mana. Karena kami telat mulai, aku ragu apabila kami dapat tiba sebelum malam. Tapi pembawaan teman-teman kami yang riang menular. Maka kami pun jalan saja.
Kami mulai mendaki bukit dan mengisi botol air kami di hotel terakhir sebelum peradaban buatan manusia membuka jalan pada alam yang belum terjamah. Di atas pegunungan, kami berenang di kolam mata air yang membekukan lagi menyegarkan. Rutenya cukup ditandai dengan titik-titik merah yang dicat pada batu di sana-sini. Pemandangannya memesonakan. Menurut warga setempat, setiap batu dan semak di Bulgaria berada pada tempat yang tepat. Segalanya sempurna apa adanya. Akhirnya aku memahami perkataan mereka itu. Pegunungan ini memancarkan energi magis. Ini sungguh mendekati kesempurnaan.
Pada pukul sembilan malam, kami beristirahat dan menonton matahari terbenam yang menawan hati dengan keagungannya. Meski begitu, aku tidak bisa sepenuhnya menikmati momen tersebut. Kami masih jauh dari tujuan, pondok, dan kami bahkan tidak membawa senter untuk berjalan malam. Aku pun menyampaikan kekhawatiranku. Setelah berunding, kami memutuskan untuk bekemah di situ. Kenapa terburu-buru jika cuacanya bagus? Lagi pula, kami semua penebeng berpengalaman yang tidur di luar bukanlah soal besar.
Kami mendirikan kemah—yang sesungguhnya pernyataan berlebihan, sebab kami tidak punya tenda atau perlengkapan berkemah lainnya—dan mulai mengumpulkan ranting serta konus untuk api unggun. Kemudian, terjadilah: aku merasakan tetes-tetes air di kulitku. Aku mendongak. Awan gelap. Bercanda ah!
Mulailah hujan. Kami meminjam jas hutan serta kantong plastik dari tetangga kami satu-satunya itu, dengan perlengkapan lebih baik dan saling merapatkan diri di dalam tenda. Dengan menggunakan yang ada, kami mengimprovisasikan naungan sementara di bawah semak belukar. Aku berusaha menjaga ranting yang terkumpul agar tetap kering. Tanpa api untuk menghangatkan, kami tak akan berdaya.
Aku gagal. Kayunya basah.
Ketika malam turun dan yang lainnya masuk ke kantong tidur, aku masih berjuang membuat api. Sekalipun aku berhasil menyalakannya, sepuluh menit kemudian apinya padam. Aku meminjam jaket musim dingin dari orang Bulgaria temanku tapi sebentar kemudian basah juga. Akhirnya aku menyerah, membiarkan apinya basah dan menyusup ke dalam kantong tidur.
Hanya setengah badan kami yang terlindungi dari hujan, yang semakin deras dari waktu ke waktu. Aku berusaha untuk terpejam sebentar saja tapi sesaat kemudian aku bangun menggigil. Kakiku basah dan dingin. Aku kembali menyalakan api unggun, tanpa berharap sukses tapi sekadar untuk bergerak.
Subuh menandai selesainya hujan. Aku lelah dan kesal. Aku merutuki diri karena tidak mempersiapkan dengan baik. Sekali lagi alam telah memberikan peringatan besar akan kekuatannya dan menghukumku karena tidak menghargainya. Orang Bulgaria temanku menggosok mata dan mengeluh betapa gerahnya ia dalam kantong tidur yang kedap dingin. Ia yang persiapannya baik dan telah tidur nyenyak tujuh jam, sekarang bersemangat untuk melanjutkan perjalanan. Aku memberi tahu dia tentang malamku yang tanpa tidur dan mengakui bahwa mau tidak mau mesti kembali pada peradaban. Sayang.

Bagaimana jika Anda ingin tempat luaruang yang lebih permanen? Mungkinkah itu? Tentu saja. Ada kemauan, ada jalan.
Di Skotlandia, dekat Edinburg, ada tempat yang disebut Bliston. Sejumlah aktivis menempati hutan tersebut. Mereka tinggal di rumah pohon. Ketika aku melihat tempatnya, rasanya seperti impian bocah kecil yang terwujud. Di sisi lain, Mark Boyle pernah beberapa tahun tinggal di karavan. Daniel Suelo hidup tanpa uang selama bertahun-tahun, sebagian besar di Moab, Utah. Pada bulan-bulan terdingin musim dingin, ia tinggal bersama teman atau menunggui rumah, tapi seringnya ia tinggal dalam gua-gua. Ya, guanya ada banyak. Kalau ada penjaga hutan yang mengusir dia dari satu tempat, Suelo membawa barangnya yang sedikit dan pindah ke gua lain. Ia menjelaskan:

“Dengan gaya hidup ini, saya merasa mendapatkan yang terbaik dari semua cara hidup, tinggal di rumah-rumah bagus pada umumnya, menumpang di bangunan telantar, tidur di taman, tidur di pinggir jalan serta alam liar, bernaung di bawah terpal, di tenda, di kereta, di garasi, di atap, di rumah pohon, hingga mendiami pohon[2]. Tapi hunian utama saya sejak melepaskan uang yaitu di gua-gua di kanyon gurun.
“Yang saya sukai dari gua ialah karena tempat itu merupakan rumah siap pakai, terlindung dengan baik, dan terinsulasi dengan baik pula. Gua juga tempat yang tenang, yang dengan sendirinya baik untuk bermeditasi secara alami, lebih bagus daripada biara atau pusat pengasingan diri. Saya juga dapat melihat margasatwa nokturnal, seperti lemur ekor cincin, dan kesempatan ini tidak akan saya dapatkan dengan cara lain. Sebagian dari margasatwa itu merupakan makhluk pengganggu seperti celurut, tikus, laba-laba, agas, serta kutu. Tapi hama merupakan rempah kehidupan.”

Saya sengaja tidak menyertakan gaya hidup swadaya (off-the-grid) sebagai pilihan. Walaupun banyak orang mengimpikan hidup ekologis—dengan pondok kecil di pedesaan, sebidang lahan pertanian organik, kincir angin dan panel solar, sistem akuaponik dan toilet kering, permakultur dan laku spiritual, perpaduan bagus antara kesendirian dan masyarakat yang satu pemikiran—kenyataannya: dewasa ini hidup bergantung dari lahan itu jarang ada yang gratis.
Jangan salah paham, semua gagasan ini patut didukung. Tapi, seseorang yang hidup sepenuhnya tanpa uang boleh jadi tidak dapat menjangkau gaya hidup semacam ini di masyarakat modern kita yang berpusat pada uang. Banyak yang memilih jalur ini terkejut oleh investasi awal yang diperlukan untuk dapat menjadi swadaya.
Terlebih lagi, hidup di pedesaan boleh jadi malah tidak memberikan kesenangan tanpa beban yang dicari orang kota berwawasan-alternatif. Di samping waktu yang habis untuk membangun dan memelihara pelaksanaan desa berwawasan lingkungan hidup itu, banyak orang terpaksa untuk terus bekerja harian demi membayar semua biaya yang diperlukan. Kalau Anda masih berharap untuk mengeksplorasi opsi ini, dan terutama bila Anda ingin memulai suatu komunitas dari nol, bersiaplah pada kenyataan bahwa boleh jadi akan butuh sepuluh tahun sebelum dapat berjalan.

Saat itu sudah gelap ketika akhirnya kami tiba di ujung jalan berlumpur ini. Jalan itu membawa kami menembus hutan memasuki komunitas ekologis Inanitah[3]. Tempat ini telah berjalan selama lima tahun di pulau surga vulkanis Ometepe di Nikaragua. Berkat keragaman hayati serta tanah yang kaya nutrien, pulau ini merupakan platform ideal bagi komunitas tani organik.
Inanitah didirikan oleh seorang wanita Amerika bernama Gaia dan seorang pria Jerman bernama Paul. Kami sudah berkenalan dengan Gaia tujuh bulan lalu selagi kami masih berada di Kroasia, di sisi seberang Samudra Atlantik. Ia kagum pada cara berkelana pilihan kami. “Kalau entah bagaimana kalian bisa sampai ke Nikaragua, berkunjunglah. Nanti kita pikirkan cara agar kita dapat bekerja sama,” kata Gaia.
Bagi Paul, kedatangan kami sama sekali kejutan. Gaia masih di Thailand dan lupa bilang bahwa kemungkinan ada beberapa pengembara tanpa uang sedang menuju Inanitah. Kebanyakan relawan membayar 300 dolar sebulan untuk penginapan serta makanan vegan yang lezat. Kami tidak punya uang. Paul jadi berpikir.
“Kalian boleh bergabung saat makan malam. Kalian bisa mandi dan tidur di sebelah sana,” ia menerangkan dengan suaranya yang kalem serta menunjuk pada bangunan yang diperlengkapi dengan beberapa tempat tidur gantung nan nyaman. “Kita lihat besok apa yang bisa kita kerjakan,” imbuhnya. Kami merasa disambut baik.
Paginya kami bersepakat untuk melanjutnya secara harian dan melihat ke mana arahnya. Dari waktu sarapan hingga makan siang kami bekerja: membersihkan kolam, menyiangi rumput, mempersiapkan bedeng tanaman, menggemburkan tanah, menyebarkan benih, serta memanen yang sudah siap. Di samping itu, kami berperan aktif dalam tugas-tugas biasa seperti memasak dan bersih-bersih. Pada sisa waktu kami berenang, membaca, serta bermalas-malasan di tempat tidur gantung.
Kami menghadiri yoga dan meditasi. Kami mengobrol dengan relawan lain dan bersenang-senang. Sesekali yang lainnya mencari piza dan bir di restoran terdekat. Untuk minuman keras, kami hanya menggunakan biji kakao. Kami tidak pernah melepaskan dasar pemikiran dan kami hanya makan tanaman yang berasal langsung dari alam. Inilah surga.
Kami bekerja selama tiga minggu, empat jam per hari. Pekerjaan kebun itu menampakkan kemajuan namun kemungkinan tidak berdampak jangka panjang. Gaia dan Paul, bersama para relawan lain, telah mencurahkan sejumlah dedikasi, waktu, dan uang yang gila-gilaan di tempat ini. Selama lima tahun keberadaan tempat ini, ada tujuh karyawan setempat yang setiap hari kerja memperbaiki tempat itu. Mereka dibayar dua kali upah rata-rata warga setempat, beberapa dolar per jam.
Dasar pemikirannya dirancang secara profesional dengan sangat memerhatikan detail. Misalnya saja, toilet kering dibangun oleh tukang kayu orang Jerman yang misi hidupnya adalah menjadi perancang toilet kering nomor satu di dunia. Dan hasilnya tampak. Toilet cantik yang sebagian besar terbuat dari bambu ini menyediakan tempat baik bagi yang ingin jongkok maupun yang lebih suka duduk. Ventilasinya ditata dengan baik. Tidak ada lalat. Urine langsung menuju tanaman pisang yang tumbuh subur di samping toilet. Lantai yang bisa diangkat memudahkan pemeliharaan. Sangat bagus!
Faktor keberhasilan Inanitah yang terpenting boleh jadi adalah proses komunikasi interpersonal yang menjamin tempat tinggal yang menyenangkan maupun kolaborasi di antara orang-orang. Tersedia waktu untuk diskusi, perkembangan pribadi, latihan spiritual, perencanaan, koordinasi, dan timbal balik. Mudah saja untuk tersangkut di sini lebih lama lagi.
“Begini Paul, mungkin sebaiknya kami segera pergi,” usulku. Walaupun awalnya ragu, ia telah terbiasa dengan kami di sini. Kami berterima kasih padanya atas dedikasinya untuk menjadikan dunia ini agak sedikit lebih baik. Inanitah merupakan kewirausahaan sosial yang berjalan baik, menyalurkan uang orang barat kaya untuk pembangunan masyarakat Nikaragua. Inilah jenis kapitalisme global yang saya senang menjadi bagian dari padanya.

Bagaimana dengan pindah ke komunitas ekologis yang sudah mapan? Tentu saja, itu dapat menjadi pilihan jika Anda siap membayar tempat tinggal atau membangun rumah Anda sendiri. Banyak desa berwawasan lingkungan menyambut pengunjung dan relawan selama beberapa minggu atau berbulan-bulan dalam sekali waktu. Meski begitu, camkanlah bahwa orang-orang yang membuatnya telah mencurahkan berember-ember keringat dan air mata demi mewujudkan mimpi mereka. Inilah sebabnya wisatawan jangka panjang tidak begitu disukai. Simo Annala dari Desa Komunitas Livonsaari mengomentari:

“Orang dapat berpartisipasi dengan banyak cara, tidak hanya secara finansial. Menurut saya, orang-orang di luar sistem uang dipersilakan datang ke komunitas ini asalkan mereka turut serta membangun dan mengembangkannya. Suatu komunitas dapat menjadi dasar yang bagus untuk bank-waktu (time-bank)[4] atau bentuk pertukaran lainnya. Meski begitu, kemungkinan sulit memasuki Desa Komunitas Livonsaari tanpa uang sama sekali sebab anggota diharapkan untuk membeli saham perusahaan.”

Heidi Tolvanen dan suaminya datang ke Desa Komunitas Livonsaari tanpa membawa banyak uang. Mereka membangun pondok sendiri. Mereka memelihara hewan dan merawat anak-anak mereka dengan pemasukan minimal. Alih-alih mobil, mereka memiliki keledai. Heidi menjelaskan:

“Kita bisa hidup di pedesaan dengan sangat sedikit uang. Ada berbagai hal yang tidak ada di kota yang memungkinkan itu. Tentunya ada juga berbagai hal gratis yang bisa ditemukan di kota yang tidak ada di pelosok.
“Hampir tidak ada kehidupan yang lambat di pedesaan—kehidupannya bahkan lebih sibuk dan menarik lagi. Kita mungkin saja bisa menemukan tempat-tempat yang murah untuk hidup di pedesaan. Itu bergantung pada kontak serta nasib baik.”

Opsi lainnya ialah menempati lahan tanpa membelinya, walaupun ini bukan alternatif yang legal. Misalnya saja komunitas Beneficio, dekat Granada, Spanyol, memulai dengan dan masih sampai sekarang, setelah dua dekade, menempati sebidang lahan. Ribuan orang telah berkumpul di sana untuk mewujudkan mimpi mereka, sering kali secara cuma-cuma.
Di banyak tempat, ada desa dan kota kecil tanpa penghuni, akibat siklus ledakan dan kegagalan (boom and bust) finansial. Tempat-tempat itu dibangun dengan harapan tinggi tapi, ketika situasi ekonomi mendadak berubah, tidak ada orang yang pindah ke sana. Seandainya punya rencana yang baik, kemampuan komunikasi yang hebat, tim yang cakap, serta keuletan yang tinggi, mungkin saja mendapatkan izin untuk menempati kota-kota hantu ini secara legal. Bahkan pendanaan atau beberapa sumber daya gratis lainnya dapat tersedia bagi kebanyakan aktivis wirausahawan. Tapi, sering kali penyerobotan lahan (squatting) merupakan cara paling cepat, paling sedikit birokratis, dan paling langsung.




[2] Tree-sitting, aksi yang dilakukan aktivis untuk mencegah penebangan dengan berdiam di atas pohon (—penerj.).
[4] Time-bank (atau bisa juga disebut dengan “urun waktu”), menggunakan waktu sebagai mata uang untuk mendorong orang melakukan pekerjaan secara sukarela, serta memungkinkan orang berpenghasilan rendah mengakses fasilitas yang biasanya tidak terjangkau. Gagasan ini dicetuskan Edgar Cahn, profesor hukum Amerika Serikat, dalam bukunya No More Throw-Away People (—penerj.)




Teks asli dalam bahasa Inggris dapat diunduh di sini.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...