

Kami berada di San Pedro Sula, Honduras, untungnya tak menyadari fakta bahwa secara statistik tempat itu kota paling berbahaya di dunia, ibu kota pembunuhan.
Saat itu sudah gelap. Kami berjalan-jalan di pinggiran kota yang
mencurigakan dengan memendam satu tujuan: kami ingin menonton pertandingan
sepak bola yang menentukan ketika Tim Honduras dapat memastikan partisipasinya dalam Piala Dunia di Brasil.
Kami berhenti di depan sebuah pondok bengkel mobil. Ada TV di halaman.
Mereka menata beberapa kursi di depan pesawat TV, jelas-jelas bersiap untuk
pertandingan. Begitu melihat wajah kami yang penuh harap, mereka mengundang
kami untuk bergabung.
Tak berapa lama kemudian kami menyoraki Honduras sambil minum-minum es bir
dingin yang mereka tawarkan. Di belakang kami ada seorang pemuda kulit hitam,
yang mengenakan seragam serta memegangi senapan tempur di pangkuannya.
Tampaknya dia semacam petugas kepolisian. Begitu permainan berakhir dan
Honduras mengamankan tempatnya di Piala Dunia, pria itu berdiri, membawa
pistolnya, dan mulai menembaki langit dengan liarnya. Semua orang bersorak.
Saudara si montir, yang sudah cukup mabuk, meminta kami untuk ikut dia
berjalan-jalan. Kami memanjat ke belakang truk pikap miliknya dan ia mulai
putar-putar di jalanan dengan agak ugal-ugalan. Kami terhindar dari beberapa
kecelakaan nyaris dan menertawai pesta gila-gilaan yang memenuhi jalanan.
Kami berhenti di rumah orang tua pacarnya. Tahu-tahu satu geng berisi
selusin pemuda bersenjata mengelilingi mobil. Mereka bahkan tidak melihat ke
arah kami, namun mengacungkan pistol, Uzi, dan senjata api lainnya pada sopir
kami. Kami menyimak insiden tidak realistis ini seakan-akan sebuah gambar
hidup. Setelah perdebatan sengit, geng tersebut pergi begitu saja. Tak ada
pertumpahan darah kali ini.
Kami kembali ke bengkel dengan agak kelelahan. Ia mengajak kami
membentangkan kantong tidur pada lantai di kamar belakang yang berdebu. Dengan
senang, kami menerima tawarannya. Pesta mabuk-mabukan di luar menjadi semakin
berisik saja. Musik berirama, teriakan gembira, ciutan ban, serta tembakan
berulang-ulang. Mereka sepertinya sungguh bersenang-senang, dengan cara mereka
sendiri. Menakjubkan rasanya menyaksikan perayaan ini. Kami terlelap dalam rasa
bahagia dan syukur. Dan kami tidak takut.
Apa
kebalikan dari cinta? Bukan, jawabannya bukan benci. Kebalikan dari cinta
adalah takut. Semua emosi kita berasal dari cinta atau takut. Bahkan benci
adalah turunan dari takut. Sama halnya dengan prasangka dan intoleransi pada
orang-orang yang terlihat berbeda atau berkelakuan lain daripada mayoritas. Hal
yang tak lazim membuat orang khawatir. Bukan hanya pengiklan yang tamak,
politikus haus kekuasaan, serta media pencari skandal yang menguatkan pesan
kebencian dalam masyarakat kita. Kitalah terutama, masyarakat.
Kalau Anda
berharap supaya tidak begitu dikendalikan oleh takut, menanggapi segala
persoalan ini secara sendiri-sendiri memakan waktu lama. Ada jalan pintas. Anda
bisa tinggal memutuskan untuk mengabaikan rasa takut itu dan berfokus pada
cinta. Dengan kata lain, Anda keluar dari lingkaran setan, di mana segalanya
berbahaya dan berpotensi merugikan, menjadi umpan balik yang positif. Anda
menaruh kepercayaan pada semesta dan hal-hal baik mulai terjadi. Ini menguatkan
kepercayaan Anda dan, voilà, semakin
banyak hal baik yang datang. Setelah beberapa lama, Anda bahkan sama sekali
berhenti memikirkan soal “baik” dan “buruk”. Berbagai hal terjadi begitu saja
dan secara sadar Anda memilih untuk menanggapinya dengan cinta.
Peace
Pilgrim mendorong kita ke arah ini:
“Tidak ada halangan yang lebih besar pada perdamaian dunia atau
ketenteraman batin daripada rasa takut. Apa yang kita takutkan cenderung
berkembang menjadi kebencian tak beralasan, sehingga kita menjadi benci dan
takut. Ini tidak hanya menyakitkan kita secara psikis serta memperburuk
ketegangan di dunia, tapi dengan fokus negatif seperti itu kita cenderung
menarik hal-hal yang kita takuti. Kalau kita tidak takut pada apa-apa dan
memancarkan cinta, kita bisa mengharapkan datangnya berbagai kebaikan. Betapa
banyak dunia ini membutuhkan pesan serta teladan akan cinta dan keyakinan!”
Bagi saya,
keputusan untuk berfokus pada cinta alih-alih takut jelas-jelas merupakan
prasyarat untuk menambah ketenteraman batin saya. Saya telah membuat keputusan
untuk mulai hidup tanpa uang dan saya menjadi lebih bahagia. Tapi ada
orang-orang yang berusaha mencegah saya. Kedua orang tua saya, sebagian teman,
beberapa orang yang sama sekali asing, bahkan seorang juru sita pemerintah yang
banyak membaca semuanya menggaungkan sentimen yang sama: orang tidak bisa
bertahan hidup tanpa bersandar pada cadangan finansial.
Tapi saya
bisa beberapa tahun hidup tanpa uang. Saya menyadari bahwa, dalam kritiknya,
orang-orang ini menggambarkan ketakutan mereka sendiri. Terhadap hal itu
sekalipun, saya belajar untuk menanggapi dengan cinta. Ini adalah soal pilihan
pribadi. Albert mampu menjelaskannya dengan sangat baik:
“Masalahnya adalah,
sejak kita lahir, masyarakat kita mempertunjukkan berbagai fantasi tertentu
hasil temuan sebagai kebenaran nyata yang tak dapat disangkal. Tapi, pada
akhirnya, gagasan-gagasan itu hanyalah sekadar pandangan hidup kebudayaan
tertentu. Gagasan-gagasan seperti uang, kepemilikan, agama, cinta monogami,
serta tata krama baik sebenarnya tidak tentu, tergantung pada seperangkat
gagasan khusus yang kita sebut kebudayaan. Tapi anggota kebudayaan tertentu itu
menganggapnya sebagai kebenaran tak terelakkan, alih-alih menyadari bahwa itu
hanya salah satu opsi yang dapat dipilih, di antara begitu banyak selainnya.
Anda bisa memilih untuk hidup dengan uang, tapi Anda bisa juga memilih untuk
hidup tanpanya. Dan kalau Anda tidak menginginkan uang, kalau Anda tidak mau
bekerja delapan jam setiap hari untuk dipertukarkan dengan keamanan,
stabilitas, kenyamanan dalam kadar tertentu, maka pilihan Anda sama absahnya
dengan pilihan siapa saja selain Anda. Tapi ini, dalam masyarakat yang kita
tinggali, tidaklah diyakini atau diketahui oleh setiap orang.”
Membersihkan
diri Anda dari ketakutan tidaklah mesti memerlukan pengorbanan besar-besaran.
Perbuatan baik kecil-kecilan yang membuat Anda melangkah keluar dari rutinitas
yang telah terpatri serta meningkatkan kepercayaan kepada orang-orang merupakan
titik awal yang bagus. Anarki keseharian seperti apakah yang dapat membantu
Anda belajar untuk meninggalkan pemikiran yang telah terkondisikan itu serta
membawa Anda ke arah baru, tanpa batasan yang diada-adakan?
Hal-hal
sederhana apakah yang dapat memungkinkan Anda agar lebih memercayai orang?
Sekarang buatlah daftar:
1.
___________________________________________________
2.
___________________________________________________
3.
___________________________________________________
Tindakan
apa sajakah yang Anda masukkan ke daftar? Bisakah Anda memulai salah satunya
hari ini? Bisakah Anda mewujudkan semuanya dalam seminggu? Takutkah Anda
memulai? Malukah Anda? Apakah Anda berpikir untuk menundanya saja? Jangan.
Mulailah sekarang! Tuntaskan dan lihatlah dampaknya pada Anda.
Kalau Anda
tidak bisa memikirkan apa-apa sekarang ini, berikut beberapa contoh yang telah
membantu saya dan mungkin terbukti bermanfaat bagi Anda juga:
1. Berpartisipasi
dalam Perpustakaan Manusia! Konsep perpustakaan manusia (atau
perpustakaan hidup) itu sederhana saja. Para pembaca, orang-orang yang biasa
melintas di tempat umum, melihat-lihat katalog berisi judul buku yang
dapat mencakup dari “Amish” hingga “Anarkis Aseksual”
dan dari “Gila” sampai “Imigran Ilegal”. Mereka bisa meminjam buku selama 20
menit. Menariknya adalah buku itu sebenarnya adalah orang dan judulnya
merupakan satu bagian dari identitasnya—biasanya berupa prasangka yang ia
hadapi. Pembaca lalu dapat menggunakan waktunya yang terbatas itu untuk
menanyakan segala sesuatunya pada si buku, semakin pribadi pertanyaan itu
semakin baik. Aturannya hanya buku itu harus dikembalikan dalam kondisi yang
sama seperti sewaktu dipinjamkan. Ini merupakan konsep hebat untuk menghadapi
dan mengurangi prasangka dalam lingkungan yang aman. Anda tertarik menjadi buku
atau pembaca? Carilah di internet untuk mengetahui adakah acara perpustakaan
manusia di dekat Anda. Kalau tidak ada, Anda selalu bisa memulainya.[1]
2. Tampillah
di muka umum! Apakah Anda takut menyuarakan pendapat
Anda atau menonjolkan diri di keramaian? Keluarlah dari zona nyaman Anda dan
carilah kesempatan untuk menghadapi ketakutan Anda. Toastmasters[2] dapat mengajari
Anda keterampilan bicara di depan umum dan acara-acara Open Mic gratis bagi
siapa saja yang hendak memanjat panggung untuk menampilkan apa saja. Apalagi
para pemula diapresiasi dan didukung. Entahkah cetusan kreatif Anda ada pada
musik, deklamasi puisi, atau tari kejang, bukan soal. Apa pun yang Anda bagi di
panggung dapat membantu Anda menggerakkan kupu-kupu di perut Anda serta
menciptakan hubungan yang unik dengan orang-orang lainnya yang bersama Anda
menciptakan ruang yang indah ini.
3. Ajaklah
tetangga Anda mampir! Terlebih di dunia yang katanya
sudah maju ini, kita telah kehilangan hampir sepenuhnya rasa kemasyarakatan.
Kita mengeluhkannya di percakapan-percakapan intelektual namun tidak melakukan
apa pun untuk memperbaiki situasi ini. Kita bahkan tidak mengenal tetangga
kita. Buatlah alasan apa pun untuk mengebel pintu tetangga Anda. Tawari mereka
kelebihan makanan yang Anda masak atau mintalah garam. Ajaklah mereka minum
kopi bersama dan kenalilah kawan Anda. Terlepas dari bagaimanapun hasilnya,
ulanglah proses ini minggu depan dengan tetangga yang lain. Inilah
langkah-langkah kecil untuk meningkatkan kepercayaan, pertalian manusia,
dukungan sejawat, serta kelentingan lokal.
Tapi apa
sesungguhnya yang Anda butuhkan untuk memelihara kesehatan dan kesejahteraan
Anda? Inilah yang telah dilakukan oleh Matt, teman penebeng saya:
“Alih-alih membayar
asuransi kesehatan untuk perjalanan, saya berinvestasi pada pengetahuan. Saya
penanggap pertama bersertifikasi untuk alam liar (certified wilderness first responder), dan telah menghabiskan
berbulan-bulan belajar dari Paramedis dan Tenaga Kesehatan Gawat Darurat, begitu
pula praktisi pengobatan timur dan masyarakat pribumi.
“Saya telah belajar untuk merawat tubuh, baik untuk memelihara kesehatan
serta pengobatan penyakit. Kedokteran barat bagus untuk mengatasi trauma, tapi
sering kali tak berguna bila tak ada apotek di sekitar.
“Saya tidak menganggap penggunaan obat-obatan kecuali dalam keadaan yang
mendesak. Saya membawa beberapa antibiotik yang sangat manjur, pemberian
seorang dokter yang ramah, tapi saya tidak pernah menggunakannya. Saya
menggunakan krim antibiotik untuk luka besar atau terinfeksi, tapi selain itu
saya mengandalkan perngobatan herbal dan diet khusus.”
Perusahaan
asuransi berusaha menjual ketakutan. Keamanan sejatinya tidak berasal dari
persiapan berlebihan untuk setiap skenario “bagaimana kalau” yang bisa saja
terjadi atau bisa juga tidak. Merasa pasti bahwa segala kehilangan yang mungkin
terjadi akan mendapat kompensasi finansial tidak ada kaitannya dengan rasa
keamanan yang nyata. Alih-alih, perasaan itu berasal dari pemahaman yang
mendalam bahwa segala sesuatunya terjadi karena ada alasannya. Yaitu suatu
sikap pandang penuh kepercayaan, kesadaran bahwa, apa pun yang terjadi, Anda
sanggup menyesuaikan diri dan hidup bersama perubahan yang terus-menerus.
Saya
bukannya menganjurkan supaya Anda lantas menyingkirkan polis asuransi Anda.
Anda bisa saja memilih untuk mempersiapkan kehilangan finansial apabila Anda
memang menggunakan uang. Pada akhirnya, melepaskan polis asuransi tertentu
tidaklah memecahkan apa-apa kecuali keputusan itu merupakan bagian dari proses
perubahan yang lebih besar yang tengah Anda jalani. Saya hanya ingin Anda
mempertimbangkan alasan yang mendasari Anda mengambil asuransi itu pada
awalnya. Apakah rasa keamanan yang mereka jual itu nyata?
Bahkan
kalau Anda sanggup membayar asuransi, Anda bisa saja menghadapi masalah jika Anda
memilih untuk tidak terikat pada tempat. Asuransi dirancang untuk orang yang
tinggal menetap dan hanya sesekali bepergian, maksimal selama tiga bulan.
Berikut sedikit wawasan dari Päivi dan Santeri yang hampir terus-terusan
berpindah tempat:
“Kami tidak memiliki
asuransi sejak meninggalkan Finlandia pada 2004. Asuransi itu mahal dan tidak
selalu mencakup sesuai dengan yang dijanjikan. Lebih mudah dan lebih murah
berdiam di negara-negara tempat kita bisa memperoleh perawatan kesehatan yang
tidak mahal. Selain itu, sebaiknya kita hanya membawa barang-barang yang tidak
boleh hilang.
“Dibandingkan dengan orang yang menetap di rumah, malah lebih sulit
mendapatkan asuransi jika kita seorang nomad, sebab asuransi terikat dengan
sistem jaminan sosial di negara tertentu. Misalnya saja, kalau sudah satu tahun
kita tidak tinggal di Finlandia, kita tidak lagi berhak atas asuransi Finlandia.
Ada juga polis asuransi internasional tapi mahal dan membatasi perjalanan
Anda. Misalnya saja, mereka punya ketentuan negara-negara yang tidak ikut
tercakup.”
Sekali
lagi, kalau Anda memilih untuk tidak menggunakan uang sama sekali, tidaklah
perlu memiliki asuransi. Benjamin Lesage[3] menebeng dari
Eropa ke Afrika, kemudian dengan kapal ke Amerika Selatan, dan dari sana ke
Amerika Tengah dan Utara, hampir seluruhnya tanpa uang. Ceritanya menunjukkan
betapa kepercayaan dapat menjadi asuransi terbaik kita:
“Selagi berkelana tanpa uang saya belajar, yang pertama dan terutama,
untuk memercayai masa depan saya, pada apa pun yang akan terjadi, tanpa takut
atau ragu. Saya sesungguhnya tidak punya pilihan. Sepertinya kalau bukan karena keyakinan saya akan tinggal saja di Eropa, tak sanggup melintasi ambang pertama, yaitu ambang pintu rumah saya.
“Entah bagaimana, saya punya kepercayaan sejak awal yang tumbuh di
perjalanan sementara saya menyaksikan keajaiban hidup, kebenaran semesta alam:
kita adalah apa yang kita berikan. Dalam praktiknya, mengembara tanpa uang memerlukan wajah tersenyum yang enak dilihat, kecakapan
melayani orang, kesehatan yang bagus, kaki yang kuat, dan tanpa ketakutan. Tapi
keyakinanlah yang memungkinkan semua ini.
“Keyakinan, atau kepercayaan, merupakan asuransi kesehatan saya dan bisa
dibilang tidak ada yang lebih baik daripada itu. Ini universal, dapat
diterapkan di semua negara. Tidak terbatas dan gratis. Berkat keyakinan, saya
tidak harus menyembuhkan diri. Saya tidak benar-benar merasa sakit. Kalau
terkadang saya lelah atau mual, saya beristirahat saja, makan buah, minum air,
dan kehidupan pun kembali mengaliri diri saya.”
Jadi, ke
manakah kepercayaan saya pada semesta membawa saya? Apakah ada yang menolong
saya ketika sedang membutuhkannya? Ataukah diperlukan uang supaya ditolong?
Tidak, segala layanan kesehatan yang saya butuhkan entah bagaimana sudah ada
yang mengatur: jahitan, pil, dan pengobatan lainnya secara cuma-cuma. Biasanya
malah saya tidak harus mencari pertolongan tapi orang menolong kala pertolongan
dibutuhkan.
“Kami sedang berada di pesisir Pasifik di Meksiko, berjalan-jalan di
pantai, pasir hangat memeluk jemari kaki kami. Corak merah muda, ungu, dan
oranye menari-nari di seputar matahari terbenam. Ombak berdebur liar di pantai
dan angin sepoi-sepoi samudera nan hangat menyampaikan salam bergaram ke
lautan.
Sedang musim sepi dan hampir tidak ada turis di sini. Seorang lelaki
setempat bertubuh pendek berpapasan dengan kami, senyum lebar dan tatapan
menyenangkan pada wajahnya. Ia menyapa kami dengan riang. Meski begitu, mau
tidak mau saya berpikiran bahwa dia punya maksud tersembunyi, bahwa ia akan
segera menjual sesuatu pada kami, tanpa tahu bahwa
kami bukan apa-apa selain gelandangan tanpa uang. Alih-alih, dia bergabung
dengan dua bule yang duduk-duduk di pantai. Bagus. Ganggulah mereka. Mereka
punya uang.
Laut agak garang, tapi kami mengerahkan keberanian dan melompat ke ombak. Kami bermain-main di perairan bak berandalan nakal, tertawa dan
mencipratkan air pada satu sama lain, menikmati setiap saat. Ini surga.
Tapi lalu, ada kejadian tak terduga. Arus laut yang berbahaya menjeratku
dari pantai. Aku tidak bisa menggapai dasar lagi. Terlalu dalam. Aku berenang
mati-matian namun garis pantai terus menjauh. Aku benar-benar tidak dapat
kembali aman.
Sial. Ini bukan main-main.
Semakin aku berupaya melawan arus itu, semakin hilang kekuatanku. Aku berusaha menarik perhatian pacarku. Ia tidak bisa mendengarku di antara ombak yang
berkeliaran. Berenang. Berenang. Berenang. Tak ada gunanya.
“Santailah, kawan,” aku berusaha menenangkan diri. Aku menyadari tak ada
gunanya bertarung melawan Bunda Alam. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah
menyelam di bawah ombak yang terus membesar.
Menyelam. Permukaan. Panggil nama pacarku. Menyelam. Permukaan. Panggil
nama pacarku.
Akhirnya, dia mendengarku. Aku memohon: “Bisakah kamu menolongku aku? Aku
capek!”
Ia tidak menyadari bahwa aku dalam masalah, tengah berjuang untuk tetap
mengambang. Ombak tampaknya bertambah besar saja. Aku benar-benar kepayahan.
“Aku tidak bisa berenang lagi!” ulangku dan bagaimanapun juga tolol
memercayai dia untuk menyelamatkanku, tak memperhitungkan fakta bahwa aku
hampir dua kali lebih besar ukuran tubuhnya. Pada akhirnya, ia mendekatiku dan
mengerti kegawatanku. Tapi tidak banyak yang bisa dia lakukan. Dia lebih jago
berenang dari padaku, tapi tidak mungkin ia bisa menarikku kembali ke pantai.
Gelombang besar tahu-tahu melanda kami. Kami berjungkir balik tak
terkendali. Saat aku ke permukaan, aku melihat dia megap-megap. Bagus, sekarang
kami berdua sama-sama kalut.
Kami terus menyelam menembus ombak, tapi setiap gerakan merugikan kami.
Tidak banyak tenaga lagi.
Gelombang raksasa lainnya menamparku tanpa terduga, dan merenggutku ke
bawah. Aku sama sekali kehilangan petunjuk arah. Aku tidak tahu mana atas mana
bawah. Tidak ada yang bisa kulakukan selain berusaha untuk mendapatkan oksigen.
Entah bagaimana aku berhasil ke permukaan lagi.
Kami meminta pertolongan, dalam bahasa Inggris, bahasa Spanyol, bahkan
bahasa Finlandia. Aku kira tidak seorang pun dapat mendengar kami, atau melihat
kami. Sinar matahari dengan segera menyurut. Namun kami terus
berteriak—sekencang-kencangnya: “Tolong! Ayuda!
Apua!”
Gelombang kuat mengakhiri kehebohan kami. Aku ke bawah permukaan. Kali ini
kebetulan aku menelan air asin. Masuk ke hidungku, telingaku. Air mengisi
setiap rongga tubuhku.
Tak ada upaya lagi. Tak ada kekuatan. Tak ada daya. Tak ada harapan. Tak
ada yang bisa kulakukan, selain menuruti kekuatan alam dan melayang dalam rasa
takjub.
Kulepaskan ilusi untuk memegang kendali dan mengakui bahwa bisa jadi ini
saat terakhir menjelang kematian. Sepintas lalu aku dipenuhi rasa cinta. Begitu
damai, indah, menyenangkan. Kenangan-kenangan indah mengalir memasuki
kesadaranku. Aku merasa bersyukur atas keindahan yang aku berkesempatan
menyaksikannya sepanjang waktu hidupku.
Tak sanggup melawan lagi, aku pun berdamai dengan kematianku. Lagi pula
pelukan ombak bukanlah tempat peristirahatan akhir yang buruk, pikirku. Aku
merasakan hubungan antara air di seputarku dan air yang menyusun sebagian besar
tubuhku. Segalanya baik-baik saja. Aku menerima akibat apa pun. Tapi aku tidak
menyerah. Entah bagaimana, aku masih memercayai semesta akan menjagaku—boleh
jadi lebih daripada sebelumnya. Kepercayaan penuh sama sekali.
Lantas, sekonyong-konyong, aku kembali ke permukaan.
Tunggu.
Apa ini? Kakiku bisa merasakan pasir.
Secara ajaib, arus telah mengembalikanku ke arah pantai. Bonyok, tapi
gembira. Aku maju beberapa langkah. Aku selamat. Aku hidup. Aku ada.
Aku melihat ke sekitar, mencari-cari pacarku. Ia masih berjuang dengan
ombak di kejauhan. Sial. Aku sama sekali tidak ada sisa tenaga untuk pergi menyelamatkan dia. Harus apa?
Untungnya, aku melihat dua pria berlari dari
pantai ke arahku. Salah seorang dari mereka terlihat familier. Dia pria pendek
yang berpapasan dengan kami sebelumnya. “Tolong dia!” teriakku padanya sambil
menunjuk pada pacarku. “Aku baik-baik saja. Tolong dia,” ulangku ketika dia
semakin mendekat.
Mereka paham dan berlari melewatiku, ke arah pacarku. Aku menyeret diriku
di pantai, berharap dia akan baik-baik saja. Dengan lunglai, aku jatuh ke pasir.
Dengan lega, aku melihat kedua pria itu itu membawa pacarku keluar dari
perairan. Salah seorang dari mereka segera pergi begitu memastikan pacarku
selamat. Pacarku mendekat untuk memelukku.
Kami lalu beralih pada penyelamat kami. Sulit menemukan kata-kata. Apa
yang bisa dikatakan pada orang yang baru saja menyelamatkanmu, orang yang
kepadanya Anda berutang setiap saat setelahnya, setiap peristiwa baru sepanjang
sisa hidupmu?
“Gracias!” kami berhasil
berkata-kata.
Ia mengangguk, tersenyum, dan berjalan pergi.
Toh ia tidak menginginkan apa-apa dari kami. Saat melihat kami membutuhkan
pertolongan, ia datang, menyelamatkan hidup kami, lalu pergi. Gracias, sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar