Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20210815

Rich Without Money - Dinding Penyelamat: Kepercayaan Adalah Asuransi Terbaik Kita (Tomi Astikainen, 2016)


Kami berada di San Pedro Sula, Honduras, untungnya tak menyadari fakta bahwa secara statistik tempat itu kota paling berbahaya di dunia, ibu kota pembunuhan.
Saat itu sudah gelap. Kami berjalan-jalan di pinggiran kota yang mencurigakan dengan memendam satu tujuan: kami ingin menonton pertandingan sepak bola yang menentukan ketika Tim Honduras dapat memastikan partisipasinya dalam Piala Dunia di Brasil.
Kami berhenti di depan sebuah pondok bengkel mobil. Ada TV di halaman. Mereka menata beberapa kursi di depan pesawat TV, jelas-jelas bersiap untuk pertandingan. Begitu melihat wajah kami yang penuh harap, mereka mengundang kami untuk bergabung.
Tak berapa lama kemudian kami menyoraki Honduras sambil minum-minum es bir dingin yang mereka tawarkan. Di belakang kami ada seorang pemuda kulit hitam, yang mengenakan seragam serta memegangi senapan tempur di pangkuannya. Tampaknya dia semacam petugas kepolisian. Begitu permainan berakhir dan Honduras mengamankan tempatnya di Piala Dunia, pria itu berdiri, membawa pistolnya, dan mulai menembaki langit dengan liarnya. Semua orang bersorak.
Saudara si montir, yang sudah cukup mabuk, meminta kami untuk ikut dia berjalan-jalan. Kami memanjat ke belakang truk pikap miliknya dan ia mulai putar-putar di jalanan dengan agak ugal-ugalan. Kami terhindar dari beberapa kecelakaan nyaris dan menertawai pesta gila-gilaan yang memenuhi jalanan.
Kami berhenti di rumah orang tua pacarnya. Tahu-tahu satu geng berisi selusin pemuda bersenjata mengelilingi mobil. Mereka bahkan tidak melihat ke arah kami, namun mengacungkan pistol, Uzi, dan senjata api lainnya pada sopir kami. Kami menyimak insiden tidak realistis ini seakan-akan sebuah gambar hidup. Setelah perdebatan sengit, geng tersebut pergi begitu saja. Tak ada pertumpahan darah kali ini.
Kami kembali ke bengkel dengan agak kelelahan. Ia mengajak kami membentangkan kantong tidur pada lantai di kamar belakang yang berdebu. Dengan senang, kami menerima tawarannya. Pesta mabuk-mabukan di luar menjadi semakin berisik saja. Musik berirama, teriakan gembira, ciutan ban, serta tembakan berulang-ulang. Mereka sepertinya sungguh bersenang-senang, dengan cara mereka sendiri. Menakjubkan rasanya menyaksikan perayaan ini. Kami terlelap dalam rasa bahagia dan syukur. Dan kami tidak takut.

Apa kebalikan dari cinta? Bukan, jawabannya bukan benci. Kebalikan dari cinta adalah takut. Semua emosi kita berasal dari cinta atau takut. Bahkan benci adalah turunan dari takut. Sama halnya dengan prasangka dan intoleransi pada orang-orang yang terlihat berbeda atau berkelakuan lain daripada mayoritas. Hal yang tak lazim membuat orang khawatir. Bukan hanya pengiklan yang tamak, politikus haus kekuasaan, serta media pencari skandal yang menguatkan pesan kebencian dalam masyarakat kita. Kitalah terutama, masyarakat.
Kalau Anda berharap supaya tidak begitu dikendalikan oleh takut, menanggapi segala persoalan ini secara sendiri-sendiri memakan waktu lama. Ada jalan pintas. Anda bisa tinggal memutuskan untuk mengabaikan rasa takut itu dan berfokus pada cinta. Dengan kata lain, Anda keluar dari lingkaran setan, di mana segalanya berbahaya dan berpotensi merugikan, menjadi umpan balik yang positif. Anda menaruh kepercayaan pada semesta dan hal-hal baik mulai terjadi. Ini menguatkan kepercayaan Anda dan, voilà, semakin banyak hal baik yang datang. Setelah beberapa lama, Anda bahkan sama sekali berhenti memikirkan soal “baik” dan “buruk”. Berbagai hal terjadi begitu saja dan secara sadar Anda memilih untuk menanggapinya dengan cinta.
Peace Pilgrim mendorong kita ke arah ini:

“Tidak ada halangan yang lebih besar pada perdamaian dunia atau ketenteraman batin daripada rasa takut. Apa yang kita takutkan cenderung berkembang menjadi kebencian tak beralasan, sehingga kita menjadi benci dan takut. Ini tidak hanya menyakitkan kita secara psikis serta memperburuk ketegangan di dunia, tapi dengan fokus negatif seperti itu kita cenderung menarik hal-hal yang kita takuti. Kalau kita tidak takut pada apa-apa dan memancarkan cinta, kita bisa mengharapkan datangnya berbagai kebaikan. Betapa banyak dunia ini membutuhkan pesan serta teladan akan cinta dan keyakinan!”

Bagi saya, keputusan untuk berfokus pada cinta alih-alih takut jelas-jelas merupakan prasyarat untuk menambah ketenteraman batin saya. Saya telah membuat keputusan untuk mulai hidup tanpa uang dan saya menjadi lebih bahagia. Tapi ada orang-orang yang berusaha mencegah saya. Kedua orang tua saya, sebagian teman, beberapa orang yang sama sekali asing, bahkan seorang juru sita pemerintah yang banyak membaca semuanya menggaungkan sentimen yang sama: orang tidak bisa bertahan hidup tanpa bersandar pada cadangan finansial.
Tapi saya bisa beberapa tahun hidup tanpa uang. Saya menyadari bahwa, dalam kritiknya, orang-orang ini menggambarkan ketakutan mereka sendiri. Terhadap hal itu sekalipun, saya belajar untuk menanggapi dengan cinta. Ini adalah soal pilihan pribadi. Albert mampu menjelaskannya dengan sangat baik:

“Masalahnya adalah, sejak kita lahir, masyarakat kita mempertunjukkan berbagai fantasi tertentu hasil temuan sebagai kebenaran nyata yang tak dapat disangkal. Tapi, pada akhirnya, gagasan-gagasan itu hanyalah sekadar pandangan hidup kebudayaan tertentu. Gagasan-gagasan seperti uang, kepemilikan, agama, cinta monogami, serta tata krama baik sebenarnya tidak tentu, tergantung pada seperangkat gagasan khusus yang kita sebut kebudayaan. Tapi anggota kebudayaan tertentu itu menganggapnya sebagai kebenaran tak terelakkan, alih-alih menyadari bahwa itu hanya salah satu opsi yang dapat dipilih, di antara begitu banyak selainnya. Anda bisa memilih untuk hidup dengan uang, tapi Anda bisa juga memilih untuk hidup tanpanya. Dan kalau Anda tidak menginginkan uang, kalau Anda tidak mau bekerja delapan jam setiap hari untuk dipertukarkan dengan keamanan, stabilitas, kenyamanan dalam kadar tertentu, maka pilihan Anda sama absahnya dengan pilihan siapa saja selain Anda. Tapi ini, dalam masyarakat yang kita tinggali, tidaklah diyakini atau diketahui oleh setiap orang.”

Membersihkan diri Anda dari ketakutan tidaklah mesti memerlukan pengorbanan besar-besaran. Perbuatan baik kecil-kecilan yang membuat Anda melangkah keluar dari rutinitas yang telah terpatri serta meningkatkan kepercayaan kepada orang-orang merupakan titik awal yang bagus. Anarki keseharian seperti apakah yang dapat membantu Anda belajar untuk meninggalkan pemikiran yang telah terkondisikan itu serta membawa Anda ke arah baru, tanpa batasan yang diada-adakan?
Hal-hal sederhana apakah yang dapat memungkinkan Anda agar lebih memercayai orang? Sekarang buatlah daftar:

1.      ___________________________________________________


2.      ___________________________________________________


3.      ___________________________________________________


Tindakan apa sajakah yang Anda masukkan ke daftar? Bisakah Anda memulai salah satunya hari ini? Bisakah Anda mewujudkan semuanya dalam seminggu? Takutkah Anda memulai? Malukah Anda? Apakah Anda berpikir untuk menundanya saja? Jangan. Mulailah sekarang! Tuntaskan dan lihatlah dampaknya pada Anda.
Kalau Anda tidak bisa memikirkan apa-apa sekarang ini, berikut beberapa contoh yang telah membantu saya dan mungkin terbukti bermanfaat bagi Anda juga:

1.   Berpartisipasi dalam Perpustakaan Manusia! Konsep perpustakaan manusia (atau perpustakaan hidup) itu sederhana saja. Para pembaca, orang-orang yang biasa melintas di tempat umum, melihat-lihat katalog berisi judul buku yang dapat mencakup dari “Amish” hingga “Anarkis Aseksual” dan dari “Gila” sampai “Imigran Ilegal”. Mereka bisa meminjam buku selama 20 menit. Menariknya adalah buku itu sebenarnya adalah orang dan judulnya merupakan satu bagian dari identitasnya—biasanya berupa prasangka yang ia hadapi. Pembaca lalu dapat menggunakan waktunya yang terbatas itu untuk menanyakan segala sesuatunya pada si buku, semakin pribadi pertanyaan itu semakin baik. Aturannya hanya buku itu harus dikembalikan dalam kondisi yang sama seperti sewaktu dipinjamkan. Ini merupakan konsep hebat untuk menghadapi dan mengurangi prasangka dalam lingkungan yang aman. Anda tertarik menjadi buku atau pembaca? Carilah di internet untuk mengetahui adakah acara perpustakaan manusia di dekat Anda. Kalau tidak ada, Anda selalu bisa memulainya.[1]

2.   Tampillah di muka umum! Apakah Anda takut menyuarakan pendapat Anda atau menonjolkan diri di keramaian? Keluarlah dari zona nyaman Anda dan carilah kesempatan untuk menghadapi ketakutan Anda. Toastmasters[2] dapat mengajari Anda keterampilan bicara di depan umum dan acara-acara Open Mic gratis bagi siapa saja yang hendak memanjat panggung untuk menampilkan apa saja. Apalagi para pemula diapresiasi dan didukung. Entahkah cetusan kreatif Anda ada pada musik, deklamasi puisi, atau tari kejang, bukan soal. Apa pun yang Anda bagi di panggung dapat membantu Anda menggerakkan kupu-kupu di perut Anda serta menciptakan hubungan yang unik dengan orang-orang lainnya yang bersama Anda menciptakan ruang yang indah ini.

3.   Ajaklah tetangga Anda mampir! Terlebih di dunia yang katanya sudah maju ini, kita telah kehilangan hampir sepenuhnya rasa kemasyarakatan. Kita mengeluhkannya di percakapan-percakapan intelektual namun tidak melakukan apa pun untuk memperbaiki situasi ini. Kita bahkan tidak mengenal tetangga kita. Buatlah alasan apa pun untuk mengebel pintu tetangga Anda. Tawari mereka kelebihan makanan yang Anda masak atau mintalah garam. Ajaklah mereka minum kopi bersama dan kenalilah kawan Anda. Terlepas dari bagaimanapun hasilnya, ulanglah proses ini minggu depan dengan tetangga yang lain. Inilah langkah-langkah kecil untuk meningkatkan kepercayaan, pertalian manusia, dukungan sejawat, serta kelentingan lokal.

Tapi apa sesungguhnya yang Anda butuhkan untuk memelihara kesehatan dan kesejahteraan Anda? Inilah yang telah dilakukan oleh Matt, teman penebeng saya:

“Alih-alih membayar asuransi kesehatan untuk perjalanan, saya berinvestasi pada pengetahuan. Saya penanggap pertama bersertifikasi untuk alam liar (certified wilderness first responder), dan telah menghabiskan berbulan-bulan belajar dari Paramedis dan Tenaga Kesehatan Gawat Darurat, begitu pula praktisi pengobatan timur dan masyarakat pribumi.
“Saya telah belajar untuk merawat tubuh, baik untuk memelihara kesehatan serta pengobatan penyakit. Kedokteran barat bagus untuk mengatasi trauma, tapi sering kali tak berguna bila tak ada apotek di sekitar.
“Saya tidak menganggap penggunaan obat-obatan kecuali dalam keadaan yang mendesak. Saya membawa beberapa antibiotik yang sangat manjur, pemberian seorang dokter yang ramah, tapi saya tidak pernah menggunakannya. Saya menggunakan krim antibiotik untuk luka besar atau terinfeksi, tapi selain itu saya mengandalkan perngobatan herbal dan diet khusus.”

Perusahaan asuransi berusaha menjual ketakutan. Keamanan sejatinya tidak berasal dari persiapan berlebihan untuk setiap skenario “bagaimana kalau” yang bisa saja terjadi atau bisa juga tidak. Merasa pasti bahwa segala kehilangan yang mungkin terjadi akan mendapat kompensasi finansial tidak ada kaitannya dengan rasa keamanan yang nyata. Alih-alih, perasaan itu berasal dari pemahaman yang mendalam bahwa segala sesuatunya terjadi karena ada alasannya. Yaitu suatu sikap pandang penuh kepercayaan, kesadaran bahwa, apa pun yang terjadi, Anda sanggup menyesuaikan diri dan hidup bersama perubahan yang terus-menerus.
Saya bukannya menganjurkan supaya Anda lantas menyingkirkan polis asuransi Anda. Anda bisa saja memilih untuk mempersiapkan kehilangan finansial apabila Anda memang menggunakan uang. Pada akhirnya, melepaskan polis asuransi tertentu tidaklah memecahkan apa-apa kecuali keputusan itu merupakan bagian dari proses perubahan yang lebih besar yang tengah Anda jalani. Saya hanya ingin Anda mempertimbangkan alasan yang mendasari Anda mengambil asuransi itu pada awalnya. Apakah rasa keamanan yang mereka jual itu nyata?
Bahkan kalau Anda sanggup membayar asuransi, Anda bisa saja menghadapi masalah jika Anda memilih untuk tidak terikat pada tempat. Asuransi dirancang untuk orang yang tinggal menetap dan hanya sesekali bepergian, maksimal selama tiga bulan. Berikut sedikit wawasan dari Päivi dan Santeri yang hampir terus-terusan berpindah tempat:

“Kami tidak memiliki asuransi sejak meninggalkan Finlandia pada 2004. Asuransi itu mahal dan tidak selalu mencakup sesuai dengan yang dijanjikan. Lebih mudah dan lebih murah berdiam di negara-negara tempat kita bisa memperoleh perawatan kesehatan yang tidak mahal. Selain itu, sebaiknya kita hanya membawa barang-barang yang tidak boleh hilang.
“Dibandingkan dengan orang yang menetap di rumah, malah lebih sulit mendapatkan asuransi jika kita seorang nomad, sebab asuransi terikat dengan sistem jaminan sosial di negara tertentu. Misalnya saja, kalau sudah satu tahun kita tidak tinggal di Finlandia, kita tidak lagi berhak atas asuransi Finlandia.
Ada juga polis asuransi internasional tapi mahal dan membatasi perjalanan Anda. Misalnya saja, mereka punya ketentuan negara-negara yang tidak ikut tercakup.”

Sekali lagi, kalau Anda memilih untuk tidak menggunakan uang sama sekali, tidaklah perlu memiliki asuransi. Benjamin Lesage[3] menebeng dari Eropa ke Afrika, kemudian dengan kapal ke Amerika Selatan, dan dari sana ke Amerika Tengah dan Utara, hampir seluruhnya tanpa uang. Ceritanya menunjukkan betapa kepercayaan dapat menjadi asuransi terbaik kita:

“Selagi berkelana tanpa uang saya belajar, yang pertama dan terutama, untuk memercayai masa depan saya, pada apa pun yang akan terjadi, tanpa takut atau ragu. Saya sesungguhnya tidak punya pilihan. Sepertinya kalau bukan karena keyakinan saya akan tinggal saja di Eropa, tak sanggup melintasi ambang pertama, yaitu ambang pintu rumah saya.
“Entah bagaimana, saya punya kepercayaan sejak awal yang tumbuh di perjalanan sementara saya menyaksikan keajaiban hidup, kebenaran semesta alam: kita adalah apa yang kita berikan. Dalam praktiknya, mengembara tanpa uang memerlukan wajah tersenyum yang enak dilihat, kecakapan melayani orang, kesehatan yang bagus, kaki yang kuat, dan tanpa ketakutan. Tapi keyakinanlah yang memungkinkan semua ini.
“Keyakinan, atau kepercayaan, merupakan asuransi kesehatan saya dan bisa dibilang tidak ada yang lebih baik daripada itu. Ini universal, dapat diterapkan di semua negara. Tidak terbatas dan gratis. Berkat keyakinan, saya tidak harus menyembuhkan diri. Saya tidak benar-benar merasa sakit. Kalau terkadang saya lelah atau mual, saya beristirahat saja, makan buah, minum air, dan kehidupan pun kembali mengaliri diri saya.”

Jadi, ke manakah kepercayaan saya pada semesta membawa saya? Apakah ada yang menolong saya ketika sedang membutuhkannya? Ataukah diperlukan uang supaya ditolong? Tidak, segala layanan kesehatan yang saya butuhkan entah bagaimana sudah ada yang mengatur: jahitan, pil, dan pengobatan lainnya secara cuma-cuma. Biasanya malah saya tidak harus mencari pertolongan tapi orang menolong kala pertolongan dibutuhkan.

“Kami sedang berada di pesisir Pasifik di Meksiko, berjalan-jalan di pantai, pasir hangat memeluk jemari kaki kami. Corak merah muda, ungu, dan oranye menari-nari di seputar matahari terbenam. Ombak berdebur liar di pantai dan angin sepoi-sepoi samudera nan hangat menyampaikan salam bergaram ke lautan.
Sedang musim sepi dan hampir tidak ada turis di sini. Seorang lelaki setempat bertubuh pendek berpapasan dengan kami, senyum lebar dan tatapan menyenangkan pada wajahnya. Ia menyapa kami dengan riang. Meski begitu, mau tidak mau saya berpikiran bahwa dia punya maksud tersembunyi, bahwa ia akan segera menjual sesuatu pada kami, tanpa tahu bahwa kami bukan apa-apa selain gelandangan tanpa uang. Alih-alih, dia bergabung dengan dua bule yang duduk-duduk di pantai. Bagus. Ganggulah mereka. Mereka punya uang.
Laut agak garang, tapi kami mengerahkan keberanian dan melompat ke ombak. Kami bermain-main di perairan bak berandalan nakal, tertawa dan mencipratkan air pada satu sama lain, menikmati setiap saat. Ini surga.
Tapi lalu, ada kejadian tak terduga. Arus laut yang berbahaya menjeratku dari pantai. Aku tidak bisa menggapai dasar lagi. Terlalu dalam. Aku berenang mati-matian namun garis pantai terus menjauh. Aku benar-benar tidak dapat kembali aman.
Sial. Ini bukan main-main.
Semakin aku berupaya melawan arus itu, semakin hilang kekuatanku. Aku berusaha menarik perhatian pacarku. Ia tidak bisa mendengarku di antara ombak yang berkeliaran. Berenang. Berenang. Berenang. Tak ada gunanya.
“Santailah, kawan,” aku berusaha menenangkan diri. Aku menyadari tak ada gunanya bertarung melawan Bunda Alam. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menyelam di bawah ombak yang terus membesar.
Menyelam. Permukaan. Panggil nama pacarku. Menyelam. Permukaan. Panggil nama pacarku.
Akhirnya, dia mendengarku. Aku memohon: “Bisakah kamu menolongku aku? Aku capek!”
Ia tidak menyadari bahwa aku dalam masalah, tengah berjuang untuk tetap mengambang. Ombak tampaknya bertambah besar saja. Aku benar-benar kepayahan.
“Aku tidak bisa berenang lagi!” ulangku dan bagaimanapun juga tolol memercayai dia untuk menyelamatkanku, tak memperhitungkan fakta bahwa aku hampir dua kali lebih besar ukuran tubuhnya. Pada akhirnya, ia mendekatiku dan mengerti kegawatanku. Tapi tidak banyak yang bisa dia lakukan. Dia lebih jago berenang dari padaku, tapi tidak mungkin ia bisa menarikku kembali ke pantai.
Gelombang besar tahu-tahu melanda kami. Kami berjungkir balik tak terkendali. Saat aku ke permukaan, aku melihat dia megap-megap. Bagus, sekarang kami berdua sama-sama kalut.
Kami terus menyelam menembus ombak, tapi setiap gerakan merugikan kami. Tidak banyak tenaga lagi.
Gelombang raksasa lainnya menamparku tanpa terduga, dan merenggutku ke bawah. Aku sama sekali kehilangan petunjuk arah. Aku tidak tahu mana atas mana bawah. Tidak ada yang bisa kulakukan selain berusaha untuk mendapatkan oksigen. Entah bagaimana aku berhasil ke permukaan lagi.
Kami meminta pertolongan, dalam bahasa Inggris, bahasa Spanyol, bahkan bahasa Finlandia. Aku kira tidak seorang pun dapat mendengar kami, atau melihat kami. Sinar matahari dengan segera menyurut. Namun kami terus berteriak—sekencang-kencangnya: “Tolong! Ayuda! Apua!”
Gelombang kuat mengakhiri kehebohan kami. Aku ke bawah permukaan. Kali ini kebetulan aku menelan air asin. Masuk ke hidungku, telingaku. Air mengisi setiap rongga tubuhku.
Tak ada upaya lagi. Tak ada kekuatan. Tak ada daya. Tak ada harapan. Tak ada yang bisa kulakukan, selain menuruti kekuatan alam dan melayang dalam rasa takjub.
Kulepaskan ilusi untuk memegang kendali dan mengakui bahwa bisa jadi ini saat terakhir menjelang kematian. Sepintas lalu aku dipenuhi rasa cinta. Begitu damai, indah, menyenangkan. Kenangan-kenangan indah mengalir memasuki kesadaranku. Aku merasa bersyukur atas keindahan yang aku berkesempatan menyaksikannya sepanjang waktu hidupku.
Tak sanggup melawan lagi, aku pun berdamai dengan kematianku. Lagi pula pelukan ombak bukanlah tempat peristirahatan akhir yang buruk, pikirku. Aku merasakan hubungan antara air di seputarku dan air yang menyusun sebagian besar tubuhku. Segalanya baik-baik saja. Aku menerima akibat apa pun. Tapi aku tidak menyerah. Entah bagaimana, aku masih memercayai semesta akan menjagaku—boleh jadi lebih daripada sebelumnya. Kepercayaan penuh sama sekali.
Lantas, sekonyong-konyong, aku kembali ke permukaan.
Tunggu.
Apa ini? Kakiku bisa merasakan pasir.
Secara ajaib, arus telah mengembalikanku ke arah pantai. Bonyok, tapi gembira. Aku maju beberapa langkah. Aku selamat. Aku hidup. Aku ada.
Aku melihat ke sekitar, mencari-cari pacarku. Ia masih berjuang dengan ombak di kejauhan. Sial. Aku sama sekali tidak ada sisa tenaga untuk pergi menyelamatkan dia. Harus apa?
Untungnya, aku melihat dua pria berlari dari pantai ke arahku. Salah seorang dari mereka terlihat familier. Dia pria pendek yang berpapasan dengan kami sebelumnya. “Tolong dia!” teriakku padanya sambil menunjuk pada pacarku. “Aku baik-baik saja. Tolong dia,” ulangku ketika dia semakin mendekat.
Mereka paham dan berlari melewatiku, ke arah pacarku. Aku menyeret diriku di pantai, berharap dia akan baik-baik saja. Dengan lunglai, aku jatuh ke pasir.
Dengan lega, aku melihat kedua pria itu itu membawa pacarku keluar dari perairan. Salah seorang dari mereka segera pergi begitu memastikan pacarku selamat. Pacarku mendekat untuk memelukku.
Kami lalu beralih pada penyelamat kami. Sulit menemukan kata-kata. Apa yang bisa dikatakan pada orang yang baru saja menyelamatkanmu, orang yang kepadanya Anda berutang setiap saat setelahnya, setiap peristiwa baru sepanjang sisa hidupmu?
Gracias!” kami berhasil berkata-kata.
Ia mengangguk, tersenyum, dan berjalan pergi.
Toh ia tidak menginginkan apa-apa dari kami. Saat melihat kami membutuhkan pertolongan, ia datang, menyelamatkan hidup kami, lalu pergi. Gracias, sungguh.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...