1
PADA
TAHUN PERTAMA abad kedua puluh satu, seorang pria yang sedang berdiri dekat
jalan raya di tengah Amerika mengeluarkan tabungan dari sakunya—tiga puluh
dolar—meletakkannya di dalam boks telepon, lalu pergi. Usianya waktu itu tiga puluh
sembilan tahun. Ia berasal dari keluarga baik-baik dan pernah kuliah. Ia tidak
sakit jiwa, dan bukan pula pemadat. Keputusannya itu tampak merupakan tindakan
dari kehendak bebas seorang dewasa yang kompeten.
Dua belas tahun sejak itu, sementara Dow Jones meroket ke titik tertingginya sepanjang masa, Daniel Suelo tidak menghasilkan, menerima, ataupun menghabiskan satu dolar pun. Pada era ketika siapa saja yang bisa membuat tanda tangan memenuhi syarat untuk hipotek, Suelo tidak mengajukan pinjaman ataupun menulis tanda terima utang. Ia bahkan tidak melakukan barter. Sementara utang negara melonjak sampai delapan, sepuluh, dan akhirnya tiga belas triliun dolar, ia tidak membayar pajak, ataupun menerima kupon makanan, tunjangan kesejahteraan, atau berbagai bentuk pemberian lainnya dari pemerintah.
Alih-alih ia membangun rumah di gua-gua daratan ngarai
Utah, di mana ia meramban murbei dan bawang liar, memulung rakun dan tupai yang
tertabrak, menarik bahan-bahan makanan kedaluwarsa dari tempat sampah, dan
sering kali diberi makan oleh teman-teman dan orang-orang asing. “Filosofiku
adalah hanya memanfaatkan yang diberikan secara cuma-cuma atau dibuang, juga
yang seadanya dan sudah beroperasi,” tulisnya. Sementara kita bergumul dengan
pemotongan pajak, hipotek dengan suku bunga yang bisa disesuaikan, rencana
pensiun, serta rekening pasar uang, Suelo bahkan tidak lagi memegang kartu
identitas.
Namun pria yang tidur di bawah jembatan dan mendulang
di tong-tong sampah ini bukanlah gelandangan biasa. Ia tidak meminta-minta, dan
sering kali ia bekerja—dengan menolak pembayaran atas jerih payahnya. Walaupun
ia terdorong oleh hasrat dan keyakinan spiritual, ia bukanlah biarawan, tidak
juga berkaitan dengan gereja mana pun. Dan meskipun ia tinggal di gua, ia
bukanlah pertapa: ia gencar sekali bergaul, tetap dekat dengan teman-teman dan
keluarga, serta terlibat dalam diskusi bersama orang-orang asing via situs web
yang ia pelihara dari perpustakaan umum. Ia pernah menjelajahi Barat dengan
sepeda, melompati kereta barang, menebeng melewati hampir setiap negara bagian
di perserikatan, menghela jaring di kapal pukat Laut Bering, memanen remis dan
ganggang laut dari pantai-pantai Pasifik, menombak salmon di sungai-sungai
Alaska, serta menantang badai selama tiga bulan di atas pohon cemara purba.
“Aku tahu hidup tanpa sepeser uang itu bisa saja,”
Suelo menyatakan. “Secara berlimpah ruah.”
SEBENARNYA,
saya sudah pernah bertemu Suelo lama sebelum ia melepaskan uang, di pos terluar
gurun Moab, Utah, pengungsian bagi para pencari dan orang-orang pinggiran. Kami
bergabung dalam lingkaran yang sama, bersama-sama mengerjakan tugas sebagai
tukang masak, menumpang tinggal di lahan-lahan publik, bukan sebagai pernyataan
melawan suatu hal, melainkan karena kami tidak mau membayar sewa. Kami
sama-sama mengelakkan jalur karier karena kami sama-sama marah terhadap cara
dunia berjalan, dan tidak memiliki sarana untuk mengubahnya. Jika kami tidak
dapat menggulingkan para bajingan itu, maka paling tidak kami tidak hendak
memasukkan data di dalam bilik-bilik mereka dan membeli sampah di dalam kardus-kardus
besar mereka serta melakukan pembayaran di atas LandCruncher-LandCruncher
mereka. Tapi selama bertahun-tahun, kami menyimpang ke jalan yang berbeda,
secara geografis dan selainnya.
Ketika saya hendak bertemu dia lagi, sudah lebih dari
satu dekade kami tidak bercakap-cakap. Saya mendengar usaha Daniel untuk hidup
tanpa uang, dan saya menduga ia telah kehilangan akal. Adapun saya sendiri
sudah bukan pemandu sungai keliling yang tinggal di truk dengan penghasilan
delapan ribu setahun, melainkan penulis profesional yang sesekali melewati kota
untuk mencabuti rumput serta memperbaiki leding di properti sewaan saya, sebuah
trailer di atas satu ekar semak yang nilai pasarnya naik tiga kali lipat dalam
tiga tahun, syukurlah. Saya terhubung dengan si penghuni gua hanya karena ia
berteman dengan saya di Facebook.
Meski begitu, dalam tahun-tahun itu saya pernah bertemu
dia. Saat mengunjungi Moab, sekilas saya melihat pria berambut abu-abu kusut di
seberang lorong toko. Sesekali kami bertukar tatapan. Ia tampak familier, namun
mungkinkah pria tua, berberangus kelabu, yang wajahnya berkerut-kerut dalam dan
celananya tipis usang, adalah Daniel yang pernah memasak bersama saya sepuluh
tahun lalu?
Ia tersenyum pada saya. Penampakan giginya yang hitam
dan tidak rata membusuk dalam mulutnya—membuat saya menggigil. Betapapun saya
mendukung hak orang atas kemiskinan sukarela, di puncak kemakmuran terbesar
Amerika ini, saya tidak menoleransi gigi yang buruk. Saya tidak semestinya
terpaksa melihat mulut yang sebegitu menyedihkan. Pemandangan tersebut membuat
saya malu—karena kondisi gigi saya sendiri yang sempurna, penghasilan bersih
saya, properti sewaan saya—seakan-akan ia mendakwa saya secara langsung. Rasa
malu ini membuat saya merasa gusar. Saya akui, memang ini negara bebas, dan
Suelo memiliki hak untuk tidur di tanah, menjerat belalang, atau apalah, tetapi
betapa beraninya ia mengira dapat menghakimi saya?
Tak ayal lagi saya mengenali orang itu. Namun saya
tidak menggapai tangannya, menawarkan pertemanan, menanyai kesehatannya. Saya
bahkan tidak mengucap halo. Rahang saya mengencang, saya melontarkan anggukan
lantas kabur ke mobil.
Kenyataannya, saya telah menyukai uang. Malah,
saya selalu menyukainya. Saat saya masih kecil, saya menghitung berulang-ulang
koin yang saya kumpulkan di kaleng timah, mengemas penny dan nickel
menjadi gulungan-gulungan berbungkus kertas dan menyetorkannya ke bank, merasa
sangat puas ketika kekayaan saya bertambah di buku rekening. Saya juga menyukai
apa yang direpresentasikan oleh uang, seluruh sistem niaga, kredit, dan
tabungan. Setelah saya besar, uang melayani saya dengan baik: saya mulai
dibayar untuk pekerjaan yang saya inginkan, contohnya menulis buku. Uang
memungkinkan saya untuk menguji kecerdasan saya, untuk menabung, untuk
bertaruh, untuk menang. Bahkan semasa saya tinggal di tenda, tindakan menabung
uang memberi saya kebebasan lebih. Dan sekarang, ketika saya berburu mobil
bekas di bawah harga pasar, atau memperbarui pembiayaan rumah saya dengan tarif
lebih rendah, saya merasa senang telah mengakali sistem.
Setelah bertahan sampai usia tiga puluhan hanya dengan
harta yang dapat muat di bak pikap, saya mulai menuai ganjaran dari tabungan
dan penghasilan. Saya memperoleh mobil kedua dan rumah kedua (yah, satunya lagi
trailer yang itu), mendanai rekening pensiun, dan mengajukan lima puluh tiga
halaman pengembalian pajak. Saya memiliki enam pasang ski.
Kemudian tibalah 2008. Dua puluh triliun dolar aset
dunia terbakar oleh hipotek dan spekulasi yang buruk. Gelembung realestat
bercipratan jadi penyitaan dan kebangkrutan, bersamanya menyurutkan dana
pensiun, tabungan, dan pekerjaan jutaan orang. Rekening pensiun saya yang tak
seberapa menjadi 50 persen makin tak seberapa. Majalah-majalah yang
mempekerjakan saya merumahkan stafnya, atau tutup sama sekali. Pemotongan
anggaran pada akhirnya melenyapkan pekerjaan saya mengajar di kampus. Bayaran
bulanan yang besar untuk rumah saya tiba-tiba tampak bukan pengeluaran yang
bijak. Saya bisa saja mengecat semua yang saya inginkan, tetapi mau sesering
apa pun berkunjung ke Home Depot tak akan membuat nilai rumah itu sebanding
dengan yang telah saya bayarkan. Para pesimis yang meramalkan bahwa generasi
saya, yang lahir pada 1960-an dan 1970-an, akan menjadi yang pertama dalam
sejarah Amerika yang bernasib lebih buruk daripada orang tua mereka mungkin ada
benarnya.
Sementara itu, Suelo sudah agak masyhur, berkat artikel
di majalah Details dan Denver Post, wawancara dengan BBC, bahkan
lembar-lembar Ripley’s Believe It or Not. Blog dan situs webnya mendapat
puluhan ribu kunjungan. Ketika saya menekuni tulisan-tulisan yang telah
dihimpunnya, dari Thomas Jefferson, Socrates, sampai Santo Agustinus, saya
mulai memikirkan tentang pilihan-pilihan yang telah dia ambil, gigi yang buruk,
dan segalanya. Orang ini selama ini telah menyampaikan sesuatu yang baru
sekarang ini kita terpaksa merenungkannya, sejak gelembung kemakmuran kita
meledak: uang adalah ilusi. “Aku sungguh lelah menganggap kepercayaan paling
umum di seluruh dunia yang disebut uang ini sebagai kenyataan,” teriak suara
ini dari gurun. “Aku sungguh lelah hidup dalam kesemuan.”
Daniel telah mundur sepenuhnya, menolak apa yang telah
saya kejar. Saya bertanya-tanya apakah, terlepas dari segala yang dia tolak,
ada hal lain yang ia rengkuh. Adakah yang saya lewatkan? Akhirnya saya
memutuskan untuk mengemudi ke gurun Utah dan mencari tahu sendiri.
SAYA
KEMBALI KE Moab. Saya tinggal bersama teman, sepasang suami istri. Saya telah
bertukar beberapa surel dengan Suelo, namun kami belum berhasil membuat rencana
paling mudah sekalipun. Tentu saja ia tidak punya ponsel. Dan terlepas dari
soal etiket gua—apakah boleh langsung mampir saja?—saya tidak tahu bagaimana
menentukan lokasinya di alam liar yang luas. Saya pun mengirim surel, kemudian
duduk-duduk dan berharap agar ia segera keluar dari ngarai untuk masuk ke
komputer di perpustakaan.
Satu hari berlalu. Saat itu musim gugur, sehingga
hawanya cerah, sejuk, segar dan kering. Saya duduk di serambi rumah teman saya,
sembari menyesap segelas jus semangka segar. Salah satu tuan rumah saya, Melony
(saya bersumpah itu nama aslinya) menganggap semangka makanan ajaib, yang sarat
akan antioksidan, elektrolit, dan vitamin. Ia bersumpah semangka telah
menyembuhkan dia dari penyakitnya selama lima tahun yang tidak dapat diatasi
oleh dokter, obat-obatan, ataupun tes alergi, sehingga ia meminum ramuan merah
itu tiga kali sehari, berikut kulit, biji, dan semua-muanya ke dalam blender.
Namun dengan berakhirnya masa panen, dan kedua pasar di kota pun kehabisan,
persediaannya menipis. Dengan menjelangnya musim dingin, ia mempertimbangkan
untuk bertindak nekat, seperti memesan semangka lewat internet. Satu hari lagi
berlalu, dan masih tidak ada kabar dari Suelo.
Dan lalu, selagi saya duduk di serambi sembari mengecek
jam tangan, muncul suatu sosok yang serupa hantu. Sepedanya mendekat:
tunggangan gelap, pengendara gelap. Kacamata berbingkai tanduk menyembul di
antara rambut dan jenggot kelabu. Si pengendara mengenakan topi bolero flanel
hitam dengan tali di bawah dagunya diketatkan dengan bros timah. Tatapannya
yang syahdu terarah ke depan. Walapun kakinya jelas memompa, tubuhnya terkesan
tenang sama sekali. Sementara ia mengayuh ke arah saya, saya melihat ada kerat
plastik berisi apel dan jeruk terikat di rak belakang. Saya tidak akan terkejut
sekiranya ia melepaskan pegangan sepeda, menarik buah dari keranjangnya, lantas
mulai bermain lempar tangkap.
Saya pun tergopoh-gopoh ke jalan dan memanggil,
“Daniel!” Ia melambatkan lajunya sampai berhenti, lalu memutar sepedanya dan
menatap saya bingung, sampai saya memperkenalkan diri.
“Oh, kamu,” katanya.
Untuk orang yang tinggal di gua, Suelo menampilkan
selera berpakaian yang hebat dalam arti positif. Celana panjangnya kelebihan beberapa
inci, ditahan dengan digulung di atas sepatu kerja berbentuk kotak. Kemeja
flanel kotak-kotak di luar T-shirt hitam ketat menampakkan sepotong
perut yang ramping di atas ikat pinggang dari kulit. Ia terlihat menyerupai
persilangan antara jembel era Depresi Besar dan pelukis gelandangan
Perancis—Buster Keaton bertemu Paul Gauguin.
Tidak yakin mesti berbuat apa selanjutnya, aku
memeluknya dengan kagok. Aroma tubuhnya seperti asap kayu. Aku mengajak dia
masuk dan memperkenalkan dia kepada Melony serta suaminya, Mathew. Melony
menuangkan jus semangka dalam gelas-gelas tinggi—simpanan terakhirnya, ia
memberi tahu kami.
Suelo girang. Di atas mata kanannya terdapat bekas luka
yang mengakibatkan puncak alisnya naik dengan tajam, sehingga ia selalu tampak
amat penasaran.
“Kalian tahu di dekat sini ada kebun melon?” ia bertanya.
Kami tidak tahu.
“Ada lahan di tengah sungai,” katanya, seraya
mengangguk ke arah jalan. “Ada ratusan melon di sebelah sana. Semangka. Melon crenshaw[1]. Ada labu
siam dan labu merah juga. Sudah berbulan-bulan ini aku memakannya.”
“Punya siapa itu?” tanyaku.
“Punya orang.” Ia mengangkat bahu. “Setelah Obama
terpilih, dikiranya seluruh sistem akan runtuh, sehingga ia menanami lahan
kosong itu. Tapi kiamat tidak datang-datang, sehingga ia membiarkan semuanya
busuk.”
Aku, Mathew, dan Melony mengikuti Suelo ke luar rumah
dan ke jalan. Ia mendorong sepedanya di sepanjang jalan beraspal sampai
memasuki jalan tanah, membimbing kami ke lahan yang didekap dua aliran sungai,
sepetak hijau padang pertanian yang telah bertahan sejak masa-masa perintis.
Ada orang yang telah menanam segala macam pohon dan rambat-rambatan yang tumbuh
dari permukaan tanah—pepohonan yang memanjakan mata dan merupakan sumber pangan
yang baik. Pohon persik. Pohon pir. Pohon apel. Tinggal ular dan wanita
telanjang saja yang tidak ada.
Dan di sanalah ratusan melon berada, berlimpah-limpah,
sebagian terselip menghijau ke dalam jajaran semak dan tumbuhan berduri, lain-lainnya
sudah bonyok menguning bengkak karena matahari. Suelo menimang satu yang bagus
bak seorang bayi lalu menepuknya keras dengan jempol.
“Kalau bunyinya terlalu keras, buahnya sudah terlalu
masak.”
Kami menjelajahi barisan-barisan itu, menepuk-nepuk dan
mendengarkan.
“Ada yang bawa pisau?” tanya Melony. Suelo meninggalkan
pisau miliknya di sepeda. Tapi tidak jadi soal. Ia mengambil sebuah melon
seukuran tong bir lalu mengangkatnya ke atas kepala, lantas membantingnya ke
bawah. Melon itu berdebum pecah di dekat kakinya. Ia berlutut di samping melon
tersebut, menyauk dagingnya, dan memangkunya dengan telapak tangan.
Kemudian, tentu saja, ia memberi makan kami secara
berlimpah.
Tanpa banyak kata, Mathew dan Melony menyodokkan
semangka ke dalam mulut mereka sampai airnya menetes-netes ke siku. Aku
membenamkan wajahku sampai hidungku menubruk kulit buahnya. Kami meledakkan
melon itu satu per satu, ada yang sudah busuk, ada yang masih hijau, ada yang
lezat. Cuacanya sejuk, kering, dan cerah, sedangkan tanahnya yang berpasir
basah setelah hujan deras Oktober yang pertama. Lahan tersebut dikitari oleh
pohon cottonwood yang meletup kuning-kuning, bak sejuta berondong
jagung. Di balik pepohonan itu, gawir merah menghunjam, di atasnya
puncak-puncak bersalju menikam lingkaran awan menembus langit biru. Kami semua
makan sepuasnya. Jumlah yang makan empat orang.
“Seingatku, daunnya tidak pernah sekuning ini,” kata
Suelo, seraya menyekakan pergelangan tangan pada celananya. “Sayang sekali
semua labunya sudah busuk.”
Di seberang lahan tersebut, kami dapat melihat rumah
Mathew dan Melony hanya berjarak seratus yard, benar-benar sepelemparan batu
dari surga ini. Rasanya sungguh ajaib Suelo yang tak punya uang lagi sulit
ditemukan ini tahu-tahu saja muncul entah dari mana kemudian membimbing kami
melintasi gurun menuju Melontopia. Menuju kelimpahan.
Aku, Mathew, dan Melony menjejalkan melon ke pelukan kami,
menimbunnya seperti iGawai yang kami bebaskan dari Best Buy selepas badai. Namun Suelo
hanya memilih satu buah hijau kecil. Ia menurunkan buah tersebut ke dalam
keratnya kemudian mengayuh dalam sunyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar