I
Gerasim
kembali ke Mokswa tepat ketika sedang sulit-sulitnya menemukan pekerjaan. Saat
itu mendekati Natal, kala orang bertahan dengan pekerjaan buruk demi mendapat
hadiah. Sudah tiga minggu bujang dari kampung itu mondar-mandir tanpa hasil
mencari lowongan.
Gerasim
tinggal bersama kerabat dan kawan-kawan dari desanya. Walau kebutuhannya tidak banyak,
tetapi sebagai pemuda yang masih kuat ia berkecil hati mesti bertahan hidup
tanpa bekerja.
Gerasim
tinggal di Mokswa sejak kecil. Sewaktu masih anak-anak, ia sudah bekerja
sebagai tukang cuci botol di tempat pembuatan bir, lalu menjadi jongos rendahan
di sebuah rumah. Dua tahun terakhir ini ia bekerja pada seorang pedagang.
Pekerjaan itu masih miliknya, kalau saja ia tidak disuruh pulang untuk
mengikuti wajib militer. Akan tetapi, ia tidak ditarik. Di kampung ia merasa
bosan. Ia tidak terbiasa dengan kehidupan ala kampung. Maka ia memutuskan lebih
baik menghitung batu di Mokswa daripada terus di kampung.
Kian
hari kian menjemukan baginya berkeluyuran di jalan sebagai pengganggur. Tak
sebutir pun batu yang luput dari dia dalam usahanya memperoleh segala macam
pekerjaan. Ia membikin kesal semua kenalannya, ia bahkan menahan orang di jalan
dan menanyai mereka kalau-kalau dapat membantu—semua sia-sia.
Akhirnya
Gerasim tidak tahan lagi menjadi beban bagi para kenalannya. Sebagian jengkel
ketika ia datang pada mereka, dan sebagian lagi diomeli majikan gara-gara dia.
Gerasim benar-benar tidak tahu lagi apa yang mesti ia perbuat. Kadang kala ia
tidak makan seharian.
II
Suatu
hari Gerasim mengunjungi kawannya dari kampung, yang tinggal jauh di perbatasan
sebelah luar Mokswa, dekat Sokolnik. Kawannya itu kusir seorang pedagang
bernama Sharov, yang sudah bertahun-tahun ia layani. Kawannya sudah mengambil
hati sang majikan, sehingga Sharov sangat memercayai dia dan tampaknya hendak
mempertahankan dia. Berkat kepandaian cakapnyalah ia memperoleh kepercayaan
sang majikan. Ia suka melaporkan keburukan jongos lain, dan Sharov menghargai
dia karena itu.
Gerasim
menghampiri dan menyalami kawannya. Si kusir menyambut tamunya dengan layak,
menghidangkan teh serta kudapan, dan menanyakan kabarnya.
“Buruk
sekali, Yegor Danilych,” ungkap Gerasim. “Sudah berminggu-minggu aku
menganggur.”
“Kau
tidak meminta majikanmu yang dulu mempekerjakanmu lagi?”
“Sudah.”
“Ia
tidak mau menerimamu lagi?”
“Posisi
itu sudah ada yang mengisi.”
“Itu
dia. Begitulah kalian yang muda-muda. Kalian cuma jadi jongos biasa. Begitu
kalian pergi, susah untuk kembali. Seharusnya kau melayani majikanmu sampai ia
sering memikirkanmu, sehingga ketika kau datang lagi, ia tidak akan menolakmu,
tetapi mencopot orang yang sudah mengambil tempatmu.”
“Bagaimana
mungkin begitu? Zaman sekarang ini mana ada majikan yang seperti itu, lagi pula
kami kan bukan malaikat.”
“Apa
gunanya beromong kosong? Aku cuma menceritakan pengalamanku. Kalau
sewaktu-waktu aku harus pergi dan pulang kampung, ketika aku kembali, Pak
Sharov tidak saja menerimaku lagi tanpa ba-bi-bu, tetapi juga senang.”
Gerasim
duduk bermuram durja. Ia merasa kawannya ini sedang berbual, lantas terpikir
olehnya untuk menyenangkan orang itu.
“Aku
mengerti,” ucap Gerasim. “Tetapi sulit menemukan orang seperti dirimu, Yegor
Danilych. Kalau kau bukan pekerja yang baik, mana mungkin majikanmu mau
mempekerjakanmu sampai dua belas tahun.”
Yegor
tersenyum. Ia senang dipuji.
“Itu
dia,” sahut Yegor. “Kalau kau hidup dan bekerja dengan caraku, kau tidak akan
menganggur sampai berbulan-bulan.”
Gerasim
diam saja.
Yegor
dipanggil majikannya.
“Tunggu
sebentar ya,” ucapnya pada Gerasim. “Nanti aku kembali.”
“Baiklah.”
III
Yegor
kembali dan memberitahukan bahwa dalam setengah jam ini ia harus menyiapkan
kuda untuk mengantarkan majikannya ke kota. Ia menyalakan pipa lalu
mondar-mandir di ruangan itu. Kemudian ia berjeda di hadapan Gerasim.
“Dengar,
nak,” ucapnya, “kalau kau mau, akan kuminta majikanku mengangkatmu sebagai
jongos di sini.”
“Apa
ia butuh orang?”
“Ada
satu, tetapi kerjanya tidak begitu baik. Ia sudah tua, sudah payah bekerja.
Untunglah ini bukan lingkungan sibuk. Polisi sini pun tidak rewel, selain kalau
pak tua itu kurang becus bersih-bersih.”
“Oh,
kalau begitu, kalau kau sempat, tolonglah sampaikan tentang diriku ini, Yegor
Danilyich. Aku akan mendoakanmu sepanjang hidupku. Aku tidak tahan menganggur
terus.”
“Baiklah.
Aku akan membantumu. Datanglah lagi besok, dan sementara ambillah sepuluh kopek
ini. Mudah-mudahan berguna.”
“Terima
kasih, Yegor Danilyich. Kalau begitu kau akan
mencoba berbicara pada majikanmu? Tolong bantulah aku.”
“Baiklah.
Aku akan mencobanya demi kau.”
Gerasim
pun pergi, sementara Yegor menyiapkan kuda-kuda. Lalu Yegor mengenakan pakaian
kerjanya, dan berkendara ke pintu depan. Tuan Sarov keluar dari rumah, duduk di
kereta, dan kuda-kuda pun mencongklang pergi. Tuan Sharov mengurus bisnisnya di
kota lalu pulang. Karena melihat suasana hati majikannya sedang baik, Yegor
berkata padanya:
“Yegor
Fiodorych, aku hendak minta bantuan.”
“Bantuan
apa?”
“Ada
pemuda dari desaku, orangnya baik. Ia tidak punya pekerjaan.”
“Jadi?”
“Maukah
kau mempekerjakan dia?”
“Untuk
apa aku mempekerjakan dia?”
“Suruh
dia melakukan segala pekerjaan di sini.”
“Bagaimana
dengan Polikarpych?”
“Apa
bagusnya dia? Ini saatnya kau memberhentikan orang itu.”
“Tidak
adil itu. Ia sudah lama sekali bekerja untukku. Aku tidak bisa melepas dia
begitu saja tanpa alasan.”
“Sekiranya
ia memang sudah lama bekerja untukmu.
Ia kan tidak bekerja sukarela. Ia mendapat bayaran. Pastilah ia sudah menabung
barang sedikit untuk hari tuanya.”
“Menabung!
Bagaimana mungkin? Menabung dari mana? Ia tidak hidup sendiri. Ada istri yang
mesti ia tanggung, dan istrinya juga perlu makan-minum.”
“Istrinya
juga punya penghasilan. Siang ia bekerja sebagai tukang bersih-bersih.”
“Memang
besar penghasilan istrinya itu! Cukup besar untuk beli bir.”
“Mengapa
kau harus memedulikan Polikarpych dan istrinya? Sejujurnya, ia jongos yang
tidak becus. Mengapa kau harus membuang-buang uang pada dia? Ia tidak pernah
tepat waktu membersihkan salju, atau melakukan apa pun dengan baik. Ketika tiba
gilirannya berjaga malam, ia mangkir diam-diam paling tidak sepuluh kali.
Udaranya terlalu dingin bagi orang setua itu. Suatu hari, kau akan melihat,
gara-gara dia, kau bermasalah dengan polisi. Pengawas kuartalan akan
merendahkan kita, dan tidak pantas bagimu bertanggung jawab atas Polikarpych.”
“Biar
begitu, itu tindakan yang cukup kasar. Sudah lima belas tahun ia bekerja
padaku. Memperlakukannya demikian di masa tuanya—itu dosa.”
“Dosa!
Ah, apa sih mudaratnya? Ia tidak akan kelaparan. Ia akan ke rumah miskin. Lagi
pula, lebih baik baginya untuk bertenang-tenang di masa tua.”
Sharov
berpikir-pikir.
“Baiklah,”
akhirnya ia berucap. “Bawalah kawanmu itu kemari. Nanti kupertimbangkan yang
bisa kulakukan.”
“Pekerjakanlah
ia, tuan. Sungguh kasihan aku padanya. Ia pemuda yang baik, dan sudah lama sekali
menganggur. Aku yakin ia akan melakukan tugasnya dengan baik dan setia
melayanimu. Ia kehilangan pekerjaan terakhirnya lantaran harus melapor untuk
wajib militer. Kalau bukan karena itu, majikannya tidak akan melepas dia.”
IV
Sore
berikutnya Gerasim datang lagi dan menanyakan:
“Jadi,
sudahkah kau melakukan sesuatu untukku?”
“Aku
yakin begitu. Mari kita minum teh dulu. Baru nanti kita temui majikanku.”
Teh
sekalipun tidak menarik hati Gerasim. Ia tidak sabar mengetahui keputusannya.
Namun demi sopan santun terhadap tuan rumah, ia teguk juga dua gelas teh,
barulah mereka menemui Sharov.
Sharov
menanyai Gerasim tempat tinggalnya yang dulu serta macam pekerjaan yang dapat
dilakukannya. Lalu Sharov mengatakan bahwa ia bersedia menggaji Gerasim untuk
segala macam pekerjaan. Besok Gerasim harus sudah siap bekerja.
Gerasim
cukup terkejut atas perubahan nasibnya yang tiba-tiba itu. Saking gembiranya ia
hingga kakinya sulit digerakkan. Pergilah ia ke rumah si kusir, dan berkata
Yegor padanya:
“Jadi,
nak, pastikan bahwa kau becus bekerja, supaya aku tidak malu. Kau tahu majikan
itu bagaimana. Sekali saja kau salah, mereka akan rewel dan mengganggumu
terus.”
“Tak
usah khawatir, Yegor Danilych.”
“Baik—baik.”
Gerahim
mohon diri, lalu menyeberangi halaman untuk keluar lewat gerbang. Rumah
Polikarpych berada di halaman itu. Jendelanya menyorotkan cahaya ke jalan yang
dilalui Gerasim. Ia penasaran hendak melihat seperti apa rumah masa depannya.
Namun seluruh kaca jendela rumah itu tertutup oleh es, sehingga ia tidak dapat
mengintip. Akan tetapi, ia bisa mendengar percakapan di dalamnya.
“Bisa
apa kita sekarang?” terdengar suara perempuan.
“Entahlah,
entahlah,” sahut seorang lelaki, yang pastilah Polikarpych. “Mengemis sajalah.”
“Cuma
itu yang bisa kita lakukan. Tak ada selainnya,” ujar si perempuan. “Oh, orang
miskin seperti kita, betapa sengsaranya hidup kita. Kita bekerja terus dari
pagi sekali hingga larut malam, setiap hari, dan ketika sudah tua, ya sudah,
‘Pergi sana!’”
“Bisa
berbuat apa kita? Majikan kita bukanlah salah seorang dari kita. Tak ada
gunanya menyampaikan ini pada dia. Yang ia pedulikan hanyalah keuntungannya
sendiri.”
“Semua
majikan itu jahat. Yang mereka pikirkan hanya dirinya sendiri. Tidak terlintas
oleh mereka bahwa kita bekerja untuk mereka dengan jujur dan setia selama
bertahun-tahun, mengerahkan upaya sebaik-baiknya untuk melayani mereka. Mereka
takut mempekerjakan kita lebih lama, sekalipun kita masih mampu mengerjakan
tugas kita. Kalau memang kita sudah tidak sanggup, kita akan pergi dengan
sendirinya.”
“Yang
lebih patut disalahkan itu kusirnya. Yegor Danilych hendak mencarikan pekerjaan
untuk kawannya.”
“Ya,
dia itu ular. Pandai ia bergunjing. Tunggu saja, dasar makhluk bermulut keji,
akan kutandingi kau. Akan langsung kutemui majikan dan melaporkan bagaimana
orang itu telah memperdayainya, bagaimana ia mencuri jerami serta pakan ternak.
Aku akan menuliskannya, supaya majikan yakin betapa orang itu telah membohongi
kita semua.”
“Jangan,
bu. Jangan berbuat dosa.”
“Dosa?
Bukankah semua yang kukatakan ini benar? Aku tahu benar yang kukatakan ini, dan
aku berniat melaporkannya langsung pada majikan. Ia harus melihat dengan mata
kepalanya sendiri. Mengapa tidak? Lagi pula apa lagi yang bisa kita lakukan
sekarang? Mau ke mana kita pergi? Ia telah menghancurkan kita, hancurlah kita.”
Perempuan
tua itu mulai menangis.
Gerasim
mendengar semua itu, dan merasa bagai ditusuk sembilu. Ia menyadari bahwa
dirinya akan mendatangkan kemalangan bagi orang-orang tua itu, hingga hatinya
terasa pedih. Lama ia berdiri saja, karena sedih dan bingung. Lantas ia
berbalik dan kembali ke rumah si kusir.
“Ah,
ada yang ketinggalan?”
“Tidak,
Yegor Danilych.” Gerasim tergagap-gagap, “Aku kemari—dengar—aku hendak
berterima kasih sekali padamu—karena sambutanmu padaku—dan—dan upayamu
untukku—tetapi—aku tidak dapat menerima pekerjaan itu.”
“Apa!
Apa maksudnya itu?”
“Bukan
apa-apa. Aku tidak menginginkan pekerjaan itu. Nanti aku cari saja sendiri
pekerjaan lain.”
Kontan
Yegor menjadi gusar.
“Kau
mau mengerjaiku, ya, dasar idiot? Kau datang kemari merendahkan diri—‘Cobalah
demi aku, cobalah’—lalu kau menolak pekerjaan itu. Dasar bajingan, kau
mempermalukanku saja!”
Gerasim
tidak tahu mesti menjawab apa. Mukanya memerah, dan pandangannya merunduk.
Yegor memalingkan punggung penuh penghinaan dan tak berucap apa pun lagi.
Kemudian
pelan-pelan Gerasim mengambil topi lalu meninggalkan rumah si kusir.
Cepat-cepat ia melintasi halaman, keluar melalui gerbang, dan terburu-buru
menyusuri jalan. Hatinya terasa ringan lagi bahagia.[]
Cerpen ini diterjemahkan dari “The Servant” dalam antologi
Best Russian Short Stories.
2 komentar:
Cerpen yang sangat bagus. muatan "sosialis"nya sangat terasa. seperti membaca cerpen2 penulis indonesia era kejayaan Lekra . Tajam.
Terima kasih sudah membacanya.
Posting Komentar