Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20210418

Tempat Tidur Berhantu (1/2) (Francis Marion Crawford, 1886)

Kami telah mengobrol lama, dan percakapan pun mulai surut; asap tembakau telah meresap ke gorden-gorden tebal, anggur pun telah meresap ke otak mereka yang sudah berat juga, sehingga sudah teranglah bahwa pertemuan itu barangkali segera akan berakhir dengan sendirinya, adapun kami, para tamu, akan kembali ke tempat tidur dan kemungkinan besar tidur. Tidak ada yang mengutarakan hal menarik; boleh jadi tak seorang pun punya topik menarik lagi.

            Saat itulah Brisbane bicara, sehingga kami semua memandangnya. Ia pria berusia lima puluh tiga tahun, dan dikaruniai bakat yang terutama menarik perhatian kaum pria. Ia seorang lelaki gagah. Tidak ada yang luar biasa pada penampilannya, meskipun ukurannya di atas rata-rata. Tinggi badannya sedikit di atas enam kaki; ia tidak tampak gendut, namun di sisi lain, dia jelas-jelas tidak kurus. Kepalanya yang kecil ditopang leher yang kokoh, dan tangannya bertenaga serta dadanya luar biasa berotot. Ia jenis pria yang tampak sangat kuat dan sesungguhnya jauh lebih kuat daripada kelihatannya.

            “Kejadiannya sangat aneh,” kata Brisbane.

            Semua orang terdiam. Suara Brisbane tidaklah keras, namun mengandung ketajaman yang dapat memotong percakapan orang-orang bak pisau. Semua orang pun mendengarkan. Brisbane memerhatikan bahwa ia telah menarik perhatian orang-orang.

            “Kejadiannya sangat aneh,” ia melanjutkan, “tentang hantu. Orang suka bertanya apa ada yang pernah melihat hantu. Aku pernah.”

            “Omong kosong! Apa, kamu? Kamu mengada-ada saja, Brisbane!”

            Seruan dari segala arah menyambut pernyataan Brisbane yang menakjubkan itu. Situasi pun dapat diatasi. Brisbane akan menceritakan pengalamannya.

            Aku sudah lama jadi pelaut, kata Brisbane, dan karena aku harus mengarungi Atlantik cukup sering, ada kapal-kapal yang aku suka. Aku biasa menunggu kapal tertentu ketika aku harus berlayar. Perjalananku selalu lancar, kecuali yang satu ini.

            Aku ingat dengan jelas, saat itu pagi Juni yang hangat. Bawaanku tidak banyak—tidak pernah banyak. Aku berbaur dengan ramainya penumpang dan orang-orang lainnya yang berusaha memaksakan jasa mereka kepada penumpang yang tidak memiliki bantuan. Kamtschatka dulunya salah satu kapal yang paling aku suka. Aku bilang dulunya, sebab sekarang ini tentu saja tidak. Entah apa yang dapat memaksaku naik kapal itu lagi. Ya, aku tahu kalian akan bilang apa: itu kapal yang bagus; kelebihannya banyak. Tapi aku tidak mau menumpang kapal itu lagi. Yah, jadi saat itu aku pun naik kapal itu lalu memanggil pelayan yang hidung merahnya masih kuingat.

            “Seratus lima, tempat tidur sebelah bawah,” kataku, dengan suara orang yang sudah berpengalaman menyeberangi Atlantik dan tidak pikir panjang lagi.

            Pelayan itu mengambil tas serta mantel besarku. Aku tidak akan pernah melupakan ekspresi di wajahnya. Memang wajahnya tidak menjadi pucat; namun dari ekspresinya itu aku menduga dia entahkah mau menangis tersedu-sedu, atau menjatuhkan tasku. Karena di dalam tasku ada dua botol anggur yang bagus, pemberian kawan lamaku Snigginson van Pickyns, aku merasa sangat gelisah. Namun si pelayan itu tidaklah menangis ataupun menjatuhkan tasku.

            Ia sekadar menyerukan keterkejutan dengan suara pelan, lantas mengarahkan jalan. Aku mengira dia mabuk, tapi aku diam saja dan mengikuti dia turun ke bagian bawah kapal. Nomor 105 letaknya agak di belakang kapal; tidak ada yang istimewa pada ruangan itu. Tempat tidur sebelah bawah, seperti kebanyakan yang ada di Kamtschatka, kasurnya dobel. Ruangnya cukup lega; ada bak cuci serta tempat-tempat menggantungkan sikat gigi yang tidak tersusun rapi. Tidak disediakan handuk, dan ada botol-botol kaca yang terisi oleh cairan berwarna agak cokelat berbau tidak enak.

            Pelayan itu menurunkan barangku dan memandangku seakan-akan mau melarikan diri—mungkin hendak mencari penumpang lagi serta lebih banyak tip. Sebaiknya berakrab-akrab dengan jenis orang seperti ini, sehingga aku pun segera memberi dia koin pecahan tertentu.

            “Saya akan berusaha supaya Tuan senyaman mungkin,” ucapnya sembari memasukkan koin ke sakunya. Namun dalam suaranya terdapat keraguan yang mengejutkanku. Jangan-jangan tip yang kuberikan kurang besar, sehingga ia tidak puas; namun aku cenderung mengira bahwa dia agak mabuk. Tapi, aku salah dan telah bersikap tidak adil kepada lelaki itu.

 

II

 

Hari itu tidak ada yang istimewa untuk diceritakan. Kapal berangkat tepat waktu dan perjalanannya sangat menyenangkan, karena cuaca hangat dan pergerakan kapal mengembuskan angin. Kita semua tahu seperti apa rasanya hari pertama di kapal. Orang berjalan-jalan dan saling memandang, dan kadang-kadang berjumpa teman yang tidak mereka sangka ikut berlayar juga. Biasanya tidak tentu apakah makanannya bakal layak atau tidak sampai dua suguhan pertama memastikannya. Biasanya tidak tentu mengenai cuacanya. Meja-meja pada awalnya ramai; namun kemudian orang-orang bermuka pucat pada memegas dari tempat duduknya dan terburu-buru ke pintu, sehingga para pelaut yang berpengalaman dapat bernapas lebih leluasa sementara tetangganya yang mabuk laut berlari pergi dan meninggalkannya bersama lebih banyak ruang dan lebih banyak makanan.

            Pelayaran lintas Atlantik biasanya begitu-begitu saja, dan kami yang sudah sering menyeberanginya tidak melakukan perjalanan itu sekadar karena daya tariknya. Bagi kebanyakan dari kami, saat paling nikmat adalah setelah kami selesai berjalan-jalan menghirup udara segar, puas merokok, dan berhasil melelahkan diri sehingga dapat tidur tanpa rasa malu.

            Pada malam pertama perjalanan itu, aku merasa begitu malas, sehingga pergi ke tempat tidurku di kamar 105 lebih awal daripada biasanya. Sesampainya aku di sana, aku terkejut melihat bahwa aku mendapatkan teman sekamar. Sebuah tas yang persis milikku diletakkan di pojok seberang, dan ada sebatang tongkat pada tempat tidur sebelah atas. Padahal aku berharap dapat bersendiri, sehingga aku kecewa. Namun aku penasaran siapakah gerangan kawan sekamarku itu, sehingga aku menetapkan untuk mengamatinya.

            Belum lama aku di tempat tidur, masuklah dia. Orang itu, sejauh yang dapat kulihat, sangat jangkung, sangat kurus, sangat pucat, dengan rambut pirang pasir serta mata kelabu. Ia sejenis pria yang biasa ada di Wall Street atau Café Anglais, yang sepertinya selalu bersendiri; mungkin juga dia suka berada di pacuan kuda, namun sepertinya dia tidak akan berbuat apa-apa juga di sana. Cara berpakaiannya agak berlebihan—sedikit janggal. Di kapal laut mana pun, ada saja tiga atau empat orang yang semacam itu. Aku memutuskan bahwa aku tidak ingin berkenalan dengan dia, dan aku pun tidur seraya membatin bahwa aku hendak mengamati kebiasaannya agar dapat menghindari dia. Kalau dia bangun pagi, aku akan bangun sesudahnya. Kalau dia tidur larut, aku akan tidur cepat. Aku tidak suka berkenalan dengan dia. Kasihan! Aku tidak perlu lagi repot-repot memutuskan soal dia, sebab aku tidak pernah melihat dia lagi setelah malam pertama di 105 itu.

            Aku tengah tidur nyenyak saat mendadak aku terbangun oleh bunyi keras. Dari suaranya, aku menduga kawan sekamarku itu memegas dengan sekali lompat dari tempat tidur sebelah atas ke lantai. Aku mendengar dia sedang membuka pintu; pintu pun terbuka, dan kemudian aku mendengar langkah kakinya sementara ia berlari sekencang-kencangnya ke ujung gang, membiarkan pintu kamar terbuka. Kapal melandai sedikit, dan aku mengira akan mendengar dia jatuh, namun larinya seperti yang hendak menyelamatkan diri. Pintu pun berayun-ayun seiring dengan pergerakan kapal, dan suaranya menjengkelkanku. Aku bangkit dan menutupnya, lalu berhasil kembali ke tempat tidurku dalam kegelapan. Aku dapat tidur lagi; namun entah berapa lama aku tertidur.

            Ketika aku terbangun, hari masih gelap. Namun aku merasakan dingin yang tidak nyaman, dan tampaknya udara lembap. Kita tahu aroma khas tempat yang basah oleh air laut. Aku menyelimuti diri serapat-rapatnya lalu tidur lagi, sambil berniat untuk mengajukan komplain besoknya, dan memilih-milih kalimat paling menggentarkan. Aku bisa mendengar kawan sekamarku berbalik di tempat tidur sebelah atas. Mungkin ia telah kembali selagi aku tidur. Sempat aku berpikir bahwa ia terdengar seperti yang kesakitan, sehingga aku berpendapat bahwa ia mabuk laut. Rasanya sangat tidak nyaman bagi orang yang ada di sebelah bawah. Tapi aku dapat tidur sampai menjelang siang.

            Kapal bergoyang-goyang kencang, lebih kencang daripada malam sebelumnya, dan cahaya yang masuk lewat tingkapan berubah warna seiring dengan setiap pergerakan bersamaan dengan sisi kapal yang menghadap ke laut atau ke langit. Saat itu sangat dingin—terutama pada bulan Juni. Aku menoleh dan melihat tingkapan, lantas terkejut karena tingkapnya terbuka lebar dan pengaitnya terpasang kencang. Aku sangat marah. Lantas aku bangkit dan menutupnya. Ketika berbalik, aku melihat ke tempat tidur sebelah atas. Gordennya ditutup rapat; kawan sekamarku barangkali merasa kedinginan sebagaimana aku. Aku merasa telah cukup tidur. Ruangan itu terasa tidak nyaman, tapi anehnya, aku tidak membaui aroma lembap yang menjengkelkanku semalam. Kawan sekamarku masih tidur—kesempatan bagus untuk menghindari dia—maka aku pun langsung berpakaian lalu pergi ke luar. Hari itu hangat tapi mendung, dengan ombak yang berminyak di atas permukaan air. Saat itu sudah pukul tujuh saat aku keluar—lebih telat daripada yang kukira. Aku bertemu si dokter, yang sedang menghirup segarnya udara pagi. Ia seorang pemuda dari Irlandia Barat—orangnya besar, berambut hitam dan bermata biru, sudah mulai agak gemuk; penampilannya bugar dan ceria sehingga cukup menarik hati.

            “Pagi yang indah,” kataku, memulai perkenalan.

            “Yah,” sahutnya, seraya memandangku dengan raut siap diajak mengobrol, “ini pagi yang indah tapi juga tidak indah. Saya rasa pagi ini tidak begitu indah.”

            “Yah, memang—pagi ini tidak indah-indah amat,” kataku. “Malah saya merasa kedinginan semalam. Tapi kemudian saya lihat tingkapannya terbuka lebar. Saya tidak memerhatikannya saat mau tidur. Selain itu, kamarnya lembap.”

            “Lembap!” ujarnya. “Kamar yang mana?”

            “Seratus lima—“

            Tak dinyana si dokter terloncat dan menatap janggal kepadaku.

            “Kenapa?” tanyaku.

            “Ah—tidak apa-apa,” sahutnya; “tapi orang-orang pada mengajukan komplain soal kamar itu dalam tiga perjalanan terakhir.”

            “Saya juga mau mengajukan komplain,” kataku. “Soalnya lembap.”

            “Saya kira itu sudah tidak bisa diapa-apakan lagi,” jawab si dokter. “Saya yakin ada suatu—ah, saya tidak hendak menakut-nakuti penumpang.”

            “Tidak perlu khawatir menakut-nakuti saya,” balasku. “Saya bisa tahan dengan lembap. Kalau saya sampai kena pilek parah, saya akan mendatangi Anda.”

            “Bukan karena lembapnya,” kata dia. “Tapi saya pikir Anda akan bisa melaluinya dengan baik-baik saja. Apa ada teman sekamar?”

            “Ya; orangnya tidak menyenangkan, terburu-buru keluar pada tengah malam, dan pintunya dibiarkan terbuka.

            Sekali lagi si dokter menatapku ganjil. Namun rautnya serius.

            “Apa dia kembali?” tanyanya.

            “Ya. Saya tertidur, tapi lalu saya bangun, dan mendengar dia bergerak-gerak. Lantas saya merasa kedinginan dan tertidur lagi. Pagi ini saya mendapati tingkapannya terbuka.”

            “Begini,” ucap si dokter pelan. “Saya tidak begitu suka kapal ini. Saya beritahukan yang bisa saya lakukan. Saya punya kamar yang cukup luas di atas sini. Saya mau berbagi kamar dengan Anda, walaupun saya tidak kenal Anda.”

            Aku terkejut atas saran itu. Entah kenapa tiba-tiba saja ia menaruh minat padaku. Tapi sikapnya itu saat membicarakan kapal ini betapa aneh.

            “Anda sangat baik, Dokter,” kataku. “Tapi saya pikir kamar itu tinggal dibersihkan saja. Kenapa Anda tidak suka kapal ini?”

            “Dalam profesi kami, kejadian-kejadian supranatural itu tidak bisa dipercaya, tuan,” ucapnya, “namun laut memaksa orang percaya. Saya tidak hendak menakut-nakuti Anda, tapi sekiranya Anda mau menuruti masukan saya, Anda akan pindah. Saya lebih suka melihat Anda di laut, daripada mengetahui bahwa Anda atau orang lainnya tidur di 105.”

            “Astaga! Kenapa?” tanyaku.

            “Sebabnya, dalam tiga pelayaran terakhir, orang yang tidur di sana sungguh-sungguh hilang ke laut,” jawabnya.

            Kuakui, kabar itu mengejutkan dan sangat meresahkan. Aku susah payah memandang si dokter untuk memastikan apakah ia sedang bercanda, tapi tampaknya ia betul-betul serius. Aku menyampaikan terima kasih yang hangat atas tawarannya, namun aku memberi tahu dia bahwa akulah orangnya yang akan tidur di kamar itu dan tidak jatuh ke laut. Ia tidak banyak menanggapi, namun tetap terlihat serius, seakan-akan berpikiran bahwa sebelum kami sampai ke sisi seberang Atlantik sebaiknya aku mengubah pendirian.

            Kami pergi sarapan, namun tidak banyak penumpang di sana. Aku memerhatikan ada satu dua petugas yang sarapan bersama kami terlihat sangat khidmat. Setelah makan, aku pergi ke kamarku untuk mengambil buku. Gorden di tempat tidur sebelah atas masih tertutup rapat. Tidak terdengar sepatah kata pun. Teman sekamarku mungkin masih tidur.

            Ketika aku keluar, aku bertemu pelayan yang bertugas melayaniku. Ia berbisik bahwa kapten ingin bertemu dengan aku, lantas dia berlari ke ujung gang seolah-olah sangat gugup hendak menghindari pertanyaan apa pun. Aku pun mendapati si kapten tengah menantiku.

            “Tuan,” ucapnya, “saya ada permintaan untuk Anda.”

            Aku bilang akan memenuhi apa pun permintaannya.

            “Pria yang tidur di kamar Anda,” katanya, “telah menghilang. Ia diketahui tidur cepat semalam. Apa Anda memerhatikan ada tindak-tanduknya yang tidak biasa?”

            Pertanyaan ini, yang muncul setelah perkataan si dokter setengah jam lalu, teramat sangat mengherankanku.

            “Apa maksud Anda ia telah jatuh ke laut?” tanyaku.

            “Saya khawatir demikian,” jawab si kapten.

            “Bukan main—“ aku memulai.

            “Kenapa?” tanya si kapten.

            “Dia yang keempat,” aku menjelaskan. Demi menjawab pertanyaan lainnya dari si kapten, aku bilang telah mendengar cerita mengenai kamar 105, tanpa menyebutkan tentang si dokter. Si kapten terlihat sangat jengkel mendengar bahwa aku sudah mengetahuinya. Aku menceritakan kepada dia kejadian semalam.

            “Yang Anda ceritakan itu,” sahutnya, “persis dengan yang disampaikan kepadaku oleh teman sekamar dua atau tiga orang sebelumnya. Mereka lompat dari tempat tidur lalu lari ke ujung gang. Dua di antaranya terlihat jatuh ke laut; kami pun menghentikan kapal dan menurunkan sekoci, namun mereka tidak ditemukan. Tapi, tidak seorang pun melihat atau mendengar pria yang hilang semalam—kalau dia memang sungguh-sungguh hilang. Si pelayan yang mengira ada yang tidak beres pagi ini mengecek dia dan mendapati tempat tidurnya kosong. Pakaiannya masih ada sebagaimana sewaktu ditinggalkan. Pelayan itu satu-satunya di kapal yang pernah melihat dia, dan telah mencari orang itu ke mana-mana. Orang itu lenyap! Nah, tuan, saya mohon kepada Anda agar tidak menceritakan soal ini kepada penumpang mana pun; saya tidak ingin nama kapal ini tercemar. Anda boleh memilih kamar petugas mana pun yang Anda kehendaki, termasuk kamar saya, selama sisa perjalanan. Apakah itu tawaran yang adil?”

            “Sangat adil,” kataku; “dan saya sangat berterima kasih kepada Anda. Tapi sekarang kamar itu ada untuk diri saya sendiri dan saya sendirian di sana; jadi saya lebih suka tidak pindah. Kalau pelayan mau mengeluarkan barang-barang pria malang itu, saya mau tetap di sana saja. Saya tidak akan menceritakan apa pun tentang soal ini, dan saya merasa dapat berjani kepada Anda bahwa saya tidak akan mengikuti jejak kawan sekamar saya.”

            Si kapten berbantah denganku; tapi aku memilih untuk bersendiri di kamarku. Kalau aku pindah, aku mesti berbagi kamar dengan petugas kapal. Entah apakah waktu itu aku sudah bertingkah konyol, tapi seandainya aku menuruti masukan dari dia, tidak ada lagi yang dapat kuceritakan.”

            Tapi persoalannya tidak selesai sampai di situ. Aku menetapkan bahwa aku tidak akan terusik oleh cerita-cerita serupa itu. Aku memberi tahu si kapten bahwa ada yang tidak beres dengan ruangan itu. Keadaannya agak lembap. Tingkapannya terbuka semalam. Barangkali kawan sekamarku sudah sakit ketika dia naik ke kapal, dan bisa saja dia kena demam setelah pergi tidur. Boleh jadi dia sekarang sedang bersembunyi di suatu tempat di kapal, dan dapat ditemukan nanti. Kamar itu harus dibersihkan, dan pengait tingkap itu agar diperbaiki. Aku meminta izin si kapten untuk membereskan hal-hal tersebut.

            “Tentu saja Anda berhak tetap di sana kalau Anda berkenan,” jawabnya; “namun saya berharap Anda pindah ke tempat lain, sehingga saya bisa mengunci tempat itu.”

            Aku tidak bersepakat dengan dia, dan pergi setelah berjanji untuk diam mengenai hilangnya pria itu. Dia tidak terlintas di pikiran sepanjang hari itu. Menjelang malam aku berjumpa lagi dengan si dokter, dan ia menanyaiku apakah aku telah berubah pendirian. Aku katakan padanya pendirianku tetap.

            “Nanti juga Anda berubah pikiran,” ucapnya khidmat. [Bersambung]



Cerpen ini diterjemahkan dari "The Upper Berth" berdasarkan pada versi yang sudah disederhanakan oleh G. C. Thornley, M. A., Ph. D., dalam British and American Short Stories (Longman, Green and Co Ltd, 1969). Cerpen terjemahan ini dapat dibaca juga di Wattpad (tautan tersemat).

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...