Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20210411

Welcome to the N. H. K. Bab 06 Kenangan Indah, Diikuti Sebuah Sumpah Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Beberapa hari berlalu dengan cepatnya.
“Sebuah perjalanan tentang cinta dan masa muda dibuat oleh para prajurit yang tegak menghadapi suatu organisasi raksasa yang jahat ….” Inilah kisah yang kucoretkan, kelihatannya sudah tepat. Pada awalnya, anehnya berjalan dengan baik. Kata-kata mengalir lancar. Aku kaget akan bakat sastraku sendiri.
Sayangnya, aku menemui masalah besar: kisah yang kutulis mestinya skenario gim erotis—dan sebagai skenario gim erotis, mesti ada adegan-adegan erotis. Singkatnya, untuk menulis cerita erotis, aku harus menggambarkan adegan-adegan cabul dengan seutuhnya. Aku mesti menuliskan adegan-adegan cinta secara saksama. Ini memedihkan. Betapa tragisnya bahwa aku, pada usia dua puluh dua tahun, harus menulis cerita erotis aspiran. Terlalu pedih.
Aku telah mengurung diri di kamarku selama tiga hari.
Pekerjaanku menjadi sangat menyulitkan. Skenarioku bahkan tidak beranjak dari sebaris pun dalam sejam. Kosakata …. Aku enggak punya kosakata. Otakku benar-benar tidak diperlengkapi dengan metamorfosis-metamorfosis[1] khusus yang biasa ada dalam fiksi erotis. Aku tidak tahu yang mesti kutuliskan. Memilih satu kata saja rasanya seperti selamanya.
Lebih-lebih lagi, ini memalukan. Apa-apaan yang kupikirkan ini, menulis kalimat-kalimat memalukan begini? Bahkan eskapisme pun ada batasnya. Wajahku memanas, sementara duduk sendiri di kamarku yang gelap. Jantungku berpacu, keringat dingin keluar, di kibor jemariku hendak berhenti selagi aku mengetik …. Aku tidak bisa tahan lagi. Aku tidak mau menulis skenario erotis.
Ya ampun, aku muak. Sungguh, sungguh-sungguh muak.
Tapi, kupaksakan untuk teguh, dan merakit kalimat-kalimat dengan segenap fokus diri sebab aku takut bahwa begitu aku berhenti menuliskan gim erotis ini, masalah sesungguhnya yang tanpa daya coba kuabaikan akan kembali dengan sepenuh kekuatannya. Nantinya aku mesti menghadapi langsung kenyataan menyakitkan, dan akibatnya tak akan baik. Justru akan buruk.
Karena itulah aku menggunakan buku-buku France Shoin[2] yang telah kubeli sebagai contoh selagi aku berfokus menulis skenario. Carilah kosakata yang tepat! Temukan metafora! Ini cobaan berat nan melelahkan. Aku tulis dan hapus …. Tulis dan hapus. Otakku mau copot.
“Lelaki itu membuka ritsleting celana lalu menurunkan jinnya ke lutut.”
“Ah, ah, jangan!”
“Kakak, kakak, kakak!"
“Dan payudaranya yang lembut ….”
“… mengocok …”
Enggak bagus. Hapus.
“Membengkak.”
Enggak. Hapus.
“Bangkit menjulang dengan jantannya.”
Salah! Hapus, hapus!
“Menikam langit.”
Bercanda ah?! Hapus, hapus, hapus!
“Terendam basah.”
Salah!
“Salmon merah jambu.”
Kubilang juga, “salah!”
“Mengilau basah.”
Tidak!
“Melekat dengan basahnya pada abdomen bagian bawah.”
Hentikan!
“Berlendir.”
Cukup sudah!
“Detak jantung.”
Aku enggak kuat lagi!
“Labia.”
Aku ini kenapa sih?
“Cangkang merah jambu.”
Kubilang, “aku ini kenapa?”
“Seputih susu.”
Apa yang salah dengan diriku …”
“Payudara yang kecil ….”
“… segar lagi belia …”
“… berkeringat …”
“… lebih keras …”
“J—jangan!”
“… desahan manis …”
“… bergesekkan dengan dia …”
“… agak menguncup …”
Kata-kata lainnya menghampiriku: “meraba” … “mengombak” … “memasukkan” … “pinggul” … “dari bibirnya” … “menggilas” … “manis” … “seperti anak kucing” … “tubuh perempuan” … “tegang” ….
Apa yang salah dengan aku ini …?
“Membengkak” … “ke selangkang” … “imut” … “desak” … “mengeras” … “merah jambu terang” … “ingin bertemu” … “oke, tidak apa-apa” … “telanjang bulat” … “tanpa sehelai benang pun” … “noda berbentuk lonjong” … “gundukan” … “celah” ….
Cukup.
“Tepat di bawah pusar” … “bagian pribadi” … “membuat dadamu berdebar-debar” ….
Aku sudah.
“Membengkak” … “bernapas tenang” … “sederhana” … “semak-semak” … “madu yang melimpah” … “dengan jari telunjuknya” … “seperti kamu membuat dirimu sendiri basah” … “tak sabar” … “tak senonoh” … “dari selaput” ….
Bagaimanakah hidupku ini …?
“Membengkak” … “piston” … “vulgar” … “membelah” ….
Aku tidak bisa melihat masa depan.
“Membengkak” … “suara yang melekat” … “basah” … “panas” … “rawa isap” … “tercemplung” … “kulup” … “daging lembut” … “agak merona” … “cabul” ….
Mending aku mati saja.
“Membengkak” … “membengkak” … “menikam langit” … “menjulang tinggi.”
“Membengkak” … “membengkak” … “membengkak” … “membengkak” … “membengkak!”
AHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!
Kugaruk-garuk kepala.
Hapus semua, hapus semua, hapus semua ….
Menggunakan buku France Shoin sebagai contoh merupakan kesalahan dari awal juga. Ketika fiksi menjadi referensi untuk fiksi, wajar saja penggambarannya menjadi semakin aneh. Aku merasa akan gila.
Aku baik-baik saja. Kalemlah.
Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, aku memutuskan untuk memulai lagi dari awal, dengan menggunakan pengalamanku sendiri sebagai referensi. Dengan begitu, mestilah aku bisa menggambarkan adegan-adegan erotis yang realistis berdasarkan pengalamanku sendiri yang nonfiktif.
Pengalaman nyata, pengalaman nyata ….
Menyoal pengalaman di kehidupan nyata yang bisa kugunakan untuk gim erotis, mau tidak mau aku mengenang jauh ke belakang. Aku mesti mengingat waktu yang telah renggang itu, lima tahun lalu … masa asyik pada lima tahun lalu … tahun-tahunku SMA.
Aku memejamkan mata dan mengingat-ingat. Selagi begitu, segera aku menyadari bahwa kenangan-kenangan itu akan bergerak ke arah yang mengusik emosi. Buru-buru kubuka mata dan kucoba berhenti memikirkannya. Tapi, panah-panah pikiranku, sekali diberikan arah, tak lagi dapat dihentikan.

***

Tahun-tahun SMA-ku yang cerah lagi optimistis … masa mudaku yang menyegarkan.
“SMA” memberi kesan akan kisah kasmaran yang sedikit pahit, dan masyarakat pada umumnya mengiyakan kearifan yang lumrah ini. Aku juga waktu itu sedang kasmaran, setiap hari diisi oleh gairah, seperti dalam gim simulasi cinta. Contohnya, aku menyukai cewek yang lebih tua dari klub sastra itu.
Seperti yang sudah bisa ditebak pada orang dari klub sastra, dia pembaca yang sangat giat. Karena itulah, dia luar biasa dungu. Ia pernah membaca buku Panduan Lengkap Bunuh Diri di depanku.
Waktu itu aku berpikir, Hentikanlah, kelakuanmu itu enggak asyik. Kamu cantik, kenapa enggak bertingkah sewajarnya saja sih?
Gadis itu sama sekali tidak menampakkan tanda-tanda memerhatikan.
“Kenapa kamu baca buku itu?” tanyaku padanya, dengan rasa enggan.
Sambil tertawa dibuat-buat, dia menjawab, “Apa menurutmu bunuh diri itu enggak keren?” Pada waktu itu, dia baru saja putus secara tidak baik-baik dengan pacarnya, dan sepertinya dia jadi sedih.
“Hei, Satou. Menurutmu kenapa orang bunuh diri?” tanyanya padaku.
“Menurutku sih itu enggak apa-apa, iya enggak sih? Kalau orang mau bunuh diri, ya, semestinya mereka dibiarkan saja. Sepertinya orang lain enggak berhak menghakiminya.”
“Hm.” Ia tidak tampak terkesan dengan jawabanku yang membosankan. Seperti yang kempis, ia merundukkan pandangannya lagi pada buku di pangkuannya.
Sepulang sekolah, pada hari lainnya, ketika aku mulai muak main kartu dengan dia, ia berucap, “Hei.”
“Apa?”
“Satou, setelah selama ini, kalau aku mati atau sesuatunya, kamu bakal sedih enggak?” Bagaimanapun upayaku, aku tidak dapat mengingat jawabanku atas pertanyaan tiba-tiba itu. Yang kuingat jelas hanya beberapa hari kemudian ia datang ke sekolah dengan perban putih membalut pergelangan tangannya yang kurus.
Ayolah, beri aku jeda. Aku enggak tahu betapa seriusnya kamu ingin mati, tapi semestinya paling tidak kamu punya sedikit rasa malu sudah berbuat melodrama.
“Kamu tuh bukan anak SMP yang tolol.”
Jawabnya, “Aku anak SMA yang tolol.”
Ia tipe gadis yang blakblakan mengatakan hal semacam ini, padahal ia ingin masuk ke Universitas Waseda yang sangat kompetitif itu. Dengan berlagak, ia menceploskan yang tidak ada hubungannya seperti, “Omong-omong, masalahnya adalah kita enggak punya musuh.”
Ia melanjutkan penjelasannya. “Enggak ada yang bisa dipersalahkan. Bukan Mizuguchi dari tim bisbol, atau aku, atau kamu, Satou—tidak seorang pun dari kita yang dapat dipersalahkan. Entah kenapa, segala hal tampaknya menuju ke arah yang buruk. Aneh.”
“Yang aneh itu pikiranmu.”
“Jangan berkata dingin begitu sama cewek yang baru keluar dari ruang gawat darurat. Omong-omong, Satou, kamu memerhatikan enggak sih walaupun ini bukan kesalahan kita, ada banyak peristiwa menyakitkan yang begitu saja terjadi di sekitar kita? Ini karena ada organisasi besar merencanakan konspirasi keji melawan kita.”
“Yah, yah.”
“Benar kok. Ada burung kecil yang memberitahuku.”
“Yah, yah.” Ia tipe cewek yang suka bertingkah seolah-olah dia gila. Meski begitu—dan karena dia cantik—aku suka dia. Beberapa hari sebelum lulus, ia bahkan membiarkan aku untuk mencoba dia sekali.
Aku sangat tersentuh mengingat bahwa bayaran untuk menyenangkan dia selama dua tahun itu berupa satu kejadian itu. Pengalaman yang menggairahkan secara membabi buta, tapi juga menyedihkan. Pada akhirnya, aku hanya bisa melakukannya sekali itu saja.
Aku merasa semestinya aku melakukannya berkali-kali lagi. Tapi, aku juga merasa mungkin lebih baik aku tidak melakukannya termasuk yang sekali itu. Aku tidak tahu mana yang benar.
Ahhh ….
Di sebuah kafe trendi di Shibuya, aku menanyai dia, “Jadi, bagaimana menurutmu?” Itu kali pertama aku bertemu dia setelah bertahun-tahun.
Minggu sebelumnya, tanpa ada pertanda apa-apa, aku mendapat panggilan telepon. “Ayo kita ketemuan,” katanya.
Aku meninggalkan rumah tanpa rasa khawatir.
Kami berjanji untuk bertemu di depan Patung Moai. Tempat itu agak ramai oleh turis, tapi karena kami berasal dari kota lain, maka tidak ada masalah berarti. Segera begitu kami menyalami satu sama lain, gadis itu berkata, “Aku menelepon ke rumah keluargamu, Satou, untuk mencari informasi kontakmu yang sekarang, tapi ibumu mengira aku wiraniaga dan curiga.”
“Oh ya, sering begitu kok. Pencari sumbangan berpura-pura jadi teman sekelas sedang mengumpulkan daftar nama anak-anak ….” Rada suram setelah bertahun-tahun tidak berjumpa, hal begini yang pertama kali diobrolkan.
Kenangan-kenanganku tidak mengecoh: dia sungguh cantik bagaimanapun juga. Karena itu, aku agak gugup. Ditambah lagi, aku mengidap ketakutan akan kontak mata serta agorafobia—gangguan yang khas bagi hikikomori. Bahkan setelah memasuki kafe, aku tidak bisa berhenti berkeringat.
Duduk membelakangi jendela, gadis itu mengaduk es kopinya dengan sedotan. “Satou, apa kegiatanmu sekarang?”
Aku menjawab sejujurnya, tanpa menyembunyikan apa pun. Senyum di wajahku.
Ia tertawa. “Aku sudah menduga kamu bakal berakhir seperti ini.”
“Oh, sekarang ini aku sudah mengurung diri selama empat tahun,” aku membual. “Aku hikikomori profesional!”
“Sekarang pun, kamu kesulitan keluar rumah?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu, aku ada barang bagus buat kamu.”
Gadis itu mengeluarkan benda yang terlihat seperti wadah pil dari tas kecilnya, lalu menyerahkan padaku beberapa kapsul. “Ini Ritalin.”
“Apa itu?”
“Ini obat dari jenis stimulan. Sangat manjur. Dengan ini, kamu bisa bersemangat kapan saja!”
Setelah selama ini, dia masih orang yang aneh. Buktinya, dia menemui sekitar tiga psikiater. Meski begitu, aku senang akan perhatiannya, sehingga aku mengambil salah satu pil meragukan itu dengan penuh rasa syukur.
Setelah itu, aku menjadi energik. Malah, kami bertukar cakapan ceria yang tak penting.
“Kamu normal banget sewaktu SMA, Satou …. Eh, enggak, enggak juga sih.”
“Kegiatanmu apa sekarang?”
“Aku penganggur.”
“Kamu lulus kuliah, kan?”
“Iya, tapi sekarang aku menganggur. Tapi aku akan jadi ibu rumah tangga sebentar lagi.”
“Hm, kamu akan menikah?” Istri muda berusia dua puluh empat tahun. Moe moe ….
“Kaget?”
“Sedikit banyak.”
“Sedih?”
“Enggak tuh.”
“Kenapa enggak?”
“Menurutmu kenapa?”
Kami meninggalkan kafe. Gadis itu melompat-lompat di sekitarku, sambil tertawa riang.
Lalu, ia berkata, “Aku sungguh-sungguh bahagia sekarang ini.”
Ia menyombong bahwa ia akan menikahi seorang pegawai pemerintahan pusat yang pekerja keras, kaya, sekaligus tampan. Pada dasarnya, ia akan menikahi orang yang sebaik-baiknya!
“Jangan berpikir terlalu keras. Jangan meruwetkan segala hal. Aku bahagia.” Nadanya ceria. Terlihat bahwa, di samping itu, dia juga tengah membantu dirinya dengan obat itu.
Selagi kami menerobos keramaian orang, ia bertanya, “Dulu, semestinya aku kencan dengan kamu. Dulu kamu benar-benar menyukaiku, kan, Satou?”
“Sebenarnya aku cuma ingin merasai cewek.”
“Maaf, ya. Mungkin semestinya kita tidak menghabiskan seluruh waktu itu dengan bermain kartu saja tiap hari.”
“Kenyataan bahwa sekali kita melakukannya, setelah itu kita langsung berpisah … agak sulit bagiku.
“Mungkin salahku kamu jadi hikikomori.”
“Enggak ada hubungannya sama sekali. Lebih seperti ada semacam ….”
“Organisasi besar?”
“Ya, benar! Organisasi raksasa jahat itu mencengkeramku seutuhnya.”
“Aku, juga, tahu enggak sih? Organisasi jahat itu mencabikku juga! Mungkin tidak ada yang bisa kulakukan ….”
Tahu-tahu, ia bilang sedang hamil.
“Wah! Aku takjub banget! Kamu akan jadi ibu!” aku terkejut.
“Itu sebabnya aku akan menikah. Sekarang, hidupku telah sukses! Aku telah berada di jalur yang tepat. Sekarang, kurasa aku bisa maju, tanpa rintangan, dalam garis yang lurus.” Langkahnya cepat, sekitar tiga kaki di depanku. Aku tidak bisa melihat raut mukanya, tapi aku mengira dari nadanya bahwa ia memang bersemangat. Ia bahagia. Ia harus begitu.
“Benar-benar hebat. Sangat hebat. Sungguh hebat.” Kukatakan tiga kali berturut-turut untuk merayakan awal dari kehidupan barunya itu dengan seremoni yang selayaknya.
“Enggak apa-apa buatmu, Satou?” Langkahnya tertahan.
“Enggak, enggak juga,” aku juga ikut berhenti.
“Enggak tahu kenapa, tapi aku merasa sakit.”
Kami telah tiba di suatu jalan yang dibarisi hotel-hotel. Ada beberapa pasangan yang sedang menongkrong sambil berangkulan, walaupun pada saat itu tengah hari. Aku merasa sedikit menggigil akibat kegairahan.
“Mestikah kita berselingkuh atau sesuatunya?” Gadis itu tersenyum selagi mengatakannya.
“Selingkuh dengan istri muda! Kayak di TV!” Aku menjadi semakin bergairah.
“Aku baru membiarkanmu melakukannya sekali, jadi aku merasa enggak enak.”
Kami berdiri di depan sebuah hotel, memandang langsung pada satu sama lain. Aku benar-benar ingin masuk ke sana bersama dia.
Kami sama-sama tertawa. “Kamu bahagia, kan, sekarang?” tanyaku.
“Benar.”
“Kamu ada di tempat yang tidak akan terjangkau lagi oleh organisasi raksasa itu, kan?”
“Benar,” ulangnya.
“Kalau begitu, aku pulang.” Seraya membungkuk, segera kutinggalkan tempat itu. Selagi aku melewati dia, aku mencuri pandang sekilas. Ia menangis. Rasanya mustahil. Mestinya mudah bagi orang secantik dan seramah dia untuk mendapatkan hidup yang bahagia, waras, dan ringan—sesuatu yang akan diirikan orang lain. Orang yang secantik itu mestilah bisa menjalani hidup yang riang.
Sesungguhnya, tidak ada yang bisa dilakukan pada depresi berulang, yang tak ada gunanya. Orang bisa menjadi putus asa atau marah. Sekalipun jika mereka cukup marah hingga hendak meninju sesuatu, mereka tidak akan menemukan target. Organisasi raksasa …. Mereka berharap suatu organisasi raksasa yang keji itu ada. Itu menjadi mimpi kami ….
Hal buruk membanjiri dunia ini. Dunia ini terbelit oleh kemalangan dan kepedihan yang rumit, kacau, tanpa perasaan, dan tak dapat dimengerti.
Ia memberitahuku bahwa ada teman kuliahnya yang bunuh diri, dengan meninggalkan surat wasiat tolol yang isinya macam, “Aku telah dihancurkan oleh impian dan cinta, maka sebaiknya aku mati saja.” Seorang teman sekelas dari SD telah menikah lalu bercerai. Yamada sekarang membesarkan dua anak sendirian dan mulai beruban, dan kakak kelas perempuanku itu pun tertawa. Kazumi, yang tinggal bersama seorang pria, pulang pada keluarganya. Yuusuke, yang ingin menjadi pegawai negeri sipil, gagal dalam tes. Yamazaki, yang sedang membuat gim erotis, semua mimpinya telah runtuh.
“Aku sedang menjajal bakatku sendiri. Jadinya enggak mesti gim erotis sih, tapi aku … aku akan berbuat sesuatu!” Ketika Yamazaki menyatakan ini, sembari mabuk sake, masa depannya telah ditentukan sebagai pemerah susu, yang mengejar-ngejar sapi. Entah bagaimana dia bisa melepaskan diri.
Di acara-acara reuni dan pesta, setiap orang tertawa dan bikin recok. Acara-acara seperti itu seru, seperti di karaoke. Setiap orang bersenang-senang dan sepertinya yakin bahwa masa depan akan jadi sempurna. Kita bisa menjadi segalanya! Kita bisa melakukan apa saja! Kita bisa bahagia!
Itu benar—tapi berangsur-angsur, secara tetap, dengan laju yang begitu perlahan hingga kita tidak menyadarinya, kita dirobohkan. Tidak ada yang bisa kita lakukan, sekalipun bila kita mendapat masalah, takluk, menangis. Setiap dari kita pada akhirnya mengalami peristiwa buruk. Perbedaannya hanya terjadi sekarang atau nanti. Tapi pada akhirnya, kita semua akan terpuruk dalam situasi yang sungguh tak tertahankan.
Aku takut. Aku takut akan segala macam hal.
Aku memikirkan teman sekolah perempuanku itu. Hei, aku bukan orang baik. Aku lima ratus kali lebih buruk daripada PNS yang berhasil kamu gaet itu.
Tidak ada yang bisa aku lakukan buat kamu. Aku sungguh ingin ke hotel itu bersama kamu, tapi keadaanmu akan semakin sulit. Aku bukannya sok keren atau apa. Ah, aku benar-benar ingin terlibat dalam perselingkuhan dengan kamu. Tapi, tidak mungkin. Jelas-jelas tidak mungkin. Hikikomori menyedihkan seperti aku, yang bahkan tidak bisa memelihara dirinya sendiri, tidak punya daya untuk membuatmu bahagia.
Oh, aku ingin menjadi orang yang kuat, orang yang bisa diandalkan, yang menceriakan sekitarnya hanya dengan kemunculannya. Aku ingin menjadi pembawa nasib baik. Tapi, kenyataannya aku ini hikikomori—seorang hikikomori yang takut pada dunia luar.
Entah kenapa aku begitu ketakutan, saking ketakutannya sampai-sampai aku tidak berdaya. Tidak ada lagi kebaikan padaku.

***

Bulan depan, biaya hidupku bakal dihentikan. Apa yang bisa kulakukan ketika itu? Gaya hidup ini mesti diakhiri segera. Mestikah aku mengakhiri hidupku saja?
Kumatikan komputer yang sedang kugunakan untuk menulis skenario gim erotis. Aku memutuskan untuk menelepon Yamazaki dan meminta maaf. “Maaf, aku enggak bisa menulis skenario lagi.”
Tapi Yamazaki sudah pegang telepon. Aku bisa mendengar jeritan marahnya dari kamar sebelah. “Kenapa sih selalu balik ke masalah ini lagi?! Pertama, aku ke sini pakai uangku sendiri. Aku enggak harus menuruti perintahmu!”
Kedengarannya ia sedang berantem sama orang tuanya lagi. Setiap orang punya masalah sendiri-sendiri.
Aku hampir saja tiba pada titik sungguh kehilangan keberanian untuk terus. Sebuah baris dari suatu puisi timbul di benakku: Akhir musim hujan, menyegarkan, bunuh diri.
Kugelengkan kepala. Sekarang, kuputuskan untuk tidur saja. Setelah berganti pakaian jadi piama, aku coba berbaring di tempat tidur. Selagi begitu, secarik kertas di atas TV terlihat olehku. Itu kontrak yang kuterima dari Misaki.
Suatu malam, aku sedang membaca manga di pojok minimarket yang menyediakan majalah-majalah, ketika, tahu-tahu, Misaki berdiri di belakangku. “Nanti bila kita bertemu lagi, sudah tanda tangani dan stempel ini, oke?” katanya, seraya mencabut selembar kertas dari tasnya. Ia menyerahkannya kepadaku. Kelihatannya, sudah beberapa lama ia membawa-bawa kertas ini.
Secarik kertas itu ….
Aku sudah membacanya berkali-kali, tapi aku mengambilnya dan membacanya lagi. Tentunya, itu suatu dokumen yang tak habis-habisnya kupikirkan, saking konyolnya sampai bikin aku mumet. Tapi, dengan emosiku yang berada di titik nadir ini, anehnya aku jadi tertarik. Maka, akhirnya aku menandatangani dan menstempel kontrak itu.
Setelah mendesakkannya ke saku, aku menuju ke arah taman sekitar. Saat itu malam, dan tidak ada bulan. Di suatu tempat, ada anjing menggonggong. Sembari duduk di bangku dekat ayunan, kupandang langit malam dalam lamunan.
Tak dinyana, Misaki muncul, kembali mengenakan pakaian biasa alih-alih busana keagamaannya. Ia bergabung denganku di bangku taman dan mulai mengajukan alasan-alasan sebelum aku sempat mengatakan apa-apa. “Bukannya tiap malam aku mengawasi gerbang taman dari jendelaku.”
Aku tertawa. Setelah tawaku menguap, salak anjing di kejauhan itu sudah berhenti, dan yang terdengar hanya sayup-sayup sirene ambulans, Misaki bertanya, “Gimnya sudah selesai?”
“Ah, iya, gim erotisnya mandek juga akhirnya. Tapi, tahu dari mana kamu?”
“Sewaktu Yamazaki datang ke kafe manga beberapa hari lalu, kebetulan aku menguping dia mengobrol soal itu. Omong-omong, gim erotis itu apa sih?”
“Itu kode buat EROA dan GARIOA[3]. EROA itu singkatan dari Economic Rehabilitation in Occupied Areas, sedangkan GARIOA itu Government Appropriation for Relief in Occupied Areas. Keduanya dikembangkan pemerintah Amerika untuk mencegah masalah sosial, seperti penyakit dan kelaparan, di kawasan-kawasan yang diduduki Amerika Serikat setelah Perang Dunia II.”
“Bohong, ya?”
“Iya.”
“Kamu juga bohong soal jadi kreator itu, ya?”
“Iya.”
“Kenyataannya, kamu ini hikikomori penganggur, ya?”
“Iya.”
Aku mengulurkan kontrak itu. Segera ia menjambretnya dari kedua tanganku, lalu melompat. “Akhirnya kamu mau menandatangani! Sekarang kamu akan baik-baik saja, Satou. Kamu bisa berkelana ke dunia luas setelah sedikit pelatihan.”
“Misaki, sebenarnya kamu ini siapa sih?”
“Aku sudah kasih tahu kamu, kan? Aku ini semacam cewek yang menyelamatkan anak-anak muda dari penderitaan. Kegiatan ini, tentu saja, merupakan bagian dari proyekku. Tolong, yakinlah, tidak akan ada kejadian buruk. Oke?”
Penjelasannya meragukan. Biar begitu ….
“Tapi, dengan ini, kontrak kita punya kuasa! Kalau kamu membatalkannya, penaltinya satu juta yen, oke?” Misaki mengantongi kontrak dan tersenyum menyilaukan. Seketika itu, aku mulai gugup. Ada perasaan bahwa aku telah membuat kesalahan besar.
Memangnya, seberapa besar kekuatan hukum yang dimiliki kontrak ini? Mestinya aku tanya-tanya dulu sama teman kuliahku yang studi hukum.

***

Kontrak Pelepasan dari Kehidupan Hikikomori Berikut Dukungannya

Nama hikikomori: Satou Tatsuhiro.
Nama pendukung pelepasan: Misaki Nakahara.
Dengan mendefinisikan hikikomori sebagai pihak A dan pendukung sebagai pihak B, berikut ini dilakukan perjanjian antara kedua pihak.
A akan memberi B pengakuan semua kesedihan, kesulitan, keluhan, dan segala isi batin lainnya sehubungan dengan pelepasan dari kehidupan hikikomori.
B akan melakukan segala hal sesuai dengan kemampuannya untuk membantu A lepas dari kehidupan hikikomori dan agar sukses kembali pada masyarakat (disebut sebagai pihak C). Sebagai tambahan, selama proses menuju C, B akan berusaha memelihara kestabilan emosi A.
Sebaliknya, A akan berbicara secara sopan kepada B.
A akan mematuhi setiap instruksi B.
Selanjutnya, A tidak akan memperlakukan B sebagai orang yang buruk. A tidak akan memperlakukan B dengan jahat.
Sewajarnya, perilaku kasar, seperti memukul atau menendang, tidak boleh dilakukan.
Konseling akan diadakan setiap malam di taman Mita Distrik Keempat. Datang setelah makan malam.
Bila A menjalankan kontrak, A akan bergerak menuju C. Jika A memutus kontrak, penaltinya satu juta yen.

***

Mengingat isi kontrak itu, aku terserang oleh kecemasan parah. “Lupakan! Kembalikan kontrak itu!”
Tapi Misaki sudah lama minggat.
Aku ditinggalkan sendiri, pada batasku yang penghabisan.




[1] Metafora kali, ya? (—penerj.)
[2] Perusahaan di Jepang yang membuat fiksi erotis
[3] Di Jepang, erotic game sering kali disebut eroge, sehingga begitulah penjelasan Satou

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...