Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20210425

Tempat Tidur Berhantu (2/2) (Francis Marion Crawford, 1886)

III

 

Kami bermain kartu malam itu, lalu aku pergi tidur saat sudah larut. Sekarang aku mengaku bahwa aku merasa gelisah saat memasuki ruangan itu. Aku tidak dapat berhenti membayangkan si pria jangkung yang telah kulihat semalam, yang sekarang sudah tenggelam dan mati. Wajahnya tampak jelas di hadapanku saat aku melepas pakaian. Aku mengunci pintu. Tiba-tiba aku menyadari bahwa tingkapannya terbuka, dan pengaitnya terpasang kencang. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku keluar mencari Robert, si pelayan untuk gangku. Aku ingat saat itu aku sangat marah, dan begitu menemukan dia aku menyeretnya dengan kasar ke pintu kamar 105, lalu mendorong dia ke arah tingkapan yang terbuka itu.

            “Kenapa tingkapannya dibiarkan terbuka tiap malam? Kamu tidak tahu ini melanggar peraturan? Kamu tidak tahu kalau kapalnya terguling sehingga air masuk, sepuluh orang pun tidak akan sanggup menutupnya? Saya akan melaporkan kamu pada kapten karena telah membahayakan kapal ini!”

            Aku sangat marah. Orang itu gemetar dan memucat, lantas mulai menutup lempeng kaca bulat itu dengan sekrup logam tebal.

            “Kenapa kamu diam saja?” tanyaku kasar.

            “Kalau Tuan berkenan,” sahut Robert, “tidak ada orang di kapal ini yang bisa menutup tingkapan ini saat malam. Tuan bisa mencobanya sendiri. Saya tidak hendak lebih lama lagi di kapal ini, tuan. Tapi seandainya saya adalah Tuan, saya akan tidur di tempat lain: dengan pak dokter itu, tuan. Begini, tuan. Apakah menurut Tuan tingkapan ini sudah tertutup rapat? Cobalah sendiri, tuan, kalau-kalau masih dapat bergeser.”

            Aku pun mencoba tingkap itu dan mendapatinya benar-benar sudah tertutup rapat.

            “Baiklah, tuan,” sambung Robert, “setengah jam lagi tingkapannya akan terbuka lagi; dan terpancang lagi, tuan; itulah parahnya—terpancang lagi!”

            Aku meneliti sekrup besar itu.

            “Kalau saya mendapatinya terbuka lagi nanti, Robert, saya akan kasih kamu satu paun. Tidak mungkin itu. Kamu boleh pergi.”

            “Satu paun, tuan? Baiklah, tuan. Terima kasih, tuan. Selamat malam, tuan. Beristirahatlah yang nyaman dan bermimpilah yang indah, tuan!”

            Robert terbirit-birit menjauh, lega dapat pergi. Tentunya pada waktu itu aku tidak memercayai dia. Alhasil, dia mendapatkan uangnya sedang akan menghabiskan malam yang luar biasa tidak menyenangkan.

            Aku pun naik ke tempat tidur, dan lima menit setelahnya Robert mematikan api yang menyala tenang di dalam gelas dekat pintu. Aku berbaring diam dalam gelap berusaha tidur, namun segera saja aku mendapati bahwa itu mustahil. Aku tidak lagi mengantuk, dan aku pun berbaring terjaga selama beberapa waktu, kadang-kadang memandang ke tingkapan, yang dapat terlihat dari tempatku berbaring. Aku yakin telah berbaring selama sejam; dan, sebagaimana yang kuingat, aku sudah akan terlelap ketika terbangun oleh aliran udara dingin. Aku juga merasakan tetes-tetes air garam bertiup ke wajahku. Aku melompat; namun gerakan kapal melontarkanku dengan keras ke seberang ruangan. Aku bangkit dengan berlutut. Tingkapan itu lagi-lagi terbuka lebar dan terpasang kencang!

            Sekarang ini sungguh kenyataan. Aku sudah terjaga sepenuhnya saat aku bangkit, dan kalaupun tadinya aku sudah terlelap pastinya akan terbangun juga karena jatuh. Ada bekas-bekas jatuh pada tubuhku pada paginya sebagai bukti. Tingkapannya terbuka lebar dan terpancang kembali: hal yang sungguh sulit dijelaskan sehingga aku ingat benar pada waktu itu aku lebih merasa takjub daripada takut saat mendapatinya. Sekali lagi aku menutup tingkapan itu lalu memutar sekrupnya dengan segenap kekuatanku. Saat itu ruangan sangat gelap.

            Aku putuskan untuk mengawasi tingkap itu kalau-kalau akan terbuka lagi. Sekrup kuningannya sangat berat dan sama sekali tidak mudah digerakkan; aku sulit memercayai kalau tadi sekrup itu terputar oleh guncangan mesin kapal. Aku pun berdiri saja di situ sambil memandang ke laut; pasti sudah ada seperempat jam aku dalam posisi itu.

            Sementara itu, tiba-tiba, aku mendengar ada yang bergerak di belakangku pada salah satu tempat tidur, dan sesaat kemudian aku mendengar sayup-sayup ada suara kesakitan. Aku lompat ke seberang ruangan dan menggeser gorden tempat tidur sebelah atas itu, lalu menyorongkan kedua tanganku untuk mengecek adakah orang di situ. Ada orang.

            Aku ingat rasanya saat meletakkan kedua tanganku ke depan seolah-seolah aku sedang menyorongkannya ke udara yang lembap; dan dari balik gorden itu keluarlah angin menakutkan berbau air laut. Aku memegang sesuatu yang berbentuk lengan manusia, namun lembut, basah, dan sedingin es. Tapi tiba-tiba, ketika kutarik, makhluk itu melompat dengan kerasnya ke arahku, berat lagi basah, namun kekuatannya di atas kewajaran. Aku terjatuh; dan seketika pintu membuka dan makhluk itu pun menyerbu ke luar. Aku tidak sempat ketakutan, dan aku pun melonjak melalui pintu dan mengejar dengan kecepatan penuh. Tapi aku terlambat. Sepuluh yard di depanku terlihat—aku yakin melihatnya—bayangan gelap bergerak di gang yang remang. Namun dalam sekejap bayangan itu menghilang. Bulu romaku tegak, dan keringat dingin mengaliri wajahku. Aku sama sekali tidak malu akan pengalaman itu: aku teramat sangat ketakutan.

            Walau begitu aku masih meragukan indraku: bisa saja ini cuma mimpi buruk akibat menu makan malamku. Aku pun kembali ke kamar dan kepayahan memasukinya. Seluruh tempat itu berbau air laut, sebagaimana sewaktu aku terbangun pada malam sebelumnya. Aku menyalakan cahaya dan melihat bahwa tingkapannya kembali terbuka, dan suatu kengerian yang tidak pernah kurasakan sebelumnya menguasaiku, dan aku pun tak berharap mengalaminya lagi. Aku meneliti tempat tidur sebelah atas itu dan menduganya akan basah oleh air laut.

            Tapi aku kecewa. Kasurnya bekas ditiduri, dan ada bau laut yang menusuk; namun seprainya sama sekali kering. Aku membayangkan Robert tidak berani membereskan tempat tidur ini setelah kejadian semalam—itu suatu mimpi yang menakutkan. Aku menggeser gordennya sejauh mungkin dan meneliti tempat itu secara cermat sekali. Kasur itu kering sepenuhnya. Namun tingkapannya terbuka lagi. Disertai rasa muak yang memusingkan aku menutup dan menyekrupnya lagi: aku menggunakan batangan yang berat untuk memutar sekrup itu dan menekannya dengan segenap kekuatanku hingga logam tebal itu jadi bengkok. Kemudian aku duduk. Aku duduk sepanjang malam, tidak sanggup berpikir akan istirahat—hampir tidak sanggup berpikir sama sekali. Namun tingkapan itu tetap menutup, dan aku yakin itu tidak akan terbuka lagi tanpa kekuatan yang besar.

            Akhirnya tibalah pagi, dan aku pun berpakaian lambat-lambat, sembari memikirkan seluruh kejadian semalam. Saat itu hari yang indah, dan aku pun ke luar, senang memperoleh cahaya matahari pagi yang jernih serta menghirup udara dari perairan biru, sungguh lain daripada udara di kamar itu. Aku melihat si dokter mengisap pipa, tengah menikmati udara sebagaimana kemarin.

            “Selamat pagi,” sapanya tenang, namun memandangiku diiringi rasa penasaran.

            “Dokter, Anda benar,” kataku. “Ada yang tidak beres dengan tempat itu.”

            “Sudah kuduga Anda akan berubah pikiran,” jawabnya. “Sepertinya Anda baru mengalami malam yang buruk. Bolehlah saya menraktir Anda minum?”

            “Tidak, terima kasih,” tegasku. “Tapi saya mau menceritakan kejadian semalam.”

            Lalu aku pun berusaha menceritakan kejadian itu dengan sejelas mungkin, dan aku menambahkan bahwa baru kali itu aku merasa demikian ketakutan. Aku terutama menyebutkan tentang tingkapan itu; kalaupun yang selainnya mimpi belaka, yang itu sungguh-sungguh nyata. Dua kali aku menutup tingkapan itu semalam.

            “Anda boleh mengira bahwa saya meragukan cerita itu,” ucap si dokter, seraya tersenyum saat diceritai secara terperinci mengenai tingkapan itu. “Saya tidak meragukannya sedikit pun. Sekali lagi saya mengundang Anda. Bawalah tas Anda dan berbagi kamar dengan saya.”

            “Temanilah saya di kamar saya satu malam saja,” kataku. “Bantu saya memecahkan misteri ini.”

            “Kalau Anda tetap di sana, bisa-bisa Anda berakhir di laut,” ucapnya.

            “Apakah Anda sungguh-sungguh percaya itu hantu?” tanyaku, agak mencemooh. Tapi, sementara bicara, aku ingat betul perasaan yang menguasaiku malam itu. Si dokter menjadi ketus padaku.

            “Apa Anda dapat mengajukan penjelasan yang masuk akal mengenai kejadian ini?” tanyanya. “Tidak; Anda tidak bisa menjelaskannya. Nah, Anda bilang akan menemukan penjelasannya. Menurut saya Anda tidak akan mendapatkannya, tuan, karena memang tidak ada.”

            “Tapi, tuanku yang terhormat,” sahutku, “apakah Anda, sebagai ahli ilmu pasti, hendak menyatakan bahwa hal serupa itu tidak dapat dijelaskan?”

            “Betul demikian,” jawabnya terus terang. “Dan kalaupun hal itu dapat dijelaskan, saya tidak berminat mendengarnya.”

            Aku tidak mau menghabiskan satu malam lagi di tempat itu sendirian, namun aku bertekad untuk menemukan penyebab gangguan itu. Aku yakin tidak banyak orang yang mau tidur di sana sendirian setelah melewati dua malam serupa itu. Namun aku memutuskan untuk mencobanya sekiranya aku tidak dapat menemukan orang yang mau menemaniku. Si dokter tidak mau mencoba eksperimen itu, dan dia mengatakan bahwa kemungkinan tidak ada seorang pun di kapal yang mau menemaniku.

            Sebentar kemudian aku bertemu si kapten dan menyampaikan ceritaku.

            “Begini,” ucapnya. “Saya akan memberitahukan Anda yang akan saya lakukan. Saya sendiri yang akan menemani Anda mengawasi, dan kita akan mengetahui yang terjadi. Saya yakin kita dapat memecahkannya bersama-sama. Bisa jadi ada orang bersembunyi di kapal ini, yang menyelinap ke perjalanan dengan menakut-nakuti para penumpang.”

            Aku girang atas tawaran si kapten untuk melalui malam nanti bersamaku. Ia mengirim seorang tukang dan memerintahkan dia untuk mengerjakan yang kusuruh. Segera saja kami turun ke kamar. Aku menyuruh agar segala perlengkapan tidur dikeluarkan dari tempat tidur di sebelah atas itu, kemudian kami meneliti tempat itu secara keseluruhan untuk mengetahui kalau-kalau ada papan yang lepas, atau ada bagian pada dinding yang dapat dibuka atau digeser. Kami meneliti lantai lalu membongkar tempat tidur sebelah bawah. Malah tidak ada satu inci pun di ruangan itu yang belum diselidiki dan diuji. Segalanya tertata sempurna dan kamu pun membereskannya kembali seperti sedia kala. Selagi kami menyelesaikan pekerjaan, Robert mampir ke pintu dan melongok.

            “Anu, tuan—ada temuan, tuan?” tanyanya.

            “Kamu benar soal tingkapan itu, Robert,” kataku, dan memberi dia uang yang telah kujanjikan. Lalu si tukang bicara.

            “Menurut saya, tuan,” katanya, “sebaiknya Tuan pindah saja, dan biar saya menutup pintu ke kamar ini dengan setengah lusin sekrup empat inci. Sudah empat nyawa yang hilang dari sini, dalam empat perjalanan. Lebih baik menyerah saja, tuan—lebih baik menyerah!”

            “Saya mau coba untuk satu malam lagi,” kataku.

            Semangatku terbit karena membayangkan kapten akan menemani, dan aku memutuskan agar tidak terintangi dari menyelesaikan persoalan ganjil ini.

 

IV

 

Si kapten adalah jenis pelaut berkepribadian ceria lagi menyenangkan yang keberanian serta ketenangannya dalam kesulitan sewajarnya menggiring dia pada posisi tinggi yang dapat dipercaya. Ia bukan orang yang akan terkecoh oleh cerita ngawur.

            Sekitar pukul sepuluh malam itu, selagi aku mengisap rokok terakhir, ia menghampiriku dan mengajakku menyisi dari para penumpang lain.

            “Ini persoalan serius, Tuan Brisbane,” ucapnya. “Entahkah kita akan merasa kecewa, atau mengalami peristiwa buruk. Saya tidak dapat menertawakan masalah ini, dan saya akan meminta Anda menandatangani pernyataan kalau-kalau ada yang terjadi. Seandainya tidak ada kejadian apa pun malam ini, kita akan mencobanya lagi besok dan besoknya lagi. Siapkah Anda?”

            Maka kami pun turun dan memasuki ruangan itu. Robert mengawasi kami masuk seakan-akan ia yakin bahwa akan ada peristiwa buruk terjadi. Si kapten menutup pintu di belakang kami dan menguncinya.

            “Kita taruh saja tas Anda di depan pintu,” sarannya. “Salah satu dari kita duduk di situ. Dengan begitu tidak ada yang bisa keluar. Apa tingkapannya sudah disekrup?”

            Aku mendapati tingkapannya masih seperti sewaktu kutinggalkan saat paginya. Tentunya tanpa menggunakan semacam batangan, seperti yang sudah aku lakukan, tidak seorang pun akan dapat membukanya. Aku menggeser gorden tempat tidur sebelah atas supaya aku dapat mengamatinya dengan baik. Si kapten duduk di atas tas, dan memintaku untuk menyelidiki ruangan itu secara menyeluruh. Sebentar kemudian aku selesai melakukannya.

            “Tidak mungkin ada manusia yang bisa masuk,” kataku, “ataupun membuka tingkapan itu.”

            “Bagus sekali,” sahut si kapten tenang. “Sekarang kalau kita melihat ada apa-apa, entahkah itu imajinasi saja atau kejadian supranatural.”

            Aku duduk di pinggir tempat tidur sebelah bawah.

            “Pertama kali ini terjadi,” kata si kapten, “sewaktu Maret. Penumpang yang tidur di sini, di tempat tidur sebelah atas, ternyata orang gila. Ia bergegas keluar tengah malam dan mencebur ke laut sebelum ada yang dapat menghentikan dia.”

            “Sepertinya itu kejadian sering,” kataku.

            “Tidak sering—tidak. Baru kali itu saya mengalaminya, walaupun saya pernah dengar itu terjadi di kapal lain. Pada perjalanan yang berikutnya—Anda sedang melihat apa?” tanyanya tiba-tiba.

            Saat itu sepertinya aku tidak memberikan jawaban. Tatapanku sedang terpaku pada tingkapan itu. Tampak olehku bahwa kuningan bajanya mulai berputar dengan sangat lambat—tapi saking lambatnya sehingga aku tidak yakin sekrup itu bergerak sedikit pun. Mendapati arah pandangku, si kapten melihatnya juga.

            “Sekrupnya bergerak!” teriaknya. “Tidak, sekrupnya tidak bergerak,” imbuhnya sejenak kemudian.

            Aku bangkit dan mencoba sekrup itu. Sekrupnya memang jadi longgar; karena aku bisa menggerakkannya dengan kekuatan dua tanganku.

            “Yang aneh,” kata si kapten, “orang kedua yang hilang sepertinya lolos lewat tingkap yang itu. Kami kesulitan karenanya. Saat itu tengah malam, dan cuacanya sangat berat. Katanya salah satu tingkap terbuka sehingga air laut menderas masuk. Saya pun turun dan mendapati semuanya kebanjiran dan tingkapnya terbuka. Nah, kami pun berusaha menutupnya, namun rusak karena air. Sejak itu, tempat ini berbau air laut dari waktu ke waktu. Kami mengira si penumpang itu telah menceburkan diri ke luar, namun kami tidak melihat dia melakukannya. Saya bisa membauinya sekarang, bagaimana dengan Anda?” tanyanya.

            “Ya,” kataku. “Dengan bau ini, tempat ini jadi lembap; tapi ketika kami menyelidikinya pagi ini, semuanya kering sama sekali. Itulah yang paling bukan main. Oh!”

            Lampunya mati. Masih ada penerangan lumayan dari gelas di dekat pintu. Kapal terbanting keras, sehingga gorden tempat tidur sebelah atas terayun jauh ke arah dalam ruangan lalu kembali lagi.

            Seketika itu juga si kapten melonjak disertai teriakan keras mengejutkan; aku berbalik dan melompat ke arah dia. Ia tengah mengerahkan segenap kekuatannya pada sekrup tingkap itu. Sekrup tersebut tampaknya berputar melawan tangannya yang padahal sudah sepenuh daya. Aku menyambar tongkat tebal yang selalu kubawa-bawa, meletakkannya pada lingkatan sekrup lalu menekannya turun dengan segenap kekuataku. Namun kayu yang kokoh itu tahu-tahu patah dan aku pun terjatuh. Ketika aku bangkit lagi, tingkapnya terbuka lebar, sementara si kapten berdiri memunggungi pintu, pucat sampai ke bibir.

            “Ada sesuatu di tempat tidur itu!” jeritnya dengan suara yang janggal, matanya hampir meloncat keluar dari kepala. “Tahan pintu ini sementara aku mengeceknya—dia tidak akan luput dari kita, apa pun itu!”

            Tapi alih-alih mengambil posisinya, aku melonjak ke atas tempat tidur sebelah bawah lalu menjangkau yang berada di tempat tidur sebelah atas itu.

            Sesuatu itu menyerupai hantu, ngerinya tidak terkatakan lagi, dan bergerak di bawah kedua tanganku. Ia seperti jasad pria yang sudah lama tenggelam, namun bergerak dan berkekuatan sepuluh orang hidup. Namun aku menangkapnya dengan segenap daya—benda mengerikan yang basah dan licin itu. Mata putihnya yang tak bernyawa itu tampak melihat padaku dalam gelap; bau air laut yang mengerikan beredar di seputarnya, sementara rambutnya yang berkilap mengikal basah berjuntai menutupi wajah kakunya. Aku bergelut dengan dia; dia balik melawanku dan hampir mematahkan lenganku. Ia menjegal leherku dengan kedua lengannya. Akhirnya aku pun jatuh.

            Ia meloncatiku dan tampak melontarkan dirinya pada si kapten. Saat terakhir aku melihat si kapten berdiri, wajahnya putih dan bibirnya terkatup. Tampak olehku si kapten menubruk makhluk itu keras-keras, sehingga ia juga terjatuh kena wajahnya dan menjerit.

            Makhluk itu bergeming sesaat; namun aku tak dapat berteriak, karena suaraku sudah tidak bersisa. Makhluk itu pun sekonyong-konyong menghilang dan tampak olehku ia keluar lewat tingkap yang terbuka; namun bagaimanakah itu mungkin, lewat lubang sekecil itu, tak seorang pun dapat menjelaskannya. Aku terbaring di atas lantai, sementara si kapten rebah di sisiku. Akhirnya aku bergerak, dan seketika itu menyadari bahwa lenganku patah—tulang kecil di lengan kiri dekat pergelangan tangan.

            Aku bangkit berdiri dan dengan tanganku yang satunya aku berusaha mengangkat si kapten. Akhirnya ia bergerak; ia tidak terluka namun kelihatannya ia hampir tidak sadarkan diri.

 

Nah, kalian ingin tahu selebihnya? Sudah sampai situ saja. Begitulah akhir ceritaku. Setengah lusin sekrup empat inci pun dipakukan pada pintu kamar 105; dan seandainya kalian mau bepergian dengan menginap di kamar itu, kalian akan diberi tahu bahwa kamar itu tidak bisa diisi.

            Aku mengakhiri perjalanan itu di kamar si dokter. Ia merawat lenganku yang patah dan memintaku agar tidak bermain-main dengan hantu lagi. Adapun si kapten sangat pendiam, dan tidak pernah berlayar dengan kapal itu lagi, walaupun kapal itu masih beroperasi. Dan aku juga tidak akan berlayar dengan kapal itu lagi. Pengalaman itu sangat tidak mengenakkan, dan aku pun teramat ketakutan sekali, yang tidak kusukai. Itu saja. Begitulah pengalamanku melihat hantu—kalau benar dia hantu. Pastinya ia sudah tidak bernyawa.[]

 

FRANCIS MARION CRAWFORD (1854-1909) lahir di Italia kemudian mendapat pendidikan di Amerika Serikat dan luar negeri. Ia banyak bepergian, dan keempat puluh novelnya berlatar di negara-negara yang pernah ia tinggali. Ia berpendapat bahwa cerita mesti dituliskan untuk memberikan hiburan. Beberapa di antara cerita pendeknya, salah satunya “The Upper Berth”, berdasarkan pada kejadian supranatural.


Cerpen ini diterjemahkan dari "The Upper Berth" berdasarkan pada versi yang sudah disederhanakan oleh G. C. Thornley, M. A., Ph. D., dalam British and American Short Stories (Longman, Green and Co Ltd, 1969). Cerpen terjemahan ini dapat dibaca juga di Wattpad (tautan tersemat).

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...