Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20210919

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulang pergi ke SMA Rikkyo dari rumahnya di Meguro. Dua jam setiap hari terbuang di kereta untuk bolak-balik ke Saitama! Tapi banyak pekerja kantoran dan lain-lain yang melakukannya, ibunya mengingatkan dia. Begitu pula dengan teman-temannya. Satu jam masing-masing untuk pergi dan pulang tidak sepantasnya dikeluhkan. Bahkan sekalipun dia mesti berganti kereta sampai empat kali.

            “Coba baca buku,” kata mereka. “Kamu kan suka baca—manfaatlah kesempatan itu.”

            Shuya memang suka baca. Dan ternyata dia suka menulis juga. Kegiatan favoritnya sepulang sekolah adalah Klub Sastra. Anggotanya menghabiskan sebulan untuk mengarang haiku, sebulan untuk cerpen, dua bulan skrip, dan satu semester untuk menulis novel. Untuk novel rasanya berat. Tapi sampai waktu itu semuanya berjalan menyenangkan.

            Sayang sekali Rikkyo pindah ke pinggir kota pada 1960. Sebelumnya, sekolah itu berlokasi di Ikebukuro—Shuya bisa sampai ke sana dalam waktu singkat. Rikkyo adalah salah satu SMA Barat pertama di Jepang. Awalnya sekolah itu dibangun di Tsukiji, dekat pasar induk ikan, namun bangunannya hancur oleh Gempa Bumi Besar pada 1923, yang merusakkan sebagian besar Tokyo. Tiap kali dipindahlokasikan, sekolah itu bertambah luas.

            Libur musim semi menjelang. Kemudian pada bulan April akan ada banyak siswa baru pecicilan yang memulai tahun ajaran. Shuya sangat ingin menjadi salah satu siswa yang berpengalaman. Sekarang ia sudah terbiasa dengan rutinitas perjalanan ulang-aliknya. Di kereta jalur Yamanote biasanya tidak ada tempat duduk yang tersisa, namun perjalanannya cepat. Shuya biasanya mendapat bangku di perjalanan berikutnya. Dengan begitu ia bisa menempatkan diri dan selama 13 menit berikutnya membaca novel mini di telepon selulernya. Shuya memiliki ponsel Docomo biru pirus dengan tali gantungan tikus hitam plastik. Ia mendapat ponsel itu di SMA—tikusnya merupakan hadiah dari kakaknya, karena Shuya lahir pada tahun Tikus.

            Hari ini Jumat, agak dingin, namun cerah. Besok kemungkinan sama saja. Shuya agak menggigil di peron. Berandai-andai dia membawa jaket hari ini, berharap besok dia ingat. Tapi begitu berdesakkan dalam kerumunan berdiri kereta putar, ia lupa sudah kedinginan. Ah, Minggu ia bisa di rumah saja dan ibunya pun akan membiarkan dia tidur sampai pukul sebelas. Tapi, sekarang, turun di Ebisu, dapat tempat duduk di kereta menuju Ikebukuro. Shuya mengeluarkan telepon seluler lalu membukanya. Baca apa, ya? Kebanyakan novelet ponsel itu kisah percintaaan yang tolol. Shuya suka cerita-cerita hantu serta fiksi ilmiah. Yang begitu agak lebih sulit ditemukan. Tapi ia menemukan satu yang kelihatannya menarik:

 

Mestika Pantat

Jauh di pegunungan sungai-sungainya sehijau batu giok. Bening pula. Orang bilang, ikan gurami yang berenang di sini sama sekali tidak berasa lumpur. Pada awal Juni, kunang-kunang merelap di sepanjang bantaran membentuk kabut yang berkelap-kelip. Sekarang ini sudah tidak banyak tempat ada aliran begini jernih dan kunang-kunangnya pun saat menetas menjadi bintang yang berpendaran. Mereka tidak sulit ditangkap. Kita bisa menjebaknya menggunakan mahkota bunga lonceng dan membuat lentera mungil. Anak-anak gadis yang senang melakukannya.

            Aku tahu dulu ada makhluk lain yang juga tinggal di sungai-sungai ini. Aku pernah melihatnya sekali. Seekor kapa. Sehijau sungai, dengan kulit berbonjol-bonjol seperti mentimun dan rambutnya awut-awutan serupa rumput sungai. Kurus kering, badannya setinggi anak manusia umur tiga tahun, kapa itu sedang berjongkok di pinggir sungai, membilas sesuatu seraya berkomat-kamit. Saking sibuk dengan pekerjaannya, kapa itu tidak memerhatikanku yang memandangnya dari seberang sungai. Matahari bersinar terputus-putus menembus potongan-potongan kabut yang naik dari perairan. Sinarnya mengilaukan apa pun itu yang sedang dibasuh si kapa secara berhati-hati.

            Benda apakah yang sedemikian berharga? Aku penasaran. Aku berpura-pura menggeliat-geliutkan jemariku di air, seakan-akan mau menakut-nakuti cebong dan sama sekali tidak memedulikan apa pun di seberang bantaran. Bisakah si kapa mengetahui bahwa aku melihat dia? Aku harap tidak. Baru kemarin, sepupu temanku, yang sedang berkunjung dari kota dan tidak mengakrabi arus serta bebatuan sungai, terbentur kepalanya pada batu besar lantas tenggelam. Baru kemudian dia ditemukan di hilir pada hari itu juga. Aku mendongak lagi. Si kapa sudah pergi.

            Kapa tidak memiliki jiwa, namun mendambakan memilikinya. Yang itulah sebabnya dia selalu mencari orang yang lengah sehingga bisa diseretnya ke dasar sungai. Begitu orang itu berhenti memberontak dan menggelepar, akhirnya lemas, si kapa mengulurkan tangannya yang hijau ceking itu ke dalam anus orang itu untuk mengeluarkan mestika pantat. Orang boleh saja mengira bahwa jiwanya berada di hati atau mungkin kepala, tapi kenyataannya ada di usus. Kapa mengetahuinya. Inilah mestika pantat nan berharga, dan selagi kita hidup, di sinilah terdapat jiwa.

            Aku tidak ayal lagi bahwa pada hari itu aku berjumpa kapa yang sedang mencuci mestika pantat yang baru dicabut. Kuharap dia puas. Kuharap dia bisa menjaganya sehingga tidak merasa perlu mengambil lagi. Tapi boleh jadi, seperti manusia, kapa tidak puas dengan satu saja kalau ada kesempatan yang lain. Entah apa yang memuaskan kapa. Mungkin mereka hanya menyukai rasanya …. Meski begitu, aku tidak pernah berenang di sungai sehijau giok yang bening itu. Aku juga tidak memakan ikan gurami gemuk ataupun, sungguhan, menikmati kelip redup kunang-kunang lagi.

 

            Shuya menutup ponselnya. Ia belum pernah melihat kunang-kunang di Tokyo. Selalu ada banyak orang yang naik di stasiun Shibuya. Mereka berhimpitan seperti sarden kalengan. Muncul pengumuman seperti biasanya.

            “Mohon aktifkan mode hening pada ponsel Anda.”

            Kenapa juga sih mereka harus repot-repot bilang, batin Shuya. Gerbong itu sepenuhnya sunyi. Tidak seorang pun bicara kepada yang lain, apalagi pada ponsel. Begitu banyak orang dalam ruangan yang sempit lagi kecil begini. Meski begitu, hampir semua orang sedang membaca. Shuya pun menggulir lebih banyak cerita. Lalu dia menemukan:

 

Lubang

Tornado yang mengerikan itu memudar di kejauhan, meninggalkan desa itu menjadi rawa-rawa rusak yang terdiri dari sawah-sawah hancur, pohon-pohon tercabik, serta rumah-rumah roboh. Pakaian, mobil, buku, botol, kursi, sepatu, dan lukisan terperam dalam reruntuhan remuk. Segala yang tersisa telah menjadi sampah. Sementara orang pada bertetesan balik ke yang dulunya rumah mereka, walikota mengimbau semua orang agar menguatkan diri bahwa setidaknya mereka masih hidup.

            “Besok kita akan mulai bersih-bersih ….”

            Maka demikianlah yang terjadi. Selama berminggu-minggu sesudahnya, orang-orang memilah sisa-sisa desa mereka. Jalan-jalan dibersihkan, batas-batas properti dipulihkan. Suatu hari ada yang memerhatikan munculnya lubang yang sebelumnya tidak ada di situ. Setidaknya, tidak seorang pun ingat ada yang seperti itu di tempat tersebut. Mereka memutuskan untuk mendorong sampah yang telah diratakan dari reruntuhan bangunan ke dalam lubang itu. Lenyaplah sampah itu ke bawah. Sesudahnya, pembersihan berlangsung jauh lebih cepat. Segalanya yang dibuang ke dalam lubang itu menghilang begitu saja.

            Suatu hari, muncul suara melayang-layang di langit. Asalnya entah dari arah mana persisnya, hanya saja dari suatu tempat di atas sana.

            “Hei! Lagi apa kalian di bawah sana?”

            Kerikil bergemerutukan ke tanah. Yang mendengar hanya seorang pekerja bangunan yang pada saat itu baru saja melepas helmnya untuk menyeka keringat dari dahi. Ia mengedarkan pandang mencari suara siapa itu. Para rekannya tengah sibuk menjalankan buldoser. Ia pun mengangkat bahu dan lanjut menyekop.

 

            “Ikebukuro …. Ikebukuro …. Perhatikan bawaan Anda ….”

            Shuya menutup teleponnya dan berjuang mencapai pintu dalam gelombang kerumunan. Ia harus naik kereta ke Saitama dari sini. Ia pun berlari kencang supaya tidak ketinggalan. Dari ini, ia akan melawan keramaian, sebab kebanyakan orang datang memasuki Tokyo dari pinggir kota. Ia tidak pernah kesulitan mendapat tempat duduk. Setelah menempatkan diri, ia membuka lagi ponselnya.

 

            Setelah beberapa lama, desa-desa tetangga yang juga mengalami kerusakan akibat tornado mendengar tentang lubang yang sepertinya tidak berdasar itu, dan menanyakan apakah mereka dapat membuang sampah mereka ke situ juga. Orang-orang desa itu pun melihat peluang, dan mulai menarik bayaran untuk jasa pemanfaatan lubang itu. Segera saja, kantor rekonstruksi setempat mendengar kabar ini dan mereka pun mengontrak agar dapat membung semua sampah dari proyek-proyek pemugaran ke dalam lubang itu. Pastinya pemerintah pusat tergerak untuk mencari tahu, dan tidak lama kemudian semua politikus membuangi dokumen yang sebaiknya tidak diketahui surat kabar ke dalam lubang itu. Lenyaplah semuanya itu ke bawah tanpa jejak. Pabrik kimia tertimpa kecelakaan yang menghasilkan timbunan sampah terkontaminasi. Kenapa tidak memasukkannya ke lubang itu saja? Tapi, tidak semua orang menganggapnya sebagai gagasan bagus.

            Suatu hari seorang remaja lelaki dari desa itu sedang berjalan-jalan dekat lubang itu. Ia mengambil segenggam batu dan berlagak hendak melontarkannya ke dalam situ.

            “Sebaiknya jangan,” temannya memperingatkan.

            “Kenapa tidak?” Ia melontarkan bebatuan itu keras-keras ke dalam lubang.

            “Hei! Lagi apa kalian di bawah sana?” teriaknya sembari melakukan itu.

 

Selesai sampai situ.

            Apa-apaan ini …? Shuya mengejapkan sebelah mata. Ia sampai lupa awal cerita, sehingga ia menggulir balik ke atas halaman. Oh. Begitu, ya. Ha ha. Lumayan juga.

            Siapa yang menulis ini, ya? Namanya baru dengar. Shuya cukup yakin bagaimanapun juga itu nama palsu. Ia membayangkan salah seorang gadis di kelasnya yang dongkol saat mengetahui cerita percintaan kesukaannya ditulis seorang pria paruh baya. Dalam cerita itu, si narator bersuara selayaknya seorang remaja perempuan, sehingga gadis itu mengidentifikasikan diri sepenuhnya.

            “Iyuh—menjijikkan!” seru dia.

            “Kenapa?” tanya Shuya.

            “Soalnya … lagian, ini cerita bohongan.”

            Shuya memikirkannya. Bagaimanapun juga, bisa dibilang semua fiksi itu kebohongan. Apa masalahnya kalau ada pria paruh baya yang menulis selayaknya seorang gadis remaja? Mereka memperdebatkan persoalan ini di Klub Sastra. Apakah penting mengetahui tentang si pengarang untuk dapat menghargai karyanya? Atau, begitu suatu cerita dituliskan, apakah cerita tersebut melayang bebas dari pengarangnya? Menurut pendapat Shuya, pria tua yang bisa menulis seperti seorang gadis itu justru patut dikagumi. Itu yang namanya kreatif! Malah, lebih kreatif daripada gadis yang menulis seperti gadis—yang, sering kali, cukup membosankan.

            Kereta itu hampir mencapai pemberhentian Shuya selanjutnya, Asagiridai. Tujuh menit lagi berjalan ke sisi utara stasiun untuk mengejar sambungan berikutnya. Masih ada waktu untuk satu cerita lagi. Ia sudah menemukan cerita lain yang mau dibacanya.

 

Perjalanan Baru ke Angkasa

Pada tahun 1960-an, tampaknya tidak masuk akal mengandaikan bahwa dalam lima puluh tahun lagi, kita dapat berbulan madu ke bulan jika kita menghendakinya. Pastinya, kita memperkirakan bahwa pada 2010 manusia setidaknya akan sudah dapat melanjutkan ke Mars, atau bisa saja lebih jauh.

            Tapi ternyata, manusia lah yang menjadi masalah. Kerapuhan tubuh dan pikiran manusia takluk pada radiasi ganas di luar kepompong atmosfer kita … kita lah mata rantai yang lemah. Maka sebuah tim ahli genetika bekerja sama dengan NASA untuk mengembangkan manusia dengan karakteristik yang diambil dari hewan—perilaku yang dapat memberikan manusia kegunaan di angkasa.

            Saya seorang reporter ilmiah. Saya menulis ini dalam perjalanan mengunjungi lab rahasia untuk melaporkan kemajuan mereka. Saya diantar ke kantor Dr. Koda, pemimpin lab. Ia membawa saya dalam tur untuk melihat yang telah dikerjakan tim itu. Serum genetik telah diciptakan. Serum itu dapat dimasukkan dalam dosis yang bervariasi, tergantung pada berapa lama efek yang diinginkan agar bertahan. Di ruangan pertama yang kami masuki, sekelompok pemuda sedang membungkukkan badan di lantai. Mereka melompat begitu pintu membuka—tapi tidak sebagaimana lazimnya. Tungkai kaki mereka yang sangat kuat itu mengangkat mereka sampai hampir mencapai langit-langit.

            “Gen kodok,” kata doktor. “Dengan gen itu mereka mudah menjangkau bagian mana saja yang perlu diperbaiki di dalam kendaraan angkasa.”

            Di pojok ruangan lain, seorang pria besar berdiri tenang. Entah apa yang sudah diberikan padanya.

            “Kekuatan sapi jantan,” saya diberi tahu. “Berguna untuk membangun koloni setelah misi mendarat.”

            Di ruangan yang lainnya lagi, seorang wanita meringkuk tidur di sofa. Matanya hampir tidak terbuka saat kami masuk.

            “Kungkang,” kata doktor. “Untuk sebagian besar waktu perjalanan, para penjelajah mesti dapat memperlambat metabolisme mereka dengan banyak tidur. Selain itu,” ia menambahkan, “kungkang tidak akan merasa bosan ….”

            Satu demi satu saya diperlihatkan berbagai subjek yang telah diberikan esens genetik dari hewan yang berlainan. Saya terkesan dan menanyai Dr. Koda apakah ada kegagalan.

            “Kami telah mencoba ikan,” jawab doktor. “karena akan berguna apabila manusia dapat bernapas dalam air. Tapi yang terjadi para subjek justru menumbuhkan sisik ….”

            Dengan rajin saya mencatat segalanya.

            “Mungkinkah,” tanya saya, “saya mengamati transformasi yang sedang terjadi? Tidak perlu yang rumit … cukup contoh yang sederhana saja.”

            “Baiklah, mari kita lihat …. Saya punya sebotol kecil esens monyet. Ini yang pertama-tama kami kembangkan, karena yang paling dekat dengan genom manusia.”

            “Hebat!” kata saya, sementara doktor itu meraih tabung kecil yang ada di rak. “Berapa lama efeknya bertahan?”

            “Oh, sekitar sepuluh menit,” jawabnya, sembari membuka tabung itu kemudian meneguk isinya.

            Segera saja esens monyet itu menampakkan diri. Doktor itu melompat ke mejanya dan meregangkan mukanya menjadi seringaian yang lentur. Pertunjukan ini begitu lucu sehingga saya tertawa. Dan tawa saya mendorong jiwa monyetnya untuk terus mempertontonkan tampang konyol. Saya tertawa begitu keras sampai menjatuhkan pena. Terengah-engah, saya pun mencari keran air. Karena tertawa terus saya jadi haus. Doktor-monyet itu segera saja memerhatikan yang saya inginkan lantas melonjak-lonjak ke luar ruangan. Beberapa menit kemudian ia kembali membawa satu mug gelas yang tinggi berisi cairan kuning berbusa.

            “Terima kasih!” Mengira cairan itu bir, saya pun meneguk banyak-banyak ….

 

            Shuya tidak dapat menahan dengus tawa. Jebakan monyet … ia sama sekali tidak memperkirakannya dari sebuah cerita fiksi sains dengan awalan yang melangit. Ia masih tersenyum saat menonaktifkan mode senyap di ponselnya sembari turun dari kereta. Lalu ia menelepon Ryu temannya agar bertemu di gerbang sekolah.

            Klub Sastra bertemu pada pukul 2.30 sore ini untuk sesi terakhir pada tahun ajaran itu. Shuya hendak mengusulkan supaya mereka semua mencoba menulis novelet ponsel selama liburan musim semi, kemudian mengunggahnya atas nama klub itu pada awal semester berikutnya. Ia menyampaikan gagasan itu kepada Ryu.

            “Jadi kita semua anonim, ya? Penulisnya tidak disebutkan?”

            “Iya.”

            “Kamu mau menulis apa?”

            “Belum tahu,” kata Shuya. “Aku baru dapat ide ini saja.”

            Ryu ragu-ragu. “Hidupku terlalu membosankan. Aku tidak tahu mau menulis apa.”

            “Pakai imajinasimu. Kamu kan tidak mesti menulis tentang kehidupanmu sendiri.”

 

=

 

Sekolah usai dan semua orang yang ikut klub menuju ke tempat pertemuan masing-masing. Orang pada membeli jus dan camilan untuk merayakan. Ketika Shuya berdiri hendak menyatakan usulannya untuk libur musim semi, ruangan itu tahu-tahu mulai bergoyang. Gelas-gelas terlempar ke lantai meskipun orang pada berpegangan ke pinggir meja. Lampu berkelap-kelip dan buku berjatuhan dari rak.

            “Gempa!” murid-murid menjerit.

            “Ke bawah meja!” ada yang berteriak.

            Mereka telah sering melakukan latihan ini. Serta-merta, para murid menjauh dari jendela dan merunduk ke bawah meja. Tiap sekitar lima menit, getaran mengakibatkan bangunan bergemuruh. Ada beberapa murid yang mengeluarkan ponsel untuk menelepon rumah, tapi sambungannya tidak jalan.

            Setelah goyangannya reda, beberapa orang berjalan ke stasiun kereta di Niiza, namun tidak ada kereta yang beroperasi. Mereka kembali ke sekolah. Kebanyakan murid, terutama yang komuter, memutuskan untuk menginap di sekolah. Kepala sekolah berkeliling membawa pelantang suara, mengingatkan para murid agar tidak berpencar dari teman-teman sekelasnya dan tidak kembali ke dalam bangunan. Makanan akan dibagikan, begitu pula dengan selimut dari persediaan darurat sekolah. Gempanya berpusat di sebelah utara, dari Tohoku, dan juga ada tsunami besar …. Baru itu saja yang diketahui Shuya sekarang.

            Udara menjadi dingin. Shuya lagi-lagi berandai dia membawa jaket. Ia duduk beradu punggung dengan Ryu, yang mengisap ingus pelan-pelan.

            Shuya mengeluarkan buku catatan dari ranselnya. Guru IPA pernah membahas tentang gempa bumi dan ikan lele minggu lalu. Guru tersebut menceritakan mitos tentang ikan lele—dulu orang percaya bahwa ada ikan lele raksasa tinggal di bawah tanah, dan saat ikan itu menggeliat, akibatnya bumi berguncang. Baru-baru ini, ilmuwan mengamati bahwa ikan lele sensitif khususnya terhadap perubahan medan listrik di atmosfer. Dan seiring dengan ini, kenyataannya tepat sebelum gempa bumi terjadi, ikan lele menjadi gelisah.

            Ini sepertinya bibit yang bagus untuk cerita fiksi sains, pikir Shuya. Tapi kenapa harus ikan lele? Ada monster yang hidup di bawah tanah, tertidur tenang sampai ada suatu hal yang membangkitkan dia ….

            Seketika itu gempa susulan meriak di halaman sekolah. Ryu mulai merengek, sehingga Shuya menonjok bahunya pelan.

            “Ingat cerita tentang ikan lele itu?” tanyanya. “Di bawah tanah?”

            Ryu mengangguk.

            “Nah, mungkin saja itu sama sekali bukan ikan lele. Mungkin itu dinosaurus, atau … tahu kan, yang kayak Gozila atau apalah ….”

            Ryu berhenti menyedot ingus.

            “Dan mungkin ada sebongkah batu istimewa yang harus diperbaiki posisinya supaya monster itu diam lagi ….”

            Ryu memerhatikan. Shuya melihat batu itu dengan mata batinnya. Warnanya abu-abu gelap dan permukaannya halus, persis seperti batu biasa. “Orang harus punya kemampuan tinggi supaya bisa merasakan kekuatannya,” katanya pada Ryu.

            “Kemampuan macam apa?” Ryu penasaran.

            “Kemampuan mengamati,” tegas Shuya. “Melihat hal-hal yang tidak diperhatikan oleh orang biasa.”

            Ia menetapkan bahwa batu itu sebagian besar terpendam dalam bumi, sehingga yang kelihatannya seperti batu biasa yang diam di tanah ternyata serupa puncak gunung es dari sebongkah batu yang sangat besar. Seketika, ide tersebut mengilhamkan puntiran untuk mengakhiri cerita.

            Shuya yang telah terinspirasi itu pun membuka buku catatannya lantas mulai menulis dengan garangnya.[]

 

Liza Dalby seorang antropolog budaya dan penulis yang kariernya berfokus pada Jepang dalam karya nonfiksi (Geisha, Kimono), fiksi (The Tale of Murasaki, Hidden Buddhas), serta memoar (East Wind Melts the Ice). www.lizadalby.com


Cerpen ini diterjemahkan dari "Shuya's Commute" dalam Tomo: Friendship Through Fiction—An Anthology of Japan Teen Stories, disunting dan diberi kata pengantar oleh Holly Thompson, diterbitkan oleh Stone Bridge Press, California, edisi pertama, 2012.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...