Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20210912

Welcome to the N. H. K. Bab 09 Hari-hari Penghabisan Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)


Secara umum, narkoba dapat digolongkan ke dalam salah satu dari tiga kategori besar: penyemangat, penenang, dan psikedelik. Penyemangat adalah narkoba yang dapat membuatmu energik. Kokain dan stimulan merupakan narkoba penyemangat yang terkenal. Penenang merupakan narkoba seperti heroin, yang bikin lembam. Aku tidak pernah mencobanya, sehingga tidak ada pengalaman langsung, tapi kelihatannya sih mengonsumsi obat-obatan tersebut rasanya sangat enak. Sedangkan psikedelik merupakan halusinogen. LSD dan jamur ajaib mewakili kategori tersebut.
Seringnya sih, aku lebih suka halusinogen legal. Efek sampingnya sedikit—tidak seperti obat-obatan penyemangat dan penenang—dan lebih daripada itu, obat-obatan tersebut mudah diperoleh karena legal.
Pada hari setelah jalan-jalan bersama Misaki, aku mengonsumsi obat-obatan lagi. Aku memutuskan untuk mengambil pendekatan yang agak agresif.
Pertama-tama, untuk pendahuluannya adalah tiga puluh miligram AMT. AMT merupakan antidepresan yang telah diteliti oleh para ilmuwan Rusia. Setelah mereka menemukan bahwa dosis besar dapat mengakibatkan efek halusinogen, obat tersebut dilarang untuk penggunaan medis. Meski begitu, pada dasarnya itu hanyalah antidepresan. Setelah mengonsumsinya, selama dua jam pertama, akan ada serangan mual yang parah. Tapi, begitu berakhir, rasanya sepenuhnya menyenangkan. Obat tersebut juga paling baik untuk melawan halusinasi buruk.
Selanjutnya, aku mendidihkan biji tumbuhan harmal lalu meminum lapisan kuning pada cairan itu yang mengambang di permukaan. Harmal, tumbuhan yang kukira merupakan famili rujak polo, berasal dari Tibet dan mengandung komponen psikedelik tipe Indole, harmin dan harmala. Memakainya itu sendiri tidaklah menghasilkan efek tertentu. Tapi, bila dikombinasikan dengan halusinogen seperti jamur ajaib atau DMT, efeknya menguat lusinan kali lipat. Itulah yang dinamakan dengan metode Ayahuasca. Karena harmal merupakan penghambat MAO, penggunaannya dapat mengancam nyawa apabila dikonsumsi bersama keju atau produk-produk susu-susuan lainnya. Tapi, asalkan jenis makanan tersebut dihindari, semestinya sih tidak akan menimbulkan masalah.
Nah, kesempatanku yang sebenarnya telah tiba. Kesadaranku telah meredup, dan sudut-sudut penglihatanku pun berguncang liar—tapi di sinilah, lawatanku yang sebenarnya akan dimulai. Aku akan terus dan terus melaju!
Setelah menggilas lima gram jamur ajaib kering dengan cobek dan muntu, aku menggelontor serbuk itu dengan seteguk air jeruk. Sudah begitu, aku memberanikan diri dengan memasukkan sepuluh miligram kristal 5-MeO-DMT. DMT merupakan obat yang hanya mengandung komponen efektif dari tumbuhan-tumbuhan halusinogenik seperti chacropanga, yang digunakan penduduk asli Amazon dalam upacara-upacara Ayahuasca. Meskipun legal, obat ini katanya merupakan satu di antara yang terkuat yang dapat ditemukan. Berdasarkan sebuah teori, efek-efek halusinogeniknya seratus kali lebih kuat daripada LSD. Benar-benar psikedelik pamungkas.
Dalam sedetik saja, aku telah lumpuh! Obat-obatan itu telah bekerja!
The Satou Special—metode pamungkasku yang hebat, ditemukan melalui penelitian dan uji coba—telah komplet.
Dengan memadukan secara efektif empat tipe obat menjadi satu koktail, aku dijanjikan perlawatan pamungkas, yang obat ilegal sekalipun tak akan dapat menjangkaunya. Dengan tolakan keras, seolah-olah mengendarai pesawat roket, aku terlontar jauh-jauh ke luar angkasa. Waktu terhenti sepenuhnya. Angkasa mulai melengkung seluruhnya. Ragaku menghilang.

“Gawat ini, Satou. Aku menemukan hal yang dahsyat! Aku mendapatkan sebuah epifani!” Yamazaki mengumumkan.”Ini parah, parah banget.”
Aku berusaha mengatakan sesuatu, tapi mulutku tak mau bergerak.
Yamazaki menjadi rusuh. “Kamu dengar? Dengar baik-baik: Ini benar-benar parah!”
Karena tidak bisa berbuat apa-apa lagi, aku mendengarkan baik-baik.
Seraya mengangkat tubuh setegak-tegakknya serta memasang seringai terlebar yang dapat dibayangkan, Yamazaki berkata, “Aku dapat membuktikan secara logis bahwa aku adalah satu-satunya Tuhan yang menciptakan alam semesta!”
Matilah aku.
Kemudian aku hidup lagi.
“Lihatlah, aku aku membersihkan kamarmu ini sekarang, dengan menggunakan kekuatan superku.” Yamazaki mengarahkan jarinya kepada sampah yang berserakan di lantai dan berseru, “Bergeraklah!”
Tentu saja, sampah itu tidak bergeser barang setitik pun.
“Hei! Aku perintahkan kamu! Kenapa kamu menentangku?” Yamazaki murka.
Selagi mengamati situasi ini, aku merasakan ada yang terbit di dalam diriku. Suatu sensasi aneh menggelegak dari lubuk-lubuk terdalam tubuhku. Seraya bersedekap, aku memikirkan perasaan ini secara saksama. Akhirnya, setelah yang terasa seperti selama-lamanya, aku menyadari apa gerangan itu. Aku tahu, ini adalah ….
Rasa mual! Aku diserang mual parah. Aku berusaha lari ke kamar mandi, tapi jalan ke sana demikian menantang. Kedua kakiku tak dapat bergerak maju. Lorong serasa merentang jadi terowongan sepanjang setengah kilometer. Kamar mandi begitu jauhnya. Bisakah aku mencapainya? Dapatkah aku sampai ke kamar mandi sebelum memuncratkan muntah ke mana-mana?
Aku akan baik-baik saja. Tenanglah.
Yamazaki baru saja mengatakannya. Ia mengatakan, “Akulah Tuhan.”
Tapi aku tahu. Aku tahu bahwa kata-katanya itu sama sekali salah. Bagaimana aku mengetahuinya? Sebab Aku lah Tuhan! Aku baru saja memastikan kebenaran itu sebentar lalu, menggunakan proses pemikiran logis yang menyeluruh.
Aku pasti akan sampai pada waktunya. Akulah Tuhan. Aku akan sampai ke kamar mandi pada waktunya.
Aku berhasil.
Sembari membungkukkan diri di depan toilet, muntahlah aku. Sesudahnya, aku merasa jauh lebih baik. Lantas, aku menjadi energik. Aku merasa sangat nikmat. Meloncat-loncat pelan aku kembali ke kamar, lantas kutemukan Yamazaki tengah berjongkok. Ia masih menyeringai.
“Ini buruk. Anak-anak SD itu buruk.” Sambil bergumam pelan, ia terlihat seperti tengah memikirkan suatu perbuatan kriminal.
Karena suatu sebab, keadaannya itu memicu suatu perasaan déjà vu yang teramat kuat. Yang semacam ini sudah pernah terjadi, bukan …? Selagi aku memikirkannya, sekonyong-konyong sepuluh perasaan déjà vu yang keras secara berturut-turut menyerangku. Segala yang kulihat sudah pernah terjadi.
Kuputuskan untuk mengajak Yamazaki membicarakan tentang sensasi ini. Sejenak kemudian, aku menjadi tak yakin atas yang sebenarnya tengah berlangsung. “Eh, apa kita sudah pernah membicarakan soal ini?”
“Bicara apa kamu, Satou? Aku enggak tahu apa—“
“Tunggu sebentar. Biar kupikir dulu baik-baik.”
Sembari menelungkup di lantai, aku berpikir sekeras mungkin. Selagi begitu, aku bisa ingat …. Aku adalah prajurit dari suatu peradaban kuno beberapa ribu tahun yang lalu, yang telah bertransmigrasi melintasi ruang dan waktu hingga datang ke dunia ini. Tentu saja, kuputuskan untuk menyimpan penyingkapan ini dari Yamazaki. Lagi pula, ini merupakan rahasia yang teramat penting.
Sebentar kemudian, Yamazaki memecah pikiranku. “Bernapaslah. Kamu sekarat tuh.”
Aku pun mengambil napas. Tersadarlah aku. Sungguh aku berterima kasih kepada Yamazaki, merenungkan betapa dunia ini bersalutkan cinta. Aku menundukkan kepalaku dan mengatakan, “terima kasih, terima kasih.”
Akan tetapi, seakan-akan hendak mengimbangi kembali hidupnya aku, Yamazaki tahu-tahu bertingkah seolah-olah mengalami nyeri fisik yang hebat. Seraya mencengkeram lehernya, ia berguling-guling di lantai, menggeliat-geliat kesakitan. Saat kutanya, “Kenapa?” ia hanya mengeluarkan jeritan bengis serta, tanpa berkata apa-apa, terus saja berkejang-kejang.
Akhirnya, ia menjumput sebuah buku tulis serta pena bolpoin untuk mengomunikasikan persoalannya kepadaku. Dengan kedua tangan yang gemetar, ia menuliskan sesuatu dalam buku tulis itu.
Perlu waktu untuk mengartikan huruf-hurufnya secara saksama: “Aku lupa caranya menggunakan suaraku.”
Yamazaki mencengkam lehernya, terlihat sengsara. Aku menggebuki punggung dia sekeras-kerasnya.
“Aduh!” ucapnya, lantas mengacungkan jempolnya untukku. Senyum lebarnya kembali.
Aku putuskan sudah waktunya kami keluar rumah. Saat itu sudah tengah malam, sehingga aku tidak khawatir kami bakal terlihat oleh polisi atau tetangga.
Kami menuju ke arah taman perumahan. Yamazaki berjalan seperti robot. Mungkin ia memang robot. Pada akhirnya, mungkinkah aku punya pemikiran yang seperti itu sekaligus menjadi manusia? Pikiran ini sedikit ganjil.
Seketika itu, aku coba membanting-bantingkan kepalaku pada lampu jalan di taman. Parah: tidak terasa sakit. Kepalaku sama sekali tidak terasa nyeri. Aku memang robot ….
Hingga, aku mendapatkan suatu kebenaran baru.
Biarpun begitu, taman malam-malam begini tampak cantik. Walaupun sumber cahayanya cuma lampu jalan, taman bersinar dan berkilauan bak foto yang diambil dengan menggunakan teknik long exposure. Taman ini begitu semarak. Segalanya berdenyut-denyut oleh kehidupan: derit lembut bangku tua, napas teratur pepohonan besar yang berbaris di jalan, liukan dinamis ranting-ranting dan daun-daun. Semua ini, setiap hal yang tersisa ini, begitu hidup.
Selagi aku terpaku oleh keadaan itu, Yamazaki berkata, “Ada musik.”
Aku mendengarnya juga. Dari suatu tempat di taman ini, dimainkan musik yang tak terperikan indahnya.
Kami mencari sumber musik itu—dengan menyibak jalan menembus rerumputan, melongokkan kepala ke bawah bangku, menyisiri taman beberapa lama—ketika, akhirnya, kami menemukan sebuah alat pelantang suara. Alat tersebut terbenam di balik akar-akar pohon terbesar dekat jalan.
Akan tetapi, ini aneh. Kami tidak benar-benar memahami cara kerjanya alat tersebut. Aku dan Yamazaki pun memikirkannya bersama-sama. Kami menyimpulkan bahwa alat ini merupakan sebuah “lubang putih”, yang mengeluarkan benda-benda alih-alih mengisapnya masuk.
Kami berjalan memasuki lubang putih itu dan menongol dekat sebuah danau yang indah. Lambat-lambat Yamazaki melepas pakaiannya lalu terjun dengan kepala terlebih dahulu ke dalam danau itu. Tetapi …. “Argh! Ini tuh kotak pasir!”
Tampaknya danau itu, kenyataannya, sekadar kotak pasir. Tapi penampakannya benar-benar menyerupai danau bagiku. Aku putuskan tak bisa memercayai perkataan Yamazaki itu.
Bagaimanapun juga, rasanya seolah-olah waktu tengah mempermainkan kami. Awalnya, kami kembali ke masa lalu, dan sekarang kami menuju ke masa depan. Aku memenungkannya. Kalau begitu kapankah “sekarang” itu?
“Hei, Yamazaki. Sekarang hari apa sih?”
Tak ada jawaban. Sepertinya ia sudah balik ke rumah.
Karena menjadi sedih, aku pun memanjat masuk ke dalam semak-semak, memilih tempat kami meletuskan bom pada malam Minggu.
Di dalam semak-semak itu ada aku dan Yamazaki—dari tiga hari lalu!
“Baiklah, bomnya akan meledak tiga menit lagi. Mundurlah jauh-jauh.”
Aku, aku, dan Yamazaki pun mundur.
“Aku ingin menjadi seorang yang revolusioner, tapi mimpi itu enggak terwujud. Aku ingin jadi prajurit, tapi mimpi itu enggak terwujud. Ayahku sekarat, sehingga mau enggak mau aku harus pulang kampung. Entah salah siapakah itu. Sepertinya ada penjahat di luar sana entah di mana. Aku ingin meledakkan dia, seperti di film-film Hollywood, dengan bom ini. Tahu kan ….”
Karena aku hanya bisa melihat punggung kami, aku tidak bisa mengecek ekspresi Yamazaki saat mengatakan itu. Tapi aku sudah tahu.
“Hah? Sudah tiga menit, tapi kok belum meledak juga.” Yamazaki melangkah ke arah bom itu. Seketika itu, aku mendengar dentuman keras, dan tumbanglah Yamazaki.
Aku tahu. Aku tahu dia menangis. “Ini enggak ada kekuatannya sama sekali. Bom yang sudah kubuat dengan susah payah ini dayanya cuma setara beberapa petasan. Payah nih. Aku mau pulang kampung saja. Sampai jumpa.”
Maka, pulanglah ia ke kampung halaman.
Saat aku kembali ke apartemenku, hanya boneka anime seukuran manusia peninggalan Yamazaki yang menantiku. Ia bertanya, “Kamu enggak kesepian?”
“Enggak, aku enggak kesepian ….”

Pada hari yang cerah lagi hangat itu, aku pergi jalan-jalan bareng Misaki. Acara itu terkembang sama sehatnya dengan kencan anak-anak SMP di pedesaan.
Kami naik kereta ke kota. Orangnya ramai sekali, sehingga kami hampir-hampir terpisah. Kami sama-sama tidak punya telepon seluler. Maka, kalau kami sampai terpisah, berakhirlah segalanya. Di kota besar begini, kami tidak akan bisa saling bertemu lagi. Kami harus berhati-hati.
Walau bagaimana, Misaki mengeluyur seenaknya saja. Aku sendiri seringnya cuma terseret-seret. “Mau ke mana nih?” tanyaku.
“Ke suatu tempat.”
“Makan siang bagaimana?”
“Lo, kita baru saja makan, kan?”
“Bagaimana kalau bioskop?”
“Oke.”
Kami pun menonton bioskop. Film aksi Hollywood yang menakjubkan. Ada orang yang terhantam jauh oleh bom, dan ia mengayun-ayunkan kedua lengannya berputar-putar sementara melayang tinggi-tinggi ke langit. Kemudian, dia mati. Betapa inginnya aku seperti dia.
“Filmnya menarik banget, ya. Menurutmu aku mending beli pamflet informasinya[1], enggak, ya?”
Tapi, Misaki terhantam oleh label harganya yang seribu yen, sehingga tidak jadi membelinya. “Kenapa sih mahal banget?!”
“Biasanya harganya segitu, kan?”
“Hm, masak sih?” Sepertinya dia tidak tahu.
Begitu keluar dari ruang teater bioskop, sekali lagi kami tidak tahu mau apa.
“Mau ke mana nih?”
“Suatu tempat.”
“Makan siang bagaimana?”
“Kita sudah makan, kan?”
Terus saja kami berkeliaran. Tidak ada tempat yang dituju, dan aku pun tidak tahu mau apa. Misaki merasakan hal yang sama, dan kami sama-sama gelisah jadinya.
Akhirnya, kami sampai di taman kota yang keterlaluan besarnya. Tentu saja, di sana ada banyak orang—dan tepat di tengah-tengahnya ada air mancur besar. Merpati-merpati berkibaran di sekitar kami.
Terduduk di bangku, aku pun linglung. Kami bercakap-cakap ramah hingga mentari terbenam. Akhirnya, kami kehabisan topik pembicaraan. Ketika yang tersisa hanyalah keheningan kami yang menggelisahkan, Misaki mengeluarkan buku catatan rahasia miliknya dari tas.
“Mari melangkah menuju impian kita!”
Aku menjawab, “Itu sudah enggak penting lagi. Yang begituan enggak bakal mengubah apa-apa.”
“Jangan negatif begitu ah.”
“Bahkan meskipun aku berusaha meyakini kebohongan-kebohongan itu, pada akhirnya, tidak akan ada yang bisa aku lakukan.”
“Sebenarnya, aku jadi merasa agak normal.”
“Mananya?”
“Menurutmu aku enggak terlihat normal?” tanya dia.
“Kamu tuh aneh,” ungkapku. “Dari dulu kamu itu aneh. Sejak pertama kali aku bertemu kamu, aku berpikir kamu itu rada-rada.”
“Masak ….”
Kami sama-sama terdiam.
Di depan kami, seekor merpati terkedek-kedek. Misaki coba menangkapnya. Tentu saja, merpati itu lari. Misaki mencoba lagi berkali-kali. Setelah semua percobaannya itu gagal, ia menatap saja air mancur di depan kami.
Kemudian, ia berkata, “Satou, omong-omong soal kita berdua, dan siapa di antara kita yang lebih enggak berharga, pasti kamu kan yang lebih enggak berharga daripada aku?”
Aku menyetujui dia sepenuhnya.
“Nah, itulah makanya. Itulah makanya kamu terpilih untuk proyekku, Satou.”
Sepertinya, pada akhirnya Misaki memutuskan hendak membicarakan inti persoalan. Tetapi, pada sekarang ini, tidak akan ada bedanya, karena tidak ada yang akan berubah. Setidaknya, begitulah keyakinanku.
Misaki menyunggingkan senyum palsu sehingga siapa pun akan melihatnya gugup. Senyum goyah dibuat-buat yang hanya menyentuh bibir, mengangkatnya ke atas secara tidak wajar.
Ia memulai. “Anggapan awalnya adalah tidak mungkin ada seorang pun yang bakal menyukai orang seperti aku.”
“Kamu benar-benar berpikir seperti itu?”
“Sudah seperti itu sejak aku lahir. Sampai-sampai ibu dan ayahku membenciku, apalagi orang lain.”
Aku tidak menyahut.
“Paman dan bibiku mengambilku, tapi aku hanya menimbulkan masalah bagi mereka juga. Hubungan keduanya jadi memburuk, dan mereka bilang akan segera bercerai. Semua ini salahku, dan aku sungguh menyesalinya.”
“Kamu terlalu banyak berpikir.”
“Enggak kok,” ujarnya. “Mungkin aku memang terlahir untuk jadi orang enggak berguna, dan orang normal enggak ada yang mau berurusan sama aku. Pada akhirnya, semua orang mulai membenciku, dan, gara-gara aku, semua orang jadi merasa buruk. Aku punya bukti nyata yang membenarkan kata-kataku ini.”
Misaki menggulung lengan bajunya. Ia menjulurkan kedua lengannya sehingga terlihat olehku. Ada banyak luka memedihkan bekas sundutan merusak kulitnya yang putih.
“Ini perbuatan ayah tiriku. Aku bahkan enggak ingat wajahnya. Ia selalu mabuk. Sewaktu mabuk, suasana hatinya bakal membaik—tapi meskipun suasana hatinya lagi bagus, dia selalu marah padaku, menyundutku dengan rokok.” Ia mengatakan semuanya dengan senyum lebar yang tegar.
“Aku bahkan takut sekolah dan enggak bisa pergi. Tentu saja, aku takut …. Enggak mungkin aku bisa cocok sama orang lain. Aku takut sekali. Karena kalau mereka normal, mereka pasti bakal mulai membenci orang seperti aku.”
“Bagaimana dengan orang-orang di gerejamu?”
“Mereka orang baik. Semua orang di sana cukup normal, dan mereka pekerja keras. Jadi, tentu saja, mereka enggak mau berurusan dengan aku.”
Aku diam saja.
“Akhirnya, aku bisa menemukan orang yang lebih enggak berharga daripada aku: orang yang sungguh-sungguh enggak berarti. Orang yang sama sekali enggak ada nilainya—jenis yang sulit ditemukan begitu saja. Orang yang enggak bisa menatap lawan bicaranya, yang bukan main takutnya sama orang lain. Orang yang hidup di antara sampah masyarakat, orang yang aku sekalipun bisa merendahkan dia.”
“Siapakah itu?”
“Satou.” Ucapannya persis seperti yang kuperkirakan.
Kemudian, Misaki mengeluarkan secarik kertas dari tas lalu menyerahkannya kepadaku. Kertas itu berisi kontrak kedua.
Aku merasa tak yakin mesti berbuat apa. Matahari hampir-hampir di bawah horizon, dan jumlah orang yang berjalan-jalan di taman telah menyusut drastis.
Misaki memberiku spidol serta bantalan tinta merah terang[2], sembari mengatakan, “Cap jempol juga enggak apa-apa.
“Lagian, orang seperti kamu, Satou, mungkin saja menyukai aku, ya kan?” tanya dia. “Maksudku, kamu kan enggak lebih berharga daripada aku. Karena aku sudah menjalankan rencana ini dalam waktu lama, semestinya sekarang ini kamu sudah menjadi tawananku, ya kan? Tolong, baik-baiklah sama aku, dan aku bakal baik-baik sama kamu juga.”
“Enggak. Ini enggak bakal berhasil.”
“Kenapa?”
“Enggak ada gunanya. Enggak ada yang bakal berubah. Kesepakatan ini cuma bikin segalanya terasa lebih menyakitkan. Di samping itu, ini terlalu hampa.” Aku bangkit dan mengembalikan spidol serta tintanya.
Aku mencoba antusias. “Kamu akan baik-baik saja, Misaki! Kamu cuma lagi enggak percaya diri saja. Pijat-pijatlah pakai handuk kering, dan latihlah pikiran serta badanmu! Kalau kamu melakukannya, pikiran-pikiran tolol itu bakal menghilang. Cewek manis seperti kamu pasti bisa memiliki kehidupan yang hebat! Jangan menunduk begitu! Mendongaklah, dan kamu akan baik-baik saja!”
Lantas, aku kabur.
Isi kontrak itu dengan sendirinya telah terpatri di benakku.



Kontrak Mengenai Saling Dukung di antara Orang-orang Kesepian dan Tidak Berharga

Menetapkan Satou Tatsuhiro sebagai pihak A dan Misaki Nakahara sebagai pihak B, kedua pihak menyetujui sebagai berikut:

A tidak akan mulai membenci B.
Malah, A akan mulai menyukai B.
A tidak akan pernah berubah pikiran.
A tidak akan pernah berubah perasaan.
Ketika salah satu pihak kesepian, pihak yang lain akan selalu ada di sisinya.
Karena B selalu kesepian, pada dasarnya A yang akan selalu ada di sisi B.
Kalau kita melakukan ini, kurasa hidup kita kemungkinan akan beranjak ke arah yang baik.
Kurasa masa yang menyedihkan akan berlalu.
Kalau kamu memutus kontrak ini, penaltinya sepuluh juta yen.



“Hei! Kamu enggak kesepian?” seru Misaki.
Aku menoleh dan menjawab dengan suara keras, “Enggak, aku enggak kesepian.”
“Aku kesepian!"
“Aku enggak.”
“Bohong.”
“Aku enggak bohong,” kataku. “Aku hikikomori paling kuat sedunia, jadi aku bisa terus hidup sendiri. Rasa sakit tidak berarti apa-apa bagiku. Misaki, kamu juga semestinya jangan bersandar pada orang lain. Pada akhirnya, setiap orang akan sendirian. Bersendiri itu yang terbaik. Maksudnya, benar kan, ya enggak? Pada akhirnya, kamu pasti akan sendirian. Karena itu, bersendiri itu wajar saja. Kalau kamu menerimanya, enggak bakal terjadi yang buruk. Itu sebabnya aku mengurung diri di apartemen satu kamar enam tatamiku.”
“Kamu enggak kesepian?”
“Aku enggak kesepian?”
“Kamu enggak kesepian?”
“Aku enggak kesepian.”
“Bohong.” Ada yang berucap dengan suara pelan teredam.
Aku menoleh ke belakang.
Aku mendapati diriku berdiri di tengah-tengah apartemen satu kamar enam tatamiku. Di pojok, aku duduk seraya mendekapkan kedua belah kakiku ke dada, lebur dalam kegelapan pekat.
Saat itu malam, dan aku tidak bisa melihat, mendengar, atau melakukan apa-apa. Walaupun pada waktu itu musim panas, apartemen satu kamar enam tatami ini, yang tanpa perabot atau sesuatu yang lainnya, terasa dingin. Dingin yang teramat sangat dan suram mengisi ruang yang terpencil ini. Kupegang kepalaku dan menggigil.
Kataku, “Aku kesepian.”
“Aku enggak kesepian.”
“Bohong.”
“Aku enggak bohong.”
“Aku sangat kesepian.”
“Aku kesepian!”
Aku yang merinding, berguncang gemetar, giginya bergemeletukkan. Aku yang berdiri di tengah-tengah ruangan mengamatinya. Sepertinya aku akan gila. Tapi aku tidak gila.
Hanya dua hal yang kupahami: aku sendirian, dan aku luar biasa kesepian. Aku tidak ingin berada dalam keadaan ini. Aku tidak ingin kesepian.
“Lagian,” teriakku, “itulah makanya!”
Aku terus menjerit, “Kesepian itu wajar! Tentu saja, aku benci kesepian! Itu makanya aku menutup diriku dari dunia, makanya aku mengunci diri. Telah lama aku memikirkannya, inilah solusi yang terbaik. Kamu mengerti, kan? Hei! Kamu mengerti aku, kan?”
Tidak ada sahutan.
“Tidakkah kamu mengerti? Dengar baik-baik, ya, yang kukatakan ini. Kalau kamu dengar baik-baik, kamu akan tahu. Kamu bisa memahaminya dengan mudah. Singkatnya … singkatnya, aku menutup diriku karena aku kesepian. Karena aku enggak mau menghadapi lebih banyak kesepian, aku menutup diriku. Hei, kamu mengerti? Itu jawabannya!”
Tidak ada balasan.
“Aku ini lebih rakus dari siapa pun. Aku enggak mau kebahagiaan yang tanggung. Aku enggak butuh kehangatan yang setengah-setengah. Aku ingin kebahagiaan yang berlangsung selamanya. Tapi, itu enggak mungkin! Aku enggak tahu sebabnya, tapi di dunia ini, pasti akan ada yang campur tangan. Apa-apa yang berarti akan segera berakhir. Aku sudah hidup selama dua puluh dua tahun, dan setidaknya aku sudah tahu begini banyak. Apa pun itu, pasti akan berakhir. Itu makanya, sejak awal, lebih baik tidak membutuhkan apa-apa.”
Itu benar! Kamu juga harus mempelajari kenyataan ini, Misaki. Kalau kamu tahu ini, kamu enggak bakal memunculkan rencana-rencana konyol. Kamu akan berhenti mencari orang-orang seperti aku untuk meminta bantuan.
Dia luar biasa tololnya. Dia bergayut pada keputusasaan yang demikian hebatnya. Aku ngeri akan kesepian yang menyebabkan dia mencari bantuan dari seonggok manusia sampah seperti aku. Aku mengutuk kemalangan yang telah menimpa dia. Aku mengutuk kenyataan tak masuk akal bahwa anak tidak dapat memilih orang tuanya. Aku menginginkan gadis ceria seperti dia untuk menjalani kehidupan yang tangguh dan sehat.
Tolong, lakukanlah yang terbaik, di mana pun itu. Aku baik-baik saja. Aku tidak apa-apa sendirian. Lebih baik bagiku untuk bersendiri. Aku akan hidup sendiri dan mati pun sendiri.
Walau begitu, aku punya harapan. Aku punya harapan ….
Lihatlah, di sebelah sana—yang bersinar, pudar dan lembut.
Itu kampung halamanku, yang menerbitkan air mata nostalgia penuh suka duka. Daratan musim gugur yang berlanjut selamanya. Kenangan-kenangan dari lama silam. Tatapan sekilas-sekilas yang abadi dari gadis-gadis kecil yang mengikik. Ketenteraman si kucing hitam, yang tertabrak oleh mobil. Tidak ada lagi yang menyakitkan atau sulit di mana pun. Aku baik-baik saja sekarang.
“Benar. Kamu baik-baik saja sekarang,” kata gadis kecil itu.
Si boneka anime seukuran manusia, yang ditinggalkan Yamazaki sebagai hadiah, memandang padaku. Dia bidadari. Dia mulai bergerak, dan dia menuntunku maju.
Kami berkelana ke planet antah berantah. Planetnya indah: langit biru dengan awan putih, angin sejuk berembus menyeberangi padang musim semi yang terentang hingga jauh. Kami berdiri di tengah-tengah padang, kemudian gadis itu memetik setangkai bunga putih suci dan mengangkatnya di depanku.
Dengan jemarinya yang ramping, ia memegang sehelai kelopak dan mencabutnya. “Hidup.”
Kemudian, ia mencabut kelopak lainnya. “Mati.”
Ia melakukan ramalan bunga.
“Hidup …. Mati …. Hidup …. Mati …. Hidup …. Mati …. Hidup …. Mati.”
Kelopak terakhir berkibar ke tanah.
Gadis itu tersenyum lembut.





[1] Bioskop-bioskop di Jepang sering kali menjual pamflet resmi berisikan informasi tentang film.
[2] Digunakan untuk membubuhkan cap keluarga pada dokumen. Orang Jepang biasanya lebih sering menggunakan cap keluarga daripada tanda tangan.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...