Kita—kaum beradab—telah ditanami kepercayaan bahwa barang-barang yang kita miliki lebih penting daripada rasa saling memiliki.
– Derrick Jensen, Endgame Volume I[1]
Saya percaya, siapa pun yang menyatakan ingin melepaskan dunia material untuk menjalani “kehidupan spiritual” itu teperdaya (dengan cara yang sebaik mungkin) pada dua front. Pertama, dunia material itu ibarat kertas lakmus bagi spiritualitas kita, itu kesempatan untuk menguji bahwa kepercayaan spiritual kita bukan sekadar pemikiran abstrak serta perkataan tanpa substansi. Spiritualitas bukanlah untuk berfilsafat ria belaka. Bukan tentang duduk dengan kaki menyilang dalam posisi teratai menggumamkan OM. Membacakan bagian-bagian dari Qur’an, Injil, atau Bhagawadgita secara verbatim pun tidak serta-merta menandakan kehidupan spiritual, begitu pula dengan pergi ke gereja pada Minggu pagi ataupun menyembah matahari. Laku-laku demikian dengan sendirinya memiliki potensi membantu kita menjalani kehidupan yang lebih terhubung, penuh cinta, berempati, berbelas kasih, dan bermartabat—yang saya percaya merupakan peran dalam kisahan mana pun yang kita pilih—tetapi laku-laku tersebut dengan sendirinya boleh jadi kurang spiritual dibandingkan dengan mengeluarkan kotoran yang bagus di toilet kompos