Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20200209

An Evening of Long Goodbyes, Bab 14 (6/7) (Paul Murray, 2003)

Terus terang, pada awalnya ide ini tidak terasa meyakinkan, apalagi ketika kami membalik saku dan mendapati hanya ada empat paun tujuh puluh delapan sen dalam bentuk receh (dari Frank) serta sebutir koral berwarna aneh dari Pantai Killiney (dariku) sebagai jaminan. Namun setelah kami membawa Droyd kembali ke flat dan meletakkannya di kasur kamar Frank serta memblokade pintu dengan sofa, lemari, dan satu set barbel yang terus saja lepas dari batangnya, lalu memberi tahu Laura supaya jangan membolehkan dia keluar apa pun yang terjadi, aku menggiring Frank ke van di luar untuk membahas ide tersebut. Bisa dimengerti Frank masih terguncang oleh rangkaian peristiwa ini dan supaya bisa berkonsentrasi mendengarkan ia bersikeras hendak merokok hasyis dulu supaya tenang, sementara aku sendiri merasa rada butuh menenangkan diri juga, sedang aku tidak punya tembakau, sehingga aku meminta punya Frank dan menaruhnya di pipaku. Kemudian, setelah kami berdua sama-sama lebih tenang, aku menguraikan rencanaku.

“Cara terbaik untuk melihatnya,” kataku, “pada dasarnya kita sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dikorbankan. Dengan cara begitu, berarti ada sisi baiknya, kan? Artinya kita bisa mengambil risiko yang lebih besar, sebab, maksudku, kemungkinan apa lagi yang bisa lebih buruk?”

“Enggak tahu, ah, Charlie,” ujarnya ragu. “Benar-benar enggak tahu aku.”

“Aku pintar dalam hal begini,” kataku. “Jujur deh. Boleh jadi ini satu-satunya kepintaranku.”

Frank menggeleng-geleng, seraya mengepulkan gumpalan asap harum kecil-kecil yang berlarian cepat.

“Percaya saja deh padaku,” ucapku. Lantas, diiringi erangan pelan namun penuh perasaan, ia menyerahkan empat paun tujuh puluh delapan sen miliknya yang penghabisan.

Bahkan sementara kami yang di dalam van menghampiri tempat itu, terlihat bahwa ini malam yang ditakdirkan. Hujan jatuh lurus-lurus memantul pada atap kaca, dan cahaya lampu-lampu sorot yang menerobosnya memberi lapangan balap anjing itu semacam halo, sementara kami mendekati tempat itu, sehingga tampak berpijar, serupa kota ajaib, seakan-akan segala yang telah terjadi dalam hidup kami tidak lebih daripada sebuah jalan berbata kuning[1] yang membawa kami kemari. Selagi bersiap-siap di van dalam keheningan yang leta lagi menggelisahkan, aku mengalami perasaan aneh yang teramat sangat bahwa ada berbagai hal yang tak biasa. Warna-warna tampak lebih terang, suara-suara terdengar lebih keras, lebih kencang. Pikiran dan kenangan, masa lalu dan masa depan, meruap ke luar dari kurungannya. Para wanita gipsi bergigi emas yang menjual majalah di tempat parkir, suara dingin yang mengumumkan balapan berikutnya lewat pengeras suara—segalanya tampak mengandung suatu penanda rahasia, semuanya merupakan pelapis takdir.

Kali ini aku berhasil membujuk Frank supaya berjaga di bar. Sebuah meja kecil dengan dua kursi menunggu kami tepat di sisi jendela. Di sebelah luar, tribune penuh dan suasananya menggemparkan—bukan buatan, seakan-akan awan hitam berkumpul dan berputar-putar di sekeliling stadion. Aku memesan segelas Tom Collins dan mulai bekerja.

2003 Karya Agung Ivor Biggun[2] Masalah di Surga 5/1
2018 Ibu Twink Selesai Berkelana Pandai Berpura-pura 8/3 sedang berlangsung
2040 Flashdance Anjingku yang Lain adalah Sebuah Mercedes Genta Kebebasan seri

Aku tak perlu banyak menerawang untuk memilih para pemenang. Kalapun ada kekuatan-kekuatan tak wajar yang beraksi pada malam itu, sebagaimana kian terasa, penyamaran mereka tidak begitu berhasil. Malah agaknya mereka menggunakan pertandingan anjing ini untuk mengecualikanku serta menghinakanku atas kesilapan pertimbanganku akhir-akhir ini. Oalah!; Ini saatnya Charlie; Aku Keluar—di setiap pertandingan ada suatu pendakwaan yang hampir-hampir kentara, ditujukan semata-semata untukku, dan setiap pendakwaan itu meluncur telaknya menuju kejayaan. Uang mencurah dengan lebat dan deras, dan setelah satu setengah jam aku menjadi amat gugup. Tidak perlu dikatakan lagi, Frank sama sekali tidak menyadarinya.

“Oke deh, yang berikutnya,” ia mengamati daftar pertandingan. “Kayaknya ada pertarungan langsung antara Inggris Keluar dan … Kau Menghancurkan Aku.” Frank mendongak. “Gimana menurut lu, Charlie, Inggris Keluar atau—“

“Kau Menghancurkan Aku, sialan!” seruku nestapa. “Kau Menghancurkan Aku, memangnya apa lagi? Seluruh acara ini bukan apa-apa melainkan suatu, melainkan suatu perburuan penyihir …” sembari menggosok-gosokkan bogemku ke mata.

“Kamu baik-baik aja, Charlie?”

“Ya enggaklah, aku enggak baik-baik saja, maksudku orang berbuat kesalahan dan alih-alih membiarkan dia memperbaiki kesalahannya orang-orang malah merasa puas dan mempersalahkan. Bagaimana dengan Harry, kok bisa dia lolos dari hukuman? Kenapa orang enggak menamai anjing mereka dengan nama dia?”

“Charlie, kayaknya ngisep ganja bikin lu jadi parnoan.”

“Jangan absurd deh,” kusentakkan kerah bajuku. “Sialan, kenapa sih panas banget di sini? Kamu enggak kegerahan apa? Eh, ambilkan Manhattan, dong?”

“Kayaknya mending kamu jangan minum lagi deh, Charlie.”

“Jangan sentuh minumanku, aku enggak apa-apa kok, lagian minum itu menambah konsentrasi, aku bilang jangan sentuh minumanku—“

Frank mengangkat bahu dan mengulum pensil lalu mengamati pertandingan berikutnya sementara aku menjentikkan jemariku memanggil pelayan. “Baiklah …. Bagaimana Billabong Punyamu delapan banding satu …. Pembiayaan Bersama Terbatas McGurks lima banding satu …. Oh tunggu, Masalah Besar delapan banding dua yang paling unggul. Masalah Besar, ha ha ….”

Kau Menghancurkan Aku menerobos finis, begitu pula Masalah Besar. Franks bersorak lalu beranjak untuk mengumpulkan perolehan kami. Aku menatap jam di atas bar. Mestilah saat ini mereka sudah selesai makan sup. Mungkinkah Bel mempertanyakan keberadaan diriku? Atau mungkinkah ia justru senang aku tidak berada di sana?

“Inget enggak terakhir kali kita ke sini, Charlie?” Frank duduk bersuka cita dengan seberkas lagi uang kertas. “Sama Bel, asyik, ya, waktu itu?”

“Mmm.”

“Waktu itu dia lagi berusaha supaya bisa ikut main sandiwara,” Frank mengenang. “Inget? Persetan. Dia ngotot banget bisa main di situ. Kirain dia bakal bunuh diri waktu mereka nolak dia, dia ngebet sih.” Frank mengatur uang menjadi tumpukan kecil lalu duduk lagi sembari melontar kedua lengannya lebar-lebar di sandaran kursi.

“Chekhov sialan,” kemamku.

“Enggak tahu kenapa, ya. Ceritanya tuh cuma orang-orang Rusia ngomongin kebun buah terus-terusan terus pengin nunggangin satu sama lain. Enggak tahu deh kenapa dia gila banget sama itu. Kamu tahu enggak kenapa dia gitu, Charlie?”

“Waktu di sekolah ia pernah memainkan itu,” gumamku seraya menyesap Manhattan. “Ia lupa dialognya.”

“Ah yeah, maklum juga, ya. Soalnya, ya, mungkin waktu zaman dulu yang gitu tuh bagus, kayak sebelum ada efek khusus dan semacamnya. Tapi sekarang gitu lo, maksud gue, yang gitu tuh ngebosenin banget. Kebun Cerinya aja enggak kelihatan. Aku mah enggak suka yang begituan ….”

Kuabaikan Frank. Kupandangi halilintar yang bermain di sekitar bubungan atap. Keluarga aristokrat itu kembali ke rumah tua mereka … kenangan itu kembali padaku, rumah tua itu hendak dijual cepat, namun mereka tidak berbuat apa-apa. Aku ingat sangat menggemari mereka. Mereka itu sekumpulan orang malas, namun ramah dan periang terlepas dari apa pun yang terjadi—begitulah mestinya, aku ingat berpikir demikian, memandang gelas setengah isi ….

“Yang dia omongin sandiwara itu melulu aja,” ingat Frank. “Dia bahkan maksa aku ngapalin pidato buat ngebantuin dia, panjangnya sampai satu halaman, edan. Apa-apaan itu?”

Saat itu musim semi. Ayah sedang tidak ada, sehingga sebagai gantinya Bunda menyeretku. Kami duduk di kursi bersandaran kaku dalam auditorium yang beku. Selusin parfum mahal berbaur dengan berbagai aroma sekolah yang kian tua kian tajam yang terdiri dari ujian Natal, latihan dua kali lipat, pertemuan pagi, serta “All Things Bright dan Beautiful”[3]. Anak-anak yang mumet berbisik-bisik. Para orang tua menggenggam stensilan programa. Bunda duduk tegak di sisi kiriku. Mulutnya membentuk kata-kata seiring dengan Bel kapan pun ia beraksi—ia memerankan mbok-mbok, selalu rewel, mengomel, dan menunggu adegan mesra bersama anak perempuan lain yang mengenakan jaring rambut serta kumis palsu—

“Berpikirlah Ania!” teriak Frank, sampai-sampai aku melonjak dari kursi. “Kakekmu kakek buyutmu dan semua nenek moyangmu merupakan pemilik budak yang memiliki jiwa bernyawa! Tidakkah kau melihat para manusia yang menatapmu dari setiap daun dan batang pohon, tidakkah kau mendengar suara-suara—“

Lalu Bel lupa dialognya. Kok bisa ia sampai lupa? Bila selama dua minggu sebelumnya ia tidak berbuat apa pun selain berkeliaran di rumah dengan handuk membungkus kepalanya, tak putus-putusnya bergumam sendiri seperti Franny Glass[4]? Selain itu, ia telah melalui sebagian awal tanpa masalah sama sekali. Namun di sini ia berada di tengah panggung, dengan mulut setengah terbuka dan kedua tangannya terentang bagaikan pelayan di toilet menunggu ada yang menyerahkan handuk dan jelas-jelas tidak tahu bagaimana hendak melanjutkan—

“Tidakkah kau melihat para manusia yang menatapmu dari setiap pohon ceri di kebunmu?”

Tidak lama kemudian penonton pun mafhum. Cekikik dan gelak mulai lepas dari beberapa orang. Aku menggeliat di tempat dudukku dan merasakan wajahku memanas serta berharap aku memiliki keberanian untuk berlari ke panggung dan deux ex machina menarik Bel dari sandiwaranya yang kacau lantas menghilang bersama dia dalam malam. Seseorang yang kiranya guru mendesiskan dialog dari sayap panggung, namun tampaknya Bel tidak mendengar. Ia bergeming membeku di tempatnya, seperti kijang yang tersorot oleh lampu mobil. Para pemain berusaha melanjutkan adegan di seputar dia, namun mustahil, malah menggelikan—dan orang-orang pun menikmati tontonan ini, mereka terbahak-bahak dengan sepenuh hati sementara guru tersebut terus mendesiskan dialog, lalu ruangan penuh oleh tepuk tangan mengolok sering dengan terburu-buru diturunkannya tirai, sedang kedua tangan Bunda bergeming sama sekali dan pucat di atas dompetnya—

“Ya sudah jelas bahwa, untuk hidup pada masa kini,” Frank meneruskan, “yang mesti kita lakukan pertama-tama adalah—bertobat atas masa lalu kita dan mengakhirinya—“

“Berhentilah,” gumamku, “anak baik.”

Setelahnya ia murka, Bunda, maksudku, sekalipun sandiwaranya dimulai lagi lima menit kemudian dan Bel, biarpun gugup, berhasil menyelesaikan dialognya tanpa tersedak lagi, yang menurutku merupakan pencapaian baginya, dan tentu saja hal begini memang risiko di panggung—tidak perlulah Bunda sampai berkata-kata sebegitunya, dan menurutku bukan kebetulan bahwa pada keesokan hari itu juga Bel sakit sehingga dokter mesti datang—

“—dan kita hanya dapat menebusnya dengan penderitaan—“

Karena persoalan sebelum pementasan itu, teriakan, serta barang pecah belah yang hancur, yang cukup untuk menyurutkan semangat, dan ketika Ayah tidak pulang kami diantar ke sekolah dalam keheningan yang mendesis lagi berasap. Namun begitulah semuanya bermula, kesakitan, para dokter, kemudian Ayah juga, lalu dua tahun yang penuh jas putih, tanpa tidur, dan obat-obatan yang namanya sulit, serta rahang ngilu akibat menggemeretakkan gigi terus-terusan—itulah ketika semuanya dimulai, pada pementasan celaka itu, kenapa Bel mesti terus mengitarinya lagi, kenapa ia tidak bisa melupakannya saja?

“—dengan penderitaan melalui usaha luar biasa yang tiada henti—“

“Sialan—“

“Majulah, kawan-kawan! Jangan tertinggal!”

Cukup—“ tanganku mendarat begitu kerasnya hingga asbak meloncat dari meja dan berdebum di lantai.

“Astaganaga, Charlie, aku kan cuma main-main.”

“Sori,” sahutku kasar, seraya menenggak minumanku.

“Serius deh, kamu baik-baik aja, Charlie?”

“Enggak,” kataku. Bisa-bisanya mereka membiarkan ia pergi, tanpa mengucap sepatah kata pun? Bisa-bisanya mereka berlagak tidak ada yang salah, membiarkan semua ini terjadi lagi, sekadar untuk menyingkirkan dia?

“Kayaknya kamu perlu makan deh,” ujar Frank. Ia menoleh pada gadis yang tengah berlutut membersihkan pecahan asbak dan memintanya membawakan sepuluh bungkus kacang.

Kuembuskan napas terputus-putus. Aku merasa kecil dan habis. Aku tidak mau memikirkan ini lagi. “Berapa sih duit buat bayar kontrakannya?” kataku, seraya mengisyaratkan pada tumpukan uang kertas. Frank menghitung dalam kepala, lalu mulai mencoret-coret tatakan gelas bir. Kalau begini bisa-bisa semalaman kami di sini, pikirku dengan hati tercelus. Lalu Bel keburu pergi, pergi ke lahan pengasingan bersalju.

Suara serupa mesin mengumumkan balapan berikutnya. Aku menghampiri bar lalu memesan segelas Guinness untuk Frank dan martini tawar untukku sendiri, serta seteguk Calvados sembari menunggu. Di luar langit cukup cerah sehingga memperlihatkan sepasang bintang yang berenang-renang melenakan. Aku kembali ke meja dan mendapati Frank bertampang janggal. “Lihat deh,” bisiknya.

Perhitungan Frank telah membawanya keluar dari tatakan gelas bir ke koran yang tertinggal, lalu ia menunjuk satu baris di pojok: suatu hal tentang Malam Perpisahan yang Panjang, yang samar-samar terdengar familier.

“Anjing yang waktu itu Bel pasang taruhan,” ucap Frank. “Ingat enggak anjing yang gigit anjing lain itu?”

“Oh,” kataku. “Yang itu. Pantas saja aku kenal namanya.”

“Lihat rasionya deh, Charlie,” bisik Frank. “Selangit.”

“Enggak heran sih, setelah aneka rupa kemarin. Aku takjub ia masih boleh ikut balapan.”

“Tapi coba deh pikir, kalau kita pasang semua ini buat dia, kita bakal punya cukup uang buat bayar sewa, bir, gas, terus ….”

“Iya, tetapi kamu lupa, anjing itu enggak bakal menang, mengerti, karena itulah rasionya—“

“Tapi kalau kita pasang dua ratus aja, terus—“

“Tetapi anjing itu tuh enggak bakal menang, sialan. Kalau anjing itu doang yang balapan ya menanglah dia. Anjing itu tuh pecundang dari lahir, mengerti enggak sih?”

Dengan raut terluka, Frank kembali pada tatakan gelas bir. Aku duduk lagi dalam kejengkelan bersama blangko. Malam Perpisahan yang Panjang, ya. Mempertaruhkan semua uang kami demi dia? Setelah yang terjadi kemarin? Meski begitu, aneh juga aku baru menyadarinya sekarang …. Diiringi deham pengalih perhatian, aku menjangkau koran yang tertinggal itu. Nah ini benar-benar ganjil. Kecuali salah cetak, tampaknya para bandar memberi rasio yang luar biasa panjang bukan hanya terhadap bajingan tangguh seperti Malam Perpisahan yang Panjang, melainkan semua anjing yang berlari di 2130, lajur satu. Anjing ini, Macan Keltik, sejauh ini merupakan favorit sehingga keuntungan atas kemenangannya akan sangat kecil: namun pada waktu-waktu yang sebelumnya tampak ia luar biasa lambat.

Cara yang bijaksana yaitu memperlakukan ini sebagai investasi berisiko rendah: bertaruh atas Macan Keltik dan mendapat perolehan minimal. Akan tetapi—aku menoleh ke belakang ke seputar bar: bisnis terlihat berlangsungseperti biasanya—akan tetapi bagaimana kalau secara tidak sengaja kami telah menemukan semacam anomali perjudian? Bagaimana kalau memang akan ada sesuatu yang terjadi malam ini? Bagaimana kalau sesuatu itu—atau seseorang—tengah mencoba untuk menggapai kami, menolong kami, melalui medium yang tak biasa berupa Malam Perpisahan yang Panjang?

“Mikirin apa sih, Charlie?”

Kupindai lagi dan lagi tulisan kecil-kecil itu. Namun tahu-tahu intuisi penjudiku membelot. Aku tak tahu mesti apa.

Aku menarik napas dalam-dalam. Cara yang bijaksana: biasanya—walaupun yang kerap kali terlihat kebalikannya—aku selalu berbuat bijaksana. Aku mencengkam berbagai hal—orang-orang, kepercayaan, cara hidup tertentu. Aku telah mencoba untuk mempertahankan semua itu, aku telah berusaha untuk menyokongnya melawan perubahan nasib. Apa yang aku peroleh? Segala yang telah kuupayakan untuk bertahan telah lepas dari diriku. Barangkali rahasianya yaitu dengan berbuat kebalikannya: barangkali untuk menjaga hal-hal yang dicintainya orang memang harus mempertaruhkan semua itu; orang harus mengerahkan segenap hatinya, menghayati saat yang tak terkirakan ini …. Aku meraih pensil dan mengisi slip pertaruhan.

Ternyata begitu anjing-anjing digiring keluar memasuki lapangan kami membuat kesalahan fatal.

Seketika stadion meledak. Nyanyi-nyanyian meluap, bendera-bendera dilambaikan, para pecundang bergandeng lengan dan berjoget rancak, semua untuk Macan Keltik, alias, baru kemudian kami ketahui, Keputusasaan Bandar.

“Kontol,” ucap Frank.

Diperlukan dua orang untuk mendesakkan Macan Keltik ke perangkapnya. Anjing itu mestilah berbobot seratus pon, yang terdiri terutama dari pinggul dan taring-taring yang bergemeretakan. Apa pun hubungan biologis anjing itu dengan famili grehon, mestilah cukup renggang. Anjing-anjing lain, yang terlihat berhadapan dengan anjing itu sebelumnya, anehnya tampak tertekan—kecuali Malam Perpisahan yang Panjang, yang menatap penuh harap pada stan jualan. Yang paling mengesankan yaitu hawa jahatnya yang tak terbendung. Belum pernah kualami kebusukan sebesar itu dalam jarak sedekat ini, di samping makan siang bersama Pak Apleseed. Namun, terlepas dari itu, Macan Keltik tampak mengilhamkan kegairahan yang hampir-hampir religius. Para petaruh memandanginya dengan pemujaan, rasa cinta sarat keputusasaan dari suatu negara gersang akan musim hujan. “Tuhan memberkatimu, Macan Keltik,” ucap lelaki kucel di samping kami di jendela, kedua pipinya yang aus dibasahi air mata. Aku menyadari bahwa bagi orang-orang ini, Macan Keltik mestilah salah satu dari sedikit kepastian dalam hidup: selain kematian, tentu saja, dan para suster. Pistol starter terdengar dan si kelinci berlari.

Sekuat-kuatnya kami menyoraki Malam Perpisahan yang Panjang, namun aku ragu ia dapat mendengar kami. Dalam beberapa detik saja, Macan Keltik sudah jauh sendiri, berjingkrak-jingkrak terus menyambut penghormatan banyak penonton, sementara anjing-anjing lain tetap di belakangnya dalam jarak keseganan. Rasanya seperti di reli Nuremberg[5] saja.



[1] Lihat The Wonderful Wizard of Oz (1900), L. Frank Baum
[2] Robert "Doc" Cox alias Ivor Biggun (lahir 1 Juli 1946) merupakan musikus dan mantan wartawan televisi dari Inggris.
[3] Lagu Anglikan untuk anak-anak
[4] Tokoh dalam karya J. D. Salinger, Franny and Zooey
[5] Reli tahunan yang diadakan Nazi di Jerman pada 1923 sampai 1938 dan merupakan acara propaganda

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...