Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20200202

An Evening of Long Goodbyes, Bab 14 (5/7) (Paul Murray, 2003)

Kalau dilihat di peta, rute yang kami ambil tidak jauh berbeda dari pencarian awalku yang melelahkan tadi. Tetapi kali ini rasanya seperti berada di kota lain, yang terletak bersisian dengan kota gemerlap yang kukenal. Bagian kota yang ini tersusun dari jalan buntu, impase, serta jalan belakang yang penuh oleh kantung sampah, dan memiliki penghuninya tersendiri, yang hidup dengan bau urin serta pembusukan yang permanen, dan harus disenggol bangun dengan kaki sebelum bisa ditanyai tentang keberadaan Droyd. Adakalanya mereka terlalu mabuk untuk bicara. Adakalanya mereka mencoba mengarang cerita dengan harapan mendapat receh. Adakalanya mereka tidak merespons ketika disenggol dengan kaki, sehingga kami harus membalikkan badan mereka dan menyipitkan mata pada wajah mereka yang kotor hingga kami yakin mereka bukan Droyd. Luar biasa banyaknya jumlah orang-orang mengenaskan ini. Ketika kami hendak pulang melewati Grafton Street, aku menyadari bahwa orang-orang semacam itu ada di sini juga, sepanjang waktu berada di sini, menjalani kehidupan berheroin mereka, terkulai di samping kotak ATM, mengintai dalam kelompok-kelompok yang tampak mencurigakan di sekitar tempat sampah, meracau pada para pekerja kantor yang berjalan tergesa-gesa sambil pura-pura tidak mendengar, atau sekadar bergentayangan dengan mata putih semua menembus keramaian, sambil memegang gelas McDonald dan papan kardus yang tulisannya salah eja.

Ini pekerjaan yang lambat lagi menyiksa. Seiring dengan berlarutnya hari, dan setumpukan kantung sampah sekali lagi menyingkapkan sesosok manusia, mulai terasa seolah-olah hampir tidak ada orang yang tidak, bisa dibilang, terabaikan, dan kota mulai menyerupai foto dalam suratkabar, ketika kau melihatnya dari dekat dan sekonyong-konyong gambarnya buyar, sehingga yang tampak berupa sekumpulan titik yang tidak ada artinya dalam ruang kosong yang lebar, saking luasnya ruang tersebut hingga kau sama sekali lupa di sana ada gambar. “Dia enggak ada di sini,” ujar Frank suram.

Susah payah kami berjalan di dermaga dan menaiki bis ke Bonetown. Kami duduk di dek atas. Frank menatap lurus-lurus ke depan, sambil membuat suara-suara hewan kecil seperti yang dilakukannya sewaktu menarik nomor Lotre.

Hari itu Laura mengambil cuti untuk menjaga apartemen kalau-kalau Droyd muncul. Tetapi satu-satunya yang menghubungi cuma induk semang. “Aku enggak benar-benar menangkap yang dia omongkan,” kata Laura. “Tetapi dia marah banget. Dia terus-terusan bilang enggak ada penipu yang bisa menertawakannya.”

“Ah jancuk,” sahut Frank, seraya ambruk ke kursinya. “Ah jancuk.”

“Kalau saja aku bisa mendapatkan kembali depositoku dari agen properti tolol itu!” ucap Laura. “Dia enggak mau mengembalikannya padaku, Frank!”

“Itu dia,” sahut Frank. “Itu dia. Habislah kita.”

Aku menggeleng-geleng pasrah. “Plus ça change,” kataku, “plus c’est la même chose.”

“Charlie, bisa enggak sih sekali aja kamu enggak ngomong Perancis?”

“Tentu,” sahutku penuh pengertian. “Tentu saja.”

Jelaslah tidak ada lagi yang dapat kuperbuat di sini, sementara waktu terus berjalan. Dengan tenang aku mohon diri, meninggalkan Frank duduk di kursinya dalam hawa hampa orang yang terhipnotis. Aku pergi ke kamarku dan mulai mengganti pakaianku dengan pakaian malam. Baru saja aku mengalami kesulitan yang biasa kala mengenakan dasi kupu-kupu saat ada ketukan di pintu. Frank yang mengetuk, sambil memegang sepotong kayu.

“Aku tahu di mana dia,” kata Frank.

“Benarkah?” sahutku, seraya menguraikan simpul dasi lagi. “Eh, Laura, bisa enggak kamu bantu aku mengenakan ini?”

“Dia sama Sepupu Benny,” kata Frank. “Aku tahu itu. Cuma itu tempat dia mungkin berada.”

“Ah iya, Sepupu Benny yang terkenal keji itu.” Laura mengangkat daguku dan membetulkan kerah. “Yah, sampaikan salamku padanya kalau kamu bertemu dengan dia, katakan padanya jangan khawatirkan soal, soal perampokan—“

“Charlie,” ucap Frank. “Kamu mesti ikut sama aku.”

“Aku?” kataku.”

“Aku enggak bisa ke sana sendirian. Tempatnya di ujung jalan buntu. Aku perlu bala bantuan.”

“Yah, aku mau saja sih membantumu, bung, cuma kenyataannya aku enggak bisa, maksudku aku harus pergi ke pesta makan malam dan Bunda bakal murka kalau aku telat, maksudku sudah cukup buruk aku enggak bawa teman kencan …” berangsur-angsur suaraku melemah. Sialan, buat apa juga dia ingin aku menemaninya? Tidakkah ia mengetahui rekam jejakku dalam baku hantam? Kok bisa ada ujung jalan buntu di Bonetown? Mata hijau teduh Laura menatap mataku sementara ia melipat dasiku ke atas lalu ke belakang.

“Sial,” ucapku redup.

“Oke,” langkah Frank besar-besar penuh maksud ke luar pintu. Laura mengikatkan dasiku dengan ketat dan aku merasakan ada benda yang didesakkan ke tanganku. Rupanya raket tenis Dunlop tanpa senar. “Semoga beruntung,” katanya, lalu membenamkan kecupan di pipiku.

Kami bergegas di jalan dengan jaket menudungi kepala kami, menari-nari di antara aliran air berlumpur, melangkahi pelangi dari gasolin dan tanah hangus yang serupa permukaan bulan, hingga tibalah kami di bungker beton bermutu rendah. Daun penutup jendela yang terbuat dari baja tertutup oleh berlapis-lapis grafiti. Lantai yang bopeng di sebelah luar dikotori puntung rokok dan jarum patah. Aku sudah pernah ke sini.

“Kita masuk nih?” kataku. “Ke Coachman?”

Frank berpaling padaku dan memegang bahuku. “Charlie, aku pengin kamu ngikutin aku aja dan lakuin sesuai perintahku, oke?”

“Ya,” cicitku. Aku mencengkeram raket tenisku agak lebih erat. “Baiklah. Oke. Sekali lagi kita coba, eh, bung ….”

“Dan jangan ngomong apa-apa lagi, oke?”

Kami melalui pintu, yang rasanya tidak serta-merta mengurangi jumlah air yang tercurah ke kepala kami. Selusin pasang mata yang tidak bersahabat menatap kami. Aku mengedarkan pandang dengan takjub. Ini semacam tempat yang bakal jadi mimpi buruk Egon Ronay. Lantainya yang berlapiskan linoleum melengkung, cahayanya terlalu terang, perabotnya cuma bangku-bangku reyot tanpa sandaran serta meja piknik dengan cap dari Kementerian Kehutanan. Di bar duduk enam pria yang benar-benar tanpa dahi dan salah satunya menyeringai pada kami.

“Baik-baik aja?” sapa Frank. Tak seorang pun menyahut. Dengan santainya, Frank memindahkan papannya dari satu tangan ke tangan lain seraya kami mulai berjalan menyisi di sepanjang dinding, seakan-akan sedang menyusuri tepian kawah berapi. Dari bar, berpasang mata itu mengikuti kami, tetapi mereka bergeming saja. Akhirnya kami mencapai pintu bertuliskan Pria dan mendorongnya. Kuembuskan napas lega dan serta-merta menyesal melakukanya. Tercium aroma tengik tak terperikan yang semakin sengit saja sementara kami berjalan di sepanjang koridor sempit hingga tiba di pintu baja dengan kisi-kisi setinggi mata. Dengan gebrakan nyaring nan menggelegar, Frank mulai memukul-mukulkan papannya, hingga kisi-kisi itu bergerak memperlihatkan sepasang mata hitam berair.

“Ya?” ada suara menyahut.

“Kami cari Droyd,” Frank mengaum.

“Francy!” kata suara itu. “Itu kamu? Sebentar aku buka dulu—“ Kisi-kisi itu bergerak menutup lagi, diiringi serentetan bunyi gembok dibuka yang terdengar rumit. Akhirnya pintu mengayun terbuka. Kami disambut seorang pria kurus berusia empat puluhan tahun, dengan rambut lepek, kulit jelek, serta penampilan keseluruhan yang seperti baru kena tumpahan minyak. Beberapa puntung rokok membara di antara apitan jari-jari tengah tangan kanannya. “Lama enggak ketemu, Francy.” Pria itu mengangguk padaku. “Siapa nih, babu lu?”

“Kami cari Droyd,” ucap Frank sebelum aku sempat meluruskan.

“Droyd, ya?” Sepupu Benny mengusap-usap dagunya penuh pertimbangan. “Enggak lihat tuh. Sori, ya.”

“Dia kabur bawa uang sewa tiga bulan,” Frank mengangkat papannya dengan gaya mengancam. “Gue tahu lu masih jualan putauw sama dia.”

Tampaknya Sepupu Benny merasa ini menggelikan. “Kamu belum dengar, ya?” ucap dia. “Droyd tuh udah bersih. Sebersih embun.” Ia bergeleng-geleng dan berdesah. “Pada enggak tahu diuntung, bocah-bocah ini. Udah dibaik-baikin, eh habis manis sepah dibuang ….”

Disertai degukan marah, Frank mengempaskan pria itu dari jalannya. Kuangkat alis meminta maaf dan kuikuti Frank ke dalam.

Yang pertama-tama menyergap dari ruangan itu adalah baunya, gabungan dari aneka macam pembusukan yang terurai—makanan, ampas tubuh, batu bara yang lapuk. Tidak ada perabot ataupun karpet, hanya kasur, kasur berjamur bertebaran di mana-mana. Saking gelapnya sampai-sampai perlu waktu hingga dapat terlihat sosok-sosok tak sadarkan diri di atas kasur-kasur itu, dan selain itu mereka kebanyakan aak-anak. Ada lima belas atau dua puluh anak, berbaring atau bersandar di pojok, dengan kelopak mata yang berat dan kepala terangguk-angguk, seakan-akan mereka kecapekan sepulang dari tamasya sekolah. Kuperhatikan banyak di antara mereka yang pernah melontarkan kembang api padaku di jalan, dan disertai perasaan mual kutatap kasur demi kasur hingga sampailah aku pada kedua bocah troli berwajah bundar itu, terkulai dengan tangan terkunci serta sebotol ampul di kaki mereka.

Sepupu Benny menutup pintu. Ia berdiri di samping pintu, separuh tersembunyi oleh lentera kubur, seraya mengepulkan awan besar yang mengafani para orang tidur. Segalanya benar-benar sunyi senyap, bak memarodikan kedamaian secara terlalu. Aku menyadari kedua tanganku gemetar sehingga kulipat di balik punggung. Lalu terdengar suara megap-megap. Frank, yang telah mengarung hingga tengah-tengah lautan tubuh, berderap ke dinding seberang. Ia membungkuk kemudian berdiri lagi dengan sesosok bersetelan olahraga tergolek lemas di kedua lengannya. Sosok itu Droyd. Ia semaput telak, dan sungguh tak ternyana terlihat bak keluar dari lukisan era Pra-Raphael[1]. “Pergi sana,” gumamnya mengantuk. “Pergi sana.”

Setelah jelas bahwa Droyd tidak mungkin dibangunkan, Frank mengayunkan dia ke bahunya. Sembari terengah-engah, Frank berpaling pada Sepupu Benny di pojok. “Gue bawa dia, Ben,” ucapnya. “Gue bawa dia.”

“Bawa aja,” kata Sepupu Benny. Sepasang lingkaran asap berputar-putar bak jampian dari jemarinya. “Nanti juga balik lagi.”

“Jangan halangin gue,” Frank mulai melangkah ke arah pintu yang sudah terkupas-kupas di pojok. “Awasi dia, Charlie.” Seraya meneguk ludah, kuacungkan raket tenisku.

Sepupu Benny tersenyum mengejek. “Mau apa dia, nolak gue masuk keanggotaan klubnya?”

Tetapi seiring dengan terhuyungnya Frank menuju pintu, Sepupu Benny mundur ke jarak aman. “Bawa aja,” teriaknya sepeninggalan kami. “Nanti juga balik lagi. Kunyuk dia itu. Kalian semua cuma kunyuk. Entar dia berusaha biar bersih, terus ada kejadian apa dia jatuh lagi, terus balik lagi ke sini bawa duit—“

Kuempaskan pintu hingga menutup di belakangku, dan puji syukur, kami pun kembali ke jalan. Frank membaringkan Droyd pada beton dan kami menghirup udara basah lagi dingin seakan-akan itu mana dari surga.

Kuperhatikan kancing mansetku yang sebelah kanan kendor. Aku mencoba membetulkannya tetapi kedua tanganku yang celaka ini masih gemetar. Sungguh menyebalkan sekali. Sudah begitu, jas makan malamku sekarang benar-benar basah. Aku bersandar ke dinding dan menarik napas dalam-dalam, menunggu tanganku berhenti gemetar. Setelah cukup reda akhirnya aku bisa membetulkan kancing mansetku. Kemudian aku bertepuk tangan. “Baiklah,” ucapku.

Frank duduk terbungkuk dalam-dalam di samping Droyd, seraya menatap kakinya dengan hawa kekesalan yang teramat nyata.

“Senja yang tidak begitu indah, ya,” ucapku, “tetapi kurasa pada akhirnya seluruhnya berjalan dengan baik.”

Tidak ada yang menyahut.

“Begitulah, seluruhnya berjalan dengan baik,” aku mengulang hati-hati.

“Charlie, terus kita mesti ngapain?” kata Frank.

“Yah, kalau aku sih sebaiknya lanjut pergi ke acara makan malam itu,” sahutku. “Aku mau saja sih mengajakmu, cuma, mengerti kan, ini acara formal, sedangkan—“

“Bukan itu, ini soal duit, Charlie, soal duit sewa sialan itu.”

“Oh, ya, enggak tahu,” kataku redam. “Paling nanti juga ada jalan.”

Frank tidak tampak terbantu. Bangkitlah gelombang ketidaksabaran dari dalam diriku. Tidak bisakah ia mengerti aku punya masalah sendiri? Tidak bisakah ia berhenti memikirkan uang barang lima menit?”

“Yah mungkin selama ini kamu berprasangka buruk saja sama bapak kos,” kataku. “Mungkin kalau kamu menjelaskan sama dia, dia bakal mengerti. Menjelaskan bahwa, tahu kan, Droyd mencuri uang sewanya untuk beli narkoba dan kamu sangat menyesal tetapi kamu akan bayar secepat mungkin. Bukannya waktu itu kamu bilang dia mantan polisi? Mantan polisi pasti paham hal beginian, kan?”

Selama lima menit itu Frank tertawa dibuat-buat. Pelan-pelan aku mendidih, menjejak-jejakkan tumitku, sembari memutar-mutar raket tenis Dunlop di tanganku. Tahu-tahu Frank menjangkau dan menyambarnya. “Charlie, lu bisa cari duit buat kita, kan?”

“Aku?” sahutku takjub. “Dari mana juga aku bisa dapat uang buat kalian?”

Frank bangkit dan berdiri membayangiku. “Charlie,” ujarnya, “ini bukan waktunya jadi bajingan korengan.”

“Aku bukannya mau jadi bajingan apalah. Aku tuh enggak punya uang,” kataku, seraya mundur menjauh.

“Tapi kamu mesti punya duit,” ia mengotot tanpa perasaan, mendekati seraya mengayun-ayunkan kedua lengannya yang serupa batang pohon. “Lu kan dari Killiney sialan itu kalian semua punya banyak duit—“

“Persetan, bisa enggak sih kamu berpikir barang dua detik saja,” seruku padanya. “Kalau memangnya aku punya uang, apa menurutmu aku bakal tinggal di sini? Di daerah kumuh? Apa menurutmu aku bakal menghabiskan hariku dengan mondar-mandir enggak keruan mengamati para pencandu heroin, atau menyereti orang keluar dari sarang opium? Aku tuh tadinya mau pindah bareng pramugari udara! Pramugari udara, Frank! Dari Swedia! Maksudku, pernah enggak sih kamu berpikiran bahwa ini tuh mungkin bukan kondisi hidup ideal bagiku, terperangkap di kampung dengan pedagang loak dan remaja nakal?”

Sejenak, aku yakin ia akan memukulku. Tetapi Frank tidak melakukannya. Malah wajahnya terlihat agak kusut. Seraya menutupi wajahnya dengan kedua belah tangan, ia merosot kembali ke tanah.

Serta-merta terdengar suara pelan. Rupanya hujan membangunkan Droyd. “Maaf, ya, Frank,” kata-katanya lambat lagi tidak jelas. Ia menyentak-nyetakkan siku Frank. “Sekarang mah sumpah mau main musik aja.”

“Kali terakhir juga lu bilang begitu, dasar lonte,” ujar Frank, seraya menggemeretakkan gigi.

“Kali ini mah beneran,” tegas Droyd. Hujan mencurahi dahinya yang terkelepai. “Sumpah deh. Enggak usah khawatir, Frankie, kita bakal keluar dari sarang kecoak itu. Kita bakal ke Ibiza, duduk-duduk di pantai, ngebir seharian … cewek-cewek bakal ngejar kita, soalnya kita pria ….”

“Diam lu, dasar cecunguk. Lu enggak lihat gue udah muak sama lu, dasar bocah tengil,” Frank membenamkan kepala ke tangan dan menguburnya di antara kedua belah lututnya. “Habis deh kita,” ia terisak. “Habislah kita.”

Tangan kuselipkan ke saku sementara aku mondar-mandir gelisah. Di timur sana, di tempat yang tidak terjangkau saluran listrik, tamu-tamu mulai pada berdatangan untuk acara makan malam itu. Kalau aku pergi sekarang, aku masih dapat bergabung dengan mereka. Baru besoknya, mungkin aku dan Frank bisa duduk bersama dan memikirkan rencana. Tidak ada gunanya membuang lebih banyak waktu, sehingga berada di puncak daftar hitam Bunda. Baru aku berbalik hendak mengucap dadah dan beranjak melintasi lahan kosong itu ketika sekonyong-konyong aku mendapat pertanda. Sekonyong-konyong, dengan jelasnya, bisa kulihat diriku, tengah duduk di meja makan malam dan mengisahkan petualangan hari ini pada Bel. Aku menampilkannya sebagai semacam dongeng ala Don Kisot mengenai berbagai kesulitan yang kualami untuk sampai di sini pada malam ini. Tetapi tampaknya Bel tidak melihat sisi lucunya. Malah ia marah dan melabrakku selagi aku berusaha menikmati terrine bebek. Frank kasih kamu rumah, kata Bel, dan ini yang kamu lakukan sebagai balasannya? Kamu membiarkan Amaurot lepas dari tanganmu, dan sekarang kamu akan membiarkan mereka mengambil Apt C Sands Villas juga?

Aku melirik ke bawah. Droyd kembali tertidur dengan kepala menyandar pada bahu Frank. Begini, ya, kukatakan pada si Bel-dalam-pertanda, Bunda bilang pukul delapan tepat. Pernyataan Bunda sangat tegas, dan demi Tuhan ia hampir-hampir mau mencabut hak warisku. Selain itu, bagaimana dengan dirimu? Kataku, seraya menunjuk pada koper-koper-dalam-pertanda yang menanti di ruang masuk di bawah ornamen kaca. Aku enggak mengerti kenapa kamu merasa begitu tinggi dan hebat, sementara kamu sendiri hendak berkeliaran ke Yalta. Menurutmu kapan Frank dan Droyd bisa pergi ke tempat seperti Yalta? Tidak akan pernah, itulah jawabannya. Boleh jadi mereka tidak akan pernah keluar dari tempat terkutuk ini.

Tetapi semua ini tampak tak ada artinya. Bel hanya memandangiku dengan tatapan khasnya itu, dan aku pun merunduk pada terrine bebek imajinerku diiringi rasa bersalah.

Kemudian aku mendapatkan ide.



[1] Persaudaraan Pra-Raphael merupakan sekelompok seniman Inggris yang dibentuk pada 1848. Kelompok itu bertujuan memperbarui seni dengan menolak pendekatan mekanis yang pada awalnya digunakan oleh para seniman beraliran Mannerisme yang mengikuti Raphael serta Michaelangelo. Para anggota kelompok ini meyakini bahwa pose Klasikisme serta komposisi elegan ala Raphael merusak pengajaran seni akademis, sehingga dinamailah "Pra-Raphael".

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...