Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20200216

An Evening of Long Goodbyes, Bab 14 (7/7) (Paul Murray, 2003)

“Ini fiasko!” jeritku. “Anjing-anjing lainnya itu bahkan tidak berusaha! Buat apa balapan kalau mereka terlalu takut untuk mengalahkan dia?”

Baru saja aku mengatakan begitu, desir kekhawatiran menyapu tribune. Tahu-tahu salah seekor anjing terlepas dari kumpulan itu dan dengan segera hampir menyusul—yang tidaklah sulit mengingat Macan Keltik memiliki segenap kekuatan tank Panzer.

“Anjing yang nekat,” salah seorang petaruh di samping kami berucap segan.

“Nekat apanya,” sahut temannya. “Lebih seperti ia lupa apa yang mestinya ia lakukan.”

“Itu dia!” Frank berbisik padaku.

Aku segera mendapati yang terjadi. Seorang bujang di baris depan ujung tribune telah membuka sebungkus roti lapis, dan Malam Perpisahan yang Panjang menangkap pemandangan itu. Para penonton boleh mengolok dan merutuk dia semau mereka sekarang. Aku tahu bahwa yang dipikirkan anjing tersebut hanyalah roti lapis itu, dan ia tidak akan teralihkan, tidak oleh para penonton, tidak pula oleh garis finis yang tampak di depan, ataupun tatapan menakut-nakuti yang dilontarkan si anjing yang lebih besar yang diiringinya—

“Nah, itu!” aku menghantam kaca jendela memberi dukungan, menarik tatapan tajam dari para petaruh di sekitarku. “Begitu dong!”

—dan mengabaikan segala lagak sportivitas, Macan Keltik merekahkan moncongnya seakan-akan itu koran lantas mengaitkan rahangnya ke tenggorokan lawan.

“Apa!” raung Frank. “Wasit!”

Ini pertumpahan darah. Pada awalnya, sebagian petaruh yang haus darah menyoraki peristiwa itu, namun dengan segera mereka pun berubah pucat dan terdiam. Seluruh stadion hening kecuali dengking Malam Perpisahan yang Panjang, serta geraman, gertakan, dan sobekan membunuh yang disuarakan oleh Macan Keltik. “Kok enggak ada yang bertindak sih?” seruku memohon. Namun tidak seorang pun yang berbuat. Malah Macan Keltik sudah tidak berlari. Anjing itu diseret oleh si anjing yang lebih kecil, yang berjuang dengan gagah berani menuju roti lapis incarannya meskipun Macan Keltik menggerendel lehernya. Anjing-anjing lain pada mundur membentuk kumpulan kecil yang bimbang beberapa jauhnya di ujung trek. Beberapa ada yang berbaring atau berguling. Salak menyedihkan mereka bersambungan tanpa terusik dengan erangan Frank serta sebagian kecil pria bodoh yang telah bertaruh atas si anjing favorit—sementara Malam Perpisahan yang Panjang yang basah kuyup oleh darah, dengan buih bertetesan dari mulutnya, mengeluarkan rintihan panjang nian lalu tumbang ke sisi.

Keheningan terasa kian menjadi. Para petaruh mengubur diri dalam minuman dengan rasa bersalah. Aku tidak tahan lagi. Aku terhuyung-huyung ke bar, berdesak masuk di samping lelaki berambut kelabu, dan dengan sejumlah kecil uang yang tersisa aku memesan wiski tiga porsi. Cukup sudah takdir ini, batinku getir, cukup sudah mengerahkan segenap hati. Dunia lagi-lagi telah memperdaya kami. Kata-kata Sepupu Benny terus-terusan mengitari kepalaku: kami semua kunyuk, kami akan selalu menjadi kunyuk.

Di jendela cungap-cangip menanjak karena entah kebengisan apa lagi di trek. Aku menelan seteguk dari gelas tanpa mengedarkan pandang, sambil meringis nikmat atas sensasi asam yang akrab ini. Persetan dengan balapan celaka itu. Wiskiku ini cukup untuk memabukkanku habis-habisan. Setidaknya ketika mabuk aku tahu tempatku berpijak, dan aku tidak membutuhkan pengarahan siapa pun untuk sampai di tempatku. Persetan dengan Frank, serta pesta makan malam yang busuk itu. Persetan pula dengan Bel. Biar saja ia pergi semau dia, biar saja ia mencoret satu orang yang benar-benar peduli padanya, yang tidak menganggap dia sebagai pasien rawat jalan abadi dengan mimpi-mimpi yang mustahil ….

Para petaruh mengaum pilu.

“Kelihatannya ada yang kalah,” lelaki berambut kelabu di sampingku berucap.

“Selalu ada yang kalah,” gumamku tanpa mencari tahu.

“Sepertinya itu benar,” lelaki itu menyetujui.

Aku berpaling. Asap mengaburkan pandangan, dan ruangan terus berputar. Namun ketika aku menyipitkan mata, aku bisa melihat setelan wol berpotongan apik meski rada-rada vieux jeu[1] berikut sepasang kacamata berbingkai kawat. Aku heran apa yang diperbuatnya di sini bersama para rakyat jelata ini. Ia memberi isyarat pada gadis penunggu bar untuk mengisi ulang gelas kami sambil berkata, seakan-akan menjawab pertanyaanku: “Meskipun demikian, orang harus mengambil kesempatan yang ada, bukankah begitu?”

“Kenapa harus,” kataku, sembari mendentingkan es batu pada gelasku.

“Ayolah, Charles,” sahutnya diiringi kekeh. “Kau tahu sebabnya.”

Ruangan mendadak tampak goyah. Dengungan panas meruap dari jari-jari kakiku melandaku. Seketika itu banyak penonton meraung lagi sementara para petaruh di bar bergegas ke jendela. Aku merasakan diriku terempas ke depan. Seraya berjinjit, aku menatap muram melampaui lautan kepala.

Agaknya setelah menaklukkan lawannya, Macan Keltik belum juga melanjutkan dan meneyelesaikan pertandingan layaknya seekor anjing yang bijaksana. Ia malah mengalihkan perhatiannya pada para anjing yang mengelompok dengan nelangsa kurang dari seratus meter di belakangnya.

“Kampret!” banyak penonton menjerit, sembari memegangi kepala sementara para anjing yang pengecut berbalik arah dan mengambil langkah seribu sementara Macan Keltik mengejar mereka. “Arah sebaliknya, dasar tolol! Lari ke arah sebaliknya!”

“Terlalu banyak PCP[2],” tinjau lelaki berewok bermata sayu di sampingku.

Namun bukan itu saja. Di ujung lain trek—jauh dari para pengurus pertandingan yang berusaha menangkis Macan Keltik menggunakan galah baja—Malam Perpisahan yang Panjang mulai bergerak-gerak. Awalnya tidak ada yang memerhatikan—semua orang terlalu sibuk berusaha menyadarkan si favorit yang membelot untuk kembali ke balapan—namun kemudian ada yang berteriak, “Hei! Anjing bego itu belum mati!”

Timbul jeda kemudian desir ramai, sementara orang-orang memeriksa nomor pada programa. Lantas, secara sporadis, dari satu-dua titik di antara penonton, bermunculan teriak-teriakan: “Malam Perpisahan yang Panjang! Malam Perpisahan yang Panjang!”

Sekali, dua kali ekor anjing itu menggebuk tanah.

Karena pemandangan itu, semakin banyak suara bergabung. Teriakan bertambah kencang. “Malam Perpisahan yang Panjang! Malam Perpisahan yang Panjang!”

Lambat-lambat, yang lagi menyakitkan, si anjing mengangkat diri, sampai, di atas kaki-kakinya yang lemah dan dan kikuk bak anak sapi yang baru lahir, dengan hujan melekati rambut hingga kepalanya yang tirus, ia tegak sembari mengejap keheranan pada kami.

Keriuhan memekakkan. Orang-orang berteriak, meninju kaca jendela, dan merentak. “Begitu dong!” seru mereka. “Maju, dasar sontoloyo! Maju, Perpisahan!” Semuanya satu suara, seakan-akan satu-satunya alasan kami semua berada di sini adalah untuk menyemangati anjing jelek dan terlihat rada berkudis ini, yang agaknya termakan oleh gelombang energi dan kegaduhan hebat ini lantas—seiring dengan sorakan itu bertumbuh menjadi deru, sedang Macan Keltik digiring ke kandang oleh dua lelaki menggunakan pecut ternak—kini mengibaskan ekornya, dan mulai berderap menuju garis finis.

Sprezzatura,” berkata suatu suara di telingaku. Aku menoleh dan mendapati, di tengah-tengah gejolak para petaruh dan kepulan asap, pancaran kelabu yang akrab. “Apa?” sahutku redup. Ia mengulum senyum, sambil menunju pada jendela. Ketika berbalik, aku melihat stadion yang berhujan itu diisi orang-orang yang mengenakan topi jangkung serta jas berekor, dengan dasi kupu-kupu dan anyelir terselip di lubang kancing, menyoraki anjing yang mereka pertaruhkan sementara suara di belakangku bertafakur, “Apa yang pernah dikatakan Oscar? Dalam demokrasi yang baik, setiap orang dapat menjadi aristokrat.”

Aku berputar—ada begitu banyak yang ingin kutanyakan padanya, ada begitu banyak yang tidak kumengerti. “Tunggu!” jeritku. “Kembalilah!” Namun ia sudah separuh jalan ke pintu, sembari menaikkan ke kepalanya, sementara melebur ke kerumunan, sesuatu yang menyerupai sombrero raksasa …. Kini, setelah serangkaian jatuh bangun yang mengharu biru, akhirnya Malam Perpisahan yang Panjang menyeret jasadnya melintasi garis, dan tempat itu pun menggila. Seolah-olah kami baru saja memenangkan perang. Orang-orang bersorak dan bernyanyi. Mereka menyobek nota taruhan mereka yang kalah lalu melontarkannya bak konfeti. Frank muncul sembari tertawa-tawa dan menangkapku dalam pelukan beruang. “Kita dapet hasil, Charlie!” ia berseru. “Kita dapet hasil!”

Mestilah ada yang menguping Frank, sebab sebelum aku sempat memperbaiki kalimatnya, kami diangkat dan dipikul oleh tangan-tangan asing ke palka taruhan. Dengan orang-orang berhimpun di belakang kami, si klerek lekas-lekas menyetujui bahwa tidak sepantasnya menyatakan penalti atas balapan tadi lantas membayar kemenangan kami saat itu juga. Semua orang di bar bertepuk tangan. Frank bertanya apakah ada yang ingin minum, dan ternyata hampir semua orang mau. Segalanya begitu menyesakkan saking menggembirakannya sampai-sampai baru kemudian aku mendeteksi ada bunyi nada panggil yang menjengkelkan. Akhirnya aku menyadari bahwa itu ponsel Bel. Aku membawanya karena hendak menyerahkan benda itu pada dia nanti malam. Agakya ponsel itu sudah berbunyi sedari tadi. Aku memencet tombol-tombol untuk menghentikannnya lalu ponsel itu mulai berkata-kata padaku—suara perempuan, yang mencari Bel.

“Bel tidak ada di sini,” teriakku, sembari menancapkan satu jari ke sebelah telinga. “Bel di rumah.”

“Teleponku ke rumah enggak sampai,” kata perempuan itu.

“Mereka lagi ada acara makan malam,” sahutku.

“Oh. Kalau begitu, apa aku bisa menitipkan pesan?” Suara perempuan itu garau lagi serak, seakan-akan ia terbiasa mengisap rokok banyak-banyak. “Tolong sampaikan pada Bel Jessica ingin supaya ia—“

“Tunggu, kamu Jessica?” aku menyela.

“Ah, kok kamu kenal aku?”

“Kurang lebih begitu,” tegasku. “Aku pengin tahu maksudmu lari bersama adikku.”

“Aku enggak merasa lari dengan siapa-siapa tuh,” sahut perempuan itu. “Memangnya ini siapa?”

“Ini Charles,” jawabku.

“Oh,” ucapnya. “Bel pernah cerita tentang kamu,” ia menambahkan, dengan agak tajam.

“Itu enggak ada hubungannya, ya,” ujarku. “Sebenarnya, Bel itu jelas-jelas enggak pas buat—apa maksud kata-katamu tadi? Ia bilang apa tentang aku?”

“Segala macam hal,” Jessica berkata dengan nada takjub, seakan-akan masih belum percaya semua itu benar.

“Yah, biarlah kalau begitu,” gumamku tidak enak. “Masalahnya Bel ini—“

Kamu enggak ikut makan malam?” ia memotong. “Atau kamu masuk daftar hitam?”

“Ya, aku pergi nanti,” tukasku. “Begini, ya, sampaikan saja pesan kejimu itu, apa?”

“Tentu saja,” ucapnya sok sopan. Ia memberitahuku bahwa penerbangan mereka pukul tujuh, sehingga bisakah Bel memesan taksi pada pukul empat, sekalian menjemputnya? Aku mengatakan akan menyampaikan pesan ini. Timbul jeda, dan begitu aku hendak mencari tombol untuk mematikan, suara itu terdengar lagi: “Charles?”

“Ya?”

“Kurasa Bel enggak serius dengan omongannya tentang dirimu.”

“Mmm,” sahutku tidak jelas.

“Eh Charles?”

“Apa?”

“Aku berjanji akan menjaganya di Rusia.”

“Oh,” aku merasa agak tersentuh. Boleh jadi ia tengah mengolokkku, namun entah bagaimana aku tidak merasa demikian. Suaranya terdengar hangat sehingga terasa sungguh memikat. “Ya sudah, terima kasih.”

“Sebaiknya kamu segera ke acara itu sebelum orang-orang pada tidur,” sahutnya.

“Ya,” kataku, lalu, “Tahu enggak, bila kamu kembali barangkali kita perlu minum bareng atau apalah. Aku menulis sandiwara dan ada bagian yang barangkali kamu tertarik ….”

Ia tertawa, lalu mengatakan akan memastikannya. “Tetapi kita akan bertemu lagi, Charles, entah bagaimana aku merasa yakin ….”

Aku mengamankan ponsel, seraya berseri-seri sendiri. Daya gaib Hythloday itu lagi! Aku kembali pada diriku semula!

Sekarang sudah larut. Aku mencari Frank dan memberi tahu dia aku hendak mencari taksi ke Amaurot. Akan tetapi ia memaksa untuk menyopiriku. Aku merasa ini memang sikap yang sepantasnya. Selagi kami beranjak pergi aku mendapatkan ide lagi: “Kamu tahu, kenapa kita enggak—aduh!”

“Kamu baik-baik aja, Charlie?”

“Ya jelas-jelas enggaklah, siapa sih yang menaruh tangga di sini?”

“Kayaknya dari pas kita masuk memang udah ada di sini deh.”

“Iya, sepertinya sih begitu,” aku mengakui. “Aku harap …. Aku harap mereka belum membuka botol sampanye kedua, mungkin aku sudah agak mabuk …” sementara ia mengangkatku dari aspal dan mendekati lingkaran bintang-bintang kartun yang berputar indah. “’Tapi aku tuh sebenarnya mau bilang, kenapa kamu enggak ikut makan malam juga? Maksudku, kamu enggak pakai baju formal sih, tetapi ….”

“Vannya di sebelah sana, Charlie.”

“Tetapi kamu enggak usah khawatir,” kusingkirkan persoalan itu dengan kibasan tangan. Aku tengah merasa dermawan dan ingin memusnahkan ikon-ikon dan mendadak tak ada rintangan yang tak dapat teratasi. “Nanti aku yang jelaskan. Bunda tuh sebenarnya jinak kok kalau kamu tahu cara menanganinya—dan lagi pula, aku tinggal bilang padanya kalau kamulah pendampingku, dan seorang, seorang teman yang sangat baik hati ….”

“Terima kasih banyak, Charlie.”

“Bukan apa-apa, bukan apa-apa—eh, lihat itu. Ada jaket bulu ketinggalan.”

Lampu sorot van menyinari sisi tempat parkir yang terpencil, yang mana pada sepetak rumput teronggok pakaian yang terbuang. Agaknya terdengar bunyi menyedihkan dari benda itu. Aku tidak bisa mengingat apakah jaket biasanya bersuara.

“Sebentar—“ aku keluar dan sempoyongan menapaki kerikil yang terpencar menuju onggokan itu.

“Apaan tuh?” teriak Frank dari van.

“Hmm ….” Jaket dari bulu anak domba itu menatap padaku melalui sepasang mata cokelat penuh pengharapan. Lidah jambon panjang ragu-ragu menjilati tanganku. “Kayaknya ini Malam Perpisahan yang Panjang.”

“Dia dibuang,” sahut Frank, seraya menghampiri.

Dibuang? Jangan konyol ah. Tega amat mereka membuang dia? Ah, anjing ini kan pahlawan—pahlawan!”

“Kayaknya dia enggak bakal menang balapan lagi sih, Charlie.” Frank benar. Kedua sisi anjing itu coreng-moreng oleh darah. Salah satu kakinya koyak. Kedua mata serta moncongnya menampakkan bekas gigi Macan Keltik. Ia menelungkupkan kepalanya ke tanah, terengah-engah cepat.

“Tetapi kan itu—maksudku tuh, dari semua ….” Aku menggaruk-garuk belakang leherku dan terempas ke dasar kesunyian yang membingungkan. “Terus apa yang mesti kita lakukan? Maksudku kita enggak bisa membiarkan dia di sini.”

“Astaga, Charlie, kirain kita buru-buru.”

Kuangkat satu jariku meminta diam. Benakku riuh hendak menghubung-hubungkan: sesuatu tentang grehon ini serta pantulan bulan pada kubangan panjang berbentuk ginjal ini—

“Aha!” Aku meraba-raba sakuku hingga menemukan yang kucari: lempengan logam pucat yang pernah begitu digilai Bel. Kini aku tahu benda apa ini.

“Apaan tuh?”

“Ini tanda pengenal anjing, bung.”

“Hah, kayak yang punya tentara gitu?”

“Bukan, ini kayak punyanya anjing ….” Lempengan ini sama dengan yang dibeli Bel menggunakan uang sakunya bertahun-tahun lampau, berikut ban leher kulit berwarna merah dan tali kekang. Ini untuk anjing spanil yang tidak boleh kami pelihara waktu itu, yang sering dicemaskan oleh Bel. Bel hendak mengukirkan nama anjing itu pada lempengan tersebut, kalau kami sudah sampai menamainya. Mestilah ada yang telah mengeduk benda ini dari loteng.

“Tapi, kenapa Bel bawa itu ke mana-mana, Charlie?”

“Shhh,” ucapku, seraya mengejapkan kabut alkohol yang melingkari otakku, berusaha untuk memecahkan pertanyaan itu. Aku tidak tahu sebabnya Bel membawa ini ke mana-mana. Mestilah ini mengandung suatu arti. Apakah karena ia tidak pernah berhasil mengatasi kehilangan akan anjing spanil itu? Apakah selama ini ia meranainya terus? Atau apakah karena sesuatu yang lebih rumit? Apakah itu ada hubungannya dengan Bunda? Atau aku? Aku merengut, seraya terhuyung-huyung di aspal. Pemahaman Bel akan dunia memang biasanya menjelimet, dan sering kali berliku-liku, seperti ini itu merupakan pertanda, atau menyiratkan berbagai hal yang bagi orang normal jelas-jelas tidak ada hubungannya. Namun kenyataannya kini ada anjing yang disodorkan begitu saja kepada kami. Memang ia bukan anjing spanil, dan kemungkinan butuh pembedahan minor—meski begitu, mengingat malam yang penuh takdir ini, agaknya teledor kalau membiarkannya.

“Charlie—eh, Charlie, kamu ngapain?”

Jelaslah tidak ada waktu untuk menjelaskan ini kepada Frank.

“Eh, lu jangan masukin itu ke van gue—“

“Azimat,” gusarku, “keberuntungan—simbolis—bisa menggigit Harry—“

“Guk!” gonggong Malam Perpisahan yang Panjang.

“Menggonggong, ya, anak baik, kita akan menaiki van Frank, iya kan? Ya, kita akan menaikinya!”

“Kampret—“ sembari membuka kunci pintu belakang dan aku pun memasukkan anjing itu, tempat ia bergelung dengan damainya dalam sarang dari kain altar serta jubah pendeta yang diambil Frank dari gereja yang henda diubah menjadi toko sepatu. “Charlie, lu kira kalau lu ngasih dia anjing Bel bakal maafin lu karena ngegituin si cewek kaki satu itu?”

“Jangan bilang aku ngegituin dia lah, enggak enak tahu kedengarannya.”

“Kalo gitu, karena nunggangin dia deh.”

Aku memikirkannya. “Ya,” sahutku. Aku mengamati anjing itu dari pintu. Ia terengah-engah dengan hangatnya pada kami. “Tetapi,” sembari Frank menutup pintunya, “kamu tahu, Malam Perpisahan yang Panjang itu nama yang berat. Kita mesti kasih dia nama baru.”

“Yeah, aku juga mikir kayaknya itu yang bikin larinya jadi lambat, soalnya dia sambil nyeret-nyeret namanya.”

“Ya, kurang lebih begitulah, aku memikirkan nama—Ozymandias.”

“Oz-y-mandias?”

“Kamu tahu, itu nama syair. Ozymandias, raja segala raja, pandangilah hasil karyaku, Yang Mulia, begini begitu, aku lupa kelanjutannya—kedengarannya agung begitu, enggak sih? Berwibawa begitulah?”

“Enggak tahu ah, Charlie, kedengarannya rada homo.”

“Rada homo?”

“Sedikit sih.”

“Kalau begitu apa usulmu?”

“Bagaimana kalau Paul?”

“Paul? Masak anjing dinamai Paul. Kenapa juga kamu pengin namanya Paul?”

“Dulu aku punya teman namanya Paul.”

“Aku juga sih,” aku mengingat dan sesaat kami sama-sama merenungi. “Kurasa ia memang agak kepaul-paulan. Yah, mungkin sementara waktu kita biarkan saja dululah. Bel mungkin punya ide lain.”

Kami memasuki van. Frank menyimpan uang kemenangan kami di dasbor dan menyalakan mesin.

“Aneh ya rasanya Bel bakal pergi, ya, enggak, Charlie?”

“Ah, enggak tahulah,” kataku. “Kurasa boleh jadi ia bakal baik-baik saja.” Dengan pemandangan kota yang mulai membentang di jendela, serta semua uang di dasbor, rasanya seperti masih ada waktu untuk memperbaiki berbagai hal, memutar kembali waktu pada luka lama. Malam tampak tidak berujung dan penuh oleh berbagai kemungkinan. Segalanya berkilauan dengan air seakan-akan baru terlahir. “Eh siapa ini?” ketika sepotong hidung cokelat panjang menyodok di antara bangku dan tersenyum keanjing-anjingan pada kami.

“Guk!” ucapnya, sementara kami melandas di jalur cepat dan menambah kecepatan.

“Dia ngomong apa, Charlie?”

“Ia bilang, ‘Majulah, kawan-kawan! Jangan tertinggal!’”

“Guk!”

Benar begitu, bujang, aku tertawa, sembari menggaruki dagunya. Benar begitu—




[1] Ketinggalan zaman
[2] Phencyclidine, sejenis narkoba

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...