Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20210321

Welcome to the N. H. K. Bab 05 Humbert Humbert Abad Kedua Puluh Satu Bagian 3 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Ketika aku kembali ke dunia nyata, seminggu telah berlalu. Setelah puluhan jam, untuk pertama kali aku membebaskan diri dari tetikus dan kibor dan memasuki kamar mandi. Di cermin memantul seorang yang bukan main berbahaya—singkatnya, aku. Tunggul jenggot karena belum bercukur, rambut lepek, mata kopong, rahang kendur … hikikomori penganggur putus kuliah yang akan dihindari siapa pun, yang tidak seorang pun mau dekat-dekat … seorang dekil, kusut, bau, menyeramkan ….
Seorang lolicon tegak di sana.
“Ugh.” Lunglai aku menggelincir ke lantai kamar mandi.
Bagaimana bisa jadinya seperti ini?
Nasi sudah menjadi bubur. Aku sudah …. Aku sudah mengoleksi gambar Lolita dari seluruh dunia. Dan aku tidak puas hanya oleh gambar. Malah aku sudah tersangkut oleh data video, dalam format-format seperti MPEG dan RealMovie. Kandar keras 30 GB milikku sudah penuh dengan tubuh-tubuh tak senonoh gadis kecil yang, sebenarnya, aku kasihani.
Aku tidak bisa lanjut. Aku benar-benar tidak bisa lanjut. Hikikomori lolicon merupakan barang paling nista. Aku lebih rendah daripada manusia. Aku monster. Aku tidak bisa terus hidup. Aku tidak akan pernah bisa lagi berjalan waktu terang.
Benar, sudah pasti aku seorang hikikomori. Tapi, aku cukup yakin aku bukan lolicon. Seleraku cukup biasa-biasa saja dan, sebenarnya, dulu aku suka pada perempuan-perempuan yang lebih tua. Biar begitu, bagaimana ….
“Ahhh … hunh hunh!” Isak tak tertanggungkan mencurah keluar, dan air mataku memancar ke lantai. Air mata pertobatan. Ya, aku mengakui kesalahanku, dan aku ingin memperbarui diriku sekarang. Aku mau berubah. Tapi sudah terlambat.
Segera begitu aku mulai mengisikkan kalimat seperti, “Nozomi cantik,” aku tahu aku bakal ke neraka. Segera begitu aku mulai menggumamkan pikiran seperti, “Kizomi mengagumkan. Untuk siswi kelas satu SMP sekalipun, dia mengagumkan,” aku sudah siap terjun ke neraka. Begitu aku mulai berkomentar, “Wow, Rusia itu hardcore, dan Amerika parah juga,” seraya menyeringai sendiri, aku tahu bahwa kesempatanku 100% untuk masuk ke neraka.
Maafkan aku, maafkan aku, aku mohon maaf, aku tidak benar-benar ingin melakukan ini. Aku tidak bermaksud buruk apa-apa. Ini pada mulanya hanya lelucon. Tapi sekarang ….
“Argh!” Sakit. Aku terluka. Dadaku nyeri. Jantungku retak oleh rasa bersalah. Aku tidak mau jadi lolicon atau semacamnya. Meski begitu, sekarang ini aku hikikomori lolicon kelas satu, sepotong sampah manusia paling tak berharga yang pernah hidup.
Meski begitu, dengarkanlah: Kamu keliru. Kamu sedang khilaf! Aku tidak mau mengurung gadis di kamarku atau semacam itu! Aku tidak mau menculik siapa-siapa! Kamu keliru! Bukan akulah yang melakukan kejahatan itu! Tolong, percaya padaku! Yakinlah padaku! Jangan melihatku seperti itu! Jangan menatapku!
Tapi … tas sekolah merah. Dan suling plastik. Dan gadis-gadis polos bermain di taman. Gah!
“Mau main sama abang?”
“Nanti abang kasih permen.”
“Tinggal angkat rokmu.”
“Ayo main dokter-dokteran.”
“Ini suntikannya!”
Sudah, sudah, sudah! Aku seharusnya mati, mati, mati, selekasnya. Suara apa itu? Diamlah ….
“Satou? Kamu ada di dalam, kan? Buka dong!” Entah dari mana, ada yang memanggil, “Satou! Kamu masih hidup? Atau sudah mati? Kalau kamu masih hidup, buka dong pintunya!”
Ada yang menggedor pintu apartemenku. Tapi aku tidak sanggup lagi menampakkan diri di muka umum. Tinggalkan aku sendiri ….
“Hah, kamu benar-benar lagi pergi, ya? Aku cuma ingin meminjami kamu video ilegal yang bagus banget ini.”
Berdiri, aku menyeka air mata dan membukakan pintu.
Mendengar ceritaku, Yamazaki mengerutkan wajahnya menjadi kejijikan bukan buatan. “Seminggu kamu mengurung diri cuma untuk mengoleksi pornografi? Dasar manusia gagal.”
“Pertama-tama, ini semua salahmu.”
“Bilangnya begitu, tapi kurasa itu memang sifatmu. Benar, Satou?”
“K—k—kamu enggak merasa bersalah, ya, menyeretku sampai begini, lalu mengatakan itu?”
“Kan sudah kubilang itu cuma untuk referensi karakter? Begini, Satou, kamu tuh sama sekali enggak normal kalau mengoleksi tiga giga pornografi. Aku bahkan enggak mau dekat-dekat kamu. Jangan dekat-dekat—kamu bikin takut saja!”
“G—gr—grrrr!” Akibat gelora amarah, pandanganku sungguh-sungguh memerah. Kepalan kedua tanganku gemetar.
“Y—ya sudah, biar ganti suasana, mari kita bahas yang serius tentang rencana pembuatan gim kita. Aku akan meminjamimu rekaman ini, oke?”
Seraya menjambret rekaman itu dari kedua tangannya, aku menghantamkannya pada kakiku hingga terbelah dua. “Ap-ap-apa yang kamu …?” Yamazaki menggagap.
Seketika itu, aku mendapati satu-satunya cara untuk lepas dari dunia lolicon.
Aku membelalak pada Yamazaki. “Yamazaki.”
“Apa? Tebus video itu dong.”
“Materi lolicon itu enggak manusiawi. Itu jahat.”
Ia terdiam.
“Mari kita lepas, mari kita lepas bersama-sama! Kalau kita enggak meninggalkannya sekarang juga, kita akan menjadi lolicon sampai mati! Cepatlah!” Merenggut paksa tangan Yamazaki, kutarik dia keluar ruangan.

***

Setelah berhenti sebentar di kamar Yamazaki untuk mengambil kamera digital, kami menuju ke luar, berjalan cepat-cepat melintasi kota.
Saat itu awal Mei sore. Walaupun di kota hangat, sedikit saja orang di luar.
“Ke mana kita?”
Tanpa menjawab, aku terus berjalan dengan susah payah.
Di jalan, aku mampir ke minimarket dan membeli kamera sekali pakai, yang kuberikan pada Yamazaki. Lalu aku lanjut bergegas ke tujuanku. Yamazaki terseret-seret.
Saat itu pukul tiga sore. Waktu terbaik yang mungkin.
“Kamera digital dan kamera sekali pakai? Kamu ingin aku menggunakannya buat apa?” tanya Yamazaki, terengah-engah.
Begitu sampai di tujuanku, kujawab, “Ambil gambarku.
“Kenapa?”
“Yah, kamu tahu di mana kita?”
“Hm. Kelihatannya ini pintu gerbang sekolah dasar.”
“Benar, Sekolah Dasar Ikuta, SD negeri dengan sekitar lima ratus siswa. Dan aku akan bersembunyi di semak-semak depan gerbang. Yamazaki, kamu sembunyi juga. Cepatlah!”
“Eh?”
“Bel pulang sekolah akan segera berbunyi. Saat itu, anak-anak akan berbondong keluar dari gerbang ini.”
“Iya. Terus?”
“Aku akan mengambil gambar.”
“G—gambar apa?”
“Gambar anak-anak SD.”
Ia diam saja.
“Aku akan mengambil gambar-gambar gadis kecil cantik yang bagus, menggunakan kamera digital tercanggih milikmu.”
Hening.
“Kamu mengerti, Yamazaki? Aku akan segera menyelundupkan beberapa gambar. Aku akan bersembunyi dan mengambili gambar-gambar gadis kecil pada musim semi. Aku bisa saja akan ‘secara tidak sengaja’ membidik celana dalam. Enggak bakal kenapa-kenapa. Kalau kita tenang dan bersembunyi di semak-semak ini, tidak akan ada yang menemukan kita. Aku akan mempotret anak-anak SD ini. Aku akan mengambil sebanyak-banyaknya gambar—hanya anak-anak paling cantik, tentunya.”
Bel berbunyi. Dalam beberapa menit, para siswa akan keluar lewat gerbang ini.
“Yamazaki, kamu ambil gambarku dengan kamera sekali pakai itu. Ambillah sebanyak-banyaknya fotoku, si pria lolicon jelek mesum ini, selagi dia mengambil gambar anak-anak SD! Kamu mengerti? Kamu mengerti? Ini gambar yang jelek. Tapi, ini juga penampilanmu. Kamu harus membakar penampakan kotor, menyedihkan lagi menjijikkan ini ke film itu. Kita akan mencucinya bersama-sama lalu secara objektif melihat kejelekkan, kekotoran, dan keburukan kita sendiri. Dengan begitu, kita akan bisa lepas dari lolicon dan kembali normal.”
Suara gadis-gadis kecil menggema keluar dari gerbang masuk ke tangga. Aku mempersiapkan kamera digital. Tinggal sedikit saja lagi ….
“Siap, Yamazaki?! Aku akan mengambil gambar. Sebentar lagi, akan datang para gadis yang pertama-tama. Aku akan sembunyi-sembunyi mengambil gambar mereka! Lalu, kamu ambil gambarku! Kamu paham? Kalau kamu mengerti, jawablah, Yamazaki.
“Ah, yang pertama itu cantik! Pakai baju putih, celana panjang hitam ketat, dan bot cokelat gelap, dia mengagumkan! Moe, moe! Kamu dengar, Yamazaki?! Aku mengeklik shutter! Sekarang kamu klik shutter juga. Tapi jangan gunakan kilat—kalau kamu melakukannya, mereka akan menemukan kita dan langsung memanggil polisi.
“Ah, ini seru, ketegangan yang menggolakkan darah dan merayapi daging. Aku bergairah! Jantungku berdebar-debar! Anak-anak SD sekarang manis-manis. Aku klik shutter! Klik! Klik! Bidikan mantap!
“Mari sebut anak SD yang cantik itu—kelihatannya dia sekitar kelas enam SD—mari sebut dia Sakura, sementara ini. Begitu Sakura berbalik untuk melihat kawan-kawannya, aku tidak bisa membiarkan sudut diagonal empat-puluh-lima derajat yang sempurna itu lepas dari aku! Heh heh heh, kamu dengar, Yamazaki? Apa kamu sudah memastikan untuk mendapatkan foto-fotoku, Yamazaki? Tangkaplah setiap detail penampakan lolicon-ku yang mengerikan ini, atau kalau tidak aku akan jadi orang mesum yang biasa-biasa saja.
“Wah! Lebih banyak lagi murid yang keluar dari bangunan. Lihat gadis-gadis cantik itu, bersemangat sekali. Aku ambil gambar mereka, ambil gambar mereka, ambil gambar mereka! Bertiuplah, angin sepoi musim semi! Naiklah, angin ribut! Dan angkatlah rok mereka!
“Kamu masih di situ, Yamazaki? Aku sedang mencari jendela bidik kamera digitalnya, jadi aku enggak bisa lihat kamu. Kamu lagi berdiri miring di belakangku, kan, Yamazaki? Pastikan untuk memotret penampakanku yang menjijikkan ini. Kamu mengerti, kan? Ayolah, Yamazaki, apa kamu sungguh-sungguh dengar? Hei, katakan sesuatu! Aku sedang berusaha sebaik-sebaiknya untuk membidik celana dalam anak-anak kecil ini. Kamu semestinya ketularan semangatku dan melakukan yang terbaik juga. Kamu dengar? Hei, kubilang katakan sesuatu! Oh ya sudah, terserah lah. Lagian kita sedang berbuat jahat. Kalau kamu terlalu takut untuk bicara, itu wajar saja. Suaramu lembek, lagian.
“Hei, tahu enggak sih kamu? Memotret diam-diam itu asyik. Dan sekarang aku ini manusia keji …. Hm, benar—dulu aku tidak benar-benar ingin menjadi sampah semacam ini. Saat aku kecil, mimpiku kuliah di Universitas Tokyo dan menjadi ilmuwan hebat. Aku ingin menemukan sesuatu yang dapat membantu seluruh umat manusia. Dan sekarang, aku hikikomori lolicon! Semestinya kamu menangis. Yeah, benar. Menangislah! Cucurkanlah air mata karena penampilanku yang menjijikkan ini!
“Kita ingin tersenyum lepas dan gembira setiap hari. Kita ingin menikmati kehidupan sehari-hari yang normal, biasa saja, dan mengasyikkan. Tapi, gelombang takdir yang kasar dan sulit dipahami ini menjadikannya tidak mungkin—maka, menangislah dalam keputusasaan! Kita sungguh-sungguh ingin menjadi orang berguna bagi semua orang, dihormati semua orang, hidup harmonis bersama semua orang. Tapi, sekarang kita hikikomori lolicon—jadi, menangislah dalam keputusasaan! Kamu harus menangis!
“Ah, aku sedih. Begitu sedihnya aku. Tapi anak-anak SD itu cantik-cantik. Aku bergairah.
“Ah. Oooh. Air mataku enggak mau berhenti. Jendela bidiknya mengembun juga, jadi aku enggak bisa melihat dengan jelas. Tapi aku akan terus mengambili gambar para gadis kecil ini—jadi, Yamazaki, kamu harus bekerja keras mengambili gambar juga. Menyedihkan, tapi berusahalah yang keras. Kita tidak bisa berhenti menangis, tapi lakukanlah yang kita bisa. Kita akan berusaha sebaiknya untuk memotret anak-anak SD ini!
“Hah? Apa? Kenapa kamu tiba-tiba menepuki pundakku? Ada masalah apa? Hei, hei, berhentilah. Ini baru mulai bagian bagusnya.
“Lihat, kan? Lihat yang satu itu, gadis berambut pendek yang pakai kaus kaki sampai lutut. Dia manis banget, aku ingin membawa dia pulang. Membopongnya seperti makanan dari restoran dan membawa dia pulang. Eh? Menyebalkan sekali kamu ini! Aku lagi sibuk! Ayolah, kenapa sih, Yamazaki. Kalau kamu menepukiku begitu, gambarnya bakal kabur. Hei, hei, kamu ini benar-benar menjengkelkan, ya. Kenapa sih kamu ini, mendadak begitu?”
“Satou! Hei, Satou!”
“Shhh! Diamlah, nanti kita ketahuan!”
“Kamu lagi apa, Satou?”
“Kan sudah jelas. Gadis yang berambut pendek itu …”
“Gadis?”
“Mengambil gambar raha—“
Seketika itulah, kebetulan aku melepaskan mata dari jendela bidik. Selagi begitu, telapak tangan yang bertengger di pundakku memasuki sudut pandanganku. Jemari ramping lagi lentur yang tidak mungkin dimiliki seorang pria ….
Aku berpaling.
Ada Misaki. Jantungku mulai memompa lima puluh kali denyut nadiku yang biasanya.
Bertiuplah angin sepoi-sepoi yang lembut.
Berhentilah waktu.

***

Entah bagaimana pada waktu itu, Yamazaki telah lenyap, digantikan Misaki.
Lebih buruk lagi, Misaki sedang mengenakan pakaian keagamaannya—gaun lengan panjang sederhana berikut payung pelindung matahari putih. Dengan berpakaian begitu, ia merunduk di semak-semak bersama aku.
“Se—se—sejak kapan kamu di sini?”
“Baru saja.”
Tadinya aku mau menanyakan seberapa banyak ocehan gilaku yang sudah didengarnya, tapi aku menyerah. Bagaimanapun juga, ini krisis yang sangat besar.
Seorang pria tak senonoh, dengan kamera digital menggantung di seputar lehernya, bersembunyi dalam bayang-bayang dekat gerbang sekolah dasar. Siapa pun akan menganggap dia orang mesum—dan wajar saja begitu. Aku sudah tidak ada pilihan. Gah! Maafkan aku, Ibu dan Ayah. Aku telah mengecewakan dengan putus kuliah. Aku mesti masuk penjara juga karena kejahatan seksual. Aku putra yang gagal. Bagaimana aku dapat bertobat dari kejahatan ini?
Aku sudah kehabisan waktu. Misaki, yang terus saja menatap wajahku, akan mulai berteriak. “Ada orang mesum! Ke sini cepat!”
Tidak, tidak. Akhirannya sudah pasti tidak akan berakhir seperti itu. Lagi pula, ia mengenakan pakaian keagamaannya. Dan agama-agama biasanya punya firman keras seperti, “Janganlah mendekati zina.” Tentu saja, bernafsu pada anak-anak itu sudah melampaui batas—yang itulah persisnya kenapa murka Tuhan tumpah pada pria-pria lolicon.
Benar. Kemungkinan Misaki akan mengancamku dengan “Tuhan mengetahui semua dosamu!”[1] Ia akan bilang, “Sebab, apabila hati kita menyalahkan kita, Allah lebih besar daripada hati kita, dan Dia mengetahui segala sesuatu![2]” dan membuatku menggigil ketakutan. Bersabda, “Sebab upah dosa ialah maut,”[3] kemungkinan dia akan berusaha melemparkanku ke dalam api neraka atas murka Tuhan!
Inilah akhir yang mutlak. Memandang langit, aku menyiapkan saat ketika hukuman Tuhan akan turun padaku. Dalam waktu itu, kehidupanku akan menuju akhirnya. Masa depanku akan khatam. Sesaat lagi.
Tapi, waktu berlalu selagi aku menunggu, dan Misaki tidak mencelaku. Ketika aku melihat pada Misaki, dia masih memandangiku. Dengan tubuh kami tersembunyi di semak-semak, kami menatap hening pada satu sama lain.
Akhirnya, Misaki menjelaskan, “Baru saja aku melihat Yamazaki, sambil menutupi muka dengan kedua tangannya, berlari ke arah apartemenmu. Aku heran apa yang terjadi. Ketika aku menengok kemari, aku melihat kamu, Satou, jadi ….”
“Kamu kenal Yamazaki?”
“Orang di kamar 202, kan? Dia kelihatannya senang mendapat ‘Bangkitlah!’ dari kami. Itu enggak biasa.”
“Benarkah? Aneh betul dia.”
“Apa aku mengganggumu? Kelihatannya kamu sibuk, Satou.”
“Eng—enggak! Enggak sama sekali kok. Maksudku, enggak juga. Omong-omong, Misaki, kamu lagi apa di sini?” Aku berusaha mengalihkan topik. Aku mulai merasa seolah-olah aku bisa benar-benar kabur dari situasi ini.
“Aku mau pulang dari rekrutmen agama kami. Tadi aku dan Bibi Kazuko lagi lewat dekat sini. Aku meminta Bibi pulang duluan ketika aku melihat kamu di sini.”
“Yeah? Omong-omong, aku benar-benar suka sama pakaian keagamaan kamu. Payung pelindung matahari itu benar-benar mengeluarkan aura spiritual.”
Selagi aku bilang begitu, Misaki merundukkan pandangannya. “Ini buat samaran.” Wajahnya jadi merah jambu selagi ia berkata.
“Eh?”
“Aku sebenarnya benci ikut acara kumpul-kumpul keagamaan begini, jadi aku bawa-bawa payung. Dengan begitu, orang enggak akan ingat wajahku.” Anehnya, alasan dia itu melegakan hati. Terlepas dari itu, dia tetap misterius. Aku masih belum bisa mengenali bagaimana sebenarnya dia.
Ini kesempatanku untuk lari. Kabur sekarang!
“Ya sudah, aku harus pergi,” aku berdiri.
Misaki juga berdiri, seraya menutup payungnya.
Serta-merta aku mulai berjalan menjauh dengan canggung. Aku sampai ke trotoar dari balik semak-semak, lantas aku berjalan cepat-cepat menuju jalan ke arah apartemenku.
“Satou?”
“Ya?” sambutku tanpa menoleh atau melambat.
“Jadi, sebenarnya kamu ini lolicon?”
Aku merasa seolah-olah jantungku mau berhenti. Berlagak tidak dengar, aku melangkah semakin cepat.
Misaki melanjutkan, “Enggak apa-apa kalau kamu lolicon. Malah, mungkin kamu akan merasa lebih nyaman. Kalau kamu bilang kamu adalah hikikomori lolicon, itulah yang terbaik. Kamu akan berada di peringkat paling terbawah dalam masyarakat umat manusia.”
Aku berhenti jalan dan berpaling.
Misaki memasang senyum yang biasanya. “Yeah. Dipikir-pikir, lolicon itu lebih baik. Dengan begitu, aku menganggap kamu semakin sempurna untuk proyekku.” Ia melompat ringan, kegirangan. Lagi-lagi, kelihatannya seperti agak dipaksakan.
Dengan suara paling tenang yang dapat kuusahakan, aku menyatakan, “Aku enggak tahu apa maksudmu. Lagian, aku bukan hikikomori lolicon, ya. Aku ini kreator! Aku cuma lagi ambil gambar buat referensi.”
“Hm ….”
“Benar kok.”
“Yah, ayo nanti kita ketemu lagi. Jangan melakukan apa pun yang bisa membuatmu masuk berita, oke?” Bersamaan dengan itu, Misaki melangkah pergi.
Saat itu Mei sore.




[1] Dalam catatan kaki teks asli, disebutkan bahwa ayat ini berasal dari Yohanes 3:20. Setelah ditelusuri, ternyata tidak ditemukan ayat Alkitab yang sesuai. Ayat dari Yohanes 3:20 ada pada kutipan selanjutnya (yang dalam catatan kaki teks asli tertulis berasal dari Yohanes 3:36).
[2] Yohanes 3:20. Terjemahan diambil dari Alkitab SABDA.
[3] Roma 6:23. Terjemahan diambil dari Alkitab SABDA.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...