Suatu hari, suatu saat jauh di masa depan, aku ingin
mengetahui bagaimanakah aku dan istriku akan mengenang bulan Maret 2011. Sudah
pasti kami akan mengingat saat itu sebagai bulan terjadinya gempa bumi besar,
namun aku pun menduga kami juga akan mengenangnya sebagai suatu masa ketika
kami selalu saja bertengkar. Boleh jadi pertengkaran itu telah menjadi awal
dari akhir pernikahan kami. Bisa juga itu telah dimulai dari jauh sebelumnya,
namun kami—atau setidaknya aku—luput memerhatikannya. Tiga minggu dari
sekarang, boleh jadi kami bukan lagi suami istri, dan kemungkinan aku akan
menjadi pria paruh baya mencurigakan yang merengek di balik perosotan taman,
sembari menggali lubang di tanah dengan belencong untuk mengubur satu dekade
lebih kenangan bersama istrinya. Aku tidak hendak menjadi pria itu, namun aku
tidak yakin. Terus terang, aku belum tahu akan bagaimana jadinya.
Pada malam itu pun kami mulai bertengkar lebih awal. Saat itu sedang ada pemadaman listrik bergilir, yang sudah terjadi berturut-turut. Pertengkaran itu dimulai karena hal sepele, seperti di mana pemantik kompor dan siapa yang terakhir kali menggunakannya. Aku tidak ingat bagaimana percekcokan itu berkembang, dan aku pun tidak suka menjelaskannya sekalipun bila aku melakukannya, namun sebagaimana semua pertengkaran kami Maret itu, pada akhirnya sampailah kami pada soal uang. Begitu kami sampai pada titik itu, sedikit selera humor yang biasanya entah bagaimana dapat menjaga agar pertengkaran kami tidak terlalu sengit pun kabur ke tepi medan pertempuran. Uang—atau kekurangan yang fatal dari padanya—merupakan magma yang memompa perselisihan kami.