Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20180606

Ramadan Blues (Wajahat Ali, 2009)


“Aku janji.”
Karena malu, menyesal, dan takut pada hukuman dari Allah Yang Mahakuasa, si bocah berjanji dengan teguh dan sungguh-sungguh pada ayahnya, yang imigran dari Pakistan.
“Aku berjanji tidak makan selama puasa. Aku baru akan makan ketika magrib, setelah matahari terbenam, bersama semua muslim lainnya yang berpuasa.”
Janji sebelumnya batal gara-gara cokelat M & M yang lezat dan berbahaya. Bagaikan Hawa dengan buah khuldi, si bocah menemukan “dosa asal”nya itu tersangkut di lipatan kantung celana Husky yang dikenakannya, dan cokelatnya masih baik untuk dimakan. Puasa pertamanya pun terampas oleh permen yang sudah apak dan meleleh.
Namun, itu terjadi dua hari lalu pada hari ke-27 Ramadan. Bulan yang diberkahi, ketika umat Islam berpuasa dari makan, minum, dan berbuat buruk, sehingga Allah berkenan, mengampuni dosa-dosa mereka, dan memasukkan mereka ke surga alih-alih neraka, tempat manusia dibakar selama-lamanya.
Selama Ramadan, orang Islam yang berpuasa juga dilarang melakukan “perbuatan dewasa” serta “perzinaan” hingga matahari terbenam. Si bocah bertanya pada kedua orang tuanya, “Apa itu perbuatan dewasa dan per-zi-naan? Apakah itu ketika ada laki-laki dan perempuan masuk kamar, mengunci pintu, dan bersuara seperti menyakiti satu sama lain?”
Wajah kedua orang tuanya merona karena cemas. Mereka sungguh terkejut oleh pertanyaan yang mereka ingin hindari saja hingga si bocah remaja. Mereka cepat-cepat menjawab, “Nanti kamu tahu kalau sudah besar! Siapa yang mengajarimu perkataan itu?”
“Ada di buku tentang Ramadan yang dikasih Ayah.”
Mata elang ibu tertuju pada ayah, yang menundukkan kepala mengakui.
“Jangan dulu pikirkan itu. Besok hari terakhir Ramadan, dan insyaallah kamu akan melakukan roza[1] untuk pertama kali, ya kan?”
Roza pertama yang berhasil,” tambah ayahnya antara bangga dan penuh asa. “Masyaallah--sudah besar ya kamu, mau berpuasa. Padahal kamu lebih muda daripada anak-anak yang lain! Orang-orang di komunitas iftar akan sangat bangga padamu.”
“Kasih tahu paman dan bibi bahwa kamu berpuasa,” ibunya mengingatkan. “Nanti, mereka bakal kasih kamu lebih banyak uang eidi[2] dan hadiah waktu Lebaran. Kecuali Bibi Shabnam dan Paman Abdullah pastinya--mereka itu kanjoose makhi choos[3]. Tidak pernah mereka itu kasih kamu eidi. Padahal tiap tahun kami kasih uang eidi untuk keempat anak mereka ....” Si bocah yang sudah terbiasa dengan ocehan ibunya pun berhenti menyimak, lalu menaiki tangga hendak bermain Nintendo.
Malam itu, diam-diam si ayah memasuki ruangan anaknya sementara si bocah dengan garang menumbukkan jempolnya pada konsol permainan. Si ayah tersenyum melihat anaknya. “Apa yang lucu, Yah?” tanya si bocah. “Enggak apa-apa,” kata si ayah.
Beta[4], Ayah ingin memberimu ini,” ucap si ayah sambil meletakkan dua lembar George Washington yang masih baru di tangan putranya yang tembam. “Ini buat eidi-ku? Tapi kan belum Lebaran! Lagian tahun lalu Ayah kasih sepuluh dolar.” Si ayah tersenyum dan dengan tenang menjawab, “Santai, ini bukan eidi-mu kok. Insyaallah, nanti kamu dapat lebihnya pas Lebaran. Jangan kemaruk ah! Sekarang Ayah kasih dua dolar dengan syarat, dan hanya satu syarat: kamu janji lagi, ya, jangan makan selama puasa besok. Setelah matahari terbenam, baru kamu boleh makan iftar dengan muslim yang lain--hanya setelah matahari terbenam lo. Kalau kamu tamat puasanya, Ayah kasih kamu lima dolar waktu iftar.”
“Wah!” seru si bocah.
“Iya. Lima dolar utuh cuma buat kamu sebagai tambahan panjar dua dolar ini. Oke? Tapi, kalau kamu ingkar janji dan malah makan seperti sebelumnya, ya, Ayah bakal kecewa sekali, beta. Jadi, kamu bisa tidak? Pikirkan dulu sebelum berjanji. Ingat, Allah mengetahui segala niat dan pikiran kita. Bisakah kamu berjanji yang tulus?” tanya si ayah, sambil masih memegangi lembaran hijau itu.
“Aku--aku janji--kali ini aku bisa. Aku bersumpah.”
Si ayah melepaskan uang itu, dan mengecup pipi anaknya. Si bocah pun menyeka bagian wajahnya yang jadi basah menjijikkan itu dengan telapak tangan kiri, sebagaimana lazimnya bocah-bocah. Setelah berhasil membuat perjanjian, si ayah menuju pintu. Sebelum berlalu, ia menaruh kedua tangan di khameez[5]-nya dan teringat--
“Tunggu, beta. Kemarilah, Ayah ingin kamu memiliki ini.” Si ayah memandangi benda berbulu itu. Matanya--andai saja cuma sebentar--mengenang masa muda yang sudah lama berlalu namun tidak sepenuhnya terlupakan.
”Ayahnya Ayah memberikan ini sewaktu Ayah masih bocah seumuranmu--sudah lama sekali, beta. Benda ini mengingatkan Ayah padamu. Jadi, sekarang ini milikmu.” Si ayah memberi bocah itu sebuah boneka kecil yang terlihat seperti sapi putih dengan dua tanduk kecil.
“Kenapa Ayah memberiku sapi?” tanya si bocah.
“Ini bakra--kambing. Dia itu zidee seperti kamu.”
“Apa itu zidee?”
“Artinya bandel.”
“Bandel itu apa?”
Si ayah tersenyum. Sebelum pergi, ia berujar, “Nanti kamu tahu saat sudah besar.”
Si bocah mengamati boneka yang bergoyang-goyang di tangannya itu. Bunyinya berdesir lembut saat ditekan. Si bocah melontar benda itu ke samping dan membatin, “Kenapa, ya, aku lapar banget waktu puasa? Aku lapar banget apalagi pas mau buka. Aku selalu lapar.” Si bocah merenung sendiri, mengkhawatirkan pola makan disiplin yang mesti dijalaninya nanti. Latihan kesalehan ini rasanya tidak adil dan hampir-hampir keji bagi si bocah tujuh tahun yang gembul. Isi perutnya yang kemaruk bermain pinball secara sengit dengan organ-organ di dalam tubuhnya, dan meraung bagaikan Chewbacca, baru dua hari yang lalu selama percobaan puasa pertamanya yang gagal.
Ia pun berdoa kepada Allah sembari meringkuk dengan nyamannya di kasur, di balik selimut Batman, dengan mengenakan piama Spiderman dan kaus Hulk si Hebat. Dengan sungguh-sungguh, si bocah memohon:

“Ya Allah, aku mohon jangan biarkan aku makan besok sampai magrib. Aku akan berusaha sekuat-kuatnya, tapi Kau membuatku lapar banget terakhir kali aku mencoba. Jadi, Ya Allah, aku mohon bantulah aku berpuasa supaya Ami dan Abu enggak sedih dan marah padaku. Selain itu, aku mohon berilah aku eidi yang banyak, juga Tecmo Super Bowl buat Nintendo sewaktu Lebaran. Aku janji, janji, janji bakal jadi anak muslim yang lebih baik--jadi aku mohon jangan masukkan aku ke neraka. Amin.”

Maka, pada hari terakhir Ramadan, si bocah duduk sendiri di ayunan timpang lagi teraniya, yang secara swadaya dibangun oleh paman-paman dari komunitas muslim bagi “anak-anak muda” yang lahir di Amerika. Di seberang jalan, secontong besar es krim menyala di depan Kedai Es Krim Briar, yang menjual bonbon berpilin dengan M&M di puncaknya dalam contong gula--kesukaan si bocah.
Masjid komunitas, yang sebenarnya merupakan pusat fasilitas rekreasi untuk lansia yang disewa, digunakan sebagai masjid “sementara” hingga masjid yang “asli” selesai dibangun. “Masjid” ini aromanya seperti kari Ben-gay[6] serta chai[7] Vicks VapoRub. Biasanya alergi dan ingus pampat si bocah secara ajaib hilang sepulang dari masjid.
Petugas tempat itu berkali-kali menanyai para penghulu muslim, “Kenapa selalu ada genangan air di wastafel kamar mandi?” meski begitu, mereka tidak pernah menerima jawaban yang memuaskan. Bagaimana mungkin para paman itu mengakui, apalagi menjelaskan, soal wudu, ritual pembersihan diri secara singkat saat muslim membasuh wajah, lengan, dan kaki tiga kali sebelum memanjatkan salat?
Alih-alih, saat pertanyaan ini diajukan setiap minggunya, Paman Ganja[8], yang kiranya dinamai menurut kepalanya yang botak mengilap serupa Mr. Clean[9] berkulit cokelat, cuma menuding Paman Mota, lalu menganggukkan kepala, dan tidak berucap apa-apa lagi.
Paman Mota menjadi kambing hitam sekaligus martir bagi komunitas religi yang khas ini. Ia paman berusia paruh baya dari Pakistan yang kegendutan dan hampir-hampir tidak berdaya. Ia sedikit saja bisa berbicara bahasa Inggris dan selalu duduk di pojok sambil memakan halwa[10] manis buatan istrinya. Kelak saat si bocah sudah besar, ia senang mengenang bretel berwarna cerah pada celana korduroi yang dikenakan Paman Mota hingga dada, bagaikan Sinterklas dari Anak Benua. Tawanya yang keras membungkam suara-suara lain, dan wajahnya pun memerah bagai warna sirup stroberi dalam botol Rooh Afza[11]. Paman Mota suka menyuapkan halwa pada si bocah, lalu memberkatinya dengan mengusapkan kedua tangan pada kepalanya sambil berkata, “Allah khush rakeh”--Semoga Allah selalu mencukupimu. Si bocah selalu beranggapan bahwa Paman Mota itu lebih cerdik daripada kelihatannya dan diam-diam mengetahui seluruh muslihat Paman Ganja. Namun, karena ia baik, ia diam saja, pura-pura tidak tahu, sambil memakan halwa-nya. Karena itulah si bocah selalu menyukai Paman Mota.
Ramadan kali ini akan menjadi yang terakhir bagi Paman Mota.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, tolong, ya. Tolong. Tolong berhenti mengobrol. Tolong--“ pinta suara parau beraksen Asia Selatan memecah audio pada sistem pengeras suara rakitan sendiri. Si bocah bisa mengenali suara yang khas itu sekalipun jika ia tuli, buta, dan bisu. Paman Dari-wala dari Pakistan, agaknya dijuluki demikian karena jenggotnya yang panjang dan kasar menyerupai Velcro keriting yang ditempelkan ke wajahnya dengan lem batangan. Ia menguasai satu-satunya megafon milik masjid seraya meminta jemaah untuk memberi “dana” serta “sumbangan” bagi “proyek masjid komunitas yang belum selesai”. Paman Dari-wala juga selalu mengeluhkan “para saudara-saudari” yang selalu memarkir mobil mereka secara ilegal di jalan atau trotoar alih-alih di arena parkir yang telah disewakan. Seiring dengan berlalunya tahun demi tahun, si bocah tidak pernah ingat melihat ada mobil yang diparkir di arena tersebut--sama sekali.
Biar begitu, hari ini Paman Dari-wala terus meminta, malah memohon, supaya sepatu, jootas, serta chapals ditaruh di sebelah luar bangunan, di dekat pintu. Yang dilihat bocah itu ada hampir seratus sepatu di sebelah dalam bangunan--di depan pintu.
Si bocah, yang dasarnya pemalu serta bosan dengan persiapan iftar di dalam gedung, dengan canggung mendesakkan pantatnya yang lebih dari “subur” itu. di bangku ayunan yang timpang. Asal saja ia berayun maju mundur menunggu datangnya magrib. Ia dapat membaui kheema samosa[12] yang dibuat dengan daging giling, pakora[13] kentang yang direbus dalam minyak, tikka[14] ayam--bukan--tunggu--bukan. Ah ya, maaf, kari domba maksudnya. Mmmm. Perut si bocah mulai main tinju dan menggeletar.
Sementara itu, anak-anak laki lainnya bermain rugbi-rugbian. Anak-anak yang lebih besar dan lebih tua selalu mengambil posisi yang asyik seperti quarterback, running back, dan wide receiver. Anak-anak yang lebih kecil terpaksa mengambil posisi yang lemah di barisan penyerang. Biasanya, si bocah mencoba ikut bermain--sudah pasti ia yang menjadi “center” karena ukurannya yang “subur”--namun hari ini ia ingat janji lain yang lebih dulu ia buat kepada ibunya.
Beta, untuk hari terakhir Ramadan, Ibu ingin supaya shehzada[15] Ibu terlihat tampan. Nih, pakailah shalwar khameez baru warna krem yang dibelikan bibimu. Ini dari Pakistan dan 100% terbuat dari katun! Ukurannya XL sesuai dengan badanmu yang subur. Berjanjilah pada Ibu kamu tidak akan mengotori ataupun menumpahkan khana[16] seperti biasanya ke baju ini! Janji, ya?”
Mudah untuk mengetahui yang sehari-hari dimakan si bocah dengan mengamati kausnya pada penghujung hari. Kemarin, petunjuk mengarah pada bercak ungu (selai kacang), bintik cokelat gelap (susu cokelat), noda kuning (moster menunjukkan roti isi daging kalkun halal), adapun bubuk kunyit pada kerahnya menunjukkan salan asli Pakistan yang bergizi alias kari untuk makan malam.
Demi menetapi janjinya yang satu ini, si bocah berayun sendiri pelan-pelan sembari menghindari tanah, rumput, serta bercak lumpur yang bisa-bisa diperolehnya dari permainan rugbi yang padahal tak membahayakan itu.
Anak-anak muslim lain telah mengolok-olok si bocah gara-gara pakaiannya, dan menjulukinya “enggak keren” karena tidak mengenakan kaus serta celana panjang. Si bocah menangkis, “Aku pakai ini gara-gara disuruh ibuku, tahu!”
Baru kemudian si bocah menyadari, tanggapan yang naif lagi polos ini merupakan kesalahan fatal--karena meledakkan tawa dan ejekan anak-anak lainnya. Selain “enggak keren”, si bocah kini juga dikenal sebagai “anak mami” serta “Jabba si Hutt” gara-gara perawakannya yang “subur”. Perutnya kini mulai melontarkan perlawanan serta pukulan mengait.
Ia meraba-raba kantong shalwar khameez-nya dan menemukan dua lembar George Washington yang sudah renyuk dan kusut. Temannya cuma si boneka kambing, yang disembunyikan dalam kantong untuk menghindari ejekan. Sebelah tangan si bocah meremas si kambing, sedang tangan satunya lagi menyibak lembaran hijau. Ia berbalik dan melihat contong es krim di seberang jalan--yang terang-benderang. Matahari bersiap-siap mengundurkan diri sementara bulan mulai terbit untuk kembali tampil pada malam hari. Dalam sepuluh menit, matahari akan terbenam, puasa terakhir pada Ramadan pun usai, dan komunitas itu melahap iftar bersama-sama, sembari menanti Hari Raya Eid dengan sukacita.
Secara memalukan tebersit pikiran nakal di benak si bocah. Perutnya melepaskan serangan kombo yang melumpuhkan dan hampir takluk.
Azan terdengar hingga ke seberang jalan--bahkan di kedai es krim itu. Azan mengumumkan waktu magrib, salat harian saat matahari terbenam, tanda dimulainya waktu berbuka puasa. Sepanjang hari itu, umat Islam menjalankan disiplin spiritual dalam menahan diri dan tidak bersikap berlebih-lebihan. Kedisiplinan itu lenyap begitu kertas aluminium dilepaskan dari baki berisi pakora serta samosa, dan kurma ditaruh di lidah orang-orang yang berpuasa. Kekacauan, anak-anak menjerit, para wanita mengoceh, para paman kelaparan, keributan tiada henti, hiruk-pikuk saat mengambil makanan, sajadah dihamparkan untuk persiapan salat, sementara seperti biasanya saat iftar si ayah mengamati keramaian mencari-cari anaknya.
Seiring dengan menumpuknya piring plastik berlumur minyak dan biji kurma dalam kantong sampah hitam, si ayah keluar mencari si bocah. Pertama-tama ia hendak mengamati lapangan dan menanyai anak-anak yang lebih besar yang sedang bermain rugbi kalau-kalau mereka melihat bocah berpakaian shalwar khameez. Ketika mengingat si bocah, anak-anak itu tertawa lagi. Si ayah celingukan, memanggil nama anaknya, lantas melihat ayunan yang bergerak pelan seakan ada yang baru buru-buru meninggalkannya.
Si ayah mendekati ayunan, tidak menemukan siapa-siapa, namun mendengar suara merajuk pelan dari balik pohon. Saat mendekati pohon, si ayah mendengar rajukan itu berubah menjadi isakan kecil yang mengingatkan pada putranya. Sambil menyembunyikan diri, si ayah mendapati seorang bocah memunggunginya sambil menangis pelan. Si ayah memutar bocah itu dan mendapati putranya.
Air mata mengalir di pipi si bocah. Tangan kirinya memegang es krim bonbon berpilin yang sudah separuh dimakan dalam contong gula yang menetes-netes, sementara tangan kanannya meremas boneka. Hampir seluruh mulut hingga dagunya, sebagaimana kaus-kausnya, menyerupai lukisan Pollock[17], berlumuran lelehan es krim vanila dan cokelat, beserta serpihan M&M berlapis gula melekat di bibir.
Sementara itu, tampaknya si bocah hanya mengingkari salah satu janjinya.
Lantas--setetes es krim dari contong gula jatuh ke khameez-nya.[]



Wajahat Ali penulis Amerika Serikat keturunan Pakistan, terkenal akan dramanya, The Domestic Crusaders, tentang pertemuan sehari keluarga Muslim Amerika keturunan Pakistan pascaperistiwa 9/11. Cerpennya, “Ramadan Blues”, termuat dalam antologi Pow-Wow: Charting the Fault Lines in the American Experience, Short Fiction from Then to Now (Da Capo Press, 2009).



[1] Urdu: puasa
[2] Semacam angpau, pemberian dari orang-orang tua untuk anak-anak kecil saat Lebaran
[3] (harfiah)  Orang kikir yang mengisap lebih banyak daripada lalat.
[4] Hindi: panggilan untuk anak
[5] Tunik panjang serta longgar, lazim digunakan di Asia Selatan
[6] Merek semacam krim pereda nyeri otot
[7] Campuran teh hitam dan rempah, berasal dari India
[8] Dari Ganges atau Ganges River, Sungai Gangga di India, tempat asal tumbuhnya kanabis yang lebih dikenal sebagai “ganja”
[9] Maskot dari merek produk pembersih milik Procter & Gamble
[10] Kue yang populer di Timur Tengah dan Asia Selatan sebagai sajian Idul Fitri
[11] Merek sirup asal India, populer di kalangan muslim Asia Selatan sebagai hidangan berbuka puasa
[12] Semacam pastel
[13] Camilan yang digoreng
[14] Makanan India berupa potongan daging dengan bumbu kari
[15] Urdu: pangeran
[16] Hindi: makanan
[17] Pelukis Amerika Serikat (28 Januari 1912 - 11 Agustus 1956) beraliran abstrak ekspresionis, terkenal akan teknik melukisnya yang khas yaitu dengan meneteskan atau menumpahkan cat ke atas kanvas.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...