Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20201122

The Widow, Bab Satu (Fiona Barton, 2016)

Satu

Rabu, 9 Juni 2010

Janda

Aku bisa mendengar derak langkahnya menaiki jalan masuk. Langkah yang berat karena hak tinggi. Ia hampir sampai di pintu, ragu-ragu dan menyingkirkan rambut dari wajahnya. Pakaiannya bagus. Jaket dengan kancing-kancing besar, rok yang sepadan di bawahnya, dan kacamata bertengger di atas kepala. Bukan orang dari Saksi Yehuwa ataupun Partai Buruh. Mestinya sih reporter, tetapi tidak seperti yang biasanya. Ia pengunjungku yang kedua hari ini—yang keempat dalam minggu ini, dan sekarang baru Rabu. Aku yakin ia akan bilang, “Maaf mengganggu Anda dalam situasi yang berat ini.” Mereka semua bilang begitu dan memasang tampang dungu. Seperti yang peduli saja.

Aku akan menunggunya mengebel dua kali. Orang yang datang pagi tadi tidak melakukannya. Sebagian orang jelas-jelas jemu mencoba. Mereka pergi segera setelah melepaskan jari dari bel, berderap kembali menyusuri jalan masuk secepat mungkin, masuk ke mobil, dan berlalu. Mereka bisa bilang pada atasan, mereka sudah mengetuk pintu tetapi orangnya tidak ada. Menyedihkan.  

Ia mengebel dua kali. Lalu menggedor bertubi-tubi. Seperti polisi. Ia melihatku mengintip melalui sela di samping gorden jala dan tersenyum lebar. Senyum gaya Hollywood, begitu kata ibuku. Lalu ia mengetuk lagi.

Begitu aku membuka pintu, ia mengulurkan botol susu dari ambang pintu dan berkata, “Susunya jangan dibiarkan di luar, nanti basi. Boleh saya masuk? Anda sudah menjerang air?”

Aku tidak sanggup bernapas, apalagi bicara. Ia tersenyum lagi, kepalanya teleng. “Saya Kate,” ucapnya. “Kate Waters, reporter koran Daily Post.”

“Saya—“ Aku tersentak, mendadak menyadari ia tidak menanyakannya.

“Saya mengenal Anda, Nyonya Taylor,” ucapnya. Tersirat ucapan: Andalah beritanya. “Marilah jangan di luar sini,” ujarnya. Dan sementara ia bicara, entah bagaimana, ia masuk ke rumah.

Aku merasa terlalu bingung untuk bicara karena peralihan situasi ini, dan ia mengartikan diamku sebagai izin untuk ke dapur dengan botol susu tersebut serta membuatkanku secangkir teh. Aku menyusulnya—dapur itu tidak luas dan kami agak berdesakan saat ia wira-wiri, mengisi cerek, dan membuka semua lemari, mencari cangkir dan gula. Aku cuma berdiri, membiarkan semua itu.

Ia membicarakan ruangan itu. “Dapurnya bagus, ya, seperti yang baru—saya ingin dapur saya seperti ini. Anda yang menatanya?”

Aku merasa seperti berbicara dengan teman saja. Bukan ini yang kubayangkan soal berbicara pada reporter. Kukira rasanya akan seperti ditanya-tanya oleh polisi. Akan berupa ujian, interogasi. Begitulah yang dulu dikatakan suamiku, Glen. Tetapi toh tidak seperti itu. 

Kukatakan, “Ya, kami memilih pintu putih dengan pegangan merah karena kelihatannya apik sekali.” Sekarang aku berdiri di rumahku sambil membahas perabot dapur dengan reporter. Dulu Glen mesti akan marah besar.

Ia berujar, “Lewat sini, ya?” dan aku membukakan pintu ke ruang tamu.

Aku tidak yakin apakah aku menginginkan dia di sini atau tidak—tidak yakin akan perasaanku. Rasanya tidak pantas menyanggahnya sekarang ini—ia baru saja duduk dan mengobrol sambil memegang cangkir teh. Rasanya mengherankan karena aku sangat menikmati perhatiannya. Aku merasa agak kesepian di rumah ini sejak Glen tiada.

Dan ia tampak mengendalikan segala sesuatunya. Sungguh menyenangkan sekali, ada orang yang mengendalikanku lagi. Tadinya aku mulai panik karena harus mengatasi semuanya sendiri, namun Kate Waters bilang ia akan membereskan segalanya.

Yang mesti kulakukan hanyalah menceritakan seluruh kehidupanku padanya, katanya.

Kehidupanku? Yang ingin ia ketahui sebenarnya bukan aku. Ia mendaki jalan masuk ke rumahku bukan untuk menyelidiki Jean Taylor. Ia ingin tahu kebenaran tentang lelaki itu. Tentang Glen. Suamiku.

Ketahuilah, suamiku mati tiga minggu lalu. Ditabrak bis persis di luar supermarket Sainsbury. Sesaat ia di situ, mengomeliku soal jenis sereal yang semestinya kubeli, dan sebentar kemudian, mati di jalan. Cedera kepala, kata mereka. Mati ya mati saja. Aku cuma berdiri dan menatapnya, tergeletak di sana. Orang-orang berlarian mendapatkan selimut dan ada sedikit darah di trotoar. Tidak banyak darah padahal. Ia sudah pasti tidak senang. Ia tidak suka kejorokan macam apa pun.  

Semua orang sangat baik dan berusaha menghalangiku melihat tubuhnya, namun tidak mungkin kutampakkan pada mereka aku senang ia pergi. Omong kosongnya sudah berakhir.

***

Rabu, 9 Juni 2010

Janda

Sudah pasti polisi datang ke rumah sakit. Bahkan Inspektur Reserse Bob Sparkes muncul di Unit Gawat Darurat untuk membicarakan Glen.

Waktu itu aku tidak mengatakan apa pun padanya ataupun pada yang lainnya. Kukatakan pada mereka tidak ada yang ingin kusampaikan, aku terlalu kalut untuk bicara. Menangis sedikit.

IR Bob Sparkes pun menjadi bagian dari kehidupanku lama sekali—sekarang sudah tiga tahun lebih—namun kurasa barangkali ia akan menghilang bersamamu, Glen.

Aku tidak menyampaikan soal ini sedikit pun pada Kate Waters. Ia duduk di salah satu kursi berlengan yang ada di ruang duduk, sambil menyesap teh dan menggoyang-goyangkan kaki.

“Jean,” ucapnya—kuperhatikan ia tidak lagi menyebutku Nyonya Taylor—“minggu belakangan ini mestilah sulit sekali bagimu. Namun kau telah melaluinya.”

Aku diam saja, cuma menatap pangkuan. Ia tidak tahu yang telah kualami. Tidak ada seorang pun yang tahu, sebetulnya. Aku tidak pernah bisa menceritakannya pada siapa pun. Glen bilang begitulah yang terbaik.

Kami menunggu dalam hening, lalu ia mencoba mengalihkan topik. Ia bangkit dan mencomot potretku dan Glen dari atas perapian—kami berdua sedang menertawakan sesuatu.

“Kau tampak muda sekali,” ucapnya. “Ini sebelum kau menikah?”

Aku mengangguk.

“Apakah kalian sudah saling mengenal dari lama sebelumnya? Kalian bertemu di sekolah?”

“Bukan, bukan di sekolah. Kami bertemu di halte bis,” kuceritakan padanya. “Dia tampan sekali dan lucu. Waktu itu aku berusia tujuh belas tahun, sedang magang pada penata rambut di Greenwich, sementara dia bekerja di bank. Dia lebih tua sedikit dan pakai setelan dan sepatu bagus. Dia berbeda.” 

Aku mengarangnya hingga terdengar seperti novel romantis sementara Kate Waters menelannya mentah-mentah, sambil mencoret-coret notesnya, menatapku melalui kacamatanya yang kecil dan mengangguk-angguk seakan mengerti. Ia tidak berpura-pura.

Sebenarnya, pada awalnya Glen tidak seperti orang yang romantis. Masa pacaran kami sebagian besar dilalui dalam kegelapan—bioskop, jok belakang mobil Escort miliknya, taman—dan tidak ada banyak waktu mengobrol. Namun aku ingat kali pertama ia menyatakan cintanya padaku. Sekujur tubuhku tersengat, seakan aku bisa merasakan setiap inci kulitku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa hidup. Kukatakan aku juga mencintainya. Habis-habisan. Bahwa aku tidak bisa makan ataupun tidur gara-gara memikirkannya.

Ibuku bilang aku sedang “kasmaran” saat aku mondar-mandir tak keruan di rumah. Aku tidak tahu pasti artinya “kasmaran”, namun aku ingin bersama Glen sepanjang waktu dan waktu itu ia bilang ia merasakan hal yang sama. Kurasa Mum agak cemburu. Ia menggantungkan hidupnya padaku.

“Ia terlalu bergantung padamu, Jeanie,” kata Glen waktu itu. “Tidak sehat ke mana-mana bersama anak.”

Aku berusaha menjelaskan tentang Mum yang takut pergi sendirian namun Glen bilang ibuku egois.

Glen sangat protektif, memilihkan tempat duduk untukku di pub yang letaknya jauh dari bar—“Supaya kau tidak merasa terlalu berisik,”—dan memesankan hidangan untukku di restoran supaya aku merasakan hal baru—“Kau bakal menyukainya, Jeanie. Coba sajalah.” Maka aku pun mencobanya dan terkadang hal baru memang menyenangkan. Dan kalaupun tidak begitu, aku diam saja untuk menjaga perasaannya. Ia jadi membisu kalau aku melawannya. Aku tidak suka ia seperti itu. Merasa aku sudah mengecewakannya.

Aku belum pernah jalan-jalan bersama orang yang seperti Glen, orang yang tahu tujuan hidupnya. Laki-laki lainnya cuma seperti—anak laki-laki.

Dua tahun kemudian, saat Glen melamar, ia tidak berlutut. Ia mengenggamku erat-erat dan berkata, “Kau milikku, Jeanie. Kita saling memiliki …. Ayo kita menikah.”

Ia toh bisa memenangkan hati Mum pada waktu itu. Ia biasa datang membawa bunga—“Pemberian kecil untuk wanita lain dalam hidupku,” begitu katanya sehingga ibuku terkikih-kikih. Ia membicarakan serial Coronation Street atau keluarga kerajaan dan Mum menyukai topik tersebut.  Mum bilang aku gadis yang beruntung. Karena Glen membukakan duniaku. Mau membenahi diriku. Menurutnya Glen bisa menjagaku. Dan memang seperti itulah Glen.

“Dulu dia bagaimana orangnya?” tanya Kate Waters, seraya mencondongkan tubuhnya ke depan untuk memotivasiku bercerita. Dulu. Yang dimaksud Kate sebelum segala kejadian buruk itu.

“Oh, dia sangat menyenangkan. Sangat penyayang, tidak ada habis-habisnya,” ujarku. “Selalu membawakanku bunga dan hadiah. Mengatakan akulah satu-satunya. Aku sangat tersentuh oleh semua itu. Usiaku baru tujuh belas tahun.”

Kate menyukai cerita itu. Mencatat semuanya dengan tulisan cakar ayam yang menggelikan dan mendongak. Aku berusaha menahan tawa. Aku merasakan bangkitnya histeria namun yang terdengar menyerupai isakan dan tangan Kate pun terulur menyentuh lenganku.

“Tidak usah risau,” ucapnya. “Sekarang semuanya telah berakhir.”

Benar. Tidak ada lagi polisi, tidak ada lagi Glen. Tidak ada lagi omong kosongnya.

Aku tidak begitu ingat kapan aku mulai menyebutnya seperti itu. Omong kosong itu dimulai jauh sebelum aku dapat menyebutnya begitu. Aku terlalu sibuk menjaga kesempurnaan rumah tangga kami, yang diawali dengan pernikahan di hotel Charlton House.

Menurut ayah dan ibuku, aku terlalu muda menikah pada usia sembilan tahun, namun kami membujuk mereka. Yah, sebetulnya, Glen yang melakukannya. Ia sangat gigih, sangat setia padaku, dan akhirnya Dad mengatakan “Ya” dan kami pun merayakannya dengan sebotol anggur Lambrusco.

Mereka yang membiayai pernikahan kami sebab aku anak mereka satu-satunya dan menghabiskan seluruh waktuku memandangi gambar-gambar di majalah pengantin bersama Mum serta memimpikan hari pentingku. Hari pentingku. Betapa aku terpaku pada itu dan memenuhi hidupku dengannya. Glen tidak pernah campur tangan.

“Itu bagianmu,” ujarnya dan tertawa.

Ia mengatakan itu seolah-olah ia punya punya bagiannya sendiri. Barangkali yang menjadi bagiannya itu adalah pekerjaannya; ia pencari nafkah yang utama, begitu dibilangnya. “Aku tahu ini kedengarannya kolot, Jeanie, tetapi aku ingin menjagamu. Kau masih sangat muda dan segala persoalan menanti kita.”

Ia selalu punya cita-cita yang besar dan semua terdengar sangat menarik saat ia membicarakannya. Ia akan menjadi manajer cabang, lalu berhenti untuk memulai usaha sendiri. Jadi bos bagi dirinya sendiri dan menghasilkan banyak uang. Aku bisa membayangkan ia mengenakan setelan mewah, dengan sekretaris dan mobil yang lapang. Sementara aku, aku akan selalu ada untuknya. “Jangan pernah berubah, Jeanie. Aku mencintaimu apa adanya,” begitu biasa ia ucapkan.

Jadi kami membeli rumah Nomor 12 dan pindah setelah pernikahan. Bertahun-tahun setelah itu kami terus tinggal di sini.

Di depan rumah ada taman, namun kami menutupinya dengan kerikil “supaya tidak usah memangkas rumput,” begitu kata Glen. Aku suka sekali rerumputan, namun Glen suka yang serba apik. Saat kami baru tinggal bersama, pada awalnya terasa sulit, sebab aku biasanya agak berantakan. Mum selalu menemukan piring kotor dan kaus kaki bekas menumpuk di bawah tempat tidurku di rumah. Glen bisa malu sekali kalau melihatnya.

Sekarang bisa kubayangkan giginya bekertak dan matanya menyipit, saat ia memergokiku menyeka remah-remah roti dari meja ke lantai dengan tangan setelah kami minum teh bersama pada suatu malam, segera sesudah itu. Aku bahkan tidak menyadari yang tengah kulakukan—mestilah sudah begitu sering melakukan itu tanpa menyadarinya, namun sejak itu aku tidak pernah melakukannya lagi. Ia baik padaku dalam hal begitu, mengajariku caranya melakukan berbagai hal dengan benar supaya rumah jadi apik. Ia suka rumah yang apik.

Pada awal pernikahan kami, Glen menceritakanku semua tentang pekerjaannya di bank—tanggung jawab yang dipegangnya, betapa para junior mengandalkannya, lelucon yang dilontarkan staf pada satu sama lain, atasan yang tidak disenanginya—“Dikiranya dia lebih baik daripada siapa pun, Jeanie”—dan orang-orang yang bekerja dengannya. Joy dan Liz di bagian administrasi; Scott, salah satu staf konter, yang kulitnya bermasalah dan selalu merona; May, pegawai magang yang selalu berbuat kesalahan. Aku suka mendengarkan ceritanya, suka mendengar tentang dunianya.

Kurasa aku pernah menceritakan tentang pekerjaanku padanya, namun rupanya pembicaraan langsung mengarah lagi ke bank.

“Menata rambut itu bukan pekerjaan yang sebegitu menarik,” ucapnya, “tetapi kau sangat pandai melakukannya, Jeanie. Aku sangat bangga padamu.”

Ia berusaha supaya aku merasa lebih nyaman dengan diriku, ujarnya. Dan ia memang seperti itu. Rasanya menenteramkan sekali dicintai oleh Glen.

Kate Waters menatapku, kembali mendongak. Kuakui ia hebat. Aku belum pernah bicara pada wartawan, kecuali untuk mengusir mereka, tidak pernah ambil pusing membiarkan seorang pun masuk. Bertahun-tahun mereka menghampiri pintu sesekali, dan belum ada satu pun yang berhasil masuk hingga hari ini. Glen memastikan tidak ada yang masuk.

Namun sekarang Glen tidak ada di sini. Dan Kate Waters tampaknya berbeda. Ia bilang ia merasakan “pertalian sejati” denganku. Katanya ia merasa seolah kami telah berabad-abad saling mengenal. Dan aku mengerti maksudnya.

“Kematian Glen mestilah sangat mengejutkan,” ucapnya, sembari meremas lenganku lagi. Aku mengangguk tanpa suara.

Aku tidak mungkin memberi tahu Kate bagaimana aku mulai terjaga dalam pembaringanku, sambil mengharapkan kematian Glen. Yah, persisnya bukan mati. Aku tidak ingin Glen tersakiti, menderita, atau apa pun itu. Aku cuma tidak menginginkan keberadaannya lagi. Aku selalu mengkhayalkan momen ketika aku mendapat telepon dari petugas polisi.

“Nyonya Taylor,” demikian suara rendah itu berbicara. “Mohon maaf, ada kabar buruk.” Aku hampir selalu merasa geli menanti bagian selanjutnya. “Nyonya Taylor, saya rasa suami Anda tewas karena kecelakaan.”

Lalu aku melihat diriku—benar-benar melihat diriku—tersedu sedan serta mengangkat telepon untuk mengebel ibunya dan mengabarkan pada wanita itu. “Marry,” begitu kubilang, “Maaf, ada kabar buruk. Glen. Dia meninggal.”

Bisa kudengar kekagetan dalam embusan napasnya. Bisa kurasakan dukanya. Bisa kurasakan simpati dari teman-teman atas kehilanganku, keluargaku berkerumun di sekitarku. Dan hati yang berdebar diam-diam.

Aku, janda yang berduka. Jangan membuatku tertawa.

Tentu saja, saat itu benar-benar terjadi, rasanya tidak sebegitu nyata. Sesaat ibunya terdengar nyaris selega diriku karena semuanya telah berakhir, lalu ia meletakkan teleponnya, menangisi putranya. Tidak ada teman yang dapat dikabari, dan hanya sedikit keluarga yang berkumpul di sekitarku.

Kate Waters bersiul mengisyaratkan keperluannya ke kamar kecil serta menambah teh, dan kubiarkan saja ia, sembari menyerahkan cangkirku padanya dan menunjukkan tempat menggantung mantel di bawah tangga. Selagi ia tidak ada, sekilas kuedarkan pandang ke ruangan, memastikan tidak ada barang milik Glen yang tampak. Tidak ada tanda mata yang bisa dicuri Kate. Glen telah memperingatkanku. Ia telah memberitahuku segalanya tentang pers. Kudengar toilet diguyur dan akhirnya Kate muncul lagi membawa baki dan kembali menghidupkan percakapan tentang betapa aku ini mestilah wanita yang hebat, sungguh setia.

Aku terus-terusan menatap potret pernikahan pada dinding di atas perapian. Dalam potret itu aku dan Glen tampak begitu muda padahal bisa saja pada waktu itu kami mengenakan pakaian orang tua kami. Kate Waters melihat pandanganku dan mengambil potret itu dari dinding.

Ia hinggap di lengan kursiku dan kami memandangi potret itu bersama-sama. Enam September, 1989. Hari kami mempertalikan ikatan. Entah mengapa aku mulai menangis—tangis sungguhanku yang pertama sejak kematian Glen—dan Kate Waters pun merangkulku.



Lanjutan dari Latihan 6 blog Latihan Menerjemahkan Novel. Teks sumber diambil dari sini.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...