Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20210620

Welcome to the N. H. K. Bab 07 Batu yang Berpusar Bagian 3 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Yamazaki mengerjakan gim itu sendirian. Dengan menggunakan skenario yang baru setengah kuselesaikan, dia menciptakan gim itu sendirian. Dengan halusinogen yang kami beli beberapa hari lalu agar dirinya tetap kenceng, ia anteng berfokus pada komputer. Apakah ini bentuk lain pelarian dari kenyataan? Sungguh ini cara yang penghabisan. Tapi, memangnya bisa menciptakan gim dalam pengaruh halusinogen? Seraya bersandar pada bahu Yamazaki, aku mengintip ke monitor komputer dia.
Layar penuh dijejali kata-kata kecil. “Organisasi raksasa yang mengontrol kematian, kecemasan, kejahatan, neraka, racun, jurang, dan serupanya yang menyakitkan—inilah musuh kita, dan kita mesti mengalahkan musuh ini demi memenangi cinta si tokoh utama perempuan! Inilah misi gim ini. Musuhnya tak berwujud, dan entah di mana dia berada, maka berhati-hatilah! Kau bisa saja ditusuk dari belakang. Ini berbahaya, berbahaya ….”
“Apa ini?” kutanya Yamazaki.
Yamazaki pelan-pelan memutar kursinya. Manik matanya sepenuhnya mengecil. Bibirnya menggerenyot terbuka selebar mungkin membentuk senyum berbahaya yang dapat menakuti siapa saja.
“Apa maksudmu? Kamu bisa lihat sendiri, kan? Ini gim erotisku. Ini RPG—role playing game—dan pemainnya adalah karakter utamanya. Dalam gim ini si pemain maju dengan membaca berkas teks. Kalau dia membacanya, dia akan belajar segala macam hal penting. Di samping itu, tokoh utama perempuannya moe moe. Lihat. Cakep, kan, dia? Tokoh utama perempuannya alien dengan telinga kucing. Dia ditangkap musuh. Maksudnya musuh di sini, yaitu penjahat—penjahat tidak terlihat. Tujuan sebenarnya gim ini adalah untuk menyingkap wujud tak terlihat si musuh. Di situlah adanya kebenaran hidup ini, kan? Paham? Dengan kata lain, aku telah menyadari hakikat dunia ini. Aku menginsafi bahwa misiku ialah untuk menyebarkan epifaniku kepada semua orang, dan lalu gim erotis akan menjadi Bibel di abad baru ini. Aku akan berhasil menjual sejuta kopi. Aku akan menjadi kaya. Maka … ah, asyiknya. Hei, Satou, kamu senang juga, kan?”
Sembari menggigil, aku melangkah mundur. Selagi begitu, Yamazaki mengeluarkan tawa yang kedengarannya seperti mesin. Seakan-akan terpicu oleh suaranya sendiri, kekehannya lantas menanjak jadi ledakan tawa. “Ha ha ha, ha  ha, ha ha ha! Ah, lucunya!”
Yamazaki jatuh dengan seramnya dari kursi, dan mendarat dalam posisi merangkak. Ia maju ke arahku dengan seluruh tubuhnya gemetar. Penampakannya mengingatkanku pada film zombi horor.
Aku mulai panik dan tegak ketakutan, terpaku di tempat.
Seraya menangkap kedua lututku, Yamazaki berteriak, “Ini lucu sekali, sangat lucu sekali! Aku enggak bisa berbuat apa-apa!”
Saking ketakutannya, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa.
“Hampa, begitu hampa aku tak sanggup lagi!”
Soal itu aku juga merasakannya. Tapi Yamazaki, yang sedang dalam pengaruh kuat obat, demikian menakutkannya. Aku berdoa supaya dia segera kembali wajar, tapi tidak terjadi. Sembari menggetarkan senyum, ia terus terkekeh-kekeh sendiri.
Mendapati bahwa tidak ada yang bisa kulakukan, aku memutuskan untuk menyerah saja. Aku mengisap obat putih itu lewat selaput hidungku. Efeknya segera terasa.
Ah, betapa nikmatnya …. Betapa menarik …. Rasanya sungguh enak … Ini terbaik.
Ah …. Aku enggak bisa meneruskan ini …. Sudah selesaikah …. Sakit …. Betapa sedihnya …. Apa yang mungkin bisa kulakukan? …. Enggak ada yang bisa kulakukan …. Betapa nyeri ….
Lagi-lagi halusinasi yang buruk.
Efek halusinogen itu terpengaruh oleh kondisi jiwa dan lingkungan si pemakai. Pada dasarnya, hasilnya bergantung pada kerangka pikir dan keadaan fisik di sekitar si pemakai. Kalau si pemakai merasa sedang bersenang-senang saat menggunakan obat itu, mereka bakal berada di surga. Tapi kalau dalam keadaan tertekan, mereka bakal langsung ke neraka. Menggunakan narkoba dengan maksud lari dari kenyataan tidak akan membawa akibat yang baik.
Tentu aku sudah tahu itu. Aku tahu, tapi … indraku yang sudah dikacaukan narkoba ini terserang oleh ketakutan nyata yang dramatis. Ini lain daripada kecemasan samar-samar yang kurasakan setiap hari. Yang ini hampir-hampir ada wujudnya—kekalutan yang mudah dipahami, jelas seutuhnya.
Ya, ini ketakutan yang luar biasa besar, namun ada wujudnya dan mudah dipahami, kekalutan beginilah malah yang mungkin kuinginkan. Dibandingkan dengan kekalutan sehari-hari yang secara menetap menyiksaku sedikit demi sedikit, rasa depresi yang diakibatkan obat ini boleh jadi menyenangkan.
Yamazaki beralih kepada kulkas dan mengayunkan tinjunya.
“Sialan, kalau berani, ayo! Aku akan menghadapimu!”
Tampaknya Yamazaki sedang menentang lawan imajiner di sebelah sana.
Adapun aku duduk menggigil di pojok, sambil memegangi kepala dan menarik kedua kakiku lekat-lekat ke dada.
“Berhenti! Jangan ke sini!” Musuhnya dekat. Biarpun takut, entah bagaimana aku bersenang-senang. Dikejar-kejar lalu dibunuh para musuh merupakan bayangan yang menegangkan. Paranoiaku benar-benar menggairahkan.
Ini merangsangku. Singkatnya, ini menyenangkan.
Kalau menyenangkan, ini mestilah seru.
Benar! Dengan kata lain, kami gembira. Aku memutuskan bahwa ini merupakan halusinasi terbaikku! Sekarang aku sungguh mengerti gaya hidup rock-and-roll. Kuputuskan untuk menyempurnakan gaya hidup tersebut.
“Habis narkoba, terbitlah kekerasan!”
Sebelum efek obatnya reda, kami berlari keluar apartemen dan menuju ke taman.
Kami akan bertarung. Malam ini, kami akan memindahkan aksi kekerasan kami ke taman yang terbuka lebar. Seperti orang-orang muda di masa mudanya yang bebas, kami harus berantem! Kami akan berkelahi dengan dramatis, spektakuler, dengan segala gairah kickboxer K-1! Kalau melakukan ini, kami bisa merasakan kesenangan lebih ….
Matahari sudah lama terbenam, dan tidak ada tanda seorang pun di sekitar kami. Kalau sampai ada orang, bisa-bisa kami kena masalah. Kejadiannya akan memalukan.
Disorot lampu jalan taman, kami berhadapan. Aku mengenakan jersey dan kaus, sedang Yamazaki mengenakan baju hangat. Kami sama-sama berpakaian yang memudahkan pergerakan. Kami siap.
Karena pengaruh obatnya masih belum reda, Yamazaki ceplas-ceplos. Ia terus saja mengoceh. “Ini sering terjadi. Drama di mana dua aktor tampan muda bertengkar tentang masa muda, cinta, atau apalah, baku hantam di taman, di mana semuanya basah karena hujan. ‘Kamu enggak benar-benar paham apa itu cinta!’ …. ‘Aku mencintai Hitomi dengan segenap hatiku!’ …. ‘Buk! Bak!’ Begitulah ….”
Sembari melakukan pemanasan, aku menggangguk padanya agar meneruskan.
“Di hatiku, aku benar-benar mendambakan drama semacam itu karena ada kebenaran di acara-acara televisi itu. Karena ada perkenalan, pengembangan, titik balik, dan pemecahan; ada ledakan emosi, ada kesimpulan …. Di sisi lain, kehidupan kita, terus-terusan diisi oleh kecemasan loyo yang suram, dan tidak ada drama, situasi, ataupun konfrontasi yang gampang dimengerti—sama sekali tidak ada yang seperti itu …. Bukankah itu rada absurd? Aku dua puluh tahun, dan kamu dua puluh dua, Satou. Biar begitu, kita tidak pernah benar-benar mencintai siapa pun, membenci siapa pun, berkelahi akibat cinta atau benci, atau mempunyai pengalaman itu sama sekali. Parah!”
Seketika itu, dengan kasar Yamazaki mengguncang-guncang kedua pundakku, selagi aku meregangkan urat Achilles.
Dia berkata, “Mari kita bertarung yang dramatis! Yang indah, tangkas, dan kasar! Mari kita berkelahi sambil mencamkan itu!
“Yeah!” kulepaskan seru keberanian dan memasang kuda-kuda berkelahi.
Maka kami pun mulai saling hantam. Payahnya, pertarungan kami kampungan. Ada kalanya bikin sakit, tapi pukulan orang lemah yang terlontar dalam pengaruh obat dayanya terbatas.
Susah payah Yamazaki berusaha menjadikan pertarungan itu seseru mungkin, maka dengan gaya dramatis ia pun mulai meneriakkan kalimat (biarpun entah apa maksudnya), “Satou, kamu tuh enggak mengerti apa-apa!”
Mana mungkin kubiarkan upayanya itu sia-sia, maka aku pun menyerukan sahutan yang terasa kena. “Kamu yang salah!”
“Apanya dari ucapanku yang salah?!”
Aku bingung, tak menduga bakal ditanyai tegas begitu. Tinju yang hendak kuayun terhenti selagi aku memikirkannya sejenak. “Misalnya, bagaimana soal kuliahmu di Institut Animasi Yoyogi?” jawabku ragu.
Seketika itu, tahu-tahu Yamazaki membidikkan tendangannya padaku. “Jangan mengolok-ngolok Institut Yoyogi!”
“Aduh! Kok mendadak kamu tendang aku betulan, dasar—“
“Jangan sombong, ya, padahal cuma hikikomori!”
Darah menderu ke kepalaku. “Matilah, lolicon! Mati kamu otaku gim erotis!”
Aku mengayunkan tinju kananku sekeras mungkin, menubrukkannya ke perut Yamazaki. Ia mengerang, menerjang, dan menjegalku, sembari masih mengerang. Saling membelit, kami jatuh ke tanah. Yamazaki mengangkangi kepalaku. Aku bisa melihat bulan di belakang dia. Aku bisa hancur remuk kalau terus begini.
Seraya mengaitkan kakiku ke lehernya, entah bagaimana aku berhasil lepas dari bawah dia. Kami sama-sama terengah. Yamazaki membelalak padaku, lantas, sambil menunduk, terkekeh-kekeh. Akhirnya, ia mendesah keras-keras, “Ah, hebat tadi itu.”
Aku mendesah juga.
“Ini masih jauh dari selesai. Ayo kita terus berkelahi sampai mati,” ucapnya. Kami pun terus bertarung: tendangan-tendangan yang liar dan pukulan-pukulan yang terang-terangan, pertempuran penuh nafsu di antara dua pria lemah. Sakit. Benar-benar menyakitkan. Tapi seru—seru lagi hampa. Sebuah pukulan terbenam di ulu hatiku, mengangkat empedu dan air mataku pun meluap, tapi aku senang. Padahal selangkangannya baru saja ditendang, tapi Yamazaki terlihat tenang sembari melompat-lompat.
Ya ampun, apa-apaan kamu ini? Kusalurkan kesangsian ini pada tinjuku—memukul dan dipukul.
Tiba-tiba, aku teringat bahwa saat itu sudah Juli. Tidak akan lama lagi. Harus ada yang segera berubah. Kemungkinan besar, akan kuputuskan sesuatu sebelum lama lagi. Aku yakin setelahnya akan tertawa, tertawa dan tersenyum. Kamu setuju, kan, Yamazaki …?
Untuk sekarang, kami terselimuti oleh goresan dan memar. Semuanya sakit. Sekujur tubuh kami nyeri parah. Salah satu gigi depanku terasa goyah. Mata Yamazaki menghitam. Tinju kananku lecet dan berdarah.
Kami baru saja mengalami pertarungan kecil pertama kami.
Sebagai bonus, kuberi Yamazaki satu pukulan lagi ke wajahnya. Selagi begitu, ia menangkap lenganku, sehingga aku tersandung dan jatuh. Menyusul kemudian, Yamazaki lantas mengunci persendianku serta memuntir lenganku.
“Aduh, aduh, nanti patah, nanti patah!” aku berusaha menepuk-nepuk tanah untuk menyatakan kalah.
“Akan kupatahkan, akan kupatahkan, akan kupatahkan secepat kilat!”
Aku menggigit betis Yamazaki sekeras mungkin. Ia menjerit, “Itu melanggar peraturan!”
“Berisik, peduli amat? Mati sana di Institut Yoyogi!”
“Sudah kubilang, kalau ada yang omong begitu, aku jadi geregetan!”
Tampaknya pertarungan kami akan menjadi semakin hebat lagi menghampakan.
Lantas, kami mendengar, “Pak Polisi!”
“Sebelah sini, Pak Polisi!” ada suara nyaring mbak-mbak.
Seketika Yamazaki melompat, dan mengambil langkah seribu balik ke apartemen.
Ia kabur sendirian meninggalkanku.

Beberapa menit kemudian, aku mendapat diriku dipukuli Misaki. Cuma “pukulan cewek”, tapi, karena pertarunganku dengan Yamazaki, aku sudah agak babak belur, dan serangan Misaki menggerincingkan tulang-tulangku. Sembari berteriak sekuat-kuatnya, dengan suara yang tidak lagi menyerupai manusia, Misaku terus memukuliku.
Aku membenamkan kepalaku.
Misaki melontarkan berpuluh-puluh pukulan lagi sebelum akhirnya tenang.
Dengan kata lain, suara yang memanggil, “Pak Polisi!” tadi adalah dari Misaki yang berpura-pura. Setelah makan malam, Misaki datang ke taman seperti biasanya, ketika dia melihat dua lelaki bertengkar keras-keras dan menghajar satu sama lain. Begitu menyadari bahwa aku salah seorang dari mereka, kontan dia jadi terusik.
Dengan mengerahkan segenap keberanian, agaknya dia merasa mesti turun tangan. Karena tidak ada siapa-siapa di sekitar dan dia juga tidak punya ponsel, maka dia tidak tahu mesti berbuat apa. Akhirnya dia memutuskan untuk berpura-pura ada polisi yang hendak menyelamatkanku.
“Aku enggak percaya sama kamu! Aku khawatir sekali! Kukira kamu bakal mati!”
Sebenarnya, aku merasa tidak enak karena telah merepotkan Misaki, yang kini menangis. Aku memutuskan untuk menghibur dia dengan sebuah kisah menarik. “Eh, di bawah semak-semak sebelah sana, pernah ada cewek yang diganggu orang mesum. Aku mendekati mereka dan campur tangan, mau menolong gadis itu, tapi si pemerkosa tahu-tahu berbalik. Dia mengeluarkan pisau dari sakunya dan melompatiku! Bukan, bukan, kejadiannya sungguh berbahaya! Kalau saja aku enggak ada di situ, mungkin ada yang terbunuh.”
“Bohong lagi, kan, itu?”
“Iya.”
“Sebenarnya tadi kamu lagi apa?”
Aku menceritakan semuanya kepada dia.
Setelah menyembur keras-keras, entah kenapa Misaki memasang tampang terluka. Sembari duduk di bangku, ia bergumam, “Itu tuh enggak baik. Jangan berantem sama teman. Meskipun cuma bercanda, kekerasan itu enggak baik—sama sekali.”
“Kamu omong apa sih? Jangan serius begitu ah. Asyik tahu. Aku enggak pernah memukul orang ataupun dipukuli. Malah aku jadi merasa segar—“
“Kubilang, itu enggak baik!”
“Kenapa? Bisa karate itu bagus kan.” Aku menunjukkan jurus-jurus pukulan bayangan di depan dia. Ketika aku menirukan right hook, Misaki menggigil dan menutupi kepalanya dengan kedua tangan.
“Eh?” ucapku.
Ia mengintip padaku lewat celah di antara kedua lengannya.
“Kenapa sih kamu?” tanyaku.
Ia tidak menyahut tapi menurunkan kedua lengannya dengan rikuh. Sekali lagi, aku berpura-pura melakukan right hook. Lagi-lagi, Misaki melindungi kepalanya dengan kedua lengan. Karena reaksinya lucu, aku mengulangi gerakan pukulanku berkali-kali. Pada akhirnya, Misaki mengkeret, tak berdaya dalam posisi begitu, dengan kedua lengan menutupi kepalanya.
Posisinya yang aneh itu menyebabkan lengan bajunya terangkat sampai ke siku, sehingga aku mengambil kesempatan untuk melirik pada kulitnya.
Diterangi cahaya lampu jalan yang putih kebiruan, aku bisa melihat bahwa lengannya bebercak-bercak yang kelihatannya seperti bekas terbakar. Luka-lukanya membulat, masing-masing berdiameter sekitar lima milimeter. Bentuknya sangat mirip dengan merek yang biasa disundutkan berandalan kampung pada satu sama lain sebagai bukti keberanian.
Seakan-akan menyadari tatapanku. Misaki menyentakkan lengan bajunya ke bawah. Dengan suara bergetar, ia bertanya, “Kamu lihat?”
“Lihat apa?” aku berpura-pura tidak tahu yang dia maksudkan.
Baru sekarang aku menyadari, Misaki selalu mengenakan baju lengan panjang. Bahkan dalam cuaca panas akhir-akhir ini, ia terus mengenakannya—tapi lantas kenapa?
Aku berucap padanya dengan suara riang. “Bagaimana konseling hari ini?”
Misaki tak menyahut. Tubuhnya masih meringkuk dalam sikap bertahan di atas bangku, gemetaran hebat. Bahkan giginya gemeletuk.
Cukup lama waktu berlalu.
Akhirnya, Misaki berkata, “Aku pamit,” sambil terhuyung-huyung lunglai ke arah gerbang keluar taman.
Dari belakangnya, aku kebingungan memandangi dia pergi, sembari bergaduh mestikah aku memanggil dia. Misaki terhenti di depan ayunan dan menoleh padaku untuk bertanya, “Sekarang kamu benci padaku?”
“Heh?”
“Kemungkinan kamu enggak akan pernah datang lagi.” Dia itu sejenis cewek yang suka membuat pernyataan-pertanyaan menegaskan yang aneh. Kami berhadapan dalam jarak sekitar enam belas kaki.
Misaki menatapku, lantas merundukkan pandangan. Lalu, sekali lagi, dia mencuri pandang ke arahku. “Kamu datang besok?”
“Kalau aku membatalkan janji, aku mesti bayar penalti satu juta yen, kan?”
“Ah, iya. Benar!” Akhirnya, Misaki tersenyum sedikit.
Aku pulang ke apartemen. Setelah membalut tubuhku dengan kompres, aku tidur.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...