Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20210725

Hantu yang Ikut Sarapan (Alan Gratz, 2012)

Suatu pagi yang hangat di bulan Juli, ada hantu ikut sarapan bersama kami.

            Hantu itu berwujud seorang gadis, usianya sekitar dua belas atau tiga belas tahun. Hanya sedikit lebih muda daripada aku. Rambutnya hitam panjang seperti sabut, wajahnya bundar, dan ia mengenakan kimono biru bergambar bunga krisan putih besar. Ayah dan ibuku mematung saat ia keluar dari kamarku. Di pojok, orang-orang di televisi terus mengoceh tentang cuaca dan politik, namun ayah dan ibuku hening sementara si gadis hantu berjingkat-jingkat melintasi ruangan, seolah-olah mereka tidak hendak menakut-nakuti dia.

            Ha. Berusaha tidak menakuti yang menakutkan.

            Aku menahan napas sementara si gadis hantu berlutut di sampingku di meja. Kami semua mengamati dia namun pura-puranya tidak, sebagaimana lazimnya dengan orang di kereta. Si gadis hantu duduk dan menatap ruang kosong pada meja hingga ayahku menyenggol ibuku.

            “Mangkuk,” bisiknya. “Ambil mangkuk.”

            Ibuku sedikit membentur meja saat ia berdiri dan tergopoh-gopoh ke dapur. Secepatnya ia kembali bersama semangkuk nasi serta sepasang sumpit, namun begitu menyadari bahwa ia mesti mendekati si gadis hantu untuk meletakkannya, ia ragu. Ayahku mengangguk tak sabar kepada ibuku agar melakukannya. Perlahan-lahan sekali, ibuku pun meletakkan mangkuk di depan si hantu, seakan-akan gadis itu bisa saja hendak menjangkau dan menyergap dia.

            Si gadis hantu mengangguk tanda terima kasih tanpa mengangkat wajah kemudian menyodokkan nasi ke mulutnya seperti yang belum makan berminggu-minggu.

            Ibuku membawakan dia semangkuk lagi, dan lagi. Kami sendiri tidak makan. Kami cuma mengamati si gadis hantu makan seraya berpura-pura memandangi mangkuk kami sendiri. Sepertinya tidak seorang pun dari kami bernapas hingga gadis itu memancangkan sumpitnya ke sisa mangkuk nasinya yang ketiga, membungkukkan badannya sekilas, lantas bergegas kembali ke kamarku untuk bersembunyi.

            “Kalian lihat?” tanya ibuku. “Kimononya dibelitkan dari kanan ke kiri? Sumpitnya ditegakkan di nasi?”

            “Ya, ya,” sahut ayahku. “Jelas dia itu hantu. Tapi apa dia zashiki warashi?”

            Kejadiannya dimulai dua minggu lalu. Awalnya peristiwa-peristiwa kecil saja. Bantal-bantal ditumpuk di sudut. Selimut diempaskan dari tempat tidur. Suatu hari stereoku mulai memainkan lagu Unicorn Lemon sekencang-kencangnya saat aku pergi, sehingga tetangga memukuli dinding sampai ibuku menemukan cara untuk mematikannya. Ibu dan ayah menyalahkanku tentu saja, padahal aku tidak ada di situ.

            Kemudian suatu malam aku terbangun oleh suara terkikih-kikih. Setengah terjaga, setengah tertidur, dalam gelap aku melihat semua boneka hewanku ditumpuk bersusun satu demi satu di kaki tempat tidur. Lalu aku melihat dia. Si gadis hantu. Ia berdiri di pojok sembari tangannya menutupi mulut, terkikih-kikih.

            Aku menjerit. Saking kencangnya aku menjerit, penghuni satu apartemen itu pada terbangun. Ibu dan ayah berlari menghampiri dan menyalakan lampu kamarku. Kalau merasa takut, biasanya kita mengira menyalakan lampu bakal mengusir si monster serta menakut-nakuti segala hantu, tapi dia bergeming di sana saat lampu menyala, si gadis berambut sabut hitam serta berkimono biru putih. Aku menunjuk padanya, sambil menjerit-jerit, namun orang tuaku tidak dapat melihat dia. Belum. Mereka pun marah dan mematikan lampu dan menyuruhku diam dan kembali tidur, sementara si gadis hantu masih berdiri di sana mengawasiku.

            Aku terjaga sepanjang malam, balik memandanginya.

            Orang tuaku mulai memercayaiku saat ayahku terbangun suatu malam karena merasa ada benda gaib yang menindih dadanya. Ia berteriak, dan saat aku mengintip ke kamar orang tuaku aku bisa melihat dia, sedang duduk di atas ayahku seraya terkikih-kikih. Besok malamnya ibuku menebarkan abu di lantai, seperti cara orang zaman dulu, katanya, dan paginya ada jejak kaki.

            Jejak kaki itu berasal dari kamarku, tapi bukan dari tempat tidurku.

            Ada hantu di rumah ini, kata ibuku. Sebagaimana yang sudah kusampaikan pada mereka. Tapi tentu saja mereka tidak ada yang meminta maaf karena tidak memercayaiku.

            “Sepertinya zashiki warashi,” kata ibu. Ia besar di desa yang banyak salju, dan ibunya suka membacakan dia dan saudari-saudarinya semua cerita yokai dari Hikayat Tono. “Kalau memang begitu, kita beruntung. Zashiki warashi membawa keberuntungan ke rumah yang dia pilih.”

            Pada hari si gadis hantu ikut sarapan, ayahku mendapat kejutan besar dipromosikan di kantor sedang sekolahku memberikan surat bahwa aku akan dipindahkan ke kelas unggulan tahun depan. Ibuku tak tahan lagi.

            Zashiki warashi! Pasti itu. Asalkan kita gembira dan menunjukkan rasa hormat, dia akan tinggal dan membawakan kita keberuntungan. Kita tidak boleh marah-marah, atau cekcok. Kalau tidak, dia bakal pergi dan kita tidak beruntung lagi.”

            Ayah dan ibuku pun sama-sama memandangku, seakan-akan akulah satu-satunya yang bakal mengacau.

            “Kamu harus berjanji untuk jaga sikap,” kata ayah. “Demi keluarga.”

            “Baiklah,” kataku. Padahal mereka yang suka ribut tanpa sebab dan menyalahkanku atas segala-galanya.

            Si gadis hantu ikut sarapan lagi keesokan harinya, dan kali ini ayah dan ibuku tersenyum terus, yang lebih menyeramkan daripada si gadis hantu yang tinggal di kamarku. Ibu dan ayahku tidak pernah tersenyum.

            “Lihat, Mayumi,” kata ibuku. “Sepertinya kamu punya teman baru.”

            Ayah mengangguk padaku, bibirnya tertarik memperlihatkan gigi kuningnya yang seperti rubah, dan aku berusaha sekeras-kerasnya agar tersenyum.

 

=

 

Aku sudah berusaha. Aku sungguh-sungguh berusaha. Aku mengenakan pakaian yang paling sopan. Aku mendengarkan album Unicorn Lemon baruku setengah kali lebih pelan daripada yang kusuka. Aku mendekam di kamarku siang malam membaca manga padahal aku bisa saja menongkrong bareng teman-temanku di terowongan bawah rel stasiun kereta. Semua demi keluarga.

            Memang ada hasilnya. Atau kelihatannya begitu. Promosi besar ayah disertai dengan kenaikan gaji yang tinggi, sedangkan petak ibu di kebun warga subur ditumbuhi sayuran padahal punya yang lain pada layu karena panas. Keluarga kami pun segera saja menjadi yang paling sukses di bangunan apartemen kami, malah mungkin di seluruh lingkungan pemukiman. Ayah dan ibuku sangat senang.

            Kemudian, suatu pagi, si gadis hantu ikut sarapan sambil mengenakan seragam sekolahku.

            Seragam sekolahku.

            Cara mengenakannya pun berbeda dari aku. Lengan panjangnya ditarik sepenuhnya ke bawah, yang bukan gayaku sekalipun pada musim dingin, dan bagian atas roknya pun diulur sehingga menutupi lutut, yang sama sekali bukan gayaku. Pita lehernya dijalin sempurna melewati lubang pada kerah blus, sedangkan kaus kakinya ditarik sepenuhnya menutupi betis, alih-alih diturunkan hingga longgar sebagaimana gayaku.

            “Rapinya!” kata ibuku padanya. Ibu memandang sepintas pakaian yang kukenakan—kaus ketat Sumo Sumo kuning, rok tule mini merah jambu di atas celana pendek wol kotak-kotak merah-jambu-putih, serta kaus kaki merah jambu bergambar kucing-kucing pelangi—lantas mengerutkan bibir. Ia tidak perlu mengungkapkan pikirannya. Aku sudah pernah mendengarkannya. Gayamu itu seperti pelacur, Mayumi! Tidak tahu malu! Sebelum kehadiran si zashiki warashi, ia mengatakannya padaku terang-terangan; sekarang ia menjaga lidahnya.

            Demi keluarga.

            “Sudah dengar tentang Nakayama-san? Kemarin ia diberhentikan tanpa hormat,” kata ayah. Pak Nakayama tinggal di lantai tiga bangunan apartemen kami dan bekerja sekantor dengan ayah. “Ada cacat di program basis datanya. Ratusan ribu rekam medis terbuka ke publik. Kabarnya sudah tersebar. Sekarang tidak akan ada yang mau mempekerjakan dia.”

            “Ah! Parah sekali,” kata ibu. “Istrinya juga sakit. Dia di opname karena keracunan makanan. Ibu Wada bilang dia mungkin tidak akan bertahan hidup. Mereka juga punya anak perempuan seusia kamu, bukan, Mayumi? Siapa namanya?”

            “Hotaru,” kata si gadis hantu. Kami semua menjengit. Ini pertama kalinya ia bicara. Ia bergeming menatap mangkuknya, sebagaimana sewaktu pertama kali ia ikut kami sarapan.

            “Ya. Ya, sepertinya itu namanya,” kata ibu.

            Kami pun tidak berkata-kata lagi selama makan. Selesai makan, aku bangkit kembali ke kamar mau duduk-duduk saja seharian membaca manga seperti biasanya. Si gadis hantu membantu membereskan sisa makan.

            “Ah! Kamu suka membantu, ya!” kata ibu.

            Sepanjang hari itu sementara aku duduk di kamar sambil mendengarkan musik dan membaca, si gadis hantu bekerja. Ia mencuci piring. Ia menyapu lantai. Ia menjemur pakaian. Selesai melakukan segala pekerjaan rumah, ia mengeluarkan buku-buku sekolahku lalu duduk di meja belajar. Padahal lagi liburan musim panas!

            Aku menyalakan album Unicorn Lemon lalu bersembunyi di balik tumpukan manga di tempat tidurku.

            Saat ayahku pulang kerja, si gadis hantu membawakannya bir serta memijat kakinya.

            “Anak yang baik sekali!” kata ayah. “Kamu mestinya belajar dari dia,” katanya padaku. “Hormati orang tua.”

            Malam itu, aku mengecat rambutku jadi merah jambu.

            Ayah dan ibuku memojokkanku di kamar saat mereka melihatnya, sambil berteriak-teriak padaku.

            “Apa-apaan sih kamu ini?”

            “Kamu mau mempermalukan orang tuamu, ya?”

            “Kita kan sudah bersepakat. Jangan sampai ada masalah. Demi keluarga.”

            “Kamu mau zashiki warashi itu pergi? Kamu mau kita kehilangan berkah?”

            “Iya!” kataku pada mereka. Iya. Aku benci dia!”

            Ayahku mengangkat tangan mau memukulku, namun ia terhenti. Si gadis hantu sedang mengamati dari ambang pintu. Entah sejak kapan dia di situ, atau sebanyak apa yang sudah dia dengar. Tidak seorang pun dari kami yang tahu.

            Jangan cekcok,” bisik ibuku putus asa. “Jangan sampai ada cekcok!

            Ayahku menurunkan tangannya lalu memperlihatkan senyum palsu bergigi kuningnya. “Jangan cekcok,” ucapnya. Ia dan ibuku bersama-sama tertunduk keluar dari kamar.

            Si gadis hantu bergeming di tempatnya sembari memandangku.

            Sisa minggu itu, orang tuaku menghindari bertatapan dengan aku, dan mereka cuma bicara padaku untuk menyuruh ini itu. Si gadis hantu juga mengabaikanku. Aku mengira ia marah padaku, atau mengerjaiku, tapi ia berkeliaran di rumah seakan-seakan aku tidak ada. Setelah beberapa lama, orang tuaku juga tidak lagi bicara padaku sama sekali. Terserah lah. Aku juga tidak mau bicara sama mereka. Aku diam saja di kamar, mendengarkan musik, dan membaca majalah. Demi keluarga.

            Pada pagi hari ulang tahunku yang keempat belas, aku hendak sarapan namun hanya menemukan jatah untuk tiga orang. Hatiku melonjak. Apa si zashiki warashi itu akhirnya pergi?

            “Selamat pagi!” kata ibuku dengan senyuman palsunya. Itulah kata-kata pertama yang dia ucapkan padaku setelah berhari-hari.

            “”Selamat pagi,” kata suara di belakangku. Suara si gadis hantu. Kepada dia lah ibuku tadi berkata, bukan aku. Si gadis hantu berjalan melewatiku dan mengambil tempatku di meja bersama kedua orang tuaku, dan mereka pun mulai makan.

            Tanpa aku.

            Aku duduk di meja dan memandang kedua orang tuaku, menanti mereka menyadari bahwa aku belum diberi makan.

            “Jangan kira ayah lupa hari apa ini,” kata ayahku. Ia mengeluarkan kado perak dan emas ke meja dengan kedua tangannya dan membungkuk. “Selamat ulang tahun!”

            Aku tertegun. Mereka lupa memberiku sarapan, tapi ingat hari ulang tahunku? Aku menjangkau hadiah itu, namun si gadis hantu menyambar dan membukanya.

            “Wadah bento Monster Island Zero!” serunya. Wadah itu berbentuk seperti kura-kura di serial animenya, dengan cangkang yang bisa diangkat dan di bawahnya ada kompartemen-kompartemen. Bagus buat wadah makan siang. Aku menginginkan wadah yang persis seperti ini sejak tahun ajaran kemarin.

            “Hari ini bukan ulang tahun dia, tapi aku,” aku mengingatkan mereka.

            “Nah, sekarang kamu bisa ganti yang lama,” kata ibu kepada si gadis hantu.

            “Wadah makanku yang lama, maksud ibu,” kataku.

            “Terima kasih! Terima kasih!” ucap si gadis hantu.

            “Bukan apa-apa,” kata ayahku. “Kamu anak perempuan terbaik yang dapat kami harapkan.”

            Aku anak perempuan kalian!” kataku. Aku menghantamkan tinjuku pada meja, sehingga mangkuk dan gelas pada bekertak-kertak.

            “Kenapa ini?” tanya ayah. Ia mengulurkan tangan untuk mendiamkan peralatan makan.

            “Ada gempa bumi?” sahut si gadis hantu.

            “Kalian tahu ini bukan gempa bumi!” teriakku. “Aku di sini! Aku lah anak perempuan kalian, bukan dia!”

            “Mungkin itu tetangga di bawah,” kata ibu. “Mereka selalu bertengkar.”

            “Kenapa sih kalian ini?” tanyaku. “Apa aku lagi dihukum?”

            Ayahku berdiri. “Malam ini aku lembur lagi di kantor. Wakil direktur memintaku untuk lembur bersama dia, menyiapkan konferensi. Sepertinya dia merencanakan agar aku jadi penggantinya saat ia pensiun.”

            “Ah, beruntung sekali,” kata ibuku. Ia tersenyum kepada si gadis hantu, kemudian mereka bangkit mengantar ayahku ke pintu.

            Aku pergi ke kamar dan menyalakan stereoku sekencang-kencangnya, meledakkan Unicorn Lemon sekeras mungkin sehingga patung-patung mainanku pada bergetar di rak. Ibu dan si gadis bergegas masuk.

            “Nah! Kalian tidak bisa mengabaikanku sekarang!” kataku. Aku berdiri tepat di depan tombol-tombol pengaturan. Mereka harus bicara padaku atau menggeserku untuk mematikannya.

            Alih-alih ibu berjalan menembusku.

            Rasanya seperti melangkah masuk ke spa air dingin sehabis berendam di onsen. Aku bergidik dan terhuyung-huyung, kulitku tertusuk oleh tegaknya bulu roma. Ibuku pastilah merasakannya juga. Ia menggigil dan menarik yukata-nya hingga menutupi leher.

            “Ah! Anginnya dingin! Pasti mau ada badai,” ucapnya.

            Si gadis hantu mematikan stereo, sehingga ruangan mendadak hening. Aku menatap kedua tangan dan lenganku, heran bagaimana ibuku bisa lewat menembusku. Aku merasa seperti sedang bermimpi.

            “Kok bisa musiknya nyala padahal kamu tidak sedang di dalam?” tanya ibuku.

            “Enggak tahu,” kata si gadis hantu. “Mungkin stereonya rusak. Dijual saja besok. Soalnya ganggu belajar.”

            “Anak baik,” ucap ibuku. Ia mengecup dahi si gadis hantu. “Selamat ulang tahun, Mayumi.”

            Aku mundur sampai menabrak pojok kamar lantas menggelongsor ke lantai. Ia menyebut gadis hantu itu Mayumi. Padahal aku Mayumi.

            Benarkah?

            Si gadis hantu naik ke tempat tidurku bersama setumpuk manga. Ia membuka salah satunya lalu mulai membaca. Entah berapa lama aku memandang dia sampai akhirnya ia merasakan tatapanku padanya dan mengangkat kepala.

            “Eh, kamu masih di sini?” kata si gadis hantu. “Pergi sana. Pergi. Kamu tidak diterima di sini.”

            Malam itu, ibu membiarkan pintu depan terbuka selagi menurunkan sampah dan barang daur ulang ke bawah untuk dikumpulkan, sementara aku menyelinap keluar bersama hal-hal lain yang tidak diinginkan keluargaku lagi.

 

=

 

Kejadiannya dimulai pada musim gugur setelah Yumiko kembali bersekolah, dan berupa peristiwa-peristiwa kecil. Manga Yumiko tertumpuk menjulang setinggi badannya. Dasi ayahnya semua tersimpul sendiri. Tiap sepatu dikeluarkan dari lemari dekat pintu depan dan dijejalkan ke kandang kucing. Pada awalnya Yumiko yang disalahkan—usianya hampir tiga belas tahun, tapi orang tuanya masih suka menyalahkan dia untuk segala hal—namun segera saja ternyata tidak mungkin dia yang melakukan semua itu.

            “Sepertinya zashiki warashi,” kata ayah Yumiko. “Tapi kita harus memastikannya.” Neneknya pernah menebarkan abu di lantai untuk menangkap basah yokai, cerita si ayah. Mereka hanya punya tepung, tapi ampuh juga. Keesokan paginya tampak jejak kaki melintasi dalam rumah. Asalnya dari lemari Yumiko.

            Zashiki warashi itu pertanda baik, kata ayah Yumiko. Saat zashiki warashi ikut tinggal bersama kita, nasib baik akan menghampiri seluruh rumah. Memang sudah ada keberuntungan terjadi. Yumiko berhasil masuk tim sepak bola di sekolah karena ada anak lain yang kakinya patah, sementara ibunya sukses menjual enam lukisan ke sebuah galeri di Shibuya.

            “Tapi kita harus selalu harmonis,” ayah menerangkan. “Kalau kita bertengkar atau mengeluh atau marah-marah, zashiki warashi akan pergi, sehingga keberuntungan kita bakal jadi kesialan.”

            “Itu artinya tidak boleh curi-curi main papan luncur di luar sama teman-temanmu,” kata ibu pada Yumiko. “Dan tidak boleh membantah perkataan guru lagi.”

            “Demi keluarga,” kata ayah.

            “Baiklah,” ujar Yumiko. Dia akan berusaha. Demi keluarga.

            Keesokan paginya, si gadis hantu ikut sarapan. Usia dan ukuran tubuhnya kurang lebih sama dengan Yumiko, dan ia mengenakan kimono biru putih. Dan apa itu yang merah jambu pada rambutnya? Ayah dan ibu Yumiko mematung, terbelah antara berpura-pura tidak mengindahkan si gadis hantu dan tidak hendak menyinggung dia. Akhirnya ibu Yumiko meletakkan semangkuk sup miso di depan dia, dan gadis hantu itu pun menyeruputnya seperti yang belum makan berminggu-minggu.

            “Lihat, Yumiko,” kata ibunya. “Tampaknya kamu punya teman baru."

            Ayah dan ibu Yumiko memasang senyuman lebar yang palsu, berpura-pura gembira.

            “Oh! Sudah dengar tentang keluarga Aoki di lantai lima?” kata ayah. “Aoki-san mabuk terus sekarang, tidurnya pun di taman. Katanya satu pagi dia ketiduran, sehingga gagal membawakan presentasi bosnya di konferensi besar. Ia diberhentikan tanpa hormat.”

            “Menyedihkan sekali,” kata ibu Yumiko. “Aku juga dengar istrinya tersandung tanaman anggur petaknya di kebun warga sehingga lehernya patah. Sungguh ironis! Padahal tadinya punya dia satu-satunya yang tumbuh waktu cuaca panas.”

            “Bukannya mereka punya anak perempuan?” tanya ayah Yumiko. “Sepertinya anaknya seumuranmu, Yumiko. Siapa, ya, namanya?”

            Si gadis hantu tersenyum, mengejutkan mereka semua. “Namanya,” sahut dia, “Mayumi.”[]

 

Alan Gratz mengarang sejumlah buku bagi pembaca muda, termasuk Samurai Shortstop. Fiksi pendeknya terbit di majalah Metropulse Knoxville, Alfred Hitchcock’s Mystery Magazine, serta antologi praremaja Half-Minute Horrors. Ia pernah tinggal dua bulan di Tokyo pada 2010 mengajarkan penulisan fiksi sejarah di Sekolah Amerika di Jepang. www.alangratz.com


Cerpen ini diterjemahkan dari "The Ghost Who Came to Breakfast" dalam Tomo: Friendship Through Fiction—An Anthology of Japan Teen Stories, disunting dan diberi kata pengantar oleh Holly Thompson, diterbitkan oleh Stone Bridge Press, California, edisi pertama, 2012.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...