Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (232) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Perjalanan Ulang-alik Shuya (Liza Dalby, 2012)

Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan perjalanan panjang pulan...

20210711

Welcome to the N. H. K. Bab 08 Penyusupan Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Semalam, ketika kami hendak berpisah, Misaki berbisik, “Besok, giliranku hadir di sekolah misionaris, tapi aku enggak mau.”
“Apa itu?” tanyaku, dan terbata-bata Misaki menjelaskannya.
Sekolah misionaris tampaknya semacam pertemuan tempat “siswa kajian” dapat menyempurnakan kecakapannya dalam “aktivitas pelayanan”. Besok, Misaki harus memberikan pidato di depan semua orang.
Dia menggunakan begitu banyak istilah teknis keagamaan sehingga orang luar seperti aku tidak bisa betul-betul mengerti ucapannya. Ketika aku mencoba meminta dia untuk menjelaskan secara lebih lengkap, Misaki serta-merta bangkit dari bangkunya untuk pulang. Dia pergi dengan hanya mengatakan, “Omong-omong, karena aku ada urusan ini besok, baru lusa kita bisa pergi ke kota. Jangan lupa sama janjimu.”
Itu semalam. Hari ini kelompok keagamaan Misaki akan mengadakan pertemuan, dan di pertemuan itu ia harus memainkan peran yang sungguh sulit. Setelah merangkai semua ini, sebuah gagasan menyambarku. Hari ini merupakan kesempatan yang sempurna untuk mengetahui siapa Misaki sebenarnya! Dengan mengerahkan keberanianku, aku memohon kepada para pencari sumbangan itu, “Tolong, izinkanlah kami ikut bersama kalian untuk melihat-lihat!”
Tampaknya, sudah aturan bahwa biasanya pengamat dari luar pertama-tama mesti menghadiri “kajian literatur” yang diadakan tiap Rabu. Karena itu, kedua pencari sumbangan ini terlihat tak yakin bagaimana mesti menanggapiku. Aku pun terus memohon kepada mereka dengan sangat, “Harus hari ini! Tolong, bawalah kami ke pertemuan hari ini!”
Setelah aku mengemis-ngemis kepada mereka beberapa lama lagi, akhirnya mereka menyerah. Mereka membeberkan lokasi “Aula Kerajaan” dan waktu pertemuannya. “Mulainya jam enam sore. Kalau masnya bilang datang atas ‘dukungan dari Kaneda’, masnya boleh masuk.”

Saat itu di penghujung petang. Setelah menyamarkan diri dalam pakaian yang ganjil, cepat-cepat kami mendaki jalan menuju Aula Kerajaan.
Alasan kami menyusup ke pertemuan itu adalah untuk mengamati kehidupan pribadi Misaki, sehingga aku bisa mengetahui motivasi dia sebenarnya. Inilah alasannya aku memutuskan untuk menyamar. Pada awalnya, Yamazaki keras kepala menolak upayaku memaksa dia agar ikut dengan aku, tapi akhirnya ia teryakinkan. “Menyusup ke organisasi keagamaan itu kesempatan sekali-seumur-hidup, tahu! Bakal seru!” Akhirnya ia mengalah pada argumen setengah-hatiku dan kemudian dengan girang menyamarkan diri.
Aku mengenakan setelan hitam yang kubeli sewaktu masuk kuliah supaya aku terlihat seperti anggota baru yang berharga. Aku menarik topi tulip merah muda menutupi mataku serta memakai kacamata ungu gelap. Sekalipun aku merasa terlihat menggelikan.
Sementara itu Yamazaki mengenakan sepatu bersol tebal supaya tingginya bertambah empat inci, memasang lensa kontak hijau pada kedua matanya—dan ditambah lagi, mewarnai rambutnya jadi emas. Entah bagaimana dia sampai punya benda tolol semacam sepatu bersol tebal itu. Meski begitu, penyamarannya sempurna.
Tapi, aku agak cemas. Aku khawatir suara kami bisa mengungkap identitas asli kami. “Bagaimana menurutmu, Yamazaki? Kan enggak mungkin kita mengubah suara?”
Ketika aku menampakkan kekhawatiranku soal ini, Yamazaki menyeretku ke supermarket di dekat stasiun, dan kami menuju ke arah toko mainan di lantai empat. Di bagian perlengkapan pesta, ia mengambil gas helium. Benda itu dulu sempat populer, sebab jika menghirupnya, suara kita bakal terdengar seperti bebek.
“Ah! Pintar kamu!” aku menggebuk punggung Yamazaki.
Ia mengacungkan jempol sembari menyengir. Ia bersukaria.
Dengan begini, komplet sudah persiapan kami dan dengan jaya kami menuju ke arah Aula Kerajaan, yang terletak di tepi pusat perbelanjaan dekat stasiun. Orang-orang yang berpapasan dengan kami—pasangan yang terang-terangan mencurigakan, meleter dengan suara “bebek” yang nyaring—melontarkan lirikan bingung ke arah kami. Biasanya, kami akan merasa terintimidasi oleh tatapan mereka. Tapi untuk kali ini saja, kami tidak takut pada orang. Kacamataku yang gelap membentengi lirikan-lirikan itu, dan aku ditemani Yamazaki yang gagah berani melangkah di sampingku.
Terlebih lagi, “obat pemberi energi” yang kubeli lewat pos berkhasiat cukup manjur. Baru setengah hari lalu, aku menderita kecemasan yang sepertinya tidak bakal dapat kulepas—tapi sekarang aku diliputi energi. Tampaknya cuma beberapa miligram obat generik bisa secara drastis mengubah emosi orang.
“Ini bukan?” tanya Yamazaki dengan suara bebeknya begitu kami keluar dari gang sempit yang menjulur di sebelah rel, berujung pada bangunan empat lantai di samping sebuah minimarket.
Aku memeriksa peta yang dibuatkan oleh si pencari sumbangan untukku. Papan informasi di pintu masuk bangunan itu juga memberitahukan, “Lantai Ketiga, Aula Kerajaan”. Tidak salah lagi, inilah dia. Hebat kami sampai di tujuan, tapi tahu-tahu aku merasa kecewa.
Kebalikan dari namanya yang terdengar berkuasa, Aula Kerajaan merupakan bangunan tua agak kumuh yang menyewakan ruang kantor untuk usaha kecil. Lantai pertama berupa perusahaan lahan yasan sedangkan lantai kedua dihuni kantor pengacara pajak, menyisakan lantai ketiga yang diisi kelompok keagamaan itu. Diwarnai merahnya matahari terbenam, ruang sewaan itu terlihat semakin kusam. Tadinya aku membayangkan kuil amat besar yang dihiasi daun emas dan semacamnya, sehingga aku terkejut.
Biar begitu, inilah saatnya kami mulai menyusup. “A—ayo, Yamazaki.”
“Yah, ayo, Satou.”
Dengan menguatkan kehendak, kami memanjat tangga sempit bangunan itu.

Pada akhirnya, penyusupan kami ke aula itu berhasil dengan mudahnya.
Bahkan tak seorang pun yang kami lewati menyinggung penyamaran kami yang janggal. Biarpun aku sudah mengatakan kebohongan besar lainnya: “Sebenarnya, penglihatanku buruk, aku perlu kacamata.” Aku mengatakannya padahal tidak ada yang tanya. Dan semua orang bilang, “Ya ampun, parah, ya,” dan mengasihaniku.
Benar: Mereka betul-betul orang yang baik.
“Selamat malam.”
“Selamat datang.”
“Terima kasih sudah hadir.”
Seorang ibu rumah tangga, seorang siswi SMP, dan seorang pengusaha menyambut kami diiringi senyum menyegarkan di wajah. Sembari menundukkan kepala kepada mereka, kami terus menaiki tangga sempit itu dan melangkah masuk ke ruang pertemuan. Dan sekali lagi, kami mengecap kekecewaan.
Tidak ada nuansa keagamaan pada bagian dalam ruangan itu. Hiasan seperti lilin, salib, dan altar tidak kelihatan di mana pun. Alih-alih, di dalam ruangan itu, sebuah podium seperti yang lazimnya ada di auditorium sekolah mengisi panggung di tengah, berhadapan dengan berderet-deret kursi lipat logam yang tertata rapi. Ruangan itu bisa memuat sekitar seratus orang. Lantai dan dindingnya dicat seragam dengan warna krem yang lembut, dan penerangan lampu neonnya benderang. Ruangan yang lega ini, tempat pertemuan ini, pada dasarnya menyerupai balai pertemuan biasa.
Sementara waktu, kami duduk di kursi lipat paling belakang, sembari membungkuk supaya tidak kelihatan. Tapi sedihnya upaya itu serta-merta kandas. Aku dan Yamazaki dikelilingi orang-orang tersenyum yang ramah-tamah—tua dan muda, pria dan wanita. Kelihatannya seolah-olah si pemuda pencari sumbangan yang kami temui kemarin sudah memberi tahu semua orang bahwa akan ada pengunjung.
“Dengar-dengar masnya tertarik sama Alkitab,” ucap seorang ibu rumah tangga yang merangkul seorang anak. “Lagi pula, keyakinan itu memang persoalan yang mesti dihadapi setiap orang.”
Seorang pemuda seusiaku berkata, “Silakan, santai saja dan nikmati.”
Seorang gadis seusia SMA berkata—
Mereka semua berbicara kepada kami pada waktu bersamaan.
Seraya membalas sambutan mereka dengan suara bebekku, aku merasa semakin gelisah. Buruk ini. Kalau begini, kami akan menonjol. Atau jangan-jangan, kami memang sudah menonjol. Misaki kelihatannya belum datang. Tapi kalau begini terus, tinggal tunggu waktunya sampai dia melihat penyamaran kami.
Sesaat, kami memutuskan untuk mundur sejenak. Setelah menanyai si ibu rumah tangga letak kamar mandi, terburu-buru kami undur dari aula pertemuan itu.
“Enggak bagus ini, Satou.”
“Buruk, ya, Yamazaki?”
Kami megap-megap sementara menenangkan diri di kamar mandi yang bersih berkilauan itu.
“Kenapa sih orang-orang itu ramah banget sama orang mencurigakan kayak kita?”
“Aku agak tersentuh sih.” Aku agak kaget sendiri. Ini kali pertama sepanjang hidupku aku mengalami yang seperti ini. Sejumlah besar orang menyambutku dengan tangan terbuka diiringi senyum di wajah. Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya.
“Ha ha ha ha, mungkin sebaiknya aku masuk ke agama ini!”
Aku mendengar Yamazaki, yang sudah masuk ke bilik pribadi, mendadak terbahak. Berikutnya terdengar kertas toilet diulurkan. Aku mendengar dia membersihkan hidungnya, lalu dia keluar dari bilik. Pupil matanya membesar di balik lensa kontak yang berwarna. Bubuk putih menempel pada lengan bajunya.
“Kamu mau, Satou?” Yamazaki menjulurkan kemasan plastik berisi narkoba itu. Aku menolak halus. Karena aktivitas mata-mataku baru akan dimulai, aku tidak mau sampai kehilangan pertimbangan akal sehat.
Dengan meletakkan beberapa lembar tisu dalam mulutku, aku mengubah bentuk mukaku agar penyamaranku kian sempurna. Sementara itu, Yamazaki, dengan senyum super-lebar meliputi wajahnya, menyibukkan diri dengan berjalan berputar-putar di sekitar kamar mandi.
Sebentar kemudian, kami mendengar lagu pujian dinyanyikan bersama dari luar dinding kamar mandi. Pertemuan itu sepertinya sudah dimulai.
Dengan santai, kami menuju ke arah aula pertemuan.

Seperti yang sudah kusebutkan, bagian dalam aula pertemuan itu tidak ada nuansa religiusnya sama sekali. Tempat itu terlihat seperti pusat pelatihan pemuda. Biar begitu ….
Kenapa sekujur punggungku jadi terasa merinding? Aku merasa tersentuh. Jangan-jangan ini efek samping obat yang kuminum sebelum meninggalkan apartemen. Jangan-jangan penguatan emosiku ini tidak lebih daripada sekadar efek samping. Tapi ….
Hampir seratus orang telah berkumpul di aula ini, dan mereka sedang bernyanyi tanpa sangsi, dengan semangat yang hebat. Pria-pria tua, wanita-wanita tua, pria-pria muda, wanita-wanita muda—serempak mereka telah menghadap mimbar dan bersatu-padu menyanyikan himne yang memuji Tuhan. Di sinilah, aku bisa merasakan kekudusan secara pasti. Oh, inilah agama yang benar! Luar biasa!
Terbalut dalam nyanyi pujian itu, aku bergerak cepat di sepanjang dinding ruang pertemuan dan tiba kembali di barisan tempat duduk paling pinggir. Ketika nyanyian berakhir, seorang pria paruh baya yang berdiri di podium mulai mendoa. Sepertinya dia orang paling penting di sini.
“Sang Pencipta Agung, yang telah menjadikan surga dan juga Bumi ini, bersama kita manusia, semoga puji dan kemuliaan kembali pada namamu yang agung.” Semuanya menatap ke depan, mendengarkan dengan penuh perhatian pada doanya. Tak seorang pun melihat kepada kami.
Ini berlangsung seperti yang direncanakan.
Atau begitulah yang kukira. Begitu dia mengakhiri doanya, pria penting di podium itu mengatakan yang seperti, “Berkat pertolongan ruh kudus, kalian semua bisa kembali berkumpul di sini hari ini. Banyak anak-anak, begitu juga orang-orang baru ….”
Orang-orang baru? Siapa? Siapa mereka?
Mereka adalah kami.
Serta-merta tatapan setiap orang beralih kepada kami. Aku menarik topi tulipku semakin ke bawah menutupi mataku. Yamazaki, seakan-akan sedang bersaing dengan setiap orang selainnya, mengilaskan senyum edannya.
Di tepi jangkauan pandangku bisa kulihat Misaki. Ia ada di depanku, di tempat duduk yang paling dekat dengan fondasi. Ia belum menyadari kami ada di sini. Sembari menyantaikan diri, aku menghentikan Yamazaki yang sedang mencoba melambai kepada setiap orang.
“Dengan demikian, kami menyampaikan terima kasih kami kepada kalian semua atas nama sang Putra, Tuhan Yesus Kristus, dan mempersembahkan doa kami untuk Anda.”
“Amin.” Jemaah berbicara sebagai kesatuan. Hanya suara bebek kami yang menonjol dalam paduan suara itu.

Tujuan pertemuan ini yaitu untuk meningkatkan teknik-teknik misi. Itu sebabnya ini disebut “sekolah misionaris”.
Pertama-tama, seorang pengikut pria yang sudah berpengalaman berdiri di podium dan berbicara sebagai contoh untuk diikuti. Setelah itu, para siswa misionaris menyampaikan uraian tentang berbagai topik selama enam menit per giliran. Pada akhirnya, si “pemimpin” memberikan tiga tingkat penilaian (“baik”, “berusahalah lebih keras”, dan “perlu perbaikan”) untuk tiap-tiap bahasan dari murid.
Setidaknya, begitulah penjelasan si ibu rumah tangga yang duduk di sebelahku.
Setelah membungkuk sopan kepadanya, dengan santai aku menaksir pemandangan itu. Walaupun saat itu malam hari kerja, jumlah orang yang berkumpul lumayan juga. Yang pertama-tama menarik perhatianku yaitu banyaknya ibu rumah tangga. Mereka semua perempuan paruh baya yang sangat lazimnya, semacam yang biasa kita temui lagi berbelanja di supermarket sekitar. Selain itu, ada para pengusaha, yang langsung datang ke pertemuan dalam perjalanan pulang dari kerja. Terakhir, ada muda-mudi yang baru pulang sekolah. Berbagai macam orang telah berkumpul di aula pertemuan ini.
Para pengikut pria yang lebih senior memasang tampang serius di podium, dan aku terpesona oleh bahasan mereka. Sebagian orang bahkan mencatat isi kuliah ini di buku tulis. Pidato-pidato itu lagi-lagi memuat suatu perbendaharaan kata yang bikin pusing orang biasa. “Armagedon” dan “Setan” dan istilah-istilah hebat lainnya terus-terusan muncul, dan perutku mulai nyeri.
Pokoknya, aku yakin bahwa ada sekitar seratus orang berkumpul di sini, dan mereka semuanya sangat serius sekali.
“Umat manusia lahir pada enam ribu tahun yang lalu.”
“Bahtera Nuh berada di Gunung Ararat.”
“Perang Setan akan segera dimulai.”
“Berdasarkan pada Kitab Wahyu ….”
Apa kalian semua dari Gakken Mu!?[1] Aku ingin berteriak, tapi aku dan Yamazaki kalah jumlah.
Akhirnya, kuliah pertama selesai. Ringkasnya, beginilah pesannya: Kerusakan dunia ini merebak nyata. Kerusakan politik tiada akhirnya, perselisihan pecah tak berkesudahan di sekeliling dunia, dan kejahatan brutal di perkotaan terus saja berlangsung. Kaum muda kecanduan hubungan tak bermoral, orang dewasa hanya mencari nilai bendawi, dan kesusilaan jatuh kian terpinggirkan. Singkatnya, ini perbuatan Setan. Mereka di dunia ini yang dikuasai oleh Setan tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan perintahnya, dan inilah persisnya yang menyebabkan Armagedon semakin dekat. Sebelum Armagedon tiba, kita mesti menyelamatkan sebanyak mungkin orang dari siksa yang kekal di neraka. Inilah tujuan misi kita.
Sepertinya, ada pertentangan di antara Tuhan dan Setan, dan mereka yang tidak punya keyakinan akan jatuh ke neraka.
Kuliah para murid yang menyusul kemudian agaknya mengangkat tema serupa. “Pujilah Tuhan, bencilah Setan” tampaknya merupakan kebijakan umum. Mereka semua sepertinya telah banyak berlatih untuk hari ini dan dengan cakap menyitir bagian-bagian dari Alkitab, berbicara tanpa ragu. Aku bisa melihat ada yang gugup; biar begitu, mereka berbicara dengan penuh kebanggaan. Tiap kali bel berbunyi, menandai akhir dari enam menit yang dijatahkan, setiap orang bertepuk tangan. Aku juga bertepuk tangan. Terus-menerus seperti ini, akhirnya pidato anak-anak muda ini selesai.
Selanjutnya … aku dan Yamazaki bertukar lirikan: tibalah giliran Misaki. Aku memendam harap. Aku ingin melihat dia menyampaikan kalimat-kalimat konyol seperti yang kudengar tiap malam saat konseling. Aku ingin dia membuatku tertawa dan merasa riang.
Tapi, di podium itu, Misaki agak gemetar, wajahnya pucat. Sepanjang waktu itu, tidak ada hal menarik yang dia sampaikan. Dengan nada datar lagi samar-samar, ia sekadar memberikan pidato tentang Alkitab yang lumayan juga, sembari memandangi sepatunya sepanjang waktu.
Ia tampak teriksa. Sikapnya mengingatkanku pada seorang cewek yang sedari SD selalu ditindas oleh semua orang.

Usailah sekolah misionaris.
Setelah jeda sepuluh menit, “pertemuan pelayanan” dijadwalkan. Selama jeda itu, setiap orang mengobrol ramah-tamah—sekelompok ibu rumah tangga, anak-anak lelaki, dan para pemuda. Tiap kelompok berkumpul bersama-sama, berbicara dan tersenyum dengan riangnya.
“Kazuma sedang berada di Bethel—“
“—menjadi sukarelawan pelayan—“
“Di pekerjaan reklamasi yang pernah kami lakukan—“
“—saudaranya Satomi akhirnya dibaptis.”
Istilah-istilah teknis yang khusus sering kali digunakan, sehingga aku tidak bisa sungguh-sungguh mengikuti percakapan dengan baik.
Aku melihat ke arah pojok aula pertemuan tempat Misaki duduk sendirian, membungkuk di kursi baja. Ia mengkeret, berusaha keras supaya tidak menonjol. Di sana, pojok ruangan itu, ia menghancurkan jejak dirinya. Ia benar-benar pucat. Tiap kali ada orang melewati dia, Misaki menatap ke bawah. Kelihatannya seolah-olah dia takut ada orang yang hendak mengajak dia mengobrol. Selama jeda itu, tidak seorang pun yang bicara pada dia. Sepertinya itulah yang dia inginkan.
Di aula pertemuan yang bersahabat ini, ia sendiri yang menyembul dari sekitarnya.
“Pulang yuk.” Aku mendorong Yamazaki ke arah pintu.
“Bicara apa kamu ini, Satou? Pertemuan pelayanan baru mau mulai!” Mata Yamazaki memerah, dan aku tahu sebabnya. Dalam istilah-istilah teknis yang paling kami akrabi—yaitu, kosakata gim erotis—pelayanan berarti “jenis pijatan istimewa penuh kasih sayang yang diberikan seorang pelayan berapron kepada tuannya.”
“Ini pertemuan pelayanan! Cewek-cewek di sana bakal memberikan pelayanannya kepada kita!”
“Mana mungkin itu terjadi!”
Sembari menyeret Yamazaki yang marah-marah dengan pitingan lengan, aku memaksa dia keluar. Hampir sampai kami di pintu keluar utama bangunan, ketika ada suara memanggil dari belakang, “Hei, kalian!”
Dia anak yang lebih muda dari dua pencari sumbangan yang kami temui sebelumnya, si bocah SMP. Dengan kedua tangannya dimasukkan ke saku blazer, ia membelalak pada kami. “Kalian ke sini cuma untuk mengolok-olok, kan?”
Mendadak Yamazaki lolos. Ia kabur tanpa sekalipun menengok ke belakang.
Lagi-lagi aku ditinggal sendirian.
Tapi anak itu tidak berteriak padaku. Malah kami mulai melangkah menyusuri jalan gelap itu bersama. Walaupun pada waktu itu sudah musim panas, angin malam tidak musimnya terasa dingin. Anak itu mengisap rokok. Ia mengembuskan napas, “Ah ….”
“Sepertinya itu melawan firman.”
Mendahuluiku, anak itu menarik Zippo dari sakunya dan menyalakan rokok baru dengan gerakan tangan yang tampak terlatih.
Sembari berjalan di sisi kananku, ia menerangkan, “Kadang, orang-orang seperti kalian ingin melihat yang aneh-aneh, jadi mereka datang untuk mengamati pertemuan. Mahasiswa-mahasiswa tolol, seperti kalian. Baiklah, bagaimana menurutmu? Lucu, enggak, tadi?”
Aku diam saja.
“Aku melakukan kegiatan keagamaan begini bukan berarti aku suka, tahu.”
“Maksudmu?”
“Gara-gara orang tuaku. Ayah dan ibuku sama-sama cinta agama. Di rumah kami, aku satu-satunya yang masih berpikiran waras. Kalau aku bilang ingin meninggalkan gereja, menurutmu apa yang bakal terjadi? Pernah aku bilang sama ibuku, ‘Aku mau ikut ekskul, aku ingin main ke rumah teman.’ Ketika aku bilang begitu, mak lampir tua itu mulai menjerit-jerit, ‘Dasar setan!’ Dia bahkan enggak membuatkanku makan siang sampai berhari-hari.”
Anak itu tertawa. “Aku menuruti orang tuaku sekadar supaya mereka enggak marah. Setelahnya, ketika di luar rumah, aku berbuat sesukaku.”
Aku berkesimpulan, dia menghabiskan waktunya di sekolah seperti anak sewajarnya, dan selagi di rumah ia menjadi orang religius yang taat. Ia menjalani kehidupan ganda.
“Maksudku tuh, kalian mesti memastikan supaya enggak salah bergabung.” Ia terdengar serius. “Semua orang peduli padamu hari ini, kan? Semua orang kelihatan bahagia, kan? Kamu mungkin punya anggapan bodoh seperti, ‘mungkin aku bisa bergaul dengan orang-orang baik seperti ini,’ benar kan? Kamu salah. Itu trik mereka. Mereka bertingkah begitu bukan karena cinta tanpa pamrih. Itu cara supaya kamu masuk ke agama mereka.
“Begitu kamu masuk, keadaannya seperti dalam masyarakat yang biasanya saja. Setiap orang ingin jadi pemimpin. Setiap orang ingin pergi ke tanah suci. Ayahku berusaha mati-matian melakukan berbagai hal supaya dirinya bisa maju—mengirimkan hadiah ke para pemimpin, berusaha meningkatkan posisinya, tidak peduli apa pun. Itu sangat bodoh. Kamu menyaksikan kejadian hari ini, kan? Cewek yang tampil terakhir itu awalnya cuma pengkaji biasa sampai baru-baru ini, tapi keluarganya terus menyuruh dia untuk masuk sekolah misionaris sampai akhirnya dia menurut. Ketika dia sebagai anggota keluarga hadir di sekolah misionaris, bibinya mendapat status.”
Aku memancing lebih banyak keterangan tentang Misaki.
“Eh?” Anak itu mengejap. “Yah, cewek itu baru-baru ini saja jadi pengkaji. Dia cewek biasa—anak adopsi, atau semacam anak yang diperwalikan oleh si ibu-ibu tua itu. Pamannya sepertinya enggak tertarik sama agama, yang mungkin ternyata jadi berkat penyelamat. Eh, enggak, sepertinya cewek itu terbelah di antara dua hal, sehingga situasinya semakin sulit. Ia selalu terlihat gelisah, entah kenapa.”
Aku merasa sangat berterima kasih kepada anak ini atas informasi dari dalam ini.
Ketika kami berpisah, anak itu memperingati, “Seperti yang kubilang, jangan deh. Kamu jangan masuk ke agama ini. Yah, aku enggak benar-benar peduli juga sih kalau kamu mau masuk. Tapi, kalaupun kamu masuk, jangan punya anak.”
Aku mengangguk pelan lalu kembali ke apartemenku.




[1] Gakken Mu adalah sekelompok orang yang terobsesi pada yang supranatural dan ganjil, berdasarkan pada majalah dengan nama yang sama.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...