Ketika melihat
ayahnya Sumire, Miu terkelu. Sumire dapat mendengar helaan napasnya. Seperti
tirai beledu yang ditarik ke sisi pada pagi yang damai sehingga sinar matahari
dapat menerobos dan membangunkan orang yang amat kita kasihi. Mungkin
seharusnya aku membeli kacamata opera, pikir Sumire. Namun ia sudah terbiasa
dengan reaksi dramatis yang ditimbulkan oleh paras ayahnya pada
orang-orang—khususnya wanita paruh baya. Apakah gerangan keindahan itu?
Kualitas apa yang dikandungnya? Sumire tidak pernah mengerti. Namun tidak
pernah ada yang memberinya jawaban. Yang ada hanyalah efek yang begitu-begitu
saja.
“Bagaimana rasanya punya ayah yang ganteng?”
tanya Miu. “Penasaran saja.”
Sumire mendesah—orang begitu mudah ditebak.
“Tidak bisa dibilang menyenangkan sih. Semua orang pikirannya sama: Lelaki itu
tampan sekali. Sangat menonjol. Tapi anak perempuannya tidak begitu enak
dilihat, ya? Pasti itu yang dimaksud dengan atavisme, pikir mereka.”