Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (271) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Masyarakat sejati memerlukan kesalingbergantungan (Mark Boyle, 2012)

Belum lama ini saya menjaga anak teman saya. Teman saya sibuk sementara saya lowong, sehingga saya senang-senang saja mengasuh si kecil Eli...

20201227

Kota Paranoid (Mildred Hernández, 2014)


“Kau dengar suara itu?” si istri berbisik, sambil bersanggakan sebelah sikunya di kasur, dan membelalakkan mata.
“Suara apa?” tanya suaminya yang mengantuk.
“Suara itu sepertinya dari halaman. Ada orang di atap, atau di dapur,” ujar si istri ketakutan.
“Bangun. Periksa anak-anak, aku mau ambil pistol,” perintah si suami, nadanya menyuruh diam. Ia sudah bangun betul-betul.
Sementara si istri berjingkat cepat menuju kamar anak-anak, si suami mengeluarkan pistol dari lemari, memastikannya terisi dan siap untuk ditembakkan. Si suami mengenakan selopnya, lantas mendengar dengan lebih jelas bahwa ada orang di bagian belakang rumah, barangkali di dapur. Lampu belum dinyalakan dan sepasang suami-istri itu bergerak sehening mungkin. Dari pintu kamar, si suami memberi isyarat pada istrinya untuk tetap bersembunyi. Si suami menunggu, lalu, saat mengira saatnya sudah pas, pelan-pelan ia bergerak menuju dapur dan mendapati  seseorang tengah memunggunginya, sekitar empat meter di depannya, dan membukai laci serta memasukkan apa pun yang ditemukannya ke sebuah kantong. Seketika si suami berpikir bahwa jika ia bersuara, lelaki itu mungkin akan menyerangnya. Jadi tanpa pikir panjang lagi, si suami membidik dan menembak punggung lelaki itu dua kali. Si istri mendengar dua ledakan keras, bagai mercon dalam kegelapan entah di mana, dan berlari mencari suaminya.

20201220

Ke Mana Perginya Semua Hari Minggu? (Mieko Kawakami, 2015)

Aku sedang berbaring di kasur ketika mendapat kabar tentang kematian si novelis.

Karena baru terjaga dari mimpi panjang yang hanya terdiri dari kegelapan membingungkan, benakku masih kabur ketika aku menggapai iPhone di samping bantal untuk melihat jam. Begitu mataku berlabuh di layar kecil itu, aku menemukan berita tersebut di seksi Top Stories.

Hanya satu kalimat dengan huruf-huruf mungil. Aku mengerti kata-kata tersebut, namun tidak benar-benar menangkap artinya. Kucoba berucap keras-keras “Hmmm”—lalu, “Jadi dia meninggal.” Aku merasa ingin membicarakan ini dengan orang lain, tanpa tahu siapa yang mesti ditelepon atau bagaimana mengangkat topik ini. Aku cuma diam memandangi layar.

Si novelis tampaknya telah menjalani perawatan selama beberapa waktu. Berita itu melaporkan bahwa pemakaman dihadiri hanya oleh keluarga dekat serta beberapa kerabat karib. Padahal si novelis dibaca oleh banyak orang—semua orang pasti sedang membicarakan tentang kabar kematiannya sekarang. Pikiran itu entah bagaimana membuatku sedih. Mestinya aku keluar rumah dua jam lagi, tetapi aku merasa tidak ingin pergi kerja, menonjok-nonjok angka di mesin kasir, berurusan dengan orang-orang, membongkar dus-dus, meretur barang-barang, menyortir uang, dan semacamnya. Aku menelepon kantor untuk izin sakit, seraya meminta maaf dan mengatakan bahwa aku demam, kemudian lanjut berbaring di kasur. Ketika aku bangun lagi, aku telah tidur selama hampir lima jam.

20201213

Memori (Mitsuyo Kakuta, 2015)


Ada alasan di balik kecantikannya. Ia punya rahasia yang tidak dapat diberitahukannya kepada siapa pun, dan rahasia itulah yang menjadikan dia cantik.

Ia tidak punya ibu. Ibunya meninggal ketika ia masih kecil, sehingga ia dibesarkan oleh ayahnya. Ayahnya kini punya keluarga baru. Ayahnya menikah lagi pada saat ia berusia lima belas tahun. Ia tahu bahwa ayahnya telah menemui wanita yang lain ini ketika ibunya masih hidup. Ia tidak pernah mengecam ayahnya karena itu. Jangan mengkhawatirkan aku, katanya, Aku hanya ingin Ayah bahagia. Ayahnya pun pergi, dan sejak itu tidak pernah bersinggungan lagi dengan dia.

Ia tumbuh menjadi wanita muda yang cantik dan menjadi model. Dengan mengenakan aneka macam pakaian, ia tertawa dengan pandangan menerawang, ia menjerit dan mencium orang-orang. Ia tampil di berbagai majalah serta baliho terang benderang di atas toko-toko, sehingga kebanyakan orang mengenali dia. Mereka mungkin tidak tahu namanya, namun telah melihat wajahnya. Berkat keglamoran profesinya, serta kecantikannya, orang-orang berkumpul di sekitarnya: wanita dan pria, orang-orang berduit serta orang-orang yang tidak banyak duit. Mereka datang, kemudian mereka pergi lagi, seolah-olah kabur dari dia. Pada akhirnya, kecantikannya menakuti mereka.

20201206

Jendul (Sebastiano Vassalli, 2012)

Usiaku tiga puluh sembilan tahun. Aku ahli kimia lulusan universitas *********. Sudah dua belas tahun ini aku bekerja sebagai teknisi lab di suatu perusahaan farmasi. Boleh dibilang, aku ini cuma tenaga bayaran, sebab bagian kreatif dari pekerjaan ini seluruhnya milik atasan kami, para ilmuwan serta profesor kenamaan yang merancang rencana penelitian menurut kebutuhan perusahaan. Bahkan salah seorang di antara para cendekiawan yang bekerja bersama kami itu pemenang Penghargaan Nobel yang belum pernah kujumpai secara langsung. Kolaboratornya, yang dipilih dari teman-teman sejawatku yang paling haus karier, mengatakan bahwa ia mengarahkan penelitian lewat telepon dan surel. Ia bahkan menelepon mereka malam-malam, juga pada hari Minggu. Orang-orang yang bekerja di tempat ini pada jam kantor biasa, seperti aku, tahunya hanya kejemuan. Kami melakukan pengujian dan eksperimen pada marmot, serta mengisi kuesioner. Satu-satunya yang membangkitkan gairah kami hanyalah rencana akhir pekan dan menggunakan sebagian jam kerja untuk merancang jadwal liburan. Adakalanya, suasana frustrasi berikut langkanya kepuasan kerja yang menyedihkan ini membangkitkan kisah asmara. Banyak perempuan yang bekerja di laboratorium kami, dan sebagiannya masih muda serta cukup manis. Pada musim semi tiap tahunnya ada saja yang menikah dan berbulan madu ke tempat yang dikunjungi banyak orang, maksudku seperti Amerika atau pulau di Samudra Hindia atau Pasifik. Ketika kami menikah, perusahaan memberi kami cuti khusus selama lima belas hari dan bulan madunya pun dibayari. Nantinya, ketika karyawan masa depan (anak-anak kami) telah lahir, perusahaan menawari kami berbagai keuntungan tambahan yang dapat diakumulasikan dengan insentif dari pemerintah pusat maupun daerah bagi pasangan produktif. Dewasa ini menjadi produktif itu masih disamakan dengan bersikap patriot. Bukan karena ras kami dianggap istimewa, seperti pada masanya Hitler, melainkan karena (menurutku) kami harus tanggap terhadap meningkatnya jumlah orang asing yang datang dari seluruh penjuru dunia untuk ikut menikmati kemakmuran masyarakat kami, dan yang, menurut statistik, lebih produktif daripada kami.

20201129

Reuni (Ryuichiro Utsumi, 1993)

Di kota-kota kecil, petugas hotel biasa menyelipkan koran daerah di bawah pintu pada pagi hari. Karena tidak biasa dengan berita daerah, kebanyakan tamu dari kota besar hanya melihat sepintas berita utama. Tetapi ketika pertemuan bisnismu berlangsung baik, dan kau bangun dengan segar setelah acara minum semalam yang menyenangkan, kisahnya berbeda. Barangkali karena kau merasakan suatu kemesraan terhadap kota tuan rumahmu dan mulai merasa terikat, kau pun mau membaca koran itu dari awal sampai akhir.

Begitulah yang dirasakan Tuan Iwasaki pagi itu. Setelah mandi, ia menggeletak di tempat tidur sambil memagut rokok dan membaca dengan teliti koran itu. Ia sedang berada di ibu kota sebuah prefektur di Shikoku, kota kecil yang menghadap Samudra Pasifik.

Tuan Iwasaki perancang grafis terkenal. Ia datang dari Tokyo. Ia dibayar oleh hotel besar yang akan dibuka di kota itu. Pada usianya yang lima puluh tahun, ia telah membina karier yang mapan selama dua puluh enam tahun ini. Kini perusahaannya mempekerjakan tiga puluh karyawan dan berlokasi di jantung Tokyo. Ia berwenang atas publisitas hotel baru tersebut. Pagi itu ia bangun dengan perasaan segar, setelah menikmati pesta semalam yang dijamu oleh pengelola hotel.

20201122

The Widow, Bab Satu (Fiona Barton, 2016)

Satu

Rabu, 9 Juni 2010

Janda

Aku bisa mendengar derak langkahnya menaiki jalan masuk. Langkah yang berat karena hak tinggi. Ia hampir sampai di pintu, ragu-ragu dan menyingkirkan rambut dari wajahnya. Pakaiannya bagus. Jaket dengan kancing-kancing besar, rok yang sepadan di bawahnya, dan kacamata bertengger di atas kepala. Bukan orang dari Saksi Yehuwa ataupun Partai Buruh. Mestinya sih reporter, tetapi tidak seperti yang biasanya. Ia pengunjungku yang kedua hari ini—yang keempat dalam minggu ini, dan sekarang baru Rabu. Aku yakin ia akan bilang, “Maaf mengganggu Anda dalam situasi yang berat ini.” Mereka semua bilang begitu dan memasang tampang dungu. Seperti yang peduli saja.

Aku akan menunggunya mengebel dua kali. Orang yang datang pagi tadi tidak melakukannya. Sebagian orang jelas-jelas jemu mencoba. Mereka pergi segera setelah melepaskan jari dari bel, berderap kembali menyusuri jalan masuk secepat mungkin, masuk ke mobil, dan berlalu. Mereka bisa bilang pada atasan, mereka sudah mengetuk pintu tetapi orangnya tidak ada. Menyedihkan.  

20201115

Nenek Lidah Panjang (Chiba Mikio, 2001)

Kisah ini terjadi pada masa ketika monster masih tinggal di hutan dan pegunungan. Nenek Lidah Panjang dan Raksasa Ban Merah tinggal di Gunung Okuyama, Jalur Okutama. Lidah si nenek lebih panjang daripada ular dan lebih kuat daripada cemeti kuda. Wajah Ban Merah lebih lebar daripada jendela. Bila raksasa ini memperlihatkan taringnya dan mendekatkan wajahnya padamu, ia sungguh mengerikan sampai-sampai beruang gunung pun putih matanya saking ketakutan.

Nenek Lidah Panjang dan Ban Merah senang menakuti orang yang mengembara dan tersesat di Jalur Okutama. Tetapi akhir-akhir ini tidak ada lagi orang yang datang ke gunung.

“Hei, Nenek, menurutmu mungkinkah kita telah menakuti semua manusia?”

20201108

An Evening of Long Goodbyes, Bab 15 (10/10) (Paul Murray, 2003)


Atau boleh jadi kejadiannya sama sekali bukan seperti itu. Boleh jadi itu cuma fantasi bodoh yang kureka sendiri. Boleh jadi kami telah menerima surat yang sangat indah dari bekas teman sekolah Bel yang menunggu Bel datang malam itu, yang telah mengebel rumah namun tidak bisa masuk dan karena panik menaiki taksi pergi ke bandara sendirian, menaiki pesawat sendirian dan tiba sendirian di suatu kota wisata di Rusia tempat ada berita menunggu dia, tempat dia menontonnya selama seminggu sementara badai salju mengamuk di luar jendelanya hingga jalanan cukup bersih sehingga dia dapat balik dan pulang lagi, namun terlalu terlambat, terlalu terlambat untuk pemakaman. Atau boleh jadi itu telepon salah sambung waktu itu, atau itu Frank, yang menelepon untuk menanyakan kalau-kalau aku mau dibelikan kebab ketika dia dan Droyd sedang di kedai kebab, atau orang lain, misalnya Patsy Olé, yang menanyakan kalau-kalau aku mau menemui dia.
Kamu bisa memilih alternatifnya sesukamu, disertai mimpi-mimpi tiada akhir berisi lengan-lengan yang dililiti rumput laut, serta kilasan tak terhitung dirinya di awan, baliho, wajah orang-orang asing. Namun inilah versi yang kusuka: versi di mana dia berbaring terjaga malam-malam, merangkai rencananya; di mana ia terbebas dari kehidupannya, dari namanya yang sulit dieja, dan sirna diam-diam; ke semesta MacGillycuddy, tempat orang-orang menghilang sekadar untuk muncul lagi di tempat lain, dengan aksen Perancis dan kumis plasu, tempat segalanya terus-menerus berubah dan tidak seorang pun pernah mati.

20201101

An Evening of Long Goodbyes, Bab 15 (09/10) (Paul Murray, 2003)


Suatu kali aku menanyai Frank kalau-kalau dia ingat akhir cerita The Cherry Orchard. Setelah merenungkannya sejenak, ia bilang sejauh yang dapat diingatnya, semua orang pergi.
“Mereka semua cuma pergi?”
“Yeah, seingatku sih.”
“Akhiran macam apa itu?”
“Enggak tahu, Charlie. Yang bikin cerita enggak ada ide lain, kali.”
Pada Pemain Amaurot tidak pernah berkumpul lagi. Dokumen-dokumennya tidak jadi ditandatangani. Si asisten pribadi berpakaian lavendel membawa Harry menyisi setelah acara pemakaman dan memberi tahu dia bahwa Telsinor mencabut kesepakatan. Tidak ada yang disalahkan ataupun dihakimi, kata si asisten pribadi. Meski begitu, perusahaan punya tanggung jawab untuk mendengarkan para pemegang saham, dan di mata para pemegang saham peristiwa yang terjadi baru-baru ini jelas tidak mengandung semangat kaum muda dan perubahan serta komunikasi yang direpresentasikan Telsinor.

20201025

An Evening of Long Goodbyes, Bab 15 (08/10) (Paul Murray, 2003)


Aku tidak pernah menganggap Bonetown sebagai lebih daripada sekadar solusi sementara. Namun semakin lama aku tinggal di sana, bayangan berjauhan dari Frank semakin menggelisahkan aku. Bukan karena ia pernah mengatakan sesuatu, atau berbuat apalah. Lebih karena kenyataan mendasar soal dia yang menenteramkan hatiku. Entah bagaimana, ia terlihat dapat menopang berbagai hal, serupa dinding penyangga yang menahan dinding penting.
Hal itu terasa kian masuk akal kala berada di antara rongsokan, bagian-bagian yang dibuang dari kehidupan-kehidupan yang kandas. Maka aku membawa piano dari rumah dengan van milik Frank, dan menjejalkannya ke ruang tamu, dan malam-malam sepulang kerja—selagi Droyd, yang sedang diajari dasar-dasar Perbaikan Panel oleh Frank, memalu-malu kandang yang dibuatnya untuk Malam Perpisahan yang Panjang, sedang Laura menggantung gambar-gambar bunga dalam bingkai kayu dari Habitat, atau menyisir barang-barang hasil penyelamatan hari itu kalau-kalau ada yang cocok dengan skema warna yang direncanakannya untuk apartemen itu, sementara di bawah jendela para penjual narkoba menjajakan dagangannya dan para pencandu gemetar takluk, adapun Frank mengorok lembut, dengan kebapakan di hadapan tayangan berita televisi yang volumenya dimatikan—aku mengulik potongan-potongan melodi yang datang kepadaku, atau barangkali pernah kudengar dari sesuatu tempat: di pemutar pelat milik Bel, mungkin, si Dylan itu, atau si perempuan yang dengan nada lemah gemulai menyanyikan lagu tentang mesin pencuci piring atau cerek penyaring kopi. Hingga suatu hari aku berhenti di depan pintu depan dan, dengan lipstik yang tidak kunjung kukembalikan kepada Bel, menambahkan huruf C merah terang pada grafiti yang ada di situ.

20201018

An Evening of Long Goodbyes, Bab 15 (07/10) (Paul Murray, 2003)


“Kenapa orang mesti terperangkap dalam satu wajah saja?” Ayah suka berkata begitu. “Atau terjebak dalam satu kehidupan saja?”
Topeng, kata Ayah, adalah sesuatu yang kita kenakan namun berkebalikan dengan diri kita, sebab topeng itu tidak sepenuhnya nyata. Topeng dapat menahan sakit yang tak tertanggungkan oleh kita, sebab topeng itu tidak sepenuhnya bersifat manusiawi, keindahannya tak akan terlunturkan oleh usia ataupun perasaan. Kedua tangan Ayah aromanya selalu berbeda, dan wewangian melayang-layang di rumah bak serbuan nan menyenangkan, bagaikan untaian kenangan mewah yang tidak lagi menjadi milik siapa-siapa.
Kami bertemu model-model Ayah saat mereka sedang naik atau turun tangga, dengan keindahan bersahaja wajah sehari-hari mereka yang tanpa riasan. Selalu mengejutkan rasanya ketika beberapa bulan kemudian kami melihat mereka di majalah, dan mendapati hasil karya Ayah atas mereka. Gaya teduh, tomboi, santun, canggung; gaya dekadensi Berlin, Regency, Cleopatra; gaya gadis modern ala 1920-an, hippie, putri Arab—ia menambang wajah mereka demi membangkitkan kisah, mite, dan gairah setua sejarah, atau lebih tua lagi, bagaikan lapisan-lapisan bijih besi langka yang terpendam dalam bumi kemudaan mereka.

20201011

An Evening of Long Goodbyes, Bab 15 (06/10) (Paul Murray, 2003)


Ia melangkah ke arah rak perapian kemudian menyapukan jemarinya pada permukaan pualam. Aku mengangkat gelas ke bibirku dan mendapati isinya kosong. Aku menjangkau botol.

“Kalau saja aku enggak kasih tahu Bunda, segalanya bakal baik-baik saja. Baru setelahnya aku menyadari ia sudah tahu. Semua orang melakukannya. Itu bagian dari dunia fesyen. Mereka bawa gadis-gadis usia empat belas tahun jauh dari rumahnya, mereka mengubah gadis-gadis itu menjadi fantasi, mereka membuat gadis-gadis itu terkenal, kaya, dan sebagai imbalannya … yah, siapa juga yang bisa menolak, bercinta dengan karya seni sungguhan, dengan ciptaanmu sendiri? Kurasa itu semacam droit de seigneur[1]. Lantas mereka heran kenapa dua tahun setelah itu karya seni mereka jadi kena anoreksia atau menelan silet. Tetapi tentu saja Bunda sudah tahu soal itu. Aku kira sudah ada semacam kesepakatan di antara mereka. Atau mungkin Bunda enggak peduli dengan perbuatan Ayah, asalkan berhati-hati. Yang Bunda inginkan cuma kembali menguasai keadaan, semua orang memuja-muji dia seperti dulu. Seperti di pesta makan malam tadi, Bunda sangat bahagia. Bunda bahkan sempat berpikiran untuk kasih kamu kamar di sayap yang baru, Charles, kalau saja kamu enggak bikin kacau tadi. Tetapi Bunda enggak pernah memaafkan aku. Aku telah melanggar aturan. Semuanya baik-baik saja asalkan enggak ada yang tahu. Semua orang tahu dan semua orang berpura-pura enggak tahu dan begitulah caranya dunia tetap berjalan. Tetapi sekalinya kebenaran mulai terkuak, seluruh muslihat itu jadi hancur. Taruhannya terlalu besar kalau itu sampai terjadi. Itulah yang coba Bunda pahamkan padaku pada malam pementasan itu. Dan kamu tahu, Bunda memang selalu bilang kalau seorang aktris itu semestinya jangan terlalu mempersoalkan kebenaran.” Bel melekukkan kedua tangan mengitari gelas vodkanya sembari membungkukkan bahu. “Tetapi aku enggak sungguh-sungguh berbakat sebagai aktris.”

20201004

An Evening of Long Goodbyes, Bab 15 (05/10) (Paul Murray, 2003)


Bel menurunkan kipasnya, dan menatapku seperti yang tak sabar. “Masa itu enggak selalu menyenangkan,” katanya. “Ada juga yang mestinya dilupakan saja.”

“Maksudnya?”

Bel memutar bola mata. “Bukan apa-apa,” sahutnya. “Sudah larut, sudah. Kamu tidur saja.” Lantas, seraya berlagak mengabaikan tatapanku, ia mengulurkan tangannya. “Lempengannya mana?”

Aku merangkumnya dengan kepalan tangan lalu menurunkannya pelan-pelan ke samping badanku.

“Jangan kekanak-kanakkan, ah, Charles, sinikan.”

“Kasih tahu dulu apa maksudmu tadi.”

“Bukan apa-apa, aku enggak ada maksud apa-apa ….” Warna mukanya berubah jadi akar bit gula yang marah.

“Apanya yang bukan apa-apa. Kalau itu bukan apa-apa, kamu enggak akan menyinggung itu dari awal, dan kenapa juga kamu pengin barang zadul begini, padahal belum dikasih nama juga ….”

20200927

An Evening of Long Goodbyes, Bab 15 (04/10) (Paul Murray, 2003)


“Charlie?”

“Iya, Frank?”

“Udah bangun?”

“Iya, Frank, aku sudah bangun.”

“Kita di mana, Charlie?”

“Kita di ruang studi Ayah. Kamu pusing-pusing begitu tadi.”

“Oh iya. Tadi aku habis nonjok kuping orang, ya.” Timbul jeda. Kegelapan kembali menyelimuti rak-rak, botol-botol, terbitan-terbitan, serta portofolio-portofolio tebal berisi foto-foto. “Kayaknya dia kaget.”

“Enggak, sepertinya ia sudah siap.”

“Nyokap lu marah banget, ya? Dia bilang mau panggil polisi terus apa gitu.”

20200920

An Evening of Long Goodbyes, Bab 15 (03/10) (Paul Murray, 2003)


Sedari tadi belum kusebutkan karena takut terdengar kurang ajar, namun sejak aku duduk Mirela memandangiku. Pada awalnya tatapannya itu sayu, semacam pengakuan dosa tiap kali kepala Harry berpaling, yang dengan sopan kuabaikan. Akan tetapi Mirela bersikeras. Seiring dengan merayapnya malam, tatapannya kian mendesak—berkedip terus-terusan dari sisi lain meja seolah-olah ia punya pesan yang berusaha dikirimkannya lewat sandi Morse berupa kejapan dan sorotan, hingga tatapannya itu menyerupai permohonan ala tokoh-tokoh wanita yang diikat ke rel kereta dalam film-film bisu. Namun sekarang, seiring dengan bergeraknya jam ke tengah malam, tampak sekonyong-konyong ia menyerah. Duduknya merosot. Pada waktu bersamaan, gelas anggur berdenting, kemudian Harry berdiri.

“Kawan-kawan.” Ia mengangkat sebelah tangannya untuk menenangkan suasana. “Maafkan saya jika menahan kalian sebab ada beberapa patah kata yang hendak saya sampaikan. Gaya rambutnya yang bodoh terlihat semakin mengular lagi menjengkelkan daripada biasa. Malam Perpisahan yang Panjang mulai menggeram. “Shhh,” desisku. “Anjing nakal. Diam, ya,” seraya menyelipkan truffle untuk anjing itu ketika Bunda teralihkan.

20200913

An Evening of Long Goodbyes, Bab 15 (02/10) (Paul Murray, 2003)


“Aku punya banyak waktu luang,” jelasku. “Tetapi, seperti yang sudah kubilang, kami hampir-hampir tidak dapat bertahan hidup. Malam ini sungguh suatu mimpi buruk. Tetapi aku bilang pada Frank, ini Bel mau pergi jauh lo, walau badai mengadang, aku akan tetap datang.”

“Baunya bikin mual,” Bel bergumam.

Aku senang Bel berbicara kepadaku, sekalipun ia tidak benar-benar berubah sikap. Namun agaknya ia telah melepaskan diri dari berbagai persoalan, dan setiap hal yang ia katakan bergema retorik, sampai-sampai aku mulai merasa tolol menanggapi dia. Sekalipun sudah berusaha, aku tidak dapat menerobos cagar porselen ini. Tidak saja aku tidak mampu untuk maju ke subjek permaafan, serta aneka percakapan yang telah kusiapkan mengenai topik tersebut, namun—begitu aku menyampaikan pesan Jessica Kiddon mengenai taksi kemudian berbasa-basi mengenai dekorasi ruangan—serta-merta aku sama sekali kehilangan segala hal yang hendak kuutarakan padanya. Jelaslah rasanya menyerupai kelegaan saat Bunda berdiri, mendentingkan gelas, lantas aku menyadari bahwa, walaupun kami tidak kebagian makanan, aku dan Frank tiba tepat pada waktunya pidato yang membosankan.

20200906

An Evening Of Long Goodbyes, Bab 15 (01/10) (Paul Murray, 2003)



Sepertinya aku kewalahan gara-gara kegirangan, sebab aku terkantuk-kantuk ketika di jalan. Aku mengalami mimpi sangat aneh. Di situ kami semua terkubur dalam longsor parah. Namun kemudian aku terbangun dan mendapati kami telah berhenti di luar rumah tua itu, sedangkan longsornya tidak lebih daripada sekadar gemuruh dari perut Frank.

Entah siapa yang Bunda harapkan kedatangannya pada larut malam ini, namun ia tampak terkejut saat menyambut di pintu dan mendapatiku. Malah ia menjadi pucat, dan gelasnya terlepas dari tangan hingga menumpahkan sherry ke lantai.

“Aku baik-baik saja, Charles, biarkan saja,” Bunda memulihkan diri. “Bunda sudah tidak mengharapkan ada tamu lagi yang datang, itu saja. Bukannya Bunda sudah kasih tahu jam delapan pas? Dan sejujurnya, apakah begitu yang dinamakan pakaian bersih menurutmu akhir-akhir ini?

Aku hendak menjelaskan tentang sewa kos dan balapan anjing, namun Bunda menyela. “Charles,” ucapnya, sembari mencari-cari ke bawah, “tampaknya ada yang menetes-netes di kakiku.”

20200830

Rich Without Money - Selanjutnya: Transportasi (Tomi Astikainen, 2016)

Bagaimana jika Anda ingin berkelana dan hendak memulai perjalanan tanpa uang? Bagaimana mungkin orang bisa sampai dari satu tempat ke tempat lain tanpa membayar apa pun? Bagaimana caranya berpindah tempat dalam kota atau antarkota? Bagaimana caranya pergi ke tempat-tempat yang yang lebih jauh? Memangnya tidak membosankan dan bakal menarik jika berada di tempat-tempat istimewa tanpa bawa bekal uang?
Sudah biasa menganggap bepergian itu perlu menabung lebih dahulu. Semakin besar anggaran jalan-jalan, semakin banyak yang kita peroleh dari perjalanan itu, benar? Kita telah digiring untuk menyamakan bepergian dengan berwisata: terbang ke tujuan, tinggal di hotel, makan malam mewah di restoran mahal, bayar tiket, atraksi turis, aktivitas berbayar, beli oleh-oleh, kirim kartu pos dan, yang lebih penting lagi, pikiran bahwa ini hanya mungkin dilakukan selama beberapa minggu dalam setahun.
Namun pengelana dan turis adalah dua jenis yang berbeda. Turis pergi sementara dari rumah, dengan mengharapkan segala kenyamanan rumah tersedia di tujuan. Kalau ada kejadian yang lain dari harapan si turis, ia tidak senang. Ia mengeluh. Di sisi lain, pengelana memulai petualangan tanpa prakonsepsi mengenai yang akan terjadi—siap akan tantangan baru dan situasi tak terprakirakan—dengan menyadari bahwa apa pun yang terjadi, pada akhirnya entah bagaimana ada hikmahnya.

20200823

Rich Without Money - Harta Karun Berharga: Hukum Tarikan (Tomi Astikainen, 2016)


Aku berada di Portugal. Meskipun aku baru bepergian selama beberapa minggu, aku sudah belajar banyak dan menemui serangkaian penyingkapan yang menampar. Tanpa menyadari apa yang akan terjadi, aku hendak membentuk ulang pemahamanku akan cara kerja dunia secara drastis.
Timbul gagasan janggal: “Ah, sepertinya enak kalau minum mojito—minuman rum yang sedap dengan kesegaran mentol.”  Aku cepat-cepat mengenyahkannya sebagai khayalan yang bukan-bukan. Betapa konyolnya ide itu bagi orang yang hidup tanpa uang!
Beberapa hari kemudian temanku mengajakku ke kafe milik bibinya. Sebelum aku sempat menyapa, bibinya bertanya: “Apa kalian mau mojito?” Aku tak memercayai ini. Dari segala jenis minuman yang mungkin, ia menawarkan yang itu! Ya, tolong. Terima kasih bibi. Terima kasih semesta.

Saya cenderung memperoleh yang saya butuhkan. Apa pun yang kebetulan saya inginkan entah bagaimana muncul, bahkan hal tidak penting lagi konyol seperti mojito. Saya tidak membutuhkan barang yang tidak bisa saya peroleh.

20200816

Rich Without Money - Barang-barang Tahan Lama: Lepaskan Barang Tak Berguna (Tomi Astikainen, 2016)


Saat itu cerah di Ukraina. Aku dan pacarku hendak mencari tumpangan ke Odessa. Sinar matahari yang teramat terik serta kepulan debu dari jalan menjadikan pencarian tumpangan agak menantang. Setelah beberapa saat aku muak menunggu dan menyerah. Baru saja aku hendak bernaung di bawah pohon, aku memerhatikan ada Land Rover baru berhenti tepat di depan teman jalanku.
Tidak dapat kupercayai pandanganku. “Masak barang begitu berhenti untuk kami?” pikirku keras. Melihat mobil seperti itu bak keajaiban di tengah lalu lintas yang sarat oleh Ladas purba serta kendaraan-kendaraan kalengan lainnya.
Kami masuk dengan waspada, berusaha supaya tidak mengotori jok belakang yang mengilap. Si sopir kaya berperut buncit mengenakan kaus putih dan celana pendek. Di sampingnya sang istri supermodel Rusia. Lelaki itu menyetir gila-gilaan, apalagi di jalur kiri, memberi jalan hanya untuk truk-truk yang menjelang kami. Ia bahkan menyalip mobil-mobil polisi, meluncur bak orang gila. Sepertinya ia sudah membayar tilang di muka.

20200809

Rich Without Money - Pernak-pernik Bagus: Konsumsi Bersama (Tomi Astikainen, 2016)


Pernahkah Anda bertemu orang yang baginya memiliki banyak barang itu penting? Bagaimana dengan orang yang menimbun barang kalau-kalau suatu saat butuh? Apakah Anda seperti itu? Barangkali orang tua Anda? Atau sukakah Anda meminjamkan barang kepada orang lain? Bagaimana ketika Anda membutuhkan suatu barang: apakah Anda berdansa wals ke toko atau menanyakannya kepada teman-teman? Jika Anda tinggal di flat bersama, apakah Anda lebih memilih untuk berbagi semua makanan atau menamai wadah-wadah milik Anda di kulkas?
Kemampuan berbagi sebagian besar diatur oleh paradigma mental seseorang. Kita tinggal dalam masyarakat yang berlimpahan. Mereka yang melihat limpahan alam ini lebih berkenan untuk berbagi, sementara mereka yang terjebak dalam paradigma kekurangan bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi dalam setiap pertukaran. Yang terakhir ini gagal memahami bahwa berbagi limpahan boleh jadi yang sesungguhnya dapat memperbaiki kesejahteraan semua orang—suatu gagasan yang mementingkan setiap pribadi. Persoalannya bukanlah memiliki barang. Pada akhirnya yang penting ialah memiliki akses terhadap barang dan jasa yang dibutuhkan.

20200802

Rich Without Money - MENGAKALI KEADAAN (Tomi Astikainen, 2016)

Aku sedang berada di bandara Helsinki, dengan kulit bagus terbakar matahari, dan sekali lagi, siap menghadapi musim dingin Finlandia yang kejam. Aku memuji Chuck Norris dan para manusia setengah dewa lainnya karena suhunya tidak terlalu jauh di bawah negatif. Menyaksikan lumpur kelabu, tetumbuhan palem menjadi bukan apa-apa melainkan kenangan silam.
Aku mengenakan sepatu sobek yang kutemukan di jalan, jin yang dihadiahkan kepadaku, dan di baliknya, bokser lungsuran keluarga. Di ranselku ada harta karun berharga untuk cuaca seperti ini: topi wol dari bak sampah serta sarung tangan rajutan pemberian. Nyatanya, semua pakaian lain yang kumiliki juga pemberian dari orang-orang dengan lemari gembung yang senang saja melepaskan beberapa kilo.
Sandal, celana pendek, dan beberapa kaus telah kutinggalkan dalam tumpukan rapi di bulevar yang sering dikunjungi gelandangan di Kota Panama, yang aku yakin, lebih bermanfaat bagi mereka.

20200726

Welcome to the N. H. K. Bab 03 Pertemuan Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Sewaktu SMA, aku bergabung dengan klub sastra.
Meski begitu, bukannya aku suka novel atau semacamnya. Malah, sewaktu pameran perekrutan anggota baru, ada kakak kelas super manis yang mengajakku. “Hei kamu, ikut klub sastra, ya.”
Tanpa pikir-pikir, aku mengangguk. Apa lagi yang bisa kuperbuat. Biarpun anggota klub sastra itu culun, dan meskipun lebih tua setahun dari padaku, gadis itu secantik tokoh idola.
Tidak mengherankan, setelah bergabung dengan klub itu dengan alasan yang bodoh, akhirnya tiap rapat aku malah main soliter. Ketika sedang waktu senggang, aku main kartu di sekretariat yang ramai dengan kakak kelas itu. Apa-apaan kami ini? Padahal kami bisa berfokus pada hal-hal lainnya yang lebih penting.
Yah, itu sudah tidak penting lagi. Masa lalu ya sudah lalu.
Bagaimanapun juga, kejadiannya waktu itu sepulang sekolah saat hari ekstrakurikuler. Aku dan si kakak kelas sedang berjalan di koridor lantai satu yang menghadap ke halaman tengah. Tahu-tahu, ia menunjuk ke salah satu sudut halaman. “Di sana!”

20200719

Welcome to the N. H. K. Bab 03 Pertemuan Bagian 1 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Meskipun aku telah kembali pada kehidupan, depresiku lebih dalam dan seram daripada Danau Baikal atau Palung Mariana akibat konfrontasi kemarin.
Untuk pertama kalinya dalam sekian bulan, aku memberanikan diri keluar rumah saat siang bolong dan menuju pusat kota yang ramai. Ini suatu tindakan yang begitu nekat dan heroik. Sungguh sudah sepantasnya ini memperoleh saweran tepuk tangan dari seluruh dunia. Aku ingin memuji diriku.
Namun segalanya terasa sia-sia.
Yang ada hanya keputusasaan. Aku tidak bisa terus begini!
Begitu kembali ke apartemenku, aku menyembunyikan diri di kamar dan mulai minum-minum untuk menggusah pikiran-pikiran yang menyakitkan. Sembari duduk di kotatsu, aku mencoba teriak, “Sake! Bawakan sake lagi!” Akan tetapi, itu pun tidak lebih daripada sekadar frasa hampa bagi diriku seorang, dan pada malam yang suram itu, di ruangan enam-tatami itu, suaraku bergema dengan kesengsaraan nan muram.

20200712

Herman Sang Pemberang: Kisah tentang Tangis Massal (Hector Hugh Munro, 1911)

Herman Sang Pemberang yang juga dijuluki Sang Arif menduduki singgasana Britania Raya pada dekade kedua Abad Kedua Puluh, setelah Wabah Besar menghancurkan Inggris. Penyakit Mematikan telah menyapu bersih seluruh Keluarga Kerajaan sampai generasi ketiga dan keempat. Alhasil Hermann Keempat Belas dari Saxe-Drachsen-Wachtelstein, yang berada pada urutan ketiga puluh dalam suksesi, suatu hari menetapkan diri sebagai penguasa persemakmuran Britania Raya baik di dalam maupun di luar negeri. Kehadirannya mengejutkan dunia politik, dan ia memerintah dengan amat bersungguh-sungguh. Bisa dibilang, ia raja paling progresif yang pernah menduduki takhta penting. Sebelum orang mengetahui masalah yang dihadapinya, mereka sudah dihadapkan pada masalah lain. Bahkan para menteri merasa sulit mengiringi saran-saran legislatif sang raja, padahal biasanya mereka progresif.
“Sebenarnya,” Perdana Menteri mengakui, “kami terhambat oleh para pendukung hak pilih untuk wanita. Mereka mengganggu rapat-rapat kami di seluruh negeri, dan mereka berusaha mengubah kompleks pemerintahan Britania Raya menjadi semacam lahan tamasya politik.”

20200705

Dua Salah Kaprah (Fernando Sorrentino, 2006)

Satu

Sebab-sebab Kepunahan Basilisk

Pengamatan sepintas lalu agaknya menyatakan dengan pasti bahwa spesies basilisk tengah menuju kepunahan. Menurut berbagai studi yang diadakan sejauh ini, sudah jelas ini bukanlah akibat dari penganiayaan oleh penduduk lokal—yang didorong oleh takhayul—tetapi lebih karena panjangnya siklus reproduksi yang perlu dilalui oleh makhluk ini berikut berbagai hambatan dalam proses tersebut.

Ternyata tidak benar bahwa basiliks dapat membunuh dengan tatapannya saja. Alih-alih merupakan kebiasaan mereka memancarkan darah dari mata. Pada kulit orang yang terkena darah ini timbul sejenis borok atau jerawat yang mengeluarkan suatu zat organik yang dari padanya muncul sebangsa cacing yang secara ilmiah dikenal sebagai Versmis baslisci (Boitus). Cacing ini berkembang menjadi parasit dalam tubuh manusia dan secara berangsur-angsur merusak sistem saraf hingga pada akhirnya mengosongkan rongga tengkorak. Proses ini dapat memakan waktu tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Korban perlahan kehilangan kendali atas anggota badan beserta pengindranya dan bahkan dapat mengalami kematian dini. Akan tetapi, Vermis ini tidak meninggalkan tubuh sebelum menghancurkan seluruh massa otak. Pada tahap ini, dengan bentuk menyerupai ular kecil—yang ukuran panjangnya tidak melebihi dua puluh sentimeter—Vermis ini meninggalkan jasad dan memulai migrasi lambat menuju daerah berawa-rawa. Nyatanya, sedikit saja yang dapat mencapai tujuan, karena sering kali dalam lintasan yang panjang mereka mati kelaparan atau diganyang burung gagak atau burung hantu, juga oleh mamalia karnivora kecil seperti musang dan cerpelai. Sejumlah kecil ular yang berhasil bertahan hidup itu menyelesaikan metamorfosis mereka di tengah panas dan kelembapan rawa-rawa, dan setelah periode yang berkisar antara lima sampai enam minggu kemudian berubah bentuk menjadi basilisk. Memang dipastikan tidak benar bahwa mereka sanggup membunuh hanya dengan menatap.

20200628

Welcome to the N. H. K. Bab 02 Jihad Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Di Griya Mita[1] kamar 201, pintu yang memisahkan bagian dalam kamarku dari dunia luar kini tegak membuka. Aku dan wanita dengan misi keagamaan ini—tidak ada lagi yang memisahkan kami.
Lantas, aku melihatnya. Di sebelah kanan belakang wanita dengan senyum-pengabar-Injil yang tiada habis ini, berdiri perempuan lain.
Apakah mereka berencana memanfaatkan dua orang untuk merekrutku? Apakah mereka hendak mencondongkan keseimbangan kekuatan, dua melawan satu? Betapa pengecutnya!
Lantas, terbitlah kesadaran lain. Aku memerhatikan betapa mudanya perekrut religi yang satu lagi.
Entah kenapa, sekalipun pada pagi April yang tenteram ini matahari bersinar lembut, gadis itu menaungi diri dengan payung-pelindung-matahari yang putih bersih. Meskipun aku tidak bisa melihat wajahnya, yang tersembunyikan oleh payung, aku bisa tahu bahwa ia muda, apalagi dibandingkan dengan si wanita paruh baya. Malah, terlihat jelas bahwa ia lebih muda dari padaku.

20200621

Welcome to the N. H. K. Bab 02 Jihad Bagian 1 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Beberapa bulan setelah malam aku memutuskan untuk melawan NHK, aku melongok lewat jendela apartemenku ke taman di seberang jalan. Pohon sakura sedang mekar-mekarnya—pemandangan indah menyedapkan yang tiada habisnya.
Akan tetapi, tidak ada kejayaan yang tampak. Aku tidak melihat ada tanda aku akan memenangkan pertarungan ini.
Pertama-tama, aku tidak tahu persembunyian musuhku.
Kurasa mungkin aku harus meledakkan markas besar NHK.
Tidak, kalau aku berbuat itu, bisa-bisa aku ditembak dan tewas oleh polisi. Aku menolak skenario itu.
Yang paling penting, aku tahu musuhku adalah NHK. Aku harus meyakini itu—atau setidaknya berlagak meyakininya. Mesti begitu. Aku harus menahan diriku dari bertindak gegabah.
Kalau aku terus begini, keadaanku tidak akan pernah berubah baik. Belakangan ini, aku semakin tertekan sementara tanda-tanda musim semi tiba, yang tanpa ampun menyerbu apartemen satu kamar enam tatami-ku yang suram.

20200614

Welcome to the N. H. K. Bab 01 Lahirnya Seorang Prajurit Bagian 2 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Ah, betapa indahnya, betapa menyenangkan!
Dalam apartemen satu kamar seukuran enam tatami yang mungil lagi kumuh ini, dengan bak cuci penuh oleh perabot kotor dan lantai diseraki pakaian asal-lempar, aku sungguh mengalami suatu perjalanan!
Dinding bergoyang dan menggeliat sementara alat pengatur suhu bernapas dalam-dalam. Tuan Pelantang Stereo sedang berbicara.
Ah! Segalanya menjadi hidup. Kami semua satu dunia.
Tuan Kulkas, selamat malam.
Tuan Kotatsu, terima kasih telah menghangatkanku.
Tuan Kasur, Andalah kasur paling nyaman yang pernah ada.
Tuan TV, Tuan Komputer, dan lain-lainnya yang telah kujumpai sampai saat ini, terima kasih semuanya.

20200607

Welcome to the N. H. K. Bab 01 Lahirnya Seorang Prajurit Bagian 1 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Pada malam Januari yang teramat dingin, aku menyadari keberadaan konspirasi.
Di dalam apartemen satu kamarku yang kecil seukuran enam tatami[1], aku menyamankan diri di samping kompor kotatsu[2]. Malam itu suram lagi menyakitkan.
Walaupun saat itu milenium baru, tidak tampak adanya harapan. Aku bahkan menangis saat memakan sup Tahun Baru[3].
Bagi seorang lelaki penganggur berusia dua puluh dua tahun yang tidak tamat kuliah, udara musim dingin tajam menusuk. Di tengah-tengah kamarku yang kumuh, di mana pakaian asal saja dilempar mengotori lantai dan aroma asap rokok telah meresap ke dinding, aku mendesah berkali-kali.
Kok bisa begini jadinya?
Itu saja yang dapat kupikirkan.
“Ah,” aku mengerang.

20200531

Rich Without Money - Selanjutnya: Barang-barang pokok (Tomi Astikainen, 2016)

Perut kenyang dan dahaga lenyap, namun masih merasa kedinginan? Bagaimanakah mungkin, misalnya saja, memperoleh pakaian gratis supaya tetap hangat? Bagaimana dengan barang-barang pokok lainnya? Di manakah menemukannya tanpa mengeluarkan sepeser uang pun? Sebenarnya berapa banyakkah yang kita perlukan untuk merasa puas?
Anda mungkin pernah mendengar istilah-istilah seperti pindah karier, ekonomi berbagi, barter, dan konsumsi bersama. Banyak blog, artikel, majalah, dan buku yang khusus membahas tentang ini. Semuanya keren! Pergeseran nilai sedang terjadi, benar kan?
Sistem yang mengharuskan pertumbuhan konstan, dikompori oleh konsumerisme tanpa tujuan, telah menghasilkan begitu banyak barang sampai-sampai kami yang di barat tidak tahu hendak di mana menyimpannya. Musafir tanpa uang satu ini, yang hanya menyimpan barang yang dapat dibawanya, merasa ngeri mendapati bahwa ada suatu industri bernama “persewaan gudang”—orang membayar ruang lebih sekadar untuk mengurung sampah yang tidak diperlukannya.

20200524

Rich Without Money - Sebanyak-banyaknya: Selamatkan yang Tersisa (Tomi Astikainen, 2016)


Di dunia ini kita menghabiskan makanan dalam jumlah gila-gilaan. Barangkali bak sampah supermarket merupakan peti harta karun terbesar bagi orang yang berharap dapat makan tanpa uang. Singkirkan bayangan bak sampah yang penuh tikus. Biasanya yang disebut “makanan sampah” ini di dunia barat bersih dan dibungkus plastik.
Kalau di toko ada satu kantung berisi sepuluh jeruk yang salah satunya telah jelek, mereka membuang seluruh kantung itu. Memulung bak sampah merupakan cara bagus untuk mengurangi penghamburan makanan dan memberi makan bukan hanya diri kita sendiri melainkan lebih banyak orang.

Temanku memarkir mobilnya di halaman belakang supermarket. Kami duduk di mobil mengamati petugas toko yang sedang bekerja keras: membawa keluar banyak makanan layak konsumsi sampai berkeringat bak atlet.

20200517

Rich Without Money - Sejumput: Berbagi Kelimpahan (Tomi Astikainen, 2016)


Sekarang Minggu di Friedrichshain, Berlin, Jerman. Lautan manusia terapung-apung dalam flat seluas 52 meter persegi. Sekitar tiga puluh mulut yang lapar berliur saat para tamu menanti-nanti makanan gratis yang kami janjikan pada mereka.
Toko bahan makanan hanya berjarak 200 meter dan tempat sampahnya diluapi oleh makanan kemasan, sayuran bersih, buah-buahan, makanan yang tinggal dipanaskan, daging, roti, dan produk susu-susuan—setiap hari. Malah tamu harian kami, sekitar 10 sampai 15 musafir, tidak cukup untuk menghabiskan semua yang kami temukan secara cuma-cuma. Inilah sebabnya kami mengundang sekelompok orang dari komunitas Couchsurfing untuk berbagi cinta.
Walaupun sebagian besar orang asing dengan satu sama lain, obrolan riang bersemangat hadir di sekitar. Dapur dikabuti aroma yang memikat. Lima pemuda tengah menyiapkan pesta malam ini. Kami mengenal sebagian dari mereka. Sebagian lagi baru mampir. Tidak ada pembagian tugas di sini. Yang bisa masak, masak. Yang ingin bantu-bantu, membersihkan.

20200510

Rich Without Money - Secuil: Eliksir Kehidupan (Tomi Astikainen, 2016)


Aku berada di kota Lausanne, Swiss, yang permai—kota suci bagi para bankir kapitalis. Aku memanjat bukit cepat-cepat. Kerongkonganku terasa kering sementara botolku kosong.
Seperti biasanya, aku segera memasuki bar terdekat—tanpa berharap bir gratis, melainkan cairan lain yang lebih penting. Aku menghampiri pelayan bar, seorang pria muda yang sedang mengeringkan gelas dengan selembar kain putih.
“Permisi, bolehkah saya minta sedikit air,” tanyaku seraya mengilaskan senyum.
“Soda atau biasa?” tanyanya sembari hendak membuka kulkas.
“Bukan, maksud saya air keran,” jelasku sambil menunjukkan botolku yang kosong.
“Di sini tidak ada yang gratis,” tukas si pelayan bar.

20200503

Rich Without Money - KEBUTUHAN-KEBUTUHAN ESENSIAL (Tomi Astikainen, 2016)

Aku dan teman-temanku mengadakan Hari Tanpa Belanja di Berlin. Ruang komunitas yang nyaman itu penuh sama sekali. Sekitar tujuh puluh orang berjejalan bak sarden di kaleng, menyantap makanan hasil memulung dari bak sampah, mendengarkan ceramah inspiratif, menonton Taste the Waste[1], serta membicarakan tentang pentingnya topik ini.
Salah seorang pembicara tamu menganjurkan cara belanja baru. Ia petani organik yang menjalankan sistem Pertanian Bersangga Komunitas (Community-Supported Agriculture/CSA). Jaringan sejawat ini menyediakan makanan bagi sekitar tiga ratus penduduk Berlin, semuanya bersumber dari satu pertanian. Ia membicarakan tentang realita pertanian dewasa ini yang mengejutkan. Di pertanian organik paling ketat sekalipun cukup beberapa orang saja yang bekerja untuk memberi makan ratusan orang. Bisa dimengerti, lingkaran CSA ini sangatlah populer. Sayuran dari pertanian organik lebih lezat dan lebih murah daripada yang ada di toko.

20200426

Penggalan: Salam (Shirin Nezammafi, 2018)

Ketika seorang pengacara dan interpreternya mengunjungi seorang perempuan Hazara di penjara Jepang, mereka mendapati ada beberapa pertanyaan yang tidak dapat—atau tidak hendak—dijawab oleh perempuan itu.

Tuan Tanaka mengisi dua salinan formulir permohonan kunjungan lalu menyerahkannya kepada pria di sisi seberang jendela resepsionis yang kecil. Beberapa menit kemudian, sebuah pintu besi yang berat terbuka di hadapan kami, dan muncullah seorang polisi berbadan kekar lagi jangkung. Tubuhnya hampir terlalu tegap untuk ukuran orang Jepang. Otot bertonjol-tonjol dari seragamnya.

“Silakan lewat sini,” ucapnya. Ia menunjukkan kami jalan ke pintu, baru dirinya masuk dan mengunci pintu di belakang kami. Kami mendapati koridor panjang yang sempit. Pintu-pintu besi berbaris di kedua sisi, dan sesekali ada jendela kecil, sehingga keadaannya sangat gelap. Meskipun hari masih pagi, sedikit cahaya matahari yag menjangkau ke sini. Namun beberapa lampu kecil menyediakan cukup cahaya untuk melihat jalan di depan. Koridor itu mestilah cukup menyeramkan bila malam, seperti yang ada di film horor.

20200419

Rich Without Money - Selanjutnya: Makanan, Air, dan Kebersihan (Tomi Astikainen, 2016)

Bagaimana caramu mendapatkan makanan? Di mana kamu mandi? Bagaimana caramu mencuci baju? Dari mana kamu mendapatkan pakaian? Di mana kamu tidur saat malam? Apakah kamu tidak takut? Apakah kamu pernah mendapatkan masalah? Memangnya kamu tidak memiliki polis asuransi? Bagaimana kalau ada apa-apa? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang paling sering saya dapatkan hingga 10.000 kali.
Makanan, air, sanitasi, pakaian, naungan, perlindungan, dan keamanan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Ketidakpastian dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut membuat kita tidak nyaman, kalau bukan ketakutan. Inilah sebabnya orang di seluruh dunia mengajukan pertanyaan yang sama. Terlepas dari warna kulit, penampilan, ukuran, bau badan, gender, latar budaya, kepercayaan, ataupun ketebalan dompet kita, kita disatukan oleh kebutuhan tertentu yang sama bagi setiap orang.

20200412

Rich Without Money - Berakhir di Bawah Jembatan (Tomi Astikainen, 2016)

Pada Juli 2010, setelah setahun pertimbangan dan penyangkalan, saya memutuskan untuk mulai hidup tanpa uang. Kok bisa saya mencapai keputusan itu?
Masyarakat serta latar belakang kewirausahaan telah mengguratkan pentingnya menghasilkan uang dalam otak saya. Saya bekerja dengan giat untuk memajukan studi maupun riwayat hidup saya. Saya bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi sebagaimana setiap orang lainnya, seperti yang diharapkan dari saya.
Setelah SMA dan Gelar Diploma dalam jurusan bisnis, saya mulai kuliah di Lappeenranta University of Technology pada 2001. Saya kembali mempelajari Ekonomi dan Administrasi Bisnis. Jurusan saya Manajemen dan Organisasi. Bidang ini kurang berfokus pada keuangan dan lebih kepada meningkatkan komunikasi interpersonal.
Tadinya saya hendak lulus cepat-cepat lalu mendapat pekerjaan dengan gaji bagus. Namun segalanya berubah kemudian. Saya bergabung dengan AIESEC[1]—organisasi mahasiswa global yang mengkhususkan pada pengembangan kepemimpinan pemuda. Melalui berbagai pengalaman lintas budaya yang praktis, AIESEC membantu pemuda berkembang menjadi pemimpin yang aktif, warga global, serta agen perubahan positif.

20200405

Rich Without Money - SUP AIR MATA PEMBUKA (Tomi Astikainen, 2016)

Sekarang tengah malam. Aku duduk di tanah, di suatu jalan besar di Yunani, di bawah jembatan. Sakuku kosong melompong. Tidak ada dompet, tidak ada kunci, tidak ada ponsel. Aku menyanyikan keras-keras lagu klasik dari Red Hot Chili Peppers, “Sometimes I feel like I don’t have a partner ….” Kucela diri ini. “Fiuh, klise banget sih! Gelandangan di bawah jembatan.”
Tidak ada mobil yang melintasi jalan. Napasku beruap dalam keremangan cahaya lampu jalan. Aku telah berjalan berjam-jam tanpa henti, dan belum makan apa-apa selain sepotong roti kering. Tampaknya malam ini akan di luar lagi, sendirian.
Tiba-tiba, aku melihat ada yang berkilauan di horizon. Lampu sorot mobil! Sebuah mobil melewatiku, melambatkan kecepatan, dan berhenti di area peristirahatan terdekat. Aku menyambar bawaanku lalu berjalan mendekat sambil memendam harapan tinggi. Mobil itu penuh penumpang namun aku sudah bisa membayangkan diriku menjejal di antara mereka di jok belakang, dengan memeluk ransel merah kecilku, aman dari bekunya musim dingin. Aku maju dengan langkah tergesa-gesa, namun berhati-hati. Aku tidak mau menakuti mereka.

20200329

Jongos (Sergey Terentyevich Semyonov, 1917)

I
Gerasim kembali ke Mokswa tepat ketika sedang sulit-sulitnya menemukan pekerjaan. Saat itu mendekati Natal, kala orang bertahan dengan pekerjaan buruk demi mendapat hadiah. Sudah tiga minggu bujang dari kampung itu mondar-mandir tanpa hasil mencari lowongan.
Gerasim tinggal bersama kerabat dan kawan-kawan dari desanya. Walau kebutuhannya tidak banyak, tetapi sebagai pemuda yang masih kuat ia berkecil hati mesti bertahan hidup tanpa bekerja.
Gerasim tinggal di Mokswa sejak kecil. Sewaktu masih anak-anak, ia sudah bekerja sebagai tukang cuci botol di tempat pembuatan bir, lalu menjadi jongos rendahan di sebuah rumah. Dua tahun terakhir ini ia bekerja pada seorang pedagang. Pekerjaan itu masih miliknya, kalau saja ia tidak disuruh pulang untuk mengikuti wajib militer. Akan tetapi, ia tidak ditarik. Di kampung ia merasa bosan. Ia tidak terbiasa dengan kehidupan ala kampung. Maka ia memutuskan lebih baik menghitung batu di Mokswa daripada terus di kampung.

20200322

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 8 3/3 (Haruki Murakami, 1994)

“Saya kembali berpikiran untuk bunuh diri. Kali ini saya akan melakukannya dengan cermat. Saya akan melompat dari lantai lima belas gedung administrasi kampus. Dengan cara begitu tidak akan ada kekeliruan. Saya pasti akan mati. Saya sudah beberapa kali melakukan percobaan lari. Saya telah memilih jendela yang paling pas untuk hal ini. Saya sudah nyaris melompat.

“Namun ada sesuatu yang menahan saya. Ada sesuatu yang aneh, yang mengusik saya. Pada detik-detik terakhir, ‘sesuatu’ itu hampir-hampir secara harfiah menarik saya dari ambang jendela. Baru lama kemudian saya menyadari apakah ‘sesuatu’ itu.

“Saya tidak merasakan sakit.

“Saya hampir-hampir tidak merasakan kesakitan lagi sejak kecelakaan itu. Dengan bertubi-tubi kejadian yang menghampiri, saya belum sempat memerhatikan bahwa rasa sakit itu telah menghilang dari tubuh saya. Buang air saya normal. Saya sudah tidak mengalami kram menstruasi. Tidak ada lagi sakit kepala atau sakit perut. Bahkan tulang rusuk saya yang patah hampir-hampir tidak terasa sakit. Saya tidak tahu sebabnya demikian. Namun tahu-tahu saya terbebas dari rasa sakit.

20200315

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 8 2/3 (Haruki Murakami, 1994)

“Tiap kali saya menabrak sesuatu, pasti ada bekasnya di badan saya. Ketika berkaca di cermin kamar mandi saya selalu ingin menangis. Badan saya penuh oleh begitu banyak memar gelap sehingga saya terlihat seperti apel yang busuk. Saya benci mengenakan baju renang di depan orang lain. Sejak yang dapat saya ingat, saya hampir tidak pernah berenang gara-gara itu. Masalah lainnya yaitu ukuran kaki saya berbeda. Tiap kali saya membeli sepatu baru, kaki yang lebih besar terasa sakit sekali sampai sepatunya jebol.

“Karena semua masalah ini, saya hampir tidak pernah ikut olahraga. Sewaktu SMP, teman-teman saya pernah menyeret saya ke lapangan luncur es. Saya jatuh dan pinggang saya begitu sakit sampai-sampai setelah itu tiap musim dingin nyerinya terus terasa. Rasanya seakan-akan saya ditusuk oleh jarum besar dan tebal. Berkali-kali, saya jatuh ketika berusaha untuk bangkit dari kursi.

“Saya juga menderita konstipasi. Buang air besar tiap beberapa hari sekali selalu terasa menyakitkan bagi saya. Selain itu, pundak saya sering sangat kaku. Otot-ototnya menegang sampai benar-benar sekeras batu. Saking sakitnya sampai-sampai saya tidak bisa berdiri tetapi berbaring pun tidak ada gunanya. Saya membayangkan penderitaan saya mestilah seperti hukuman di Cina yang pernah saya baca. Mereka menjejalkan orang di kotak selama beberapa tahun. Ketika pundak saya sedang parah-parahnya, saya hampir-hampir tidak dapat bernapas.

20200308

The Wind-Up Bird Chronicle Buku 1 Bab 8 1/3 (Haruki Murakami, 1994)

8

Cerita Panjang Kano
*
Menyelidiki Rasa Sakit



“Saya lahir pada dua puluh sembilan Mei,” Kano memulai ceritanya, “dan pada malam ulang tahun saya yang kedua puluh, saya memutuskan untuk mengakhiri hidup saya.”

Aku meletakkan secangkir kopi yang baru di depannya. Ia menambahkan krim lalu mengaduknya dengan lunglai. Tanpa gula. Aku meminum kopiku tanpa tambahan apa-apa, seperti biasa. Jam di rak melanjutkan ketukannya yang datar pada dinding waktu.

Kano menatapku tanpa acuh dan berkata, “Apa saya sebaiknya memulai dari awal—tempat saya lahir, kehidupan keluarga, hal yang semacam itu.”

20200301

Penggalan: Rainbow Bird (Shun Medoruma, 2018)

Rainbow Bird menceritakan tentang Katsuya, pemuda Okinawa yang ingin melarikan diri dari kehidupan kriminal di pulau tempatnya tumbuh besar. Berlatarkan 1995 tidak lama setelah tiga anggota militer Amerika Serikat yang ditempatkan di Okinawa menculik dan memerkosa seorang gadis berusia dua belas tahun, cerita berkembang dilatari protes dan demonstrasi massa. Pekerjaan Katsuya memaksa para perempuan melacurkan diri sementara ia memotret transaksinya lalu memeras klien. Ketika gadisnya yang terbaru, Mayu, mulai menyerang dengan keji pria-pria yang dipasangkan dengan dia, Katsuya merasa bahwa dunianya menjadi goyah. Karena bersimpati terhadap Mayu yang berusaha melindungi diri, ia menghadapi pilihan: memberi tahu bosnya yang bengis mengenai penyerangan itu atau menutupinya. Sementara ia berusaha menentukan tindakan, cerita membentang ke masa lalunya, mengungkap geng-geng sekolah yang berbahaya serta legenda keputusasaan tentang burung pelangi di hutan yang menyangga kekuatan hidup dan mati. Penggalan ini diambil dari bagian akhir cerita, ketika Mayu mulai kalut sementara Katsuya semakin sulit menghindari bosnya.

20200223

Welcome to the N. H. K. Pembuka (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Di dunia ini ada konspirasi.
Tetapi, ada sembilan puluh sembilan persen lebih kemungkinan bahwa konspirasi yang kedengarannya masuk akal, yang kau dengar dari orang lain, adalah khayalan belaka atau kebohongan yang disengaja. Ketika kau mengunjungi toko buku, buku-buku dengan judul seperti Konspirasi Agung Yahudi untuk Menghancurkan Ekonomi Jepang! atau Konspirasi Super CIA yang Menyembunyikan Perjanjian Rahasia dengan Alien! semuanya hanyalah khayalan remeh.
Meski begitu … orang suka konspirasi.
Konspirasi. Kita terpesona tanpa daya oleh bunyi kata itu berikut gemanya yang terasa manis sekaligus pahit.
Bayangkan, misalnya saja, proses kemunculan teori Konspirasi Yahudi: Si pengarang mengalami berbagai rasa dan kesulitan yang terlalu, seperti, “Kenapa aku miskin?”; “Kenapa hidupku kurang enak?”; “Kenapa aku enggak bisa punya cewek?” Jiwa dan raganya terus-terusan tertekan, baik dari dalam maupun luar.

20200216

An Evening of Long Goodbyes, Bab 14 (7/7) (Paul Murray, 2003)

“Ini fiasko!” jeritku. “Anjing-anjing lainnya itu bahkan tidak berusaha! Buat apa balapan kalau mereka terlalu takut untuk mengalahkan dia?”

Baru saja aku mengatakan begitu, desir kekhawatiran menyapu tribune. Tahu-tahu salah seekor anjing terlepas dari kumpulan itu dan dengan segera hampir menyusul—yang tidaklah sulit mengingat Macan Keltik memiliki segenap kekuatan tank Panzer.

“Anjing yang nekat,” salah seorang petaruh di samping kami berucap segan.

“Nekat apanya,” sahut temannya. “Lebih seperti ia lupa apa yang mestinya ia lakukan.”

“Itu dia!” Frank berbisik padaku.

Aku segera mendapati yang terjadi. Seorang bujang di baris depan ujung tribune telah membuka sebungkus roti lapis, dan Malam Perpisahan yang Panjang menangkap pemandangan itu. Para penonton boleh mengolok dan merutuk dia semau mereka sekarang. Aku tahu bahwa yang dipikirkan anjing tersebut hanyalah roti lapis itu, dan ia tidak akan teralihkan, tidak oleh para penonton, tidak pula oleh garis finis yang tampak di depan, ataupun tatapan menakut-nakuti yang dilontarkan si anjing yang lebih besar yang diiringinya—

20200209

An Evening of Long Goodbyes, Bab 14 (6/7) (Paul Murray, 2003)

Terus terang, pada awalnya ide ini tidak terasa meyakinkan, apalagi ketika kami membalik saku dan mendapati hanya ada empat paun tujuh puluh delapan sen dalam bentuk receh (dari Frank) serta sebutir koral berwarna aneh dari Pantai Killiney (dariku) sebagai jaminan. Namun setelah kami membawa Droyd kembali ke flat dan meletakkannya di kasur kamar Frank serta memblokade pintu dengan sofa, lemari, dan satu set barbel yang terus saja lepas dari batangnya, lalu memberi tahu Laura supaya jangan membolehkan dia keluar apa pun yang terjadi, aku menggiring Frank ke van di luar untuk membahas ide tersebut. Bisa dimengerti Frank masih terguncang oleh rangkaian peristiwa ini dan supaya bisa berkonsentrasi mendengarkan ia bersikeras hendak merokok hasyis dulu supaya tenang, sementara aku sendiri merasa rada butuh menenangkan diri juga, sedang aku tidak punya tembakau, sehingga aku meminta punya Frank dan menaruhnya di pipaku. Kemudian, setelah kami berdua sama-sama lebih tenang, aku menguraikan rencanaku.

20200202

An Evening of Long Goodbyes, Bab 14 (5/7) (Paul Murray, 2003)

Kalau dilihat di peta, rute yang kami ambil tidak jauh berbeda dari pencarian awalku yang melelahkan tadi. Tetapi kali ini rasanya seperti berada di kota lain, yang terletak bersisian dengan kota gemerlap yang kukenal. Bagian kota yang ini tersusun dari jalan buntu, impase, serta jalan belakang yang penuh oleh kantung sampah, dan memiliki penghuninya tersendiri, yang hidup dengan bau urin serta pembusukan yang permanen, dan harus disenggol bangun dengan kaki sebelum bisa ditanyai tentang keberadaan Droyd. Adakalanya mereka terlalu mabuk untuk bicara. Adakalanya mereka mencoba mengarang cerita dengan harapan mendapat receh. Adakalanya mereka tidak merespons ketika disenggol dengan kaki, sehingga kami harus membalikkan badan mereka dan menyipitkan mata pada wajah mereka yang kotor hingga kami yakin mereka bukan Droyd. Luar biasa banyaknya jumlah orang-orang mengenaskan ini. Ketika kami hendak pulang melewati Grafton Street, aku menyadari bahwa orang-orang semacam itu ada di sini juga, sepanjang waktu berada di sini, menjalani kehidupan berheroin mereka, terkulai di samping kotak ATM, mengintai dalam kelompok-kelompok yang tampak mencurigakan di sekitar tempat sampah, meracau pada para pekerja kantor yang berjalan tergesa-gesa sambil pura-pura tidak mendengar, atau sekadar bergentayangan dengan mata putih semua menembus keramaian, sambil memegang gelas McDonald dan papan kardus yang tulisannya salah eja.

20200126

An Evening of Long Goodbyes, Bab 14 (4/7) (Paul Murray, 2003)

Droyd tidak pulang malam itu, demikian pula malam berikutnya.

“Dia pasti pulang pas lapar,” kataku. “Enggak perlu galau lah.”

“Tapi jangan-jangan dia kena apalah,” sahut Frank cemas, seraya menekankan hidungnya pada kaca yang mengalirkan air hujan.

“Memangnya dia bisa kena apa sih? Dia kan bisa jaga diri. Lagi pula, dia sudah bukan anak-anak, maksudku dia sudah pernah dipenjara, ya kan?”

Frank tidak teryakinkan. Namun sesungguhnya, aku kurang begitu khawatir akan kehilangan Droyd. Aku sibuk dengan kecemasanku sendiri, akibat merisaukan, mengingat, dan menyusun rencana-rencana yang tak mungkin dijalankan. Lalu kini aku terbangun hanya untuk mendapati tinggal satu hari lagi  sebelum pesta makan malam dan keberangkatan Bel.

Hujan masih berdentam. Tampaknya ini hari yang sempurna untuk duduk-duduk di kursi sambil merasa sendu. Akan tetapi, aku ada janji di rumah sakit untuk mengubah penampilanku, maka aku menaiki bis ke kota lalu duduk bermuram durja di meja pemeriksaan sementara dokter membuka perbanku serta menusuk-nusuk wajahku dengan berbagai peralatan tumpul dan menanyaiku kalau-kalau aku kesakitan. Rasanya tidak menyakitkan kok. Aku terlalu larut dalam benakku sendiri—pada langit Rusia yang kelabu, stepa liar yang tak berujung, dan membandingkannya dengan sel-kecil-suramku di Bonetown. Maka ketika dokter bilang lukaku sudah sembuh, butuh sejenak untuk menyadarinya.

20200119

An Evening of Long Goodbyes, Bab 14 (3/7) (Paul Murray, 2003)

(Adegan. Sebuah rumah kastel yang bobrok di bantaran Kali Marne. Masuk FREDERICK, seorang Count, serta BABS, adiknya yang menyedihkan.)

FREDERICK: Aku tak peduli dengan perkataan manajer bank itu! Mungkin aku bangkrut, tetapi aku tetap seorang Count, dan aku akan menghadapi dunia industri anggur Perancis yang kanibal ini serta menghasilkan Burgundy yang lumayan sekalipun aku harus menanam semua anggur dengan tanganku sendiri!

(BABS terus saja menangis.)

FREDERICK (merengkuh lengan adiknya): Persetan, Babs, tidakkah kau mengerti? Yang kita miliki ini adalah sebuah mimpi, dan selama kita bersama, tidak seorang pun manajer bank yang dapat menyentuhnya, karena ini adalah sebuah mimpi, maksudku ini bukan sekadar—

FREDERICK: Persetan, Babs, berhenti menangis dong

FREDERICK: Babs, kau mungkin masih bertanya-tanya soal yang semalam, yah sebenarnya itu semua rencananya Lopakhin